Anda di halaman 1dari 34

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH

TUGAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


REFERAT HIV/AIDS

Disusun Oleh :

Kelompok : 2-MPT

Telisa Humenia Niftia (1102019212) 


Siti Nadzirotul Munawaroh (1102019232)
Syifa Ulfana Mulyani (1102018234)  
Muhammad Razih (1102018335)
Putri Eka Irjayanti (1102019223)
Ryan Rizki (1102019246)
Vera Lidia Efriyani (1102019247)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

i
DAFTAR ISI

JUDUL........................................................................................................................................ i
A. PENDAHULUAN HIV/AIDS............................................................................................. ii
EPIDEMIOLOGI....................................................................................................................... 1
PATOGENESIS......................................................................................................................... 3
FAKTOR RISIKO DAN PREDISPOSISI................................................................................. 4
DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS........................................................................... 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................................... 6
STIGMA DI MASYARAKAT.................................................................................................. 8
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PEMERIKSAAN/TES PADA SUSPEK HIV/AIDS. 10
B. TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI...................... 12
C. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS................................................................................... 28
D. PENCEGAHAN.................................................................................................................. 28
E. PENUTUP........................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 32

ii
A. PENDAHULUAN

HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data
dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000
orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017
secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global diperkirakan
terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang
terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV
positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV
(WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada
remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang
menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14%
sejak tahun 2010. Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS
(UNAIDS, 2017).
Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Kemenkes RI menyatakan bahwa jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus HIV di Indonesia pada tahun
2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 48.300
kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 10.146 kasus dan
data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus. Presentase infeksi HIV
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,2%), diikuti kelompok
umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun (7,6%), kelompok umur 15-19
tahun sebesar 4%, dan umur  15 tahun sebesar 2.5%. kejadian HIV mengalami
peningkatan sementara untuk kejadian AIDS mengalami penurunan. Adanya
penurunan tersebut bukan berarti HIV dan AIDS merupakan penyakit yang tidak
berbahaya lagi. Mengingat dalam kasus ini berlaku Teori Ice Berg atau disebut juga
Teori Gunung Es, artinya bahwa angka-angka yang tersaji dari sumber adalah 25%
dari fakta yang ada dan 75% lainnya tersembunyi karena berbagai macam faktor.
(Dirjen P2P Kemenkes RI, 2017)

EPIDEMIOLOGI

1
Sindrom AIDS pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat pada tahun 1981.
Sejak saat itu jumlah Negara yang melaporkan kasus AIDS meningkat yaitu 8 negara
pada tahun 1981 ada 53 negara, dan 153 pada tahun 1996, begitu pula halnya dengan
jumlah kasus AIDS meningkat cepat, pada tahun 1981 sebanyak 185 kasus menjadi
237.100 kasus pada tahun 1990 dan tahun 2013 sebanyak 35,3 juta kasus.
Menurut para ahli epidemiologi Internasional, di Amerika Serikat dan Eropa
bagian Utara epidemi terutama terdapat pada pria yang berhubungan seksual dengan
pria, sementara di Eropa bagian Selatan dan Timur, Vietnam, Malaysia, India Timur
Laut, dan Cina insidensi tertinggi adalah pada pengguna obat suntik. Di Afrika,
Amerika Selatan dan sebagian besar Negara di Asia Tenggara jalur penularan yang
dominan adalah secara heteroseksual dan vertical.
Di Indonesia kajian tentang kecenderungan epidemi HIV/AIDS
memproyeksikan pada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka
pada tahun 2012 jumlah kasus HIV/ AIDS ada 39 ribu jiwa, sementara itu 3.541 kasus
baru muncul pada Januari- September 2012, dengan kematian 100.000 orang dan pada
tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari
sub- populasi berperilaku berisiko kepada istri atau pasangannya akan terus berlanjut.
Di Timor Leste kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 2003,
dengan total kumulatif 235 kasus positif HIV, kasus tersebut dilaporkan kepada
bagian program Surveilans Nasional pada Desember 2011, di antaranya 51% terjadi
pada umur antara 15-49 tahun dan 8% pada anak-anak dibawah umur 5 tahun, di
antara kasus yang dilaporkan 43% positif HIV pada laki-laki sedangkan pada wanita
57%, hampir semua yang ditemukan hidup dengan HIV berada di daerah perkotaan
terutama di Ibu kota Dili.

Pada epidemiologi AIDS akan diuraikan mengenai faktor agent, faktor host dan faktor
environment.
1. Penyebab penyakit (Agent)
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk golongan retrovirus yang
muda mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat membunuh
virus tersebut. Virus HIV sangat lemah dan muda mati di luar tubuh. HIV
termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.
2. Tuan Rumah (Host)

2
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika, Eropa, Afrika
maupun di Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 15-
45 tahun, mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan
seksual. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun
heteroseksual merupakan pola transmisi utama.

