Disusun Oleh :
Kelompok : 2-MPT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
i
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................................................ i
A. PENDAHULUAN HIV/AIDS............................................................................................. ii
EPIDEMIOLOGI....................................................................................................................... 1
PATOGENESIS......................................................................................................................... 3
FAKTOR RISIKO DAN PREDISPOSISI................................................................................. 4
DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS........................................................................... 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................................... 6
STIGMA DI MASYARAKAT.................................................................................................. 8
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PEMERIKSAAN/TES PADA SUSPEK HIV/AIDS. 10
B. TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI...................... 12
C. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS................................................................................... 28
D. PENCEGAHAN.................................................................................................................. 28
E. PENUTUP........................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 32
ii
A. PENDAHULUAN
HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data
dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000
orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017
secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global diperkirakan
terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang
terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV
positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV
(WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada
remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang
menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14%
sejak tahun 2010. Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS
(UNAIDS, 2017).
Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Kemenkes RI menyatakan bahwa jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus HIV di Indonesia pada tahun
2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 48.300
kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 10.146 kasus dan
data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus. Presentase infeksi HIV
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,2%), diikuti kelompok
umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun (7,6%), kelompok umur 15-19
tahun sebesar 4%, dan umur 15 tahun sebesar 2.5%. kejadian HIV mengalami
peningkatan sementara untuk kejadian AIDS mengalami penurunan. Adanya
penurunan tersebut bukan berarti HIV dan AIDS merupakan penyakit yang tidak
berbahaya lagi. Mengingat dalam kasus ini berlaku Teori Ice Berg atau disebut juga
Teori Gunung Es, artinya bahwa angka-angka yang tersaji dari sumber adalah 25%
dari fakta yang ada dan 75% lainnya tersembunyi karena berbagai macam faktor.
(Dirjen P2P Kemenkes RI, 2017)
EPIDEMIOLOGI
1
Sindrom AIDS pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat pada tahun 1981.
Sejak saat itu jumlah Negara yang melaporkan kasus AIDS meningkat yaitu 8 negara
pada tahun 1981 ada 53 negara, dan 153 pada tahun 1996, begitu pula halnya dengan
jumlah kasus AIDS meningkat cepat, pada tahun 1981 sebanyak 185 kasus menjadi
237.100 kasus pada tahun 1990 dan tahun 2013 sebanyak 35,3 juta kasus.
Menurut para ahli epidemiologi Internasional, di Amerika Serikat dan Eropa
bagian Utara epidemi terutama terdapat pada pria yang berhubungan seksual dengan
pria, sementara di Eropa bagian Selatan dan Timur, Vietnam, Malaysia, India Timur
Laut, dan Cina insidensi tertinggi adalah pada pengguna obat suntik. Di Afrika,
Amerika Selatan dan sebagian besar Negara di Asia Tenggara jalur penularan yang
dominan adalah secara heteroseksual dan vertical.
Di Indonesia kajian tentang kecenderungan epidemi HIV/AIDS
memproyeksikan pada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka
pada tahun 2012 jumlah kasus HIV/ AIDS ada 39 ribu jiwa, sementara itu 3.541 kasus
baru muncul pada Januari- September 2012, dengan kematian 100.000 orang dan pada
tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari
sub- populasi berperilaku berisiko kepada istri atau pasangannya akan terus berlanjut.
Di Timor Leste kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 2003,
dengan total kumulatif 235 kasus positif HIV, kasus tersebut dilaporkan kepada
bagian program Surveilans Nasional pada Desember 2011, di antaranya 51% terjadi
pada umur antara 15-49 tahun dan 8% pada anak-anak dibawah umur 5 tahun, di
antara kasus yang dilaporkan 43% positif HIV pada laki-laki sedangkan pada wanita
57%, hampir semua yang ditemukan hidup dengan HIV berada di daerah perkotaan
terutama di Ibu kota Dili.
Pada epidemiologi AIDS akan diuraikan mengenai faktor agent, faktor host dan faktor
environment.
1. Penyebab penyakit (Agent)
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk golongan retrovirus yang
muda mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat membunuh
virus tersebut. Virus HIV sangat lemah dan muda mati di luar tubuh. HIV
termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.
