Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut data terbaru World Health Organisation (WHO) dan United Nations
International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 2013, wilayah Asia
Tenggara memiliki jumlah penderita Human Immunodefi ciency Virus & Acquired Immune
Defi ciency Syndrome (HIV dan AIDS) sebanyak 940.000 orang, dan wilayah Asia
Tenggara menduduki pe ringkat ke dua kasus HIV dan AIDS di dunia setelah wilayah
Afrika yang memiliki jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sebanyak 7.580.000
orang.
Data statistik kasus HIV dan AIDS di Indonesia menunjukan bahwa nilai tertinggi dari
jumlah komulatif kasus AIDS banyak terjadi di usia 20-29 tahun yaitu se banyak 15.305
orang. Sesuai dengan besarnya penduduk usia muda, pemerintah Indonesia menghadapi
beberapa masalah dalam menentukan berbagai kebijakan dan program, khususnya
masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja. Maka sangat penting
bahwa usaha untuk menjangkau remaja dan pemuda tersebut dalam penyampaian
informasi dan penyediaan layanan harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa, yang dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai 20 tahun, yaitu menjelang
masa dewasa muda. Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling indah,
dan tidak dapat terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Masa
remaja juga identik dengan kata ‘pemberontakan’, dalam istilah psikologi sering disebut
sebagai masa storm and stress karena banyaknya goncangan-goncangan dan
perubahan-perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Soetjiningsih, 2004).
Kematangan yang sehat pada remaja dapat dicapai melalui bimbingan tentang
diri dan lingkungannya. Dalam proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur
yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena
banyak faktor yang menghambat. Dalam kondisi seperti inilah, banyak remaja yang
meresponnya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar dan bahkan amoral yang
memicu timbulnya kenakalan pada remaja, seperti kriminalitas, meminum minuman
keras, penyalahgunaan obat terlarang, tawuran dan hubungan seksual tanpa nikah yang
berisiko tinggi tertular penyakit HIV (Soetjiningsih, 2004).
Kenakalan remaja dapat didefinisikan sebagai kelainan tingkah laku atau tindakan
remaja yang bersifat antisosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum
yang berlaku dalam masyarakat yang dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti
masalah kesehatan (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010). Permasalahan kesehatan
remaja yang dihadapi salah satunya adalah HIV/AIDS yang kasusnya terus meningkat
dari tahun ketahun. Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia secara
komulatif hingga September 2012 tercatat 92.251 kasus. Sementara kasus Acquired
Immunodeficiency Syndrom (AIDS) di Indonesia secara komulatif dari tahun 1987 hingga
September 2012 tercatat 39.434 kasus, dengan kondisi yang memprihatinkan karena
proporsi terbesar terdapat pada usia muda dan produktif yaitu 20-29 tahun sebanyak
16.680 kasus (42,3%) dari total kasus AIDS (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, dalambahasa
Indonesia berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV adalah
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan kemudian menimbulkan AIDS. AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome), merupakan kumpulan gejala penyakit yang
timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh virus
HIV (Maryunani & Aeman, 2009). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau, jumlah kasus
HIV/AIDS berdasarkan Kabupaten/Kota secara kumulatif sejak kasus ini ditemukan
hingga Juni 2013, tercatat 470 (41,4%) kasus HIV dan 511 (55,1%) kasus AIDS di kota
Pekanbaru. Dimana hal tersebut merupakan jumlah kasus yang tertinggi di propinsi Riau,
sehingga menempatkan kota Pekanbaru pada urutan pertama kasus terbanyak di
propinsi Riau. Data menurut kelompok umur, diketahui bahwa kasus HIV dan AIDS pada
usia muda dan produktif selalu menunjukkan proporsi besar yaitu pada usia 25-29 tahun,
dengan jumlah 310 (27,3%) kasus HIV dan 249 (26,8%) kasus AIDS. Dilihat dari hasil
tersebut maka penderita mulai terjangkit HIV pada usia remaja karena masa inkubasi
penyakit ini membutuhkan waktu 5-10 tahun, yang artinya remaja memiliki ancaman
paling besar untuk terinfeksi HIV/AIDS (Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2013).
Sekitar 50% laki-laki dan perempuan mengalami stigma dan perlakuan diskriminasi
terkait dengan status HIV-nya di 35% negara di dunia. Akibat dari adanya stigma dan
diskriminasi, ODHA cenderung dikucilkan oleh keluarga, teman-temannya dan
lingkungan yang lebih luas. Pada sisi lain mereka juga mengalami diskriminasi dalam
pelayanan kesehatan, pendidikan dan hak-hak lainnya. Indeks stigma terhadap ODHA
mengindikasikan bahwa 1 dari 8 ODHA tidak mendapat pelayanan kesehatan karena
stigma dan diskriminasi.
Pollak (1992) menyebutkan bahwa sejarah HIV-AIDS yang identik dengan kelompok
yang terdiskriminasi seperti kelompok homoseksual dan pecandu narkoba menyebabkan
munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Stigma muncul karena melihat HIV-
AIDS dapat terjadi pada kelompok yang memiliki perilaku berbeda dengan masyarakat
kebanyakan. Stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang
mendiskreditkan dengan cara tertentu.
Menurut Corrigan dan Klein stigma memiliki dua pemahaman sudut pandang, yaitu
stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri (self stigma). Stigma masyarakat terjadi
ketika masyarakat umum setuju dengan stereotipe buruk seseorang (misal, penyakit
mental, pecandu, dll) dan self stigma adalah konsekuensi dari orang yang distigmakan
menerapkan stigma untuk diri mereka sendiri.
Anak dengan HIV merupakan kelompok rentan yang perlu dilindungi, mengingat
orang tua mereka sering kali sudah meninggal karena HIV/AIDS sehingga menjadi beban
keluarga atau kerabat. Berdasarkan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung
jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu program pengobatan anak khususnya
anak dengan HIV merupakan salah satu bentuk perlindungan anak.
Didukung oleh kesiapan tenaga medis dan apoteker dalam mendukung keberhasilan
terapi. Studi yang dilakukan oleh UNICEF dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
menunjukkan kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS untuk
mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan disebabkan oleh adanya diskriminasi,
kesulitan keuangan keluarga, kesehatan anak yang buruk dan kebutuhan untuk merawat
orang tua yang juga terinfeksi HIV-AIDS
Berdasarkan latarbelakang di atas kita akan membahas cara mengurangi stigma
negatif terhadapa penderita HIV-AIDS.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II
TINJUAN TEORI
A. Konsep Dasar HIV
1. Pengertian
HIV adalah virus penyebab Acquired Immuno Deficiensi Syndrom (AIDS). Virus ini
memiliki kemampuan untuk mentransfer informasi genetic, mereka dari RNA ke DNA
dengan menggunakan enzim yang disebut Reverse Transcriptase, yang merupakan
kebalikan dari proses transkripsi dari RNA & DNA dan transflasi dari RNA ke protein
pada umumnya (Murma, et.al,1999).
HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual yang berbahaya di dunia
(Silalahi, Lampus, dan Akili, 2013). Seseorang yang terinfeksi HIV dapat diibaratkan
sebagai gunung es (Lestary, Sugiharti dan Susyanty, 2016) yang dimana HIV memang
tidak tampak tetapi penyebarannya mengakibatkan banyaknya kasus HIV baik di
Indonesia maupun di dunia. AIDS adalah Suatu kumpulan kondisi tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV ( Virginia Macedolan, 2008 ) AIDS
Kependekan dari A: Acquired: Didapat, Bukan penyakit keturunan I:Immune:Sistem
kekebalan tubuh D:Deficiency: Kekurangan Syndrome. Jadi AIDS adalah berarti
kumpulan gejala akibat kekurangan dan kelemahan system tubuh yang dibentuk
setelah kita lahir ( Depkes,2007)
2. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut
HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-
2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka
untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flulikes illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria

maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :


1) Lelaki homoseksual atau biseks.
2) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi HIV.
3) Orang yang ketagian obat intravena
4) Partner seks dari penderita AIDS
5) Penerima darah atau produk darah (transfusi).
3. Manifestasi Klinis
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah, 22–24
Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan oleh negara-
negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium. Ketentuan tersebut
adalah sebagai berikut :
a. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
1) Gejala mayor :
a) Penurunan berat badan lebih dari 10%
b) Diare kronik lebih dari 1 bulan
c) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
2) Gejala minor :
a) Batuk lebih dari 1 bulan
b) Dermatitis pruritik umum
c) Herpes zoster rekurens
d) Candidiasis oro-faring
e) Limfadenopati umum
f) Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
b. AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
1) Gejala mayor :
a) Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
b) Diare kronik lebih dari 1 bulan
c) Demam lebih dari 1 bulan
2) Gejala minor :
a) Limfadenopati umum
b) Candidiasis oro-faring
c) Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
d) Batuk persisten
e) Dermatitis umum
f) Infeksi HIV maternal
4. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10
minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh
tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target
dalam waktu singkat, virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian
menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit
yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput
bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-
sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4
biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit
B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan
sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T
penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap
infeksi dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat
memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan
pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-
bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel
virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi
tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di
dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar
partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter
dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika
kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap
infeksi. Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai
infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit
CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh
dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. Setelah virus
HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi
terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window period). Setelah itu
penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila
diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten)
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10
tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012.)
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Serologis
a) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasiltes positif,
tapi bukan merupakan diagnosa
b) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
c) Sel T limfosit : Penurunan jumlah total
d) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>
e) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f) P24 ( Protein pembungkus Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi.
g) Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
h) Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler.
i) Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2) Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
3) Tes Lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsi
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru.
b. Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.Kurang dari 1%
penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV,
dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5%
wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum
memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil
tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum
pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang
digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa
kontaminasi HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian
Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan
mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi
setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6
bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes
komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang
dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan
antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak
disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara
rutin di negaranegara maju.
c. USG Abdomen
d. Rongen Thorak
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan keperawatan
1) Aspek Psikologis, meliputi :
a) Perawatan personal dan dihargai
b) Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah masalahnya
c) Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
d) Tindak lanjut medis
e) Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f) Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
2) Aspek Sosial.
Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari
lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
a) Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan.
b) Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat.
c) Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007)
Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas
hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan
sosial yang paling penting. House (2006) membedakan empat jenis dimensi
dukungan social :
 Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien
dengan HIV AIDS yang bersangkutan
 Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu
dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain
 Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang,
kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
 Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

b. Penatalaksaan Medis
1) Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu
(Endah Istiqomah : 2009) :
a) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b) Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
 Didanosin
 Ribavirin
 Diedoxycytidine
 Recombinant CD 4 dapat larut
d) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian
dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman
dan keberhasilan terapi AIDS.
2) Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a) Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan
seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi
HIV.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh
yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
 Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
 Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan
relaksasi.
b) Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
 Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat
pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia perasaan
kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan
menelan.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
 Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama
jaringan otot).
 Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang
adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
diberikan.
c) Syarat - syarat Diet HIV/AIDS adalah:
 Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor
stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
 Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada
kelainan ginjal dan hati.
 Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis
lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi
lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan
bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
 Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan
Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat,
Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat
ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
 Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
 Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan
diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi
cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi
thick fluid) dan cair (thin fluid).
 Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu
diganti (natrium, kalium dan klorida).
 Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal
ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan,
dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi
penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian
makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau
makanan selingan.
 Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering
 Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara
mekanik, termik, maupun kimia.
d) Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
 Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV,
yaitu kepada pasien dengan: Infeksi HIV positif tanpa gejala, Infeksi HIV
dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening), Infeksi HIV dengan
gangguan saraf, Infeksi HIV dengan TBC, Infeksi HIV dengan kanker
dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu
secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan
secara oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi,
dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan
atau sebagai makanan utama.
Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
 Diet AIDS
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala
panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare
akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi
makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama
beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil
setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam
bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan
makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau
menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi.
Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila
dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa polimer
(misalnya polyjoule).
 Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap
akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang
setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan.
Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan
makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai
makanan utama.
 Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau
kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan
lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini
tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan
makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat
badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai
makanan tambahan atau makanan utama.
Pasien Hiv tidak boleh memakan makanan seperti :
 Makanan yang dipanggang
 Makanan yang mentah
 Sayur – sayuran mentah
 Kacang – kacangan
7. Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social. Enselophaty akut, karena reaksi
terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis /
ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
3) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-
gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan dan gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
1) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
2) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
8. Edukasi dan promosi kesehatan HIV
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV (human immunodeficiency
virus) sepatutnya diberikan sejak dini, seiring dengan pemberian pendidikan seksual.
Hal ini perlu dimulai sejak masa sekolah sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan
dalam menghindari perilaku berisiko. Menurut Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang
mengatur mengenai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, promosi kesehatan
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai
pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi.
Upaya edukasi dan promosi kesehatan ini perlu diberikan untuk seluruh lapisan
masyarakat, terutama pada populasi kunci, yakni:
a. Pengguna NAPZA suntik
b. Pekerja seks (PS) langsung maupun tidak langsung
c. Pelanggan/pasangan seks PS
d. Homoseksual, waria, Laki pelanggan/pasangan Seks dengan sesama Laki (LSL)
e. Warga binaan pemasyarakatan

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui upaya:

a. Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia)


b. Setia dengan pasangan (be faithful)
c. Menggunakan kondom secara konsisten (condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati
infeksi menular seksual (IMS) sedini mungkin (edukasi)

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan nonseksual, ditujukan untuk mencegah


penularan HIV melalui darah, yakni meliputi:

1. Uji saring darah pendonor (saringan donor darah)


2. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan nonmedis yang melukai tubuh
(dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur operasional,
serta memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution)
3. Pengurangan dampak buruk pengguna NAPZA suntik
4. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya:
5. Pencegaan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
6. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV
7. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya,
dan Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarganya
8. PITC (Provider-Initiated Counseling and Testing) atau TIPK (Tes HIV atas Inisiatif
Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling) harus dianjurkan sebagai bagian
dari standar pelayanan bagi:
a. Setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tanda, gejala atau kondisi medis yang mengindikasikan atau
patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit
tuberkulosis dan IMS
b. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
c. Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
d. Anak-anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi
luas, atau anak dengan malnutrisi yang tidak menunjukkan respon yang baik
dengan pengobatan nutrisi yang adekuat, dan Laki-laki dewasa yang meminta
sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV

TIPK sebaiknya terutama diselenggarakan pada:

a. Pelayanan IMS
b. Pelayanan kesehatan bagi populasi kunci/orang yang berperilaku risiko tinggi
c. Fasilitas pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan ibu hamil,
persalinan dan nifas, dan
d. Pelayanan tuberkulosis