Kelompok masyarakat berisiko tinggi adalah mereka yang melakukan


hubungan seksual dengan banyak mitra seks, kaum homoseksual atau
biseksual. Di Cina 2009-2010 ada 57,9% 2011-2012 menjadi 69,0% kelompok
homoseksual sangat meningkat dan menjadi rute dominan transmisi HIV di
Cina, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) antara
kelompok usia 21-30 tahun yang sudah menikah 42,4%, sedangkan yang
belum menikah 61,6%.
3. Faktor lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi,seperti halnya
penyakit HIV/AIDS. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kejadian
HIV/AIDS pada laki-laki umur 25-44 tahun adalah: transfusi darah (pendonor
maupun penerima), penggunaan narkoba, kebiasaan konsumsi alkohol,
ketersediaan sarana di pelayanan kesehatan (kondom), faktor sosial budaya
dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, akses ke tempat PSK, akses
ke pelayanan kesehatan.

PATOGENESIS

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit
pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cell (APC) ke kelenjar
getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening
dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang

3
mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14
hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah
sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan
sel limfosit CD8+. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel
limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV
berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif tabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor
yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan
kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan
heterogenitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun
secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level ‘steady-state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktivitas
netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan
virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan
adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya,
akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai
antibodi tidak dapat terjadi.

FAKTOR RISIKO DAN PREDISPOSISI


Faktor Risiko HIV dan AIDS

 Orang yang melakukan hubungan intim tanpa kondom, baik hubungan sesama
jenis maupun heteroseksual.
 Orang yang sering membuat tato atau melakukan tindik.
 Orang yang terkena infeksi penyakit seksual lain.
 Pengguna narkotika suntik.
 Orang yang berhubungan intim dengan pengguna narkotika suntik.

DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS

4
a. Infeksi HIV
Diagnosis laboratorium infeksi HIV tergantung pada penemuan antibodi anti HIV dan
deteksi HIV atau salah satu komponennya. Ditemukannya anti bodi HIV dengan
pemeriksaan ELISA perlu di konfirmasikan dengan western immunoblot. Tes HIV
Elisa (+) sebanyak tiga kali dengan reagen yang berlainan merek menunjukan pasien
positif mengidap HIV.

WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan Rapid Test (dipstik) sehingga


hasilnya bisa segera diketahui. Ada beberapa gejala dan tanda mayor dan minor
menurut WHO, antara lain :
1. Gejala dan Tanda Mayor :
1. Kehilangan berat badan (BB) > 10 %
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam > 1 bulan
2. Gejala dan Tanda Minor :
1. Batuk menetap > 1 bulan
2. Dermatitis pruritis (gatal)
3. Herpes zoster berulang
4. Kandidiasis orofaring
5. Herpes simpleks yang meluas dan berat
6. Limfadenopati yang meluas
7. Tanda lainnya adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis
triptokokal.
Manisfestasi klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
1. Stadium pertama

Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala I biasanya
asimtomatik ditandai dengan aktivitas yang masih normal disertai persistent
generalized lymph adenopathy (PGL) atau pembesaran getah bening.

2. Stadium Dua

Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala II ditandai dengan
penurunan berat badan (BB) < 10% yang didak dapat dijelaskan. Selain itu juga
terjadi infeksi saluran pernafasan yang berulang-ulang seperti sinusitis, bronchitis,

5
otitis media dan faringitis. Tanda klinis yang lain yaitu terjadinya herpes zoster,
angular chelitis, ulserasi mulut yang terjadi secara berulang, erupsi, popular
pruritic, eruptions, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur di kuku.

3. Stadium Tiga

Pada stadium ini aktivitas fisik skala III ditandai dengan pasien tampak lemah,
dan hanya berada di tempat tidur < 50% per hari dalam bulan terakhir, penurunan
BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, anemia dengan kadar hemoglobin (Hb) < 8

3 3
g/dl, neutropenia (< 500/ mm ), serta trombositopenia (< 50.000/mm ) > 1 bulan
yang tidak dapat dijelaskan. Pada pemeriksaan mulut didapatkan kandidiasis
mulut serta mulut dan lidah dilapisi selaput berwarna putih. Selain itu juga terjadi
tuberculosis paru (TB) yang di diagnosis pada 2 tahun terakhir.

4. Stadium Empat
Pada stadium ini, tanda klinis pada stadium sebelumnya masih ditemukan seperti
sindrom penurunan BB, penemonia berulang, kandidiasi esophagus, TB ekstra
pulmoner, sarkoma kaposi, dan enselopati HIV. Aktivitas fisik skala IV ditandai
dengan selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir, HIV
wasting syndrome sesuai dengan CDC, diare > 1 bulan karena cryptosporidiosis
serta infeksi herpes simpleks kronis > 1 bulan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk HIV berupa pemeriksaan baseline, antigen P24, sel
CD4, dan viral load.
1. Pemeriksaan Baseline
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mempelajari kondisi penderita yang baru saja
terdeteksi mengidap HIV dan melihat apakah memiliki koinfeksi dari beberapa infeksi
berikut:
a) Tuberkulosis
b) Hepatitis (terutama B dan C)
c) Infeksi menular seksual lainnya (gonorea, klamidia, sifilis)
d) Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit –
hitung jenis leukosit, eritrosit, laju endap darah)

6
e) Fungsi Hati (SGOT/SGPT)
f) Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin, BUN)
g) Urinalisis
h) Profil Lipid

Pemeriksaan-pemeriksaan di atas juga bertujuan sebagai pemeriksaan penyaring


untuk menilai apakah penderita dapat segera memulai terapi ARV, karena kondisi-
kondisi yang berkaitan dengan pemeriksaan tersebut, dapat dipengaruhi oleh
pemberian ARV.
2. Antigen P24
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya lebih spesifik karena mendeteksi
infeksi HIV melalui protein pembungkus HIV, dapat  terdeteksi lebih cepat
yakni 1-3 minggu setelah infeksi awal, sehingga membantu efektivitas deteksi
dini HIV.