2. Tuan Rumah (Host)
2
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika, Eropa, Afrika
maupun di Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 15-
45 tahun, mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan
seksual. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun
heteroseksual merupakan pola transmisi utama.
PATOGENESIS
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit
pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cell (APC) ke kelenjar
getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening
dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang
3
mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14
hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah
sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan
sel limfosit CD8+. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel
limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV
berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif tabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor
yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan
kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan
heterogenitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun
secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level ‘steady-state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktivitas
netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan
virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan
adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya,
akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai
antibodi tidak dapat terjadi.
Orang yang melakukan hubungan intim tanpa kondom, baik hubungan sesama
jenis maupun heteroseksual.
Orang yang sering membuat tato atau melakukan tindik.
Orang yang terkena infeksi penyakit seksual lain.
Pengguna narkotika suntik.
Orang yang berhubungan intim dengan pengguna narkotika suntik.
4
a. Infeksi HIV
Diagnosis laboratorium infeksi HIV tergantung pada penemuan antibodi anti HIV dan
deteksi HIV atau salah satu komponennya. Ditemukannya anti bodi HIV dengan
pemeriksaan ELISA perlu di konfirmasikan dengan western immunoblot. Tes HIV
Elisa (+) sebanyak tiga kali dengan reagen yang berlainan merek menunjukan pasien
positif mengidap HIV.
Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala I biasanya
asimtomatik ditandai dengan aktivitas yang masih normal disertai persistent
generalized lymph adenopathy (PGL) atau pembesaran getah bening.
2. Stadium Dua
Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala II ditandai dengan
penurunan berat badan (BB) < 10% yang didak dapat dijelaskan. Selain itu juga
terjadi infeksi saluran pernafasan yang berulang-ulang seperti sinusitis, bronchitis,
5
otitis media dan faringitis. Tanda klinis yang lain yaitu terjadinya herpes zoster,
angular chelitis, ulserasi mulut yang terjadi secara berulang, erupsi, popular
pruritic, eruptions, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur di kuku.
3. Stadium Tiga
Pada stadium ini aktivitas fisik skala III ditandai dengan pasien tampak lemah,
dan hanya berada di tempat tidur < 50% per hari dalam bulan terakhir, penurunan
BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, anemia dengan kadar hemoglobin (Hb) < 8
3 3
g/dl, neutropenia (< 500/ mm ), serta trombositopenia (< 50.000/mm ) > 1 bulan
yang tidak dapat dijelaskan. Pada pemeriksaan mulut didapatkan kandidiasis
mulut serta mulut dan lidah dilapisi selaput berwarna putih. Selain itu juga terjadi
tuberculosis paru (TB) yang di diagnosis pada 2 tahun terakhir.
4. Stadium Empat
Pada stadium ini, tanda klinis pada stadium sebelumnya masih ditemukan seperti
sindrom penurunan BB, penemonia berulang, kandidiasi esophagus, TB ekstra
pulmoner, sarkoma kaposi, dan enselopati HIV. Aktivitas fisik skala IV ditandai
dengan selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir, HIV
wasting syndrome sesuai dengan CDC, diare > 1 bulan karena cryptosporidiosis
serta infeksi herpes simpleks kronis > 1 bulan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk HIV berupa pemeriksaan baseline, antigen P24, sel
CD4, dan viral load.
1. Pemeriksaan Baseline
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mempelajari kondisi penderita yang baru saja
terdeteksi mengidap HIV dan melihat apakah memiliki koinfeksi dari beberapa infeksi
berikut:
a) Tuberkulosis
b) Hepatitis (terutama B dan C)
c) Infeksi menular seksual lainnya (gonorea, klamidia, sifilis)
d) Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit –
hitung jenis leukosit, eritrosit, laju endap darah)
6
e) Fungsi Hati (SGOT/SGPT)
f) Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin, BUN)
g) Urinalisis
h) Profil Lipid
3. Sel CD4
Pemeriksaan dilakukan umumnya dilakukan pada penderita yang telah terbukti
positif terinfeksi HIV, untuk mendapatkan gambaran imunitas seseorang,
melalui jumlah sel CD4, juga bermanfaat sebagai kontrol keberhasilan
pengobatan ARV (Antiretroviral). Nilai normal berkisar antara 500-1500
sel/mm3.