B. KONSEP STIGMA
1. Definisi
Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan
Bhugra (2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan
kepada orang-orang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban
kejahatan, kemiskinan, serta orang yang berpenyakitan salah satunya orang HIV.
Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau ditandai sebagai orang yang bersalah.
2. Faktor-Faktor Terbentuk Stigma
Faktor-faktor terbentuknya stigma sebagai berikut:
a. Pengetahuan.
Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang
HIV/AIDS, dan kesalahpahaman tentang penularan HIV (Liamputtong, 2013). Hal-
hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan
adalah hasil tahu dari informasi yang ditangkap oleh panca indera. Pengetahuan
dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya
(Wawan dan Dewi, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky
dalam Erkki dan Hedlund (2013) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki
pengetahuan tinggi akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan
sikap positif yang lebih baik dibandingkan perawat yang berpengetahuan rendah.
b. Persepsi.
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi
perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Cock dan kawan-kawan menyatakan
bahwa stigma bisa berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan
menyalahkan orang yang memiliki penyakit seperti HIV (Paryati et al, 2012).
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan dapat mempengaruhi munculnya stigma. Jika tingkat
pendidikan tinggi maka tingkat pengetahuan juga akan tinggi. Hal ini sesuai dengan
penelitian Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund (2013) dimana
menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki rasa
ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebih baik
d. Lama Bekerja
Seseorang yang masa bekerja yang paling lama maka memiliki pengalaman yang
banyak sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk melaksanakan
tugasnya (Suganda dalam Paryati et al, 2012). Maka dari itu, seseorang yang
sudah berpengalaman akan memiliki rasa percaya diri.
e. Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang.
Semakin bertambah umur seseorang maka semakin berubah sikap dan perilaku
seseorang sehingga pemikiran seseorang bisa berubah (Suganda dalam Paryati et
al, 2012). WHO (2013) membagi umur seseorang terbagi atas 4, yaitu balita (di
bawah 1 tahun), anak-anak (2-9 tahun), remaja (10-19 tahun), dan dewasa (lebih
dari 19 tahun). Elizabeth dalam Jahja (2011) menyebutkan masa dewasa terbagi
menjadi 3, yaitu masa dewasa awal (21-40 tahun), masa dewasa madya (40-60
tahun), dan masa dewasa lanjut (60 tahun sampai meninggal). Masa dewasa awal
adalah masa seseorang berusaha menyesuaikan dirinya terhadap pola hidupnya
yang baru. Seseorang dengan masa ini memiliki emosi yang tidak stabil serta
belajar menjaga sebuah komitmen dan tanggung jawab. Masa dewasa madya
adalah masa seseorang lebih mendekatkan dirinya terhadap agama. Masa dewasa
lanjut adalah masa seseorang secara fisik dan psikologi telah menurun.
f. Pelatihan
Pemberian pelatihan yang sesuai dengan bidang, salah satunya pelatihan HIV,
dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kinerja dirinya dalam
pekerjaan. Selain itu, pelatihan juga meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan
sikap bagi seseorang sehingga dapat berpikir kritis (Wu Z et al dalam Paryati et al,
2012).
g. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja seseorang
(Gibson dalam Paryati, 2012). Perempuan juga cenderung memiliki stigma yang
tinggi dimana bersikap menyalahkan dibanding dengan laki-laki (Andrewin dalam
Salmon et al, 2014).
h. Dukungan Institusi
Pada institusi kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas, memiliki SOP
(Standard Operating Procedure) sesuai kebijakan masing-masing institusi, sarana
dan fasilitas, serta penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) dalam melakukan
tindakan khusus kepada pasien dengan penyakit tertentu, seperti HIV (Paryati et al,
2012).
i. Kepatuhan Agama
Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Seseorang
yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam kinerja bekerja
dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV (Paryati et al, 2012).
3. Manifestasi stigma
Biasanya orang yang terkena stigma dihubungkan dengan seks bebas, penggunaan
narkoba, dan homoseksual. Hal ini menjadi bumerang bagi mereka dimana dianggap
masyarakat sebagai orang yang berperilaku buruk. Wanita pun juga menjadi korban
terkena stigma karena berhubungan seksual dengan lawan jenis yang diduga memiliki
HIV. Maka dari itu, stigma bisa muncul dari kata-kata kasar, gosip, dan menjauhi atau
mendiskriminasi orang HIV (Liamputtong, 2013).
4. Tipe-Tipe Stigma
Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) mengungkapkan ada 5 tipe
stigma sebagai berikut :
a. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum yang memiliki keluarga
atau teman yang sakit fisik ataupun mental. Salah satu contoh kata-katanya adalah
“saya tidak mau tinggal bersama dengan orang HIV”.
b. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau perusahaan yang menolak
orang berpenyakitan. Misalnya, perusahaan X menolak memiliki pekerja HIV.
c. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang yang
memiliki penyakit. Contohnya seperti pasien HIV yang merasa bahwa dirinya sudah
tidak berharga di dunia karena orang-orang disekitarnya menjauhi dirinya.
d. Felt or perceived stigma, dimana orang dapat merasakan bahwa ada stigma
terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas. Misalnya seorang
wanita tidak ingin mencari pekerjaan dikarenakan takut status HIV dirinya diketahui
dan dijauhi oleh rekan kerjanya.
e. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi dari orang
lain. Contohnya seperti pasien HIV diperlakukan tidak ramah dibandingkan dengan
pasien yang tidak HIV diperlakukan ramah oleh tenaga kesehatan.
f. Label avoidance, dimana seseorang tidak berpartisipasi dalam pelayanan
kesehatan untuk menghindari status dirinya sebagai orang yang memiliki penyakit.
Salah satu contoh adalah pasien menyembunyikan obatnya.
5. Stigma Masyarakat terhadapa HIV
Terdapat 102 berita yang kami dokumentasikan. Sebanyak 53 berita masuk ke dalam
kategori berita mengenai stigma terhadap ODHA. Seperti yang dapat dilihat dalam
tabel di atas, pengelompokkan berita tentang stigma terhadap ODHA kami kategorikan
ke dalam 10 kategori berbeda sesuai dengan kemiripan atau kesamaan isu dan
kriteria. Bentuk stigma paling banyak dari berita yang kami dapatkan adalah pewajiban
VCT yaitu sebanyak 13 artikel. Di dalamnya terdiri dari kewajiban screening untuk ibu
hamil, wajib VCT di perusahaan, wajib VCT di kalangan PNS sebulan sekali dan wajib
VCT untuk orang-orang yang merasa melakukan pola perilaku hidup berisiko.
Pewajiban VCT merupakan pelanggaran HAM. Tes HIV harus dilaksanakan secara
sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory). Hal ini merupakan bagian dari hak
seseorang untuk memutuskan apa yang menurutnya baik untuk diri dan
kesehatannya. World Health Organisation (WHO) juga telah menyampaikan
keberatannya atas kebijakan-kebijakan wajib VCT yang dilakukan di banyak tempat.vii
Pewajiban VCT bukan hanya tidak memiliki justifikasi, tetapi justru berpotensi
melemahkan upaya penanggulangan HIV yang efektif.
Kesalahan paradigma HIV/AIDS sebagai dampak dari perilaku negatif menduduki
peringkat kedua berita terbanyak, yakni 12 berita. Dari berita-berita yang kami
tangkap, HIV/AIDS sering diidentikkan dengan yang menurut kebanyakan masyarakat
dianggap sebagai perilaku amoral atau asusila, seperti seks bebas, penggunaan
narkotika dan homoseksualitas. Stigma tersebut seringkali dengan mudahnya
digeneralisisasi oleh banyak pihak, sehingga stigma ODHA sebagai orang-orang yang
asusila dan amoral seakan diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Banyaknya berita yang mengasosiasikan ODHA dengan amoralitas dan asusila
menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat dan media mengenai perilaku
berisiko HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman mengenai informasi tersebut pada banyak
lapisan masyarakat yang menjadikan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA tumbuh
subur. Perilaku berisiko adalah perilaku-perilaku yang membawa risiko tinggi terkena
infeksi HIV pada seseorang.viii Perilaku beresiko ini termasuk penggunaan jarum
suntik tidak steril secara bergantian, hubungan seksual yang tidak aman, menerima
transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV, maupun penularan dari ibu hamil ke
anak dalam kandungannya. Penggunaan jarum suntik tidak steril, misalnya, dapat
terjadi bukan hanya dalam konteks penggunaan narkotika jarum suntik, tetapi juga
pembuatan tato, atau aktivitas lain yang melibatkan jarum suntik yang tidak steril.
Demikian juga dengan hubungan seksual yang tidak aman yang dapat dilakukan oleh
orang dengan orientasi heteroseksual maupun homoseksual.
Jenis stigma lainnya yang banyak bermunculan pada berita yang kami
dokumentasikan adalah pelekatan HIV/AIDS pada kelompok masyarakat tertentu.
Terdapat lima berita dengan pesan seperti ini. Kelompok yang dianggap sebagai
pembawa HIV/AIDS di antaranya adalah wisatawan mancanegara, Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) dan ibu rumah tangga. Wisatawan mancanegara dianggap memiliki
potensi untuk menularkan HIV/AIDS ke Indonesia dikarenakan kesalahpahaman atas
gaya hidup seks bebas yang dituduhkan kepada mereka. Begitupun dengan TKI/TKW
yang kembali ke Indonesia dianggap membawa pulang virus tersebut sehingga akan
membahayakan. Perempuan dianggap sebagai kelompok paling rentan tertular
HIV/AIDS, sehingga dapat mengancam kelompok ibu rumah tangga. Dalam banyak
kasus, ibu rumah tangga tertular dari suaminya yang memiliki riwayat hidup dengan
perilaku berisiko.
Kesemua pandangan ini tidak didasarkan pada bukti ilmiah, dan justru berpotensi
memunculkan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap kelompok masyarakat
tersebut. Seperti yang telah kami sampaikan, HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui
cara-cara tertentu. Infeksi HIV tidak melihat latar belakang kewarganegaraan maupun
jenis pekerjaan.
Tingginya pemberitaan berunsur stigma tidak terlepas dari peranan media. Dalam
menyampaikan berita, masih banyak media yang menggunakan judul yang
menyetigma ODHA maupun populasi kunci. Untuk itu kami menganggap hal tersebut
secara tidak langsung menyumbang pada stigma terhadap ODHA. Ketidakpekaan
terhadap isu HIV/AIDS diduga menjadi faktor banyaknya pemberitaan bernada stigma
di banyak media. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai HIV/AIDS perlu
juga untuk diberikan kepada jurnalis dan rekan-rekan media.
Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk stigma lainnya yang dapat dilihat pada tabel di
atas yang jumlahnya tidak sebanyak isu-isu sebelumnya. Namun berita-berita tersebut
juga memiliki kontribusi besar dalam menyumbang kesuburan stigma terhadap ODHA.
Stigma terhadap ODHA dan populasi kunci ini berdampak pada keengganan mereka
untuk dilihat sebagai bagian dari kelompok ODHA dan populasi kunci. Akibat
keengganan tersebut, mereka sering kali memilih untuk tidak mau tahu status dan
tidak mau berobat ketika tahu statusnya. Hal ini justru akan semakin mempersulit
upaya penanggulangan HIV yang efektif di Indonesia. Sebaliknya, wacana-wacana
yang positif yang mendukung ODHA dan populasi kunci mau untuk mengetahui status
dan mengakses pengobatan harus justru harus dikembangkan.
6. Diskriminasi terhadap ODHA
Dari 102 berita yang kami dokumentasikan, 29 di antaranya kami kelompokkan
menjadi berita yang memiliki unsur diskriminasi. Dari berita-berita tersebut kami
mengelompokkannya lagi ke dalam 8 bentuk diskriminasi terhadap ODHA.
Pengelompokkan ini kami lakukan dengan melihat pada kesamaan isu yang diangkat.
Dari gambar tersebut di atas, bentuk diskriminasi paling banyak terjadi dalam ranah
pemenuhan hak atas kesehatan, yaitu ketika mengakses layanan kesehatan. Dari
data kami, sebanyak 12 berita mengangkat mengenai persoalan akses layanan
kesehatan. Beberapa berita di antaranya terkait dengan:
a. Penolakan dan pemulangan pasien ODHA, termasuk anak dengan HIV/AIDS
(ADHA), oleh rumah sakit atau puskesmas.
b. Penolakan ketika pasien ODHA melakukan klaim jaminan kesehatan.
c. Kesulitan mengakses layanan kesehatan karena terkendala biaya.
d. Penolakan operasi caesar terhadap ODHA yang akan melahirkan.