3. Sel CD4
Pemeriksaan dilakukan umumnya dilakukan pada penderita yang telah terbukti
positif terinfeksi HIV, untuk mendapatkan gambaran imunitas seseorang,
melalui jumlah sel CD4, juga bermanfaat sebagai kontrol keberhasilan
pengobatan ARV (Antiretroviral). Nilai normal berkisar antara 500-1500
sel/mm3.
Dokter perlu memperhatikan jumlah sel CD4 karena bila di bawah 200
sel/mm3 mengarah kepada kondisi imunokompromais, salah satu tanda fase
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

4. Viral Load
Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah virus
HIV dalam darah. Nilai hasil pemeriksaan viral load akan menjadi penanda
tingkatan virulensi penderita. Pemeriksaan ini menjadi indikator dan sebagai
target dalam terapi antiretroviral (ARV). Diharapkan setelah menjalani ARV,
nilai viral load dapat turun hingga tidak terdeteksi. Hal ini menandakan
konsumsi ARV berhasil menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi
tergolong rendah.

7
STIGMA DI MASYARAKAT

Stigma masyarakat Hasil penelitian menunjukkan stigma dari masyarakat bisa


berasal dari keluarga terdekat, teman dan tetangga, serta dari akses layanan publik.
Stigma dari keluarga diterima ODHA pecandu narkoba suntik dalam bentuk
diskriminasi dan pembiaran. Diskriminasi terjadi karena keluarga merasa takut
tertular infeksi virus HIV. Bentuk deskriminasi seperti barangbarang yang dipisahkan
penggunaannya, barang yang disentuh ODHA langsung dibersihkan, dan dikucilkan
dengan tidak membolehkan anak-anak bermain bersama ODHA. Pembiaran oleh
keluarga yang diterima ODHA pecandu narkoba suntik berupa anggapan oleh
keluarga bahwa ODHA bersangkutan dianggap tidak ada dalam keluarga meskipun
secara fisik ia ada dalam lingkungan keluarga. Stigma dari teman atau tetangga yang
diterima ODHA pecandu narkoba suntik berbentuk diskriminasi dan intimidasi
(bullying). Diskriminasi tidak hanya pada saat ODHA masih hidup, tetapi juga pada
saat sudah meninggal. ODHA juga menerima intimidasi dalam bentuk kata-kata yang
merendahkan. Perlakuan berbeda kepada ODHA pecandu narkoba suntik menurut
keluarga merupakan reaksi dari penerimaan kondisi ODHA dan kurangnya informasi
tentang HIV/AIDS yang diderita anggota keluarganya. Reaksi keluarga saat
mengetahui anggota keluarganya terinfeksi HIV adalah kaget, marah dan sedih.
Perasaan ini kemudian diekspresikan secara beragam. Ada keluarga yang bisa
menerima kondisi ODHA dan mendukung pengobatannya. “Ya agak kaget sedikit
tapi kita kan bersyukur pada Allah, ya habis bagaimana, jalannya kalau sudah
mengidap virus HIVnya masa mau didiamkan. Harus kita diobati, ya ada obatnya
untuk menidurkan virus-virusnya, bukan untuk menyembuhkan”. Ibu Fr – Keluarga
ODHA di Jakarta. Namun ada pula keluarga yang tidak bisa menerima kondisi
anggota keluarganya yang terinfeksi HIV. Sering kali kekerasan fisik menjadi cara
untuk mengekspresikan kondisi tersebut. “Saya marah sambil nangis, kalau bapak
sering marah, sering mukul juga” Ibu Ha – Keluarga ODHA di Jakarta. Stigma juga
diterima ODHA pecandu narkoba suntik dari pelayanan kesehatan danpanti
rehabilitasi pecandu narkoba. Stigma yang diterima berupa kata-kata dan tindakan
yang merendahkan, perlakuan kasar, disamakan dengan pasien gangguan mental, dan
pendapat yang tidak dipercaya. Akibat perlakuan tersebut, beberapa informan
mengaku tidak ingin melanjutkan pengobatan. Menurut petugas kesehatan, tidak ada
perlakuan yang berbeda yang diberikan kepada pasien biasa dengan pasien ODHA