Dokter perlu memperhatikan jumlah sel CD4 karena bila di bawah 200
sel/mm3 mengarah kepada kondisi imunokompromais, salah satu tanda fase
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
4. Viral Load
Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah virus
HIV dalam darah. Nilai hasil pemeriksaan viral load akan menjadi penanda
tingkatan virulensi penderita. Pemeriksaan ini menjadi indikator dan sebagai
target dalam terapi antiretroviral (ARV). Diharapkan setelah menjalani ARV,
nilai viral load dapat turun hingga tidak terdeteksi. Hal ini menandakan
konsumsi ARV berhasil menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi
tergolong rendah.
7
STIGMA DI MASYARAKAT
8
pecandu narkoba suntik. Perlakuan berbeda hanya diberikan kepada pasien ODHA
pecandu narkoba suntik yang tidak patuh pada tahapan terapi atau yang memberikan
sikap kasar.
Self Stigma Pecandu narkoba suntik yang menyandang ODHA selain
menerima stigma dari masyarakat atau lingkungannya juga stigma dari dalam dirinya
(self stigma). Sebagian besar informan mengungkapkan bahwa mereka merasa takut
terhadap kondisinya dan takut terhadap penerimaan masyarakat. Ketakutan terhadap
kondisi pribadi seperti pemahaman ODHA bahwa selama masih aktif sebagai pecandu
maka pengobatan untuk HIV tidak akan efektif. “Palingan yah gimana masih make
(narkoba), ya gak bisa (ikut program terapi HIV) karena masih pake”, Aj – ODHA di
Jakarta. Terapi HIV dengan mengkonsumsi obat antiretroviral tertentu setiap hari
seumur hidup juga menimbulkan ketakutan ketidakpatuhan minum obat. Stigma
terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai Hambatan ... (Irfan Ardani dan
Sri Handayani) 85 “Takut, wah ini minum obat seumur hidup, sempet mikirin terus,
pikirannya ah nanti aja gue masih sehat nanti aja kalau udah ngedrop baru minum”, Fr
– ODHA di Jakarta. Selain ketakutan terhadap proses terapi obat, informan juga
mengaku takut terhadap penerimaan masyarakat tentang kondisinya sebagai ODHA.
Seorang informan berusia remaja mengaku bahwa ia belum memberi tahu statusnya
sebagai ODHA kepada keluarga maupun lingkungan sosialnya. “Saya belum open
status, ada ketakutan tersendiri buat open status. Masalahnya saya belum siap, saya
masih mikir gitu entar kalau saya lagi nongkrong ya kan, jam sembilan saya bilang
mau minum obat dulu, obat apan nih, obat ARV, ya gimana ya masih belum siap lah”,
Al – ODHA di Jakarta. Selain dari rasa takut, self stigma juga berupa internalisasi
ODHA terhadap cap negatif dari lingkungan sosialnya. ODHA menerima dan
meyakini bahwa cap negatif dari masyarakat terhadap dirinya memang merupakan
sifat aslinya. “Mau saya lakuin apa aja sedangkan orang-orang di lingkungan saya
enggak percaya sama saya maupun keluarga gitu. Akhirnya saya udah dicap emang lo
mah nggak bakalan berhenti lo percuma lo. Akhirnya timbul rasa putus asa,… ini
karena apa ya, image pikiran gitu ya. Oh ternyata orang nggak suka sama saya,
enggak ada dukungan apa pun”, Ha – ODHA di Jakarta. Pada ODHA pecandu
narkoba suntik di Jakarta hampir semua informan mengalami self stigma berupa
ketakutan untuk memulai pengobatan. Alasan paling banyak adalah takut tidak bisa
konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan lainnya adalah penerimaan masyarakat
tentang statusnya sebagai ODHA. Seorang informan remaja mengatakan bahwa ia
9
belum berniat membuka statusnya sebagai ODHA, akibatnya adalah ia juga belum
akan memulai melakukan pengobatan. PEMBAHASAN Permasalahan yang dihadapi
ODHA bukan hanya permasalahan kondisi fisik yang semakin menurun, namun juga
timbul permasalahan sosial seperti penerimaan label negatif dan berbagai bentuk
diskriminasi dari lingkungan. HIV dan AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan
akibat perbuatan menyimpang karena penyakit HIV dan AIDS begitu melekat pada
orang-orang yang melakukan penyimpangan seperti PSK (Pekerja Seks Komersial),
gay, pelaku seks bebas dan pengguna narkoba suntik.9 HIV dan AIDS masih
dianggap sebagai sesuatu penyakit yang tabu yang tidak dibicarakan secara terbuka
dengan para orang tua, guru, masyarakat dan bahkan dengan penyedia pelayanan
kesehatan. Anggapan tabu inilah yang membuat ODHA dan keluarganya rentan
terhadap stigma dan diskriminasi,11 yang berakibat pada berkurangnya akses ke
layanan, kehilangan martabat dan meningkatnya deskriminasi. Stigma yang dialami
ODHA pecandu narkoba di Jakarta menghambat mereka untuk mengakses pelayanan
kesehatan.