Dalam masalah mengakses layanan, biasanya penyedia layanan kesehatan akan


berdalih belum memiliki alat bedah khusus untuk ODHA.ix Namun tentunya jika kita
melihat pada fakta HIV/AIDS sebagai bagian dari program nasional, di mana fasilitas
layanan kesehatan tingkat pertama pun telah didorong untuk mampu memberikan
pengobatan, klaim ketiadaan sumber daya ini patut dipertanyakan. Pun benar sumber
daya tersebut tidak ada, pemberi layanan kesehatan wajib menggunakan mekanisme
rujukan sehingga pasien tetap dapat terpenuhi haknya. Dengan demikian, jika tenaga
kesehatan menolak memberikan pelayanan kesehatan, maupun memberikan rujukan
kepada fasilitas kesehatan dengan layanan yang lebih paripurna, dapat dikatakan
bahwa tenaga kesehatan tersebut telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap
ODHA.

Bentuk diskriminasi lainnya yang berhasil kami dokumentasikan adalah penutupan


lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks. Penutupan lokalisasi ini didasari pada
argumentasi lokalisasi sebagai tempat penyebaran HIV/AIDS. Banyak pihak menilai
dengan ditutupnya tempat-tempat lokalisasi dan menghukum para pekerja seks akan
membuatnya berhenti, sehingga dapat menghentikan penyebaran HIV/AIDS. Padahal
dampak dari penutupan lokalisasi adalah penghambatan terhadap program
penanggulangan HIV/AIDS. Pekerja seks yang biasa mengakses layanan ARV
menjadi sulit untuk dijangkau karena mereka menyebar ke tempat lain yang lebih
terpencil. Hal ini akan berujung pada penyebaran HIV/AIDS semakin meluas karena
tidak lagi terkontrol. Selain itu, pembubaran lokalisasi juga pada dasarnya melanggar
hak atas privasi seseorang. Setiap orang berhak dengan bebas menentukan apa yang
ingin dilakukan dengan tubuhnya. Pembubaran lokalisasi justru menyebabkan pekerja
seks sulit melakukan pekerjaannya dan menjadi semakin rentan pada kekerasan.
Dengan demikian, hal ini justru akan menambah stigma, diskriminasi dan kerentanan
terhadap HIV.

Sementara pada bidang ketenagakerjaan, bentuk diskriminasi yang biasa terjadi


adalah pemberhentian hubungan kerja (PHK) karena status HIV/AIDS. Dari 3 berita
yang kami temui, PHK terhadap ODHA terjadi di instansi pemerintah seperti Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pegawai di lembaga
pemerintah diwajibkan untuk bebas dari HIV/AIDS karena dianggap tidak memberikan
contoh yang baik sebagai pelayan masyarakat, untuk itu dilakukan tes HIV/AIDS
berkala untuk mengetahui statusnya. Apabila diketahui hasilnya adalah positif
HIV/AIDS maka pegawai bersangkutan akan ditindak.

Dalam hal seperti ini, terdapat dua jenis praktik diskriminasi. Pertama, pewajiban tes
HIV untuk karyawan yang melanggar hak atas privasi dan hak atas kontrol terhadap
tubuhnya. Kedua, PHK yang dilakukan atas dasar status karyawan yang positif
HIV/AIDS merupakan pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan dan hak atas
perlakuan yang tidak diskriminatif. Di sisi lain, pewajiban tes dan PHK bagi karyawan
karena status HIV/AIDS juga merupakan pelanggaran dari Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 68/MEN/IV/2004 tentang Penanggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja.

Tindakan diskriminatif yang juga sering dialami oleh ODHA adalah dijauhi oleh orang-
orang di sekitarnya maupun dalam konteks pengaksesan layanan kesehatan. Tenaga
kesehatan menempatkan mereka di ruangan khusus ODHA dengan tujuan agar
pasien ODHA tidak menularkan ke pasien lainnya. Hal ini dilakukan walaupun tidak
ada faktor risiko penularan HIV/AIDS, seperti misalnya terhadap ODHA yang dirawat
karena sakit panas. Pengucilan atau isolasi ini juga terjadi di rumah tahanan negara
(rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), dimana tahanan atau warga binaan
yang ketahuan positif HIV/AIDS akan ditempatkan di sel khusus agar tidak menularkan
ke yang lain.

Pengucilan ini sering kali dilakukan tanpa dasar. Dalam berbagai konteks, pengucilan
maupun isolasi tidak perlu dilakukan karena tidak ada risiko penularan yang terjadi.
Misalnya, ODHA yang dirawat karena sakit panas tidak perlu ditempatkan di ruangan
khusus. Pun ditempatkan di ruangan umum bersama dengan orang yang negatif
HIV/AIDS, penularan HIV/AIDS tetap tidak akan terjadi jika faktor risiko penularan
tidak ada. Faktor risiko penularan ini misalnya adalah penggunaan jarum suntik tidak
steril secara bergantian, penularan dari ibu ke anak, maupun hubungan seksual yang
tidak aman.

7. Pelaku Stigma dan Diskriminasi


Pihak yang paling banyak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berasal
dari lembaga negara, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Agama dan Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA). Selain itu, pejabat daerah serta penyedia layanan kesehatan juga
menjadi pihak yang paling banyak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA. Ironisnya, justru mereka adalah pelayan masyarakat yang seharusnya
mengedepankan asas non-diskriminasi dalam melaksanakan dan memberikan
pelayanannya.
Seperti contoh KPA yang dibentuk dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan
terkoordinasi. Hal tersebut nyatanya tidak lantas membuat KPA bersih sebagai pelaku
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Contoh lainnya adalah kewajiban pejabat
pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan masih belum
terpenuhi. Fasilitas layanan kesehatan yang ada belum ramah terhadap ODHA serta
perlakuan diskriminasi yang diterima dari tenaga kesehatan membuat mereka enggan
untuk mengakses layanan yang ada.
Fungsi legislatif yang direpresentasikan oleh dewan perwakilan rakyat (DPR) juga
turut melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Pembuatan kebijakan yang
dilakukan oleh DPR seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan ODHA di segala
bidang. Namun nyatanya hal tersebut masih jauh dari harapan. Masih banyak
peraturan-peraturan di daerah yang mendiskriminasi ODHA, seperti masih banyaknya
peraturan yang mewajibkan VCT.
8. Lingkungan Stigma dan Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi pada ODHA paling banyak terjadi di bidang kesehatan, yakni
sebanyak 56 dari 102 berita. Temuan ini tidak mengagetkan, mengingat HIV/AIDS
utamanya adalah persoalan kesehatan. Masalah kesehatan yang sering muncul
seperti kurangnya ketersediaan ARV dan klinik VCT, pasien ODHA diperlakukan
berbeda dan dianggap tidak setara dengan pasien lainnya, pewajiban tes HIV untuk
ibu hamil, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk penolakan yang sering dialami ODHA ketika ingin mengakses layanan
kesehatan menimbulkan suatu kondisi yang tidak kondusif karena mereka merasa
tidak nyaman. Hal tersebut akan berpotensi pada turunnya tingkat kesehatan ODHA
serta program-program pencegahan HIV/AIDS lainnya. Selain itu, terjadinya praktik
stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan menunjukkan bahwa hak atas
kesehatan ODHA belum terpenuhi seluruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam
Komentar Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), hak atas kesehatan terdiri dari 4
(empat) elemen dasar, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan, serta
kualitas.xi
Aspek berikutnya yang juga banyak terjadi praktek stigma dan diskriminasi adalah
aspek ketenagakerjaan. Dokumentasi kami menunjukkan terdapat 13 berita yang
berisi tentang stigma dan diskriminasi di aspek ketenagakerjaan. Hal ini termasuk,
misalnya pewajiban VCT untuk karyawan guna mengetahui status HIV mereka. Kami
mensinyalir rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS membuat
masyarakat, termasuk di lingkungan kerja, takut untuk berinteraksi dengan ODHA.
Oleh karena itu, kebanyakan dari pemberi kerja mewajibakan tes HIV untuk karyawan.
Selain itu, pandangan bahwa ODHA tidak bisa produktif dalam bekerja juga kami
sinyalir sebagai penyebab munculnya pewajiban tes HIV di lingkungan kerja. Pada
beberapa berita bahkan menyebutkan institusi negara akan menindak, bahkan
memberhentikan karyawannya yang ketahuan mengidap HIV/AIDS.
Di banyak bidang lain juga sebenarnya masalah HIV/AIDS selalu ada, akibat dari
kurangnya pemahaman masyarakat akan HIV/AIDS. Pun demikian dengan cara
pendekatan yang salah yang dilakukan oleh negara dalam rangka pencegahan dan
penanganan HIV/AIDS. Tumpang tindih peraturan, maladministrasi di lapangan,
layanan kesehatan yang masih jauh dari harapan serta tenaga kesehatan yang
diskriminatif masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini.
9. Stigma dan Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, namun juga
dilakukan oleh petugas kesehatan baik dokter dan perawat serta mahasiswa yang
perpendidikan tinggi juga ikut melakukan diskriminasi dan stigmatisasi. Di sisi lain para
petugas kesehatan baik dokter atau perawat yang dalam keseharianya sering
menangangani pengidap penyakit ini juga biasanya mendapatkan perlakuan
diskriminasi dan stigma oleh masyarakat, seperti contohnya jika sakit mereka
menghindari untuk terlihat berobat atau menolak untuk ditangani oleh dokter dan
petugas kesehatan yang biasa menangani pengidap HIV/AIDS.