8
pecandu narkoba suntik. Perlakuan berbeda hanya diberikan kepada pasien ODHA
pecandu narkoba suntik yang tidak patuh pada tahapan terapi atau yang memberikan
sikap kasar.
Self Stigma Pecandu narkoba suntik yang menyandang ODHA selain
menerima stigma dari masyarakat atau lingkungannya juga stigma dari dalam dirinya
(self stigma). Sebagian besar informan mengungkapkan bahwa mereka merasa takut
terhadap kondisinya dan takut terhadap penerimaan masyarakat. Ketakutan terhadap
kondisi pribadi seperti pemahaman ODHA bahwa selama masih aktif sebagai pecandu
maka pengobatan untuk HIV tidak akan efektif. “Palingan yah gimana masih make
(narkoba), ya gak bisa (ikut program terapi HIV) karena masih pake”, Aj – ODHA di
Jakarta. Terapi HIV dengan mengkonsumsi obat antiretroviral tertentu setiap hari
seumur hidup juga menimbulkan ketakutan ketidakpatuhan minum obat. Stigma
terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai Hambatan ... (Irfan Ardani dan
Sri Handayani) 85 “Takut, wah ini minum obat seumur hidup, sempet mikirin terus,
pikirannya ah nanti aja gue masih sehat nanti aja kalau udah ngedrop baru minum”, Fr
– ODHA di Jakarta. Selain ketakutan terhadap proses terapi obat, informan juga
mengaku takut terhadap penerimaan masyarakat tentang kondisinya sebagai ODHA.
Seorang informan berusia remaja mengaku bahwa ia belum memberi tahu statusnya
sebagai ODHA kepada keluarga maupun lingkungan sosialnya. “Saya belum open
status, ada ketakutan tersendiri buat open status. Masalahnya saya belum siap, saya
masih mikir gitu entar kalau saya lagi nongkrong ya kan, jam sembilan saya bilang
mau minum obat dulu, obat apan nih, obat ARV, ya gimana ya masih belum siap lah”,
Al – ODHA di Jakarta. Selain dari rasa takut, self stigma juga berupa internalisasi
ODHA terhadap cap negatif dari lingkungan sosialnya. ODHA menerima dan
meyakini bahwa cap negatif dari masyarakat terhadap dirinya memang merupakan
sifat aslinya. “Mau saya lakuin apa aja sedangkan orang-orang di lingkungan saya
enggak percaya sama saya maupun keluarga gitu. Akhirnya saya udah dicap emang lo
mah nggak bakalan berhenti lo percuma lo. Akhirnya timbul rasa putus asa,… ini
karena apa ya, image pikiran gitu ya. Oh ternyata orang nggak suka sama saya,
enggak ada dukungan apa pun”, Ha – ODHA di Jakarta. Pada ODHA pecandu
narkoba suntik di Jakarta hampir semua informan mengalami self stigma berupa
ketakutan untuk memulai pengobatan. Alasan paling banyak adalah takut tidak bisa
konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan lainnya adalah penerimaan masyarakat
tentang statusnya sebagai ODHA. Seorang informan remaja mengatakan bahwa ia
9
belum berniat membuka statusnya sebagai ODHA, akibatnya adalah ia juga belum
akan memulai melakukan pengobatan. PEMBAHASAN Permasalahan yang dihadapi
ODHA bukan hanya permasalahan kondisi fisik yang semakin menurun, namun juga
timbul permasalahan sosial seperti penerimaan label negatif dan berbagai bentuk
diskriminasi dari lingkungan. HIV dan AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan
akibat perbuatan menyimpang karena penyakit HIV dan AIDS begitu melekat pada
orang-orang yang melakukan penyimpangan seperti PSK (Pekerja Seks Komersial),
gay, pelaku seks bebas dan pengguna narkoba suntik.9 HIV dan AIDS masih
dianggap sebagai sesuatu penyakit yang tabu yang tidak dibicarakan secara terbuka
dengan para orang tua, guru, masyarakat dan bahkan dengan penyedia pelayanan
kesehatan. Anggapan tabu inilah yang membuat ODHA dan keluarganya rentan
terhadap stigma dan diskriminasi,11 yang berakibat pada berkurangnya akses ke
layanan, kehilangan martabat dan meningkatnya deskriminasi. Stigma yang dialami
ODHA pecandu narkoba di Jakarta menghambat mereka untuk mengakses pelayanan
kesehatan.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PEMERIKSAAN/TES PADA SUSPEK


HIV/AIDS
Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk memperhatikan dan
memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit, termasuk orang yang
menderita HIV/AIDS. Namun, para ulama mengingatkan agar jangan sampai
perlakukan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang tak terkena
menjadi tertular HIV AIDS. Hal itu dibenarkan dalam kaidah Islam. ''Bahaya itu tidak
boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.''
Ulama yang tergabung dalam MUI dalam tuntunan bersikap, bergaul dan
merawat penderita AIDS telah menfatwakan agar penderita HIV/AIDS yang tinggal
di tengah keluarga dirawat dan diperlakukan secara baik. Para ulama meminta agar
pihak keluarga  diberi penyuluhan  secara medis sehingga dapat merawat dan
menghindarkan diri dari penularan.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Kasih sayangilah orang-
orang yang ada di atas bumi, maka Yang Ada di langit akan sayang dan
mengasihimu.''  Islam pun menghormati janin yang di kandung oleh seorang ibu yang
menderita HIV/AIDS. Menurut Kia Ma'ruf, seorang ibu hamil yang menderita
HIV/AIDS, tak boleh menggugurkan kandungannya.