10
Dalam proses kelahiran bayinya, para ulama menganjurkan agar ditangani tim
medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Hal itu
didasarkan pada hadis Nabi SAW. ''Allah membantu hambanya-Nya, selama hamba-
Nya membantu saudaranya.''
Selain itu, para ulama menganjurkan agar anak yang menderita HIV/AIDS
tetap wajib di khitan. Tentunya, sepanjang tidak membahayakan dirinya. Proses
khitan juga dianjurkan untuk dilakukan oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk
menghindari penularan.
Para ulama juga menganjurkan umat untuk merawat penderita HIV/AIDS
akibat seks bebas alias perzinaan. Selain dirawat dengan baik, penderita HIV/AIDS
itu juga harus diajak untuk bertobat kepada Allah SWT. Hal itu sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surah al-Israa ayat 70, ''Dan sungguh Kami telah memuliakan anak
cucu Adam.''
Begitu pun juga dengan penderita HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik
narkoba. Ulama meminta agar mereka diperlakukan secara manusiawi, serta
dibimbing dan disadarkan untuk bertobat.
Bahkan, Islam mengajarkan umatnya untuk menolong penderita HIV/AIDS
yang mengalami kecelakaan, misalnya, kecalakaan lalu lintas, tetap wajib ditolong
dengan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan dengan menggunakan alat
pencegahnya.
Bahkan, ketika menginggal dunia, penderita HIV/AIDS wajib diurus sebagaimana
layaknya jenazah, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Cara
memandikannya dianjurkan mengikuti petunjuk Departemen Kesehatan tentang
pengurusan jenazah. Sesungguhnya, Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam.
Dalam pandangan Islam, sakit marupakan musibah yang dapat menimpa siapa
saja, termasuk orang-orang saleh dan berakhlak mulia sekalipun. Artinya, orang yang
terkena penyakit belum tentu sakitnya itu akibat perbuatan dosa yang dilakukannya,
tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman :
Artinya : Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya. ( QS Al-Anfal : 25 )
Islam memiliki beberapa mekanisme untuk menyelesaikan persoalan ini yakni
pertama, melakukan pencegahan munculnya perilaku beresiko HIV Aids dengan
melakukan pendidikan dan pembinaan kepribadian Islam. Hal ini bisa dilakukan
11
melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu
muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi
sosial. Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat,
larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan
pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, dan lain-lain. Selain itu perlu
juga upaya menciptakan lingkungan yang kondusif, dan memberantas lingkungan
yang tidak kondusif.
Kedua, memberantas perilaku beresiko penyebab HIV Aids (seks bebas dan
penyalah gunaan Narkoba) yakni dengan menutup pintu-pintu yang mengakibatkan
munculnya segala rangsangan menuju seks bebas. Negara wajib melarang pornografi-
pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya.
Begitu juga dengan narkoba, hal-hal yang dapat membuat peredaran dan penggunanya
semakin luas akan ditutup. Selain itu pemberian sanksi tegas akan diberlakukan oleh
negara kepada pelaku perzinahan, seks menyimpang, penyalahguna narkoba,
konsumen khamr, beserta pihak-pihak terkait yang menjadikan seks bebas dan
narkoba sebagai bisnis mewah. Sanksi yang diberikan mampu memberikan efek jera
atau dengan kata lain menegakkan sistem hukum dan sistem persanksian Islam.
A. Antiretrovirus
Mekanlsme kerja
Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV.