Herek et al (2002) menemukan bahwa ekspresi nyata dari stigmatisasi HIV/ AIDS di
Amerika pada tahun 1999, 1 dari 5 orang dewasa yang disurvei mengatakan mereka
"takut" pada orang dengan AIDS. Satu dari 6 orang mengaku "jijik" berhubungan
dengan orang-orang dengan AIDS. Penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2000,
sebuah survei internet nasional terhadap lebih dari 5600 orang dewasa Amerika,
mengungkapkan temuan serupa. Kurang lebih 1 dari 5 orang responden setuju
dengan pernyataan bahwa orang-orang yang terkena AIDS melalui hubungan seks
atau penggunaan narkoba layak mendapatkan apa yang mereka derita sekarang.

Survei awal yang dilakukan melibatkan 10 orang mahasiswa FKM UMI dengan cara
wawancara didapatkan bahwa masih terdapat 4 orang diantara 10 orang yang
diwawancarai mengaku ‘takut’ bergaul dengan Odha dengan alasan khawatir jika
bergaul dengan mereka akan tertular. Saat ditanyakan, bagaimana sikap mereka jika
ada teman mereka yang menderita HIV, keempat orang tersebut memilih untuk
menjauhinya. Padahal para mahasiswa tersebut umumnya sudah mendapatkan
matakuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang juga membahas tentang cara
penularan virus HIV, namun mereka masih saja melakukan stigmatisasi terhadap
Odha.
10. Upaya mengurangi stigma
Stigma yang terkait dengan penyakitnya merupakan tantangan psikologis tersendiri
untuk Odha. Saat mereka diketahui mengidap HIV, perlahan tapi pasti satu persatu
teman-temannya menjauhi, bahkan tak jarang keluarganya pun menjauhi. Padahal,
disaat seperti ini Odha sangat membutuhkan dukungan penuh dari lingkungan
sosialnya, karena mereka mengalami tekanan psikologis yang cukup berat akibat
dinyatakan terinfeksi HIV.
Nasronuddin 2007, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar ACTH dan
kadar kortisol dalam tujuh hari pertama yang dipicu oleh stressor psikologis akibat
dinyatakan terinfeksi HIV, selain akibat stressor psikologis peningkatan setelah hari
ke tujuh terjadi akibat stressor biologis HIV, dari sini dapat dilihat bahwa efek dari
pernyataan diagnosis mengidap HIV terhadap seseorang sangat signifikan
meningkatkan tingkat stress, belum lagi menghadapi reaksi keluarga dan teman-
teman yang perlahan tapi pasti beranjak menjauh.
Dengan berusaha mencoba memahami pengalaman hidup yang dialami pengidap
HIV akan menyebabkan hasil psikologis yang positif untuk membantu meningkatkan
kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS (Treisman & Angelino, 2004). Memberikan
pengertian dan pengetahuan yang memadai kepada masyarakat terutama kepada
mahasiswa sebagai intelektual muda menjadi suatu hal yang sangat penting,
mahasiswa yang notabene kisaran usianya kurang lebih sama dengan rata-rata usia
odha tentunya akan lebih mudah mengerti dan tersentuh jika belajar dan bergaul
langsung dari odha tentang pengalaman pahitnya menghadapi stigmatisasi, dilain
pihak odha akan lebih merasa nyaman mengungkapkan statusnya kepada mereka
yang usianya kurang lebih sama dengan mereka.

Stigma dan diskriminasi biasanya terjadi akibat ketakutan yang berlebihan akan
tertular penyakit ini. Masalah lain yaitu penyakit ini dianggap sangat mematikan dan
belum ditemukan obatnya, serta anggapan bahwa penyakit tersebut hanya ditularkan
akibat dari perilaku menyimpang sehingga dianggap merupakan aib bagi pengidap
dan keluarganya. Padahal, jika benar-benar dipahami dan dimengerti cara
penularanya, sebenarnya penyakit ini dapat dicegah tanpa harus menjauhi apalagi
sampai melakukan stigma dan diskriminasi terhadap para pengidapnya. Dibutuhkan
berbagai penelitian aplikatif, konsisten agar terwujud peran serta berbagai pihak dalam
upaya menurunkan stigma dan diskriminasi yang dialami Odha, sehingga mereka mau
lebih terbuka mengenai penyakitnya yang makin memudahkan upaya pencegahan
penularan terselubung dan memudahkan odha mengakses pelayanan kesehatan yang
adekuat tanpa rasa takut akan menghadapi stigma dan diskriminasi.