10
Dalam proses kelahiran bayinya, para ulama menganjurkan agar ditangani tim
medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Hal itu
didasarkan pada hadis Nabi SAW. ''Allah membantu hambanya-Nya, selama hamba-
Nya membantu saudaranya.''
Selain itu, para ulama menganjurkan agar anak yang menderita HIV/AIDS
tetap wajib di khitan. Tentunya, sepanjang tidak membahayakan dirinya. Proses
khitan juga dianjurkan untuk dilakukan oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk
menghindari penularan. 
Para ulama juga menganjurkan umat untuk merawat penderita HIV/AIDS
akibat seks bebas alias perzinaan.  Selain dirawat dengan baik, penderita HIV/AIDS
itu juga harus diajak untuk bertobat kepada Allah SWT. Hal itu sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surah al-Israa ayat 70, ''Dan sungguh Kami telah memuliakan anak
cucu Adam.''
Begitu pun juga dengan penderita HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik
narkoba. Ulama meminta agar mereka diperlakukan secara manusiawi, serta
dibimbing dan disadarkan untuk bertobat.
Bahkan, Islam mengajarkan umatnya untuk menolong penderita HIV/AIDS
yang mengalami kecelakaan, misalnya, kecalakaan lalu lintas, tetap wajib ditolong
dengan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan dengan menggunakan alat
pencegahnya.
Bahkan, ketika menginggal dunia, penderita HIV/AIDS wajib diurus sebagaimana
layaknya jenazah, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.  Cara
memandikannya dianjurkan mengikuti petunjuk Departemen Kesehatan tentang
pengurusan jenazah.  Sesungguhnya, Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam.  
Dalam pandangan Islam, sakit marupakan musibah yang dapat menimpa siapa
saja, termasuk orang-orang saleh dan berakhlak mulia sekalipun. Artinya, orang yang
terkena penyakit belum tentu sakitnya itu akibat perbuatan dosa yang dilakukannya,
tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman :
Artinya : Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya. ( QS Al-Anfal : 25 )
Islam memiliki beberapa mekanisme untuk menyelesaikan persoalan ini yakni
pertama, melakukan pencegahan munculnya perilaku beresiko HIV Aids dengan
melakukan pendidikan dan pembinaan kepribadian Islam. Hal ini bisa dilakukan
11
melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu
muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi
sosial. Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat,
larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan
pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, dan lain-lain. Selain itu perlu
juga upaya menciptakan lingkungan yang kondusif, dan memberantas lingkungan
yang tidak kondusif.
Kedua, memberantas perilaku beresiko penyebab HIV Aids (seks bebas dan
penyalah gunaan Narkoba) yakni dengan menutup pintu-pintu yang mengakibatkan
munculnya segala rangsangan menuju seks bebas. Negara wajib melarang pornografi-
pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya.
Begitu juga dengan narkoba, hal-hal yang dapat membuat peredaran dan penggunanya
semakin luas akan ditutup. Selain itu pemberian sanksi tegas akan diberlakukan oleh
negara kepada pelaku perzinahan, seks menyimpang, penyalahguna narkoba,
konsumen khamr, beserta pihak-pihak  terkait yang menjadikan seks bebas dan
narkoba sebagai bisnis mewah. Sanksi yang diberikan mampu memberikan efek jera
atau dengan kata lain menegakkan sistem hukum dan sistem persanksian Islam.

B. TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI


Farmakoterapi

A. Antiretrovirus

1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)


Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus rnenjadi DNA
proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus
golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obatobat golongan ini
menghambat terjadinya lnfeksl akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek
pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan
NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
Karena NRTI tidak memlliki gugus 3'-hidroksil, inkorporasi NRTI ke DNA
akan menghentikan perpanjangan rantai.

FARMAKO DINAMIK NRTI


12
1. ZIDOVUDIN

Mekanlsme kerja
Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV.
Zidovudine bekerja derngan cara menghambat enzim reverse
transciptase virus. setelah .gugus azidotimidin (AZT) pada zidovudine
mengaiami fosforilasi. Gugus AZT 5'- monofosfat akan bergabung
pada ujung 3' rantai DNA virus dan · menghambat reaksi reverse
transciptase.

Resistensi
terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog
nukleosida lainnya.

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (Seperti
lamivudin dan abakavir.

Dosis
Tersedia dalam bentuk kapsul 100mg, tablet 300mg dan sirup
5mg/5mL
Dosis per oral 600mg perhari

Efek Samping
Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.

2. DIDANOSIN

13
Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus

Resistensi
terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase.

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi
dengan anti-HIV lainnya

Dosis
Tablet dan kapsul salut enterik. Per oral 400 mg per hari dalam dosis
tunggal atau terbagi

Efek Samping
Diare, pankreatitis, neuropati perifer

3. ZALSITABIN

Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus

Resistensi
terhadap Zalsitabin disebabkan oleh mutasi pada reverse transcriptase.
Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin
14
Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang
tidak responsiv terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti-HIV
lainnya kecuali didanosin.

Dosis
Diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam)

Efek Samping
Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan pankreatitis

4. STAVUDIN

Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus

Resistensi
Resistensi terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon
75 dan kodon 50.