Zidovudine bekerja derngan cara menghambat enzim reverse
transciptase virus. setelah .gugus azidotimidin (AZT) pada zidovudine
mengaiami fosforilasi. Gugus AZT 5'- monofosfat akan bergabung
pada ujung 3' rantai DNA virus dan · menghambat reaksi reverse
transciptase.
Resistensi
terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog
nukleosida lainnya.
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (Seperti
lamivudin dan abakavir.
Dosis
Tersedia dalam bentuk kapsul 100mg, tablet 300mg dan sirup
5mg/5mL
Dosis per oral 600mg perhari
Efek Samping
Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.
2. DIDANOSIN
13
Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus
Resistensi
terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase.
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi
dengan anti-HIV lainnya
Dosis
Tablet dan kapsul salut enterik. Per oral 400 mg per hari dalam dosis
tunggal atau terbagi
Efek Samping
Diare, pankreatitis, neuropati perifer
3. ZALSITABIN
Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus
Resistensi
terhadap Zalsitabin disebabkan oleh mutasi pada reverse transcriptase.
Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin
14
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang
tidak responsiv terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti-HIV
lainnya kecuali didanosin.
Dosis
Diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam)
Efek Samping
Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan pankreatitis
4. STAVUDIN
Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus
Resistensi
Resistensi terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon
75 dan kodon 50.
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV, terutama tingkat lanjut, dikombinasi dengan anti-HIV
lainnya
Dosis
Per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)
15
Efek Samping
Neuropati perifer. Asidosis laktak, peningkatan enzim transaminase,
sakit kepala, mual, dan ruam
5. LAMVUDIN
Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara
menghentikan oembentukan rantai DNA virus
Resistensi
Mutasi terhadap lamivudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon
184. Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan
zalcitabin
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
lnfeksi HIV dan HBV; untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan
anti HIV lainnya (seperti zidovudin dan abakavir).
Dosis
Per oral 300 mg per hari (satu tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu
tablet 300 mg sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat
dikombinasikan dengan zidovudin atau dengan zidovutlin dan
abakavir.
Efek Samping
pernah terdapat laporan asidosis laktat dan hepatomegali dengan
steatosis. Efek samping lain adalah sakit kepala dan mual.
6. EMTRISTABIN
16
Mekanlsme kerja
Emtrisitabin merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. · Obat inf
diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim selular. Mekanisme kerja
selanjutnya sama dengan lamivudin.
Resistensi
Terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV dan HBV (untuk infeksi HBV saat ini sedang dilakukan
studl klinis dalam kombinasi dengan tenofovir disoproksil fumarat
dalam tablet tunggal sekali sehari)
Dosis
Per oral sekali sehari 200mg kapsul.
Efek Samping
Efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa
keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistrofi; mual, rinitis,
pruritus dan ruam. Yang lebih jarang. terjadi adalah reaksi alergi,
asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia, pneumonia, steatosis hati.
7. ABAKAVIR
Mekanlsme kerja
Bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
Resistensi
17
Terhadap abakavir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184, 65, 7 4
dan 115
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya
Dosis
Per oral 600 mg perhari
Efek Samping
Mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal.
18
Non-nucleoside reverse transcrlptase inhibitor (NNRTI) merupakan
kelas obat yang menghambat aktlvltas · enzlm reverse transcriptase dengan
cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzlm dan
menginduksi perubahan konformasl pada situs aktif ini. Obat-obat golongan
ini tldak hanya memilikl kesamaan mekanisme ~erja, namun juga kesamaan
toksisitas dan profil resistensi
FARMAKODINAMIK
1. NEVIRAPIN
Mekanlsme kerja
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.
Resistensi
Resistensi terhadap nevirapin disebabkan oleh mutasi pada RT
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.
Dosis
Per oral sekali sehari 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu
tablet 200 mg per hari), kemudian 400 mg perhari (dua kali 200 mg
tablet)
Efek Samping
Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolen, mual, mual dan
peningkatan enzim hati.
2. DELAVIRDIN
Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin
19
Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nevirapin dan efavirenz
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.
Dosis
Per oral 1200 mg perhari (2 tablet 200mg 3x sehari). Obat ini juga
tersedia dalam bentuk tablet 100 mg
Efek Samping
Ruam, peningkatan tes fungsi hati, neutropenia.
3. EFAVIRENZ
Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin
Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi RT kodon 100, 179, dan 181.
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.