11. Efek Sebelum dan Sesudah Stigma dan Diskriminasi Dihapus


Ketika stigma dan diskriminasi terjadi pada ODHA, maka penderitaan ODHA akan
semakin besar. Bahkan, dalam suatu penelitian yang melibatkan data dari 19
negara terungkap bahwa 1 dari 5 (20%) ODHA takut datang ke klinik karena
stigma dan diskriminasi yang mereka terima di dalam masyarakat. Ketika ODHA
menunggu sampai mereka jatuh ke dalam kondisi AIDS, maka pengobatan yang
mereka cari sering kali tidak membuahkan hasil yang memuaskan Bila stigma
dan diskriminasi ini dibiarkan terjadi, maka akan berakibat tertundanya
pengobatan kepada ODHA. Selain menghadapi ganasnya HIV, mereka harus
menghadapi berbagai penyakit ganas lainnya seperti tuberkulosis, kanker, dan
masih banyak lagi. Pada akhirnya, stigma dan diskriminasi akan membunuh
mereka secara perlahan.Ketika stigma dan diskriminasi berhasil dihilangkan pada
suatu klinik di Namibia, terjadi penurunan angka kematian penderita HIV sebesar
20%. Penurunan ini disebabkan timbulnya kesadaran dan adanya dukungan dari
masyarakat akan pentingnya pengobatan bagi para ODHA.
C. KONSEP DEPRSI
Pendekatan teori kognitif beranggapan bahwa depresi neurosa terjadi sebagai akibat
adanya negative cognition set (konstelasi depresi) sebagai suatu predisposisi dalam
pemunculan depresi pada individu, sehingga menimbulkan self esteem (penghargaan
diri) yang rendah yang mengakibatkan timbulnya anggapan yang salah, pesimis dalam
menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Keadaan ini membuat individu memiliki
harapan yang sangat terbatas terhadap kehidupan masa depannya. Jelas sekali bahwa
teori ini melibatkan terjadinya depresi terutama sebagai gangguan dalam proses berpikir
dan bukan sebagai gangguan kehidupan perasaan emosi. Gangguan dalam proses
berpikir (kognisi) ini berupa distorsi dalam mengkonseptualisasikan stimulus dan adanya
disfungsi skema/belief.
Arron T. Beck telah menawarkan penjelasan yang komprehensif mengenai depresi dari
sudut pandang kognitif, yang disebut dengan model kognitif depresi. Model kognitif
depresi Beck terdiri dari tiga konsep utama, yaitu:
1. Pandangan negatif tentang diri sendiri
Keyakinan diri bahwa penderita merasa tidak berharga, rusak, tidak mampu dan tidak
diharapkan. Seorang individu yang mengalami depresi akan menginterpretasikan
kejadian negatif disebabkan kegagalan dan ketidakmampuan diri.
2. Pandangan negatif tentang dunia
Menganggap dunia dan lingkungannya sebagai tidak peka, membuat frustasi, dan
banyak memuntut. Seorang individu yang depresi akan melihat dunia secara pesimis
dan sinis.
3. Pandangan negatif tentang masa depan
Menganggap masa depan sebagai sia-sia dan menyakini bahwa kejadian negatif akan
terus terjadi. Seorang individu yang mengalami depresi percaya bahwa ia tidak
berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki keadaan atau masa
depannya.
Menurut Beck yang dikutip oleh Rehm dan Carter (1990),19 depresi merupakan
gangguan pemikiran, dan bukan gangguan afeksi. Gejala-gejala afektif, motivasi, dan
perilaku disebabkan oleh pemikiran negatif orang depresif tersebut. Dengan kata lain,
depresi secara pokok dilihat sebagai penyimpangan atau gangguan dari proses berpikir,
yang disebut sebagai cognition distortion. Cognition distortion adalah kecenderungan
salah mengerti atau penyimpangan kejadian-kejadian penting di dalam cara yang negatif.
Berikut ini sejumlah bentuk cognition distortion atau distorsi-distorsi kognitif yang sering
ditemukan pada penderita depresi:
1. Abstraksi selektif; kecenderungan untuk menarik kesimpulan berdasarkan perincian
atau peristiwa yang terjadi dengan sendiri.
2. Generalisasi yang berlebihan (overgeneralisasi); kecenderungan untuk menganut
keyakinan-keyakinan ekstrim yang didasarkan pada peristiwa tertentu, dan
menerapkannya pada situasi yang berbeda.
3. Kesimpulan arbitrer (arbitrary inference); membuat kesimpulan dari tidak adanya bukti
yang relevan.
4. Personalisasi (personalization); kecenderungan untuk menghubungkan semua
peristiwa dengan diri sendiri, bahkan bila tidak ada hubungan sama sekali.
5. Berpikir dalam dikotomi (polarized thinking); kecenderungan untuk berpikir dengan
cara semua – atau- tidak sama (all – or – nothing) secara ekstrim atau secara hitam
putih.
6. Magnification/exaggeration (membesar-besarkan/berlebihan); pemikiran yang
berlebihan mengenai signifikansi peristiwa negatif, membesar-besarkan kegagalan
dan mengurangi sukses, terlalu memandang tinggi keterbatasan diri dan persoalan-
persoalan, memandang rendah kemampuan sendiri.

Gejala-gejala yang ditampakkan oleh penderita HIV dan AIDS yang mengalami depresi
akan sangat beragam dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Gejala-gejala
tersebut dipengaruhi oleh penyebab dan faktor pencetus dari terjadinya depresi.

Adanya kesalahan dalam pola berpikir penderita HIV dan AIDS dalam
menginterpretasikan sebuah fakta atau keadaan dirinya sekarang dan hanya berfokus
pada aspek-aspek negatif dari diri sendiri, harapan-harapan yang pesimistis dan putus
asa terhadap masa depannya sendiri tersebut akan memunculkan gejala-gejala depresi
seperti pesimistis terhadap hidup yang akan dijalani, stres terhadap keadaan dirinya,
cemas, takut mati, keianginan kuat untuk mati, mengkritik diri, tidak bersemangat dalam
menyeselaikan tugas, cenderung menghindari pergaulan sosial, perasaan rendah diri,
merasa tidak mampu, tidak percaya diri, dan merasa tidak berani.

Gejala yang dimunculkan penderita HIV dan AIDS tersebut sudah sejalan dengan kriteria
diagnostik DSM IV yang harus muncul pada individu untuk menegakkan diagnosa
depresi. Kriteria diagnostik tersebut, yaitu mood depresi atau suasana depresi yang
depresif, menurunnya minat atau kesenangan, rasa tidak berharga atau bersalah
berlebihan dan pikiran akan kematian.23

Menurut Hawari depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam
perasaan (afektif, mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidaan gairah
hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, berat badan menurun, perasaan bersalah,
konsentrasi dan daya ingat yang menurun.

Gejala-gejala depresi tersebut didapat pertama kali ketika penderita dinyatakan


mengidap HIV dan AIDS. Dalam kenyataanya, tidaklah mudah membedakan antara
gejala penyakit fisik karena HIV dan AIDS dengan depresi murni. Terkadang bisa saja
gejala-gejala yang muncul adalah sama, sehingga tidak mudah membedakan mana
gejala yang murni depresi dan mana yang diakibatkan penyakit fisik. Menurut Bastaman
untuk memudahkan mengenali depresi maka hal yang bisa dilihat antara lain keluhan
yang dikemukan penderita sangat berlebihan, sehingga tidak sesuai dengan penyakit
fisiknya, hasil pemberian obat yang untuk penyakit fisik hasilnya tidak memuaskan, dan
keluhan yang dikemukakan penderita tidak spesifik atau berpindah-pindah tempat
keluhannya. Kalau demikian adanya, maka diagnosa depresi dapat ditegakkan.

Respon-respon yang ditampilkan oleh penderita HIV dan AIDS yang mengalami depresi
akan sangat beragam. Setiap penderita akan berbeda-beda dalam meresponnya.
Respon tersebut sangat dipengaruhi oleh perjalanan penyakit HIV dan AIDS itu sendiri
dan perkembangan psikologis dari penderita.

Ketika pertama kali di vonis petugas kesehatan terkena HIV, penderita merasa tidak
percaya, di dalam diri penderita muncul pertanyaan mengapa harus dirinya yang terkena,
dan kenapa tidak orang lain saja yang terkena. Penederita merasa diisolasi oleh
lingkungan sekitarnya dan keluarganya sendiri serta penderita HIV dan AIDS
menganggap bahwa HIV yang di deritanya tersebut sebagai sebuah hukuman dari
perbuatan yang telah dilakukannya di masa yang lampau.

Setelah berjalannya waktu, penderita HIV dan AIDS mulai dapat menerima kenyataan
yang terjadi pada dirinya sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Penderita HIV dan
AIDS mulai pasrah dan sudah siap jika harus dipanggil-Nya karena penderita menggap
dirinya sudah berusaha yang terbaik dan memandang kejadian yang menimpanya ini
pasti sudah ditakdirkan oleh-Nya. Meskipun proses penerimaan ini sudah terjadi namun
gejala-gejala depresi masih tetap ada di dalam diri penderita HIV dan AIDS.

Muninjaya25 menjelaskan bahwa tekanan batin atau beban psikologis yang disandang
penderita HIV dan AIDS mungkin akan menimbulkan dua reaksi pada diri penderita HIV
dan AIDS. Penderita HIV dan AIDS mungkin akan pasrah, bertobat atau menerimanya
sebagai sebuah cobaan hidup sambil berharap akan datangnya belas kasihan orang lain
dalam bentuk bantuan sosial kemanusiaan. Atau sebaliknya yaitu akan tumbuh sikap
negatif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat disekitarnya. Sikap
negatif terhadap diri sendiri misalnya penderita HIV dan AIDS mungkin akan mencoba
bunuh diri dan kalau ini jadi pilihannya maka rantai penularan HIV dan AIDS akan
terputus. Namun kalau penderita HIV dan AIDS memilih sikap negatif terhadap
masyarakat di sekitarnya dengan sengaja menularkan kembali virus HIV kepada orang
lain, akan bertambah beratlah masalah HIV dan AIDS di masyarakat. Dapat dibayangkan
akibatnya jika virus HIV menyebar menginfeksi tidak hanya satu atau dua orang tapi
ratusan bahkan ribuan orang.
Menurut teori yang dikembangkan oleh Dr. Elizabeth Kubler-Ross,26 secara umum
terdapat 5 (lima) tahap atau reaksi yang akan dilewati oleh penderita HIV dan AIDS
dalam menjalani hidupnya bersama HIV dan AIDS, yaitu (1) Tahap denial, dengan
mengingkari kematian dengan mengisolasi perasaan yang berhubungan dengan
kematian. (2) Tahap angry, dengan melakukan kemarahan yang ditujukan pada
kenyataan bahwa dirinyalah yang harus meninggal sedangkan orang lain tidak
meninggal. (3) Tahap bargaining, dengan berusaha menawar untuk mendapatkan
pengobatan dan mencoba untuk menunda hal-hal yang tidak terelakkan. (4) Tahap
depression, dengan bereaksi terhadap berbagai macam kehilangan, persiapan emosional
untuk perpisahan. (5) Tahap acceptance, dengan mampu menerima kenyataan tentang
kematiannya dan berusaha menyesuaikan diri terhadap kehilangan dan kematian.