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV, terutama tingkat lanjut, dikombinasi dengan anti-HIV
lainnya

Dosis
Per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)
15
Efek Samping
Neuropati perifer. Asidosis laktak, peningkatan enzim transaminase,
sakit kepala, mual, dan ruam

5. LAMVUDIN

Mekanlsme kerja
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara
menghentikan oembentukan rantai DNA virus

Resistensi
Mutasi terhadap lamivudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon
184. Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan
zalcitabin

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
lnfeksi HIV dan HBV; untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan
anti HIV lainnya (seperti zidovudin dan abakavir).

Dosis
Per oral 300 mg per hari (satu tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu
tablet 300 mg sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat
dikombinasikan dengan zidovudin atau dengan zidovutlin dan
abakavir.

Efek Samping
pernah terdapat laporan asidosis laktat dan hepatomegali dengan
steatosis. Efek samping lain adalah sakit kepala dan mual.

6. EMTRISTABIN
16
Mekanlsme kerja
Emtrisitabin merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. · Obat inf
diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim selular. Mekanisme kerja
selanjutnya sama dengan lamivudin.

Resistensi
Terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV dan HBV (untuk infeksi HBV saat ini sedang dilakukan
studl klinis dalam kombinasi dengan tenofovir disoproksil fumarat
dalam tablet tunggal sekali sehari)

Dosis
Per oral sekali sehari 200mg kapsul.

Efek Samping
Efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa
keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistrofi; mual, rinitis,
pruritus dan ruam. Yang lebih jarang. terjadi adalah reaksi alergi,
asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia, pneumonia, steatosis hati.

7. ABAKAVIR

Mekanlsme kerja
Bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.

Resistensi
17
Terhadap abakavir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184, 65, 7 4
dan 115

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya

Dosis
Per oral 600 mg perhari

Efek Samping
Mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal.

2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)


Tenofovir disoproksil fumarat merupakan nucleotide reverse
transcriptase inhibitor (NtRTI) pertama yang ada untuk terapi infeksi HIV-1 .
Obat jni digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya. Tidak
seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fOsforilase intraselular untuk
menjadi bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap saja fosforilasi saja.
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara mengentikan
pembentukan rantai DNA virus. Resistensi terhadap tenofovir disebabkan oleh
mutasi pada RT kodon 65. Obat ini dapat digunakan untuk HIV tipe 1 dan 2
serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV. Infeksi HIV dalam kombinasi
dengan efavirenz dan tidak boleh dikombinasi dengan lamivudin dan abakavir.
Diberikan per oral sekali sehari 300mg. Efek samping obat ini berupa mual,
muntah, flatulens, dan diare.

3. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

18
Non-nucleoside reverse transcrlptase inhibitor (NNRTI) merupakan
kelas obat yang menghambat aktlvltas · enzlm reverse transcriptase dengan
cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzlm dan
menginduksi perubahan konformasl pada situs aktif ini. Obat-obat golongan
ini tldak hanya memilikl kesamaan mekanisme ~erja, namun juga kesamaan
toksisitas dan profil resistensi

FARMAKODINAMIK
1. NEVIRAPIN
Mekanlsme kerja
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resistensi
Resistensi terhadap nevirapin disebabkan oleh mutasi pada RT

Spektrum Aktivitas
HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.

Dosis
Per oral sekali sehari 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu
tablet 200 mg per hari), kemudian 400 mg perhari (dua kali 200 mg
tablet)

Efek Samping
Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolen, mual, mual dan
peningkatan enzim hati.

2. DELAVIRDIN
Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin
19
Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nevirapin dan efavirenz

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.

Dosis
Per oral 1200 mg perhari (2 tablet 200mg 3x sehari). Obat ini juga
tersedia dalam bentuk tablet 100 mg

Efek Samping
Ruam, peningkatan tes fungsi hati, neutropenia.

3. EFAVIRENZ
Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin

Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi RT kodon 100, 179, dan 181.

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama
NRTI.

Dosis
20
Per oral 600 mg perhari (Sekali sehari tablet 600 mg, sebaiknya
sebelum tidur untuk mengurangi ES SSPnya.

Efek Samping
Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, dan ruam

4. Protease Inhibitor
Semua Pl bekerja dengan cara berikatan
secara reversibel dengan situs aktif HIV-protease.
HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus
dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya
penglepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim protease sehingga
menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partlkel virus yang
imatur dan tidak virulen.

1. SAKUINAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan nevirapin

Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi
resistansi silang dengan PI lainnya.

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
lnfeksi HIV, dalam kombinasi dengan antiHIV lain (NRTI dan
beberapa Pl seperti ritonavir).

Dosis
21
Per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft capsule 3 kaii sehari)
atau 1800 mg per hari (3 hard gel capsules 3 kali sehari), diberikan
bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan
lengkap.

Efek Samping
Diare, mual, nyeri abdomen

2. RITONAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir

Resistensi
Resistensi disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
lnfeksi . HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (NRTI dan
Pl seperti sakuinavir)

Dosis
Per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama
dengan makanan).

Efek Samping
Mual, muntah, diare

3. INDINAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir
22
Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.

