OLEH
MIFTAH IRFINA
193310785
TAHUN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jumlah pasien HIV di Indonesia terus bertambah. Total jumlah pasien HIV/AIDS
yang dilaporkan sebanyak 4.159 orang (Pelita Ilmu, 2003). Namun dari Badan Narkotika
Nasional memperkirakan pada 2002 ada 110.000 orang mengidap HIV positif, dan yang
lebih mengejutkan lagi mereka memperkirakan pada 2005 terdapat 570.000 pengguna
narkoba suntik di mana 80% dari mereka diperkirakan HIV positif. Hal ini memperjelas
perkiraan-perkiraan yang telah dilansir pada 2 tahun belakangan ini bahwa penderita HIV
karena jarum suntik hampir menduduki posisi teratas (DepKes, 2005)
Anggota keluarga merasakan ada dua hal lain yang oleh mereka dirasakan sebagai
suatu kebutuhan adalah pengetahuan tentang apa HIV/AIDS beserta cara penularannya
dan tanda dan gejala dari HIV/ AIDS. Hal ini terjadi lebih mungkin disebabkan masih
terbatasnya informasi seputar HIV/AIDS dan cara pencegahannya yang ada di
masyarakat. Oleh sebab itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai asuhan
keperawatan pasien HIV-AIDS pada keluarga
B. Rumusan masalah
a. Bagaimana asuhan keperawatan HIV-AIDS pada keluarga
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui asuhan keperawatan HIV-AIDS pada keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan penyakit atau
sindroma yang dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh seseorang menjadi lemah
akibat terserang virus HIV. Daili dkk, 2003; Hutapea, 2011; Wartono dkk, 2000
menyatakan bahwa HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan salah satu virus
yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan
tubuh. Pada dasarnya, virus HIV hanya dapat ditemukan dalam cairan tubuh seperti pada
darah, air mani, cairan vagina dan cairan leher rahim serta air susu ibu (Murni dkk., 2009;
Wartono dkk., 2000).
B. Etiologi
Penyebab seseorang terinfeksi HIV, umumnya disebabkan oleh adanya perilaku
beresiko seperti hubungan seksual dengan penderita HIV/AIDS, ibu pada bayinya ketika
proses persalinan maupun menyusui, tranfusi darah dengan penderita HIV/AIDS,
penggunakan alat kesehatan yang tidak steril dan penggunaan jarum suntik yang
bergantian (Nursalam & Kurniawati, 2007; UNICEF, 2009).
Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut
virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III / HTLVIII)
atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus (Price &
Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi berdasarkan
susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya
memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang
paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana 12 sebanyak 90% kejadian infeksi
HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
berat menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
C. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya (Price &
Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis
sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan
tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel
dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks
uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit
itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut
atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan
peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun
sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah)
akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan
jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi 13 oportunistik, berat badan
turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan
ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun
(Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat
dilihat di bagan berikut:
D. Tanda dan gejala
Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi
klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling
sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang
terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma
limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah,
karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks,
dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010).
Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus.
Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai
dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini
hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB)
karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain
kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi opurtunistik yang disebabkan oleh
virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi
(Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014).
E. Pemeriksaan diagnostic
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
ELISA
Western blot
P24 antigen test
Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
Hematokrit
LED
CD4 limfosit
Rasio CD4/CD limfosit
Serum mikroglobulin B2
Hemoglobulin
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat
antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida
yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA
menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA
dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus
yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk., 2008). Melihat hal tersebut, tentunya
pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk
memutus transmisi HIV (Permenkes RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan
pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010).
Dalam pencegahan dan perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu
dilakukan secara optimal.
Tingkat pencegahan Jenis intevensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi
pada HIV/AIDS
Pencegahan primer Modifikasi Mencegah atau 1) Peningkatan
determinan /faktor menunda penyakit kesehatan dengan
risiko/kausa penyakit, pendidikan kesehatan
Terapeutik
Edukasi
Anjurkan menjalin hubungan yang memiliki kepentingan dan tujuan sama
Anjurkan penggunaan sumber spiritual, jika perlu
Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Anjurkan keluarga terlibat Anjurkan membuat tujuan yang lebih spesifik
Ajarkan cara memecahkan masalah secara konstruktif
Latih penggunaan teknik relaksasi
Latih keterampilan sosial, sesuai kebutuhan Latih mengembangkan penilaian
objektif
2. Gangguan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan anggota keluarga
Intervensi : Dukungan koping keluarga
Observasi
Identifikasi respons emosional terhadap kondisi saat ini
Identifikasi beban prognosis secara psikologis
Identifikasi pemahaman tentang keputusan perawatan setelah pulang
Identifikasi kesesuaian antara harapan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan
Terapeutik
Dengarkan masalah, perasaan, dan pertanyaan keluarga
Terima nilai-nilai keluarga dengan cara yang tidak menghakimi
Diskusikan rencana medis dan perawatan
Fasilitasi pengungkapan perasaan antara pasien dan keluarga atau antar
anggota keluarga
Fasilitasi anggota keluarga melalui proses kematian dan berduka, jika perlu
Bersikap sebagai pengganti keluarga untuk menenangkan pasien dan/atau jika
Fasilitasi anggota keluarga dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik
nilai Fasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (mis. tempat tinggal,
makanan, pakaian)
Fasilitasi memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan peralatan yang
diperlukan untuk mempertahankan keputusan perawatan pasien
Edukasi
Informasikan kemajuan pasien secara berkala
Informasikan fasilitas perawatan kesehatan yang tersedia
Kolaborasi
Rujuk untuk terapi keluarga, jika perlu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perawat dan keluarga pasien mempersepsikan dirinya membutuhkan pengetahuan
dan keterampilan tertentu untuk dapat secara optimal merawat pasien ketika pasien
berada di rumah sakit dan di rumah. Ada persamaan persepsi antara perawat dan keluarga
pasien di mana mereka sama-sama membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tentang
universal precaution dan symptom management. Hal lain yang teridentifikasi dari
perawat adalah bahwa mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tentang
konseling, ARV, dukungan mental, dan penanganan jika terpapar HIV. Kebutuhan ini
dirasakan oleh perawat dimungkinkan terjadi akibat permasalahan yang muncul seputar
area tersebut. Sehingga akan sangat positif bagi perawat maupun pasiennya apabila
perawatnya diberikan penambahan kompetensi atau keahlian tersebut.
Anggota keluarga merasakan ada dua hal lain yang oleh mereka dirasakan sebagai
suatu kebutuhan adalah pengetahuan tentang apa HIV/AIDS beserta cara penularannya
dan tanda dan gejala dari HIV/ AIDS. Hal ini terjadi lebih mungkin disebabkan masih
terbatasnya informasi seputar HIV/AIDS dan cara pencegahannya yang ada di
masyarakat. Apabila kebutuhan perawat dan keluarga pasien tersebut dapat dipenuhi,
sangat mungkin angka kegagalan dalam proses terapi dan perawatan pasien HIV/AIDS
akan menurun (HH).
B. Daftar pustaka
Waluyo, A., Sukmarini, L., & Rosakawati, R. (2014). Persepsi Perawat Dan Keluarga
Pasien Tentang Pengetahuan Yang Diperlukan Untuk Merawat Odha Di Rumah
Sakit Dan Di Rumah. Jurnal Keperawatan Indonesia, 10(1), 16–23.
https://doi.org/10.7454/jki.v10i1.168