Apabila dideskripsikan tentang respon penderita HIV dan AIDS, maka tergambarkan
bahwa ketika pertama kali divonis mengidap HIV dan AIDS penderita langsung
mengalami penolakan dengan tidak mempercayai diagnosa yang ditegakkan (denial).
Selanjutnya penderita mengalami kemarahan (angry) yang diwujudkan dengan perasaan
marah terhadap orang lain dan diri sendiri serta frustasi dan dilanjutkan dengan depresi
(depression) dengan tanda-tanda klinis seperti menarik diri, sedih, suasana hati muram,
merasa bersalah, tidak berdaya, dan ide bunuh diri. Dan setelah menjalani proses
pengobatan dan dukungan akhirnya penderita dapat menerima dan menyesauikan diri
dengan keadaan yang terjadi pada dirinya sebagai sebuah kenyataan hidup yang harus
dijalani (acceptance).

Bukan berarti bahwa semua penderita akan mengalami semua tahapan reaksi ini dan
bukan berarti juga tahapan tersebut terjadi secara berurutan. Dalam kenyataannya, tidak
jarang seorang penderita yang sudah dapat menerima status HIV dan AIDS nya akan
kembali kedalam tahap berduka ketika mendapati infeksi opurtunistik pertamanya.
Menurut Kapplan,27 faktor lain yang berhubungan dengan sampainya penderita pada
tahap berduka dan acceptance ini adalah tahap perkembangan psikologis penderita itu
sendiri. Penderita yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda, yaitu mereka
yang mampu bertahan hidup dan berusaha keras untuk mengembangkan karirnya,
memiliki hubungan positif dengan orang sekitarnya dan keluarga, mempunyai pandangan
bahwa kematian akan terjadi dengan segera di masa yang akan datang. Kegusaran dan
kemarahan tersebut dapat dipahami jika dipandang dari sudut pandang penderita sebab
penderita yang baru mulai melihat buah dari kerja kerasnya tiba-tiba saja telah melihat
orang-orang di sekitarnya akan mati atau telah mati, bahkan penderita sendiri akan mati
di masa yang akan datang karena HIV dan AIDS.
Sebuah model teoritis yang dikembangkan oleh Bernard Weiner28 menunjukkan bahwa
kemarahan pada penderita HIV dan AIDS dipengaruhi oleh serangkaian proses.
Penderita menjadi marah jika mereka menghadapi pengalaman yang tidak
menyenangkan (penderita divonis mengidap HIV dan AIDS) dan penderita mengkaitkan
keadaan tersebut dengan suatu penyebab eksternal (sesuatu di luar diri mereka sendiri)
dan bahwa vonis HIV dan AIDS tersebut disebabkan oleh pihak lain (pasangan seks) dan
seharusnya pasangan seks tersebut dapat bertanggung jawab atas kejadian itu dan
dapat mencegah agar penderita tidak terkena HIV dan AIDS.

Setelah berjalannya waktu, tampak bahwa penderita dapat menderita keadaan dirinya
bahwa dia sekarang mengidap HIV dan AIDS, penderita bersikap pasrah dan siap untuk
dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa, penderita merasa apa yang sudah dilakukannya
su

dah yang terbaik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sekitarnya.

Menerima situasi seperti apa adanya dan menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat
dilakukan untuk mengubahnya merupakan sebuah kemampuan untuk menerima.
Keadaan ini tidaklah berarti bahwa penderita tidak lagi mampu untuk melakukan
pemecahan masalah, melainkan merupakan sebuah keputusan dengan penuh
kesadaran untuk menerima keadaan seperti apa adanya. Jika kematian tidak dapat lagi
dihindari adalah penting untuk menerima siatuasi agar dapat melakukan pelepasan dan
pengurangan stres.

Menurut pandangan Logoterapi yang dikembangkan oleh Fiktor Frankl,29 proses


penerimaan diri mengandung tiga komponen pengembangan diri, yaitu: 1) komponen
kognitif atau pengalaman diri, yaitu mengenali secara obyektif kekuatan-kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, baik yang masih potensial maupun yang sudah aktual, dan
selanjutnya kekuatan tersebut dikembangkan dan kelemahan dikurangi. 2) Komponen
afeksi atau pendalaman dan penerapan tri nilai, berusaha untuk memahami dan
memenuhi tiga macam nilai yang dianggap merupakan sumber makna hidup, meliputi
nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. 3) komponen konatif atau
bertindak positif, yaitu mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan
tindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat.

Apabila dikaitkan dengan proses penerimaan diri dari Logoterapi, terlihat bahwa
penderita yang memiliki penerimaan diri yang baik maka akan memiliki pemahaman
bahwa untuk mampu menerima sindroma HIV dan AIDS yang dialaminya sekarang dan
penderita dapat mengambil hikmah atas peristiwa (terkena HIV dan AIDS) yang
mengenai dirinya, bahwa sesuatu yang ada di dunia ini semuanya sudah ditentukan oleh
Tuhan Yang Maha Esa (komponen kognitif/pemahaman diri), pasrah dan sudah siap jika
harus dipanggil-Nya (komponen afeksi/pendalaman dan penerapan tri nilai) dan
melakukan aktivitas-aktivitas bermakna bagi dirinya dan lingkungannya seperti mengikuti
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan dukungan sosial sesama penderita HIV dan AIDS
(komponen konatif/bertindak positif). Dengan komponen-komponen tersebut, penderita
dapat menerima ketika HIV dan AIDS menimpanya serta menjadikan hidup yang
dilewatinya menjadi penuh makna.

Namun tidak jarang ditemukan bahwa terdapat penderita HIV dan AIDS yang meskipun
mengalami gangguan psikologis seperti ketakutan dan kecemasan di awal diagnosa HIV,
sering dering dengan penerimaan diri dan penyesuaian yang dilakukan, mereka dapat
kembali merasakan kebahagiaan. Menurut Schimoff,30 energi negatif yang dirasakan
dapat membuat individu mempertanyakan menegai kualitas kehidupannya, karena
mereka tidak ingin terus menerus berada dalam situasi negatif. Hal ini juga sejalan
dengan pendapat Frank31 yang menyatakan bahwa indivdu memiliki kekebasan untuk
memilih tindakan dalam sitausi apapun dalam hidupnya, termasuk di dalamnya adalah
kekebesan untuk menerima atau tidak menerima sitausi.

Salah satu komponen dari sikap penerimaan diri penderita terhadap HIV dan AIDS adalah
dengan bersikap positif dengan melakukan aktivitas, kegiatan, perilaku atau tindakan nyata
yang bermakna dan bermanfaat bagi diri penderita sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan salah satu upaya atau cara yang
ditempuh oleh penderita agar depresi yang dialaminya dapat berkurang. Aktivitas atau
kegiatan yang dilakukan oleh penderita untuk mengurangi depresinya tersebut bermacam-
macam sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing penderita. Umumnya
penanganan depresi dapat dilakukan melalui penanganan medis dan dapat pula dengan
teknik non medis. Salah satu teknik non medis yang populer dan dapat dilakukan oleh
penderita HIV dan AIDS secara aktif adalah melalui kelompok dukungan.

Ketika mengalami depresi, penderita akan menerjunkan diri dengan aktivitas atau kegiatan
lapangan dengan membantu teman-teman senasib yang juga mengidap HIV dan AIDS.
Dengan melakukan hal tersebut, penderita akan melupakan keadaan yang terjadi pada
dirinya, dan penderita akan berbagi pengalaman dan perasaan kepada orang lain. Aktivitas
atau kegiatan yang dilakukan tersebut dilakukan dengan rekan-rekan lain dalam sebuah tim.