Dosis
Per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan
dalam keadaan perut kosong, ditambah dengan hidrasi (sedikitnya 1,5
L air per hari). Obat ini tersedia dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400
mg.

Efek Samping
Mual, hiperbilirubinemia, batu ginjal.

4. NELFINAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir

Resistensi
Resistensi terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada
protease kodon 30.

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi

23
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.

Dosis
per oral 2250 rn~ per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2600 rng
per hari (5 tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama deng<1 n makanan.

Efek Samping
Diare, muntah, mual

5. AMPRENAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir

Resistensi
Resistensi disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 50.

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.

Dosis
per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan
bersama atau tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan
makanan).

Efek Samping
Mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral

6. LOPINAVIR
24
Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir

Resistensi
Belum diketahui

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.

Dosis
Per oral, 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari; setiap
kapsul mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 mg ritonavir), diberikan
bersamaan dengan makanan.

Efek Samping
Mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida.

7. ATAZANAVIR

Mekanlsme kerja
Sama dengan sakuinavir

Spektrum Aktivitas
HIV tipe 1 dan 2

Indikasi
Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti
NRTI.

25
Dosis
Per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan
bersama dengan makanan.

Efek Samping
Hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG Oarang

5. Viral Entry Inhibitor

Enfuvirtid merupakan obat pertama yang masuk ke dalam golongan


viral entry inhibitor. Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi
virus ke sel. Selain enfuvirtid; bisiklam saat ini sedang berada dalam studi
kiinis Ohat ini bekerja dengan cara menghambat masuknya HIV ke sel melalui
reseptor CXCR4.
Enfuvirtid menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara
menghambat fusi virus ke membran sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian
HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41 envelope glikoprotein virus serta
menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk fusi
virus ke membran sel.
erubahan genotip pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan
resistensi terhadap enfuvirtid. Tldak ada resistensi silang dengan antiHIV
golongan lain. lsolat klinis yang resisten terhadap NRTI, NNRTI atau Pl tetap
peka terhadap enfuvirtid.
Enfuvirtid 90 mg (1 ml) dua kali sehari diinjekSikan subkutan di
lengan atas, bagian paha anterior atau di abdomen. Setiap injeksi harus ·
diberikan pada tempat yang berbeda dari tempat injeksi sebelumnya di mana
belum ada bekas reaksi injeksi dosis sebelumnya.
Efek samping yang tersering adalah reaksi lokal seperti nyeri, eritema,
pruritus, iritasi dan nodul/kista. Pemah dilaporkan menyebabkan eosinofilia
dan pneumonia bakterial.

26
Walaupun obat anti-retrovirus sudah menjadi kunci dalam
penatalaksanaan HIV-AIDS, ada beberapa keterbatasan, yaitu : Farmakologi
dan Terapi
1. Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus. Tera
pi ini gaga I· mengendalikan viremia dalam kurang lebih sepertiga pasien pada
berbagai uji klinis. Viremia dengan cepat meningkat setelah terapi dihentikan,
atau menghentikan salah satu obat dalam kombinasi. Pasien harus melanjutkan
terapi seumur bidup agar memperoleh manfaatnya yang optimal.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika kepatuhan
pasien pada terapi tidak hampir sempurna (95% atau lebih). Kegagalan lebih
mungkin terjadi pada tahap penyakit yang sudah lanjut. Kepatuhan pada terapi
jangka panjang sulit dipertahankan.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi,
walaupun viral load tidak terdeteksi. Jenis virus yang resisten terhadap semua
obat dalam regimen anti-retrovirus dapat ditularkan ke orang lain melalui
perilaku berisiko.
4. Efek samping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi, mulai
dari yang ringan termasuk anemia, neutropenia, mual, sakit kepala sampai
yang berat misalnya hepatitis akut. Efek samping jangka menengah baru mulai
diketahui seperti resistensi insulin, asidosis laktat, hiperlipidemia dan
lipodistrofi. Efek samping hangka panjang hingga kini belum diketahui.

27
NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologis yang diberikan meliputi tirah baring, diet lunak tinggi kalori
tinggi protein.

C. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Komplikasi HIV berupa risiko infeksi oportunistik dan keganasan yang
diakibatkan oleh penurunan CD4+. Infeksi oportunistik yang dapat terjadi di
antaranya adalah:
- Tuberkulosis paru
- Tuberkulosis ekstra paru
- Sarkoma Kaposi
- Herpes rekuren
- Limfadenopati
- Cadidiasis orofaring
- Wasting-syndrome

Penderita HIV yang tidak mendapatkan penanganan, memiliki prognosis yang


buruk, dengan tingkat mortalitas > 90%. Rata-rata jangka waktu sejak infeksi hingga
kematian adalah 8-10 tahun (tanpa intervensi ARV).
Terapi ARV membantu mengontrol dan mengurangi replikasi HIV hingga
aktivitas virus (viral load) tidak terdeteksi dalam darah melalui pemeriksaan
laboratorium, sehingga memberi kesempatan untuk tubuh melakukan restorasi dari
sistem imun hingga mencapai tingkat aman dan menghindari progresifitas HIV.
Terapi ARV juga mengurangi tingkat transmisi dan penularan dari HIV, terutama
melalui paparan darah maupun hubungan seksual.
Tanpa pemberian terapi ARV, penderita infeksi HIV akan dapat mengalami
penurunan sistem imun secara konstan sehingga dapat mencapai kondisi yang dikenal
sebagai AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang umumnya ditandai
dengan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan dengan kadar sel CD4 <200/µl.