Dosis
20
Per oral 600 mg perhari (Sekali sehari tablet 600 mg, sebaiknya
sebelum tidur untuk mengurangi ES SSPnya.
Efek Samping
Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, dan ruam
4. Protease Inhibitor
Semua Pl bekerja dengan cara berikatan
secara reversibel dengan situs aktif HIV-protease.
HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus
dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya
penglepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim protease sehingga
menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partlkel virus yang
imatur dan tidak virulen.
1. SAKUINAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin
Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi
resistansi silang dengan PI lainnya.
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
lnfeksi HIV, dalam kombinasi dengan antiHIV lain (NRTI dan
beberapa Pl seperti ritonavir).
Dosis
21
Per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft capsule 3 kaii sehari)
atau 1800 mg per hari (3 hard gel capsules 3 kali sehari), diberikan
bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan
lengkap.
Efek Samping
Diare, mual, nyeri abdomen
2. RITONAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
lnfeksi . HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (NRTI dan
Pl seperti sakuinavir)
Dosis
Per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama
dengan makanan).
Efek Samping
Mual, muntah, diare
3. INDINAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
22
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.
Dosis
Per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan
dalam keadaan perut kosong, ditambah dengan hidrasi (sedikitnya 1,5
L air per hari). Obat ini tersedia dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400
mg.
Efek Samping
Mual, hiperbilirubinemia, batu ginjal.
4. NELFINAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
Resistensi
Resistensi terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada
protease kodon 30.
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
23
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.
Dosis
per oral 2250 rn~ per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2600 rng
per hari (5 tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama deng<1 n makanan.
Efek Samping
Diare, muntah, mual
5. AMPRENAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
Resistensi
Resistensi disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 50.
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.
Dosis
per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan
bersama atau tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan
makanan).
Efek Samping
Mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral
6. LOPINAVIR
24
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
Resistensi
Belum diketahui
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.
Dosis
Per oral, 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari; setiap
kapsul mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 mg ritonavir), diberikan
bersamaan dengan makanan.
Efek Samping
Mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida.
7. ATAZANAVIR
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2
Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.
25
Dosis
Per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan
bersama dengan makanan.
Efek Samping
Hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG Oarang
26
Walaupun obat anti-retrovirus sudah menjadi kunci dalam
penatalaksanaan HIV-AIDS, ada beberapa keterbatasan, yaitu : Farmakologi
dan Terapi
1. Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus. Tera
pi ini gaga I· mengendalikan viremia dalam kurang lebih sepertiga pasien pada
berbagai uji klinis. Viremia dengan cepat meningkat setelah terapi dihentikan,
atau menghentikan salah satu obat dalam kombinasi. Pasien harus melanjutkan
terapi seumur bidup agar memperoleh manfaatnya yang optimal.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika kepatuhan
pasien pada terapi tidak hampir sempurna (95% atau lebih). Kegagalan lebih
mungkin terjadi pada tahap penyakit yang sudah lanjut. Kepatuhan pada terapi
jangka panjang sulit dipertahankan.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi,
walaupun viral load tidak terdeteksi. Jenis virus yang resisten terhadap semua
obat dalam regimen anti-retrovirus dapat ditularkan ke orang lain melalui
perilaku berisiko.
4. Efek samping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi, mulai
dari yang ringan termasuk anemia, neutropenia, mual, sakit kepala sampai
yang berat misalnya hepatitis akut. Efek samping jangka menengah baru mulai
diketahui seperti resistensi insulin, asidosis laktat, hiperlipidemia dan
lipodistrofi. Efek samping hangka panjang hingga kini belum diketahui.
27
NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologis yang diberikan meliputi tirah baring, diet lunak tinggi kalori
tinggi protein.
D. PENCEGAHAN
Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus
rantai penularan. pencegahan dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV. Infeksi
28
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga
saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi
sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan
yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya.
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,
meliputi kegiatan pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Seperti diketahui
penyebaran virus HIV melalui hubungan seks melalui hubungan seks, jarum suntik
yang tercemar, transfusi darah,atau donor organ tubuh.
E. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi VI, Jilid I, Interna Publishing. Jakarta.
31
Shaluhiyah, Zahroh, Syamsulhuda Budi Musthofa, and Bagoes Widjanarko. "Stigma
masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS." Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional (National Public Health Journal) 9.4 (2015): 333-339.
32