Hal ini sejalan dengan pendapat Murni,32 menyatakan bahwa HIV dan AIDS akan
memunculkan berbagai masalah pribadi dan pertanyaan yang sulit terjawab, seperti soal
kesehatan, keuangan, kematian, perkawinan, seks, anak, dan lain-lain. Prasangka buruk
dan diskriminasi dari orang lain dapat menimbulkan tekanan psikologis tersendiri. Karena
berbagai alasan itu, banyak penderita HIV dan AIDS yang merasakan keinginan untuk kenal
orang lain yang juga HIV positif atau AIDS. Ada keinginan untuk berbagai pengalaman,
mengurangi rasa terkucil, dan mencari dukungan emosional. Banyak penderita HIV dan
AIDS yang kemudian membentuk dan mengelola kelompok sendiri. Peranan utama
kelompok dukungan tersebut adalah menciptakan suasana nayaman dan terjaga
kerahasiaannya, sehingga penderita HIV dan AIDS mendapatkan kesempatan untuk
berkenalan, bicara secara terbuka, didengarkan dan mendapatkan dukungan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Li Li, dkk (2009)33 menyatakan bahwa stigma dari
masyarakat dapat menimbulkan rasa malu dari penderita HIV dan AIDS yang terkait dengan
depresi atau dengan kata lain, kurangnya dukungan dari masyarakat dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya depresi pada penderita HIV dan AIDS. Kurangnya dukungan sosial
juga membuat keputusasaan penderita HIV dan AIDS akan bertahan lama dan semakin
parah

BAB III
RENCANA KEGIATAN
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dapertemen kesehatan RI. 2007 . Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang dewasa dan Remaja Edisi Kedua, Jakarta
Dinas kesehatan kota Bukittinggi 2016.Gambaran kasus HIV dan AIDS di Sumatra
Barat Sampai dengan 2016.
Dirjen. PP & PL. Kemenkes. RI. (2012). Laporan Kasus Hiv-Aids Di Indonesia
Triwulan IV, bulan Januari sampai bulan Desember tahun 2011
Drew , W. Lawrence . 2001. HIV & AIDS Retrovirus. USA: The McGraw-Hill
Companies. Jakarta, Gramedia
Muma, Richard D. (1997). HIV : Manual untuk tenaga kesehatan. Jakarta : EGC
Nasronudin . 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Mollekuler, Klinis dan Sosial.
Surabaya
Pohan H.T .2009. Infeksi dibalik ancaman HIV . Jakarta. Farmacia
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terap Antiretroviral. Jakarta
KPA. (2010). Pedoman Program Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual.
Jakarta
Yayasan Spiritia. (2009). Dasar AIDS. Jakarta
LAMPIRAN

PENGKAJIAN AWAL MEDIS & KEPERAWATAN Nama :


RAWAT INAP No. RM :
(Dilengkapi dalam 24 jam pertama pasien masuk ruang rawat) Tgl.Lahir : Laki-laki Perempuan
Tgl : Jam :
Agama : Gol. Darah : Pendidikan :
Sumber data : Pasien Keluarga Lainnya..................
Rujukan : Tidak Ya, RS.......... Puskesmas Dokter
Diagnosa Rujukan......................................................................................
1. KELUHAN UTAMA :
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat penyakit lalu : Tidak Ya, Penyakit..................................................................
 Pernah dirawat : Tidak Ya, Diagnosa................. Kapan........... Di..........
 Pernah di operasi : Tidak Ya, Jenis operasi................. Kapan :
 Masih dalam pengobatan : Tidak Ya, Obat..............................................................
b. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak Ya ( Hipertensi, Jantung, Paru, DM, Ginjal, Lainnya............
c. Ketergantungan terhadap :
Tidak Ya, Jika ya: Obat-obatan Rokok Alkohol Lainnya...........................
d. Riwayat pekerjaan (apakah berhubungan dengan zat-zat berbahaya)
Tidak Ya, Sebutkan..........................................................................................................
e. Riwayat alergi : Tidak Ya Obat Makanan Lainnya..................................
3. PEMERIKSAAN FISIK
TD : ....... mmHg Nadi : .......x/menit P : ....... Suhu : ......C
a. Gastrointestinal :
 Keluhan : Tidak Ya, Jika ya, sebutkan..........................................................................
 Pembatasan makanan, sebutkan............................................................................................
 Gigi palsu : Gigi atas Gigi bawah
 Mual : Tidak Ya Muntah Tidak Ya BB.........kg TB..............cm
b. Neurosemsori :
 Pendengaran : Normal Tidak normal, sebutkan.....................................................
 Penglihatan : Normal Tidak normal, sebutkan......................................................
c. Eliminasi
 Defekasi : Normal Tidak normal, sebutkan........................................................
 Miksi : Normal Tidak normal, sebutkan........................................................
d. Kulit dan kelamin
 Keadaan kulit : Normal Tidak normal, sebutkan.......................................................
 Skor Norton................../ 20 Resiko Dekubitus Tidak Ya
e. Lokasi luka / Lesi lain
Pemeriksaan fisik lain terkait penyakit pasien :
Terlampir form pemeriksaan kelompok khusus : Tidak Ya
4. RIWAYAT PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL
a. Status Psikologi
Cemas Takut Marah Sedih Kecenderungan Bunuh Diri
Lainnya, sebutkan......................................................................................................................
b. Status Mental
Sadar dan orientasi baik
Ada masalah perilaku, sebutkan...............................................................................................
Perilaku kekerasan yang dialami pasien sebelumnya...............................................................
c. Status Sosial
Hubungan pasien dengan anggota keluarga : Baik Tidak baik
Tempat tinggal : Rumah Apartemen Panti Lainnya..............................................
Kerabat terdekat yang dapat dihubungi :
Nama : ............................ Hubungan : ............................... Telepon : ..........................................
d. Status Spiritual
Kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan : ...............................................................................
Kegiatan spiritual yang dibutuhkan selama perawatan : .............................................................
5. KEBUTUHAN EDUKASI
a. Nilai dan keyakinan
tidak ya, jika ya sebutkan.........................................................
b. Berbicara
normal serangan awal gangguan bicara sejak..................................................................
c. bahasa sehari-hari
indonesia aktif/pasif Daerah, jelaskan......................
inggris aktif/ pasif lain-lain....................................
d. gangguan pendengaran/isyarat
ya tidak
e. Terdapat hambatan dalam pembelajaran :
Tidak Ya, Jika ya : Pendengaran Penglihatan Kognitif Fisik
Budaya Emosi Bahasa Lainnya ..................
Dibutuhkan penerjemah : Tidak Ya, sebutkan..................................................................
Kebutuhan edukasi (pilih topik edukasi pada kotak yang tersedia)
Diagnosa dan manajemen penyakit Obat-obatan / Terapi Diet dan nutrisi
Tindakan keperawatan Rehabilitasi Manajemen nyeri
Lain-lain, sebutkan.....................................................................................................................
f. Hambatan emosianal
ya tidak
g. Hambatan motivasi
ya tidak
h. Kemampuan membaca
ya tidak
i. Cara belajar yang disukai
diskusi audio-visual/gambar menulis membaca
mendengar diskusi lain-lain..............................................................................
j. Kesediaanpsien/keluarga menerima edukasi
ya Tidak
k. Bersedia untuk dikunjungi : Tidak Ya Keluarga Kerabat Rohaniawan
6. RISIKO CEDERA / JATUH (Isi formulir monitoring pencegahan jatuh)
Tidak Ya, Jika ya, gelang risiko jatuh warna kuning harus dipasang
7. STATUS FUNGSIONAL ( Isi formulir Barthel Index)
Aktivitas dan mobilisasi : Mandiri Perlu bantuan, sebutkan..........................................
Alat bantu jalan, sebutkan...................................................................................................................
Bila terdapat gangguan fungsional, pasien dikonsultasikan ke Rahabilitasi Medis melalui DPJP
8. SKALA NYERI

Kesediaan Menerima Informasi Ya Tdk


Nyeri : Tidak Ya

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1-3 : Nyeri ringan, analgetik oral


4-7 : Nyeri sedang, perlu analgetij injeksi
8-10 : Nyeri berat, konsul Tim Nyeri
Nyeri kronis Lokasi : ........... Frekuensi : ........... Durasi : ..........

Nyeri akut Lokasi : ............ Frekuensi : ........... Durasi : ..........

Skor nyeri (0-10) : .....................

Nyeri hilang

Minum obat Istirahat Mendengar musik Berubah posisi tidur

Lain-lain sebutkan.................................................

9. NUTRISI

SKRINNING GIZI (Berdasarkan Malnutrition Screening Tool / MST)

(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, total skor adalah jumlah skor yang dilingkari)

N Parameter Skor
o
1. Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang tidak diinginkan dalam 6 bulan
terakhir?
a. Tidak penurunan berat badan 0
b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju lebih longgar 2
c. Jika ya, berapa penurunan berat badan tersebut
1-5 kg 1
6-10 kg 2
11-15 kg 3
>15 kg 4
Tidak yakin penurunannya 2
2. Apakah asupan makan berkurang karena berkurangnya nafsu makan?
a. Tidak 0
b. Ya 1
+
Total skor
3. Pasien dengan diagnosa khusus : Tidak Ya ( DM Ginjal Hati Jantung
Paru Stroke Kanker Penurunan Imunitas Geriatri Lain-lain....................)
Bila skor ≥ 2 dan atau pasien dengan diagnosis / kondisi khusus dilakukan pengkajian lanjut
oleh Tim Terapi Gizi

Sudah dilaporkan ke Tim Terapi Gizi : Tidak Ya, tanggal & jam................................................

10.DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN PRIORITAS

NO MASALAH KEPERAWATAN TUJUAN TERUKUR

Disusun Rencana Keperawatan


Tanggal..........Jam............ Tanggal............Jam....................
Perawat Yang Melakukan Pengkajian Perawat Yang Melakukan Pengkajian

(........................................................) (.........................................................)

CONTOH KASUS
LEAFLET/POSTER

Anda mungkin juga menyukai