D. PENCEGAHAN

Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus
rantai penularan. pencegahan dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV. Infeksi

28
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga
saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi
sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan
yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya.
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,
meliputi kegiatan pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Seperti diketahui
penyebaran virus HIV melalui hubungan seks melalui hubungan seks, jarum suntik
yang tercemar, transfusi darah,atau donor organ tubuh.

1. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama


terjadi melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu
difokuskan pada hubungan seksual. Agar terhindar dari tertularnya HIV dan
AIDS seseorang harus berperilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab,
yaitu hanya berhubungan seksual dengan pasangan sendiri. Apabila salah
seorang pasangan sudah terinfeksi HIV maka dalam melakukan hubungan
seksual harus menggunakan kondom secara benar. Melakukan tindakan
seksual yang aman dengan pendekatan “ABC” (Abstinent, Be faithful,
Condom), yaitu tidak melakukan aktivitas seksual (abstinent) merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan
seksual, tidak berganti-ganti pasangan (be faithful), dan penggunaan kondom
(use condom).
2. Pencegahan penularan melalui darah:
 Transfusi darah, memastikan bahwa darah yang dipakai untuk transfusi
tidak tercemar HIV.
 Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit. Desinfeksi atau
membersihkan alat-alat seperti jarum, alat cukur, alat tusuk untuk
tindik dan lain-lain dengan pemanasan atau larutan desinfektan.

E. PENUTUP

1. AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu


suatu lentivirus dari golongan retroviridae. Transmisi infeksi HIV dapat melalui
hubungan seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, jarum yang
29
terkontaminasi, serta transmisi vertikal dari ibu ke anak Gejala klinis pada infeksi
HIV meliputi stadium: Serokonversi, periode inkubasi, AIDS – related complex
atau persistent generalized lymphadenopathy, periode AIDS Diagnosis infeksi
HIV dan AIDS dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi. Penatalaksanaan penderita dengan infeksi HIV atau AIDS meliputi
pengobatan suportif, pengobatan infeksi oportunistik dengan antibiotik, antijamur,
antiparasit, antivirus dan glukokortikoid, pengobatan neoplasma, serta pengobatan
dengan antiretroviral (ARV). Dalam penatalaksanaan infeksi HIV, saat ini
digunakan kombinasi dari beberapa obat sekaligus, yang disebut highly active
antiretroviral therapy (HAART). WHO menganjurkan pemberian ARV untuk
negara yang mempunyai dana yang terbatas dengan kombinasi: 2NRTI + INNRTI
atau abacavir atau PI.

2. Penderita HIV/AIDS seringkali tidak mau membuka status mereka ke orang


lain karena mereka takut dan khawatir orang-orang akan menjauhi bahkan
mengucilkan mereka dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bagi mereka yang
bersedia untuk open status, biasanya mereka yang telah mendapatkan dukungan
dari keluarga dan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka tidak khawatir
akan pengakuan keberadaan mereka.

3. Penatalaksanaan HIV secara klinis pada kehamilan terus dikembangkan untuk


menekan transmisi secara vertikal. Salah satunya dengan pemberian antiretrovirus
yang bertujuan untuk mengurangi viral load serendah mungkin. Penatalaksanaan
yang efektif untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak tergantung
pada saat kapan wanita tersebut mengetahui status HIV-nya sehingga dapat
ditentukan penatalaksanaan secepatnya. Oleh karena itu, peranan konseling dan
tes HIV bagi ibu hamil sangat penting sebagai deteksi dini terhadap infeksi HIV.

4. Untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA


perlu diadakannya penyuluhan dan edukasi yang benar tentang apa itu HIV/AIDS
dan bagaimana cara penularannya sehingga masyarakat tidak perlu sampai
mengucilkan ODHA tetapi justru dapat memberikan dukungan dan motivasi
kepada mereka untuk dapat bertahan hidup dan berdaya di lingkungan masyarakat.
30
5. Pemerintah telah menetapkan program nasional berupa Kebijakan dan Strategi
dalam mencegah dan menberantas AIDS di Indonesia. Dan hal ini tentunya dapat
lebih disosialisasikan lagi, ditambah dengan adanya subsidi pemerintah berupa
pemberian obat-obatan ARV bagi penderita HIV/AIDS

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi VI, Jilid I, Interna Publishing. Jakarta.

31
Shaluhiyah, Zahroh, Syamsulhuda Budi Musthofa, and Bagoes Widjanarko. "Stigma
masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS." Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional (National Public Health Journal) 9.4 (2015): 333-339.

World Health Organization, HIV/AIDS, November 2020. Didapat dari:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/
http://eprints.undip.ac.id/46430/3/BAB_II.pdf 

32

Anda mungkin juga menyukai