Anda di halaman 1dari 22

PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS

DARI BU KE ANAK
BAB I
PENDAHULUAN

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama


dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan
anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus
pertama ditemukan yaitu pada tahun 1987. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi
HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau Mother To Child
Hiv Transmission (MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi
HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui.1
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Laporan Kasus
HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara
penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan
jarum suntik tidak steril; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori
pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV
pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011), selain itu juga
terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu HIV positif ke
bayinya.2
Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan
karena kasusnya mengalami kenaiakan yang luar biasa yang mempengaruhi angka
kesakitan dan kematian pada penduduk usia produktif. Dan hal ini  berdampak
sangat buruk terhadap pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa dan dapat
menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat atau bahkan menjadi
mundur. Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan kehidupan
sebuah bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi
yang tertular dari ibunya yang mengidap HIV dan pada remaja yang tertular
karena berperilaku berisiko.

1
Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara
berkembang menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan
penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child
transmission/PMTCT). Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV
menanggapi ART dengan baik. Tetapi, pengobatan semacam ini paling efektif
apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum pengembangan
penyakit lanjut). Tanpa ARV, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi
dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi
HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan
lebih dari 50% meninggal sebelum mereka mencapai usia dua tahun. Infeksi HIV
pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan
keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu
penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk
mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan
mental.1,2
Jumlah penderita HIV/ AIDS perempuan semakin bertambah seiring
dengan meningkatnya penularan pada perilaku seksual tidak aman pada laki-laki
yang kemudian menularkan HIV kepada pasangan seksualnya. Selain itu,
penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV. Pada
triwulan III tahun 2013 yang menunjukkan faktor risiko penularan HIV dari ibu
ke anak sebesar 4,3%, meningkat 0,2% dari laporan Kemenkes tentang HIV
triwulan II tahun 2013. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat tersebut dapat
terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan menyusui.
Kementerian Kesehatan telah mengupayakan pencegahan penularan
HIV/AIDS dari ibu ke anak sesuai rekomendasi WHO (2009) dengan menerbitkan
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tahun 2012. PPIA
merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan HIV/AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS) di Indonesia dan merupakan bagian dari program
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

2
Program PPIA bertujuan untuk mengendalikan penularan HIV/AIDS,
menurunkan kasus HIV serendah mungkin, mengurangi stigma dan diskriminasi,
serta menurunkan kematian akibat AIDS (Getting to Zero). Program ini dapat
dilaksanakan secara terintegrasi di setiap tingkatan layanan kesehatan dan dapat
dilaksanakan oleh puskesmas dan jajarannya, rumah sakit, dan bidan praktik
mandiri. Bidan dalam hal ini mempunyai peran yang sangat penting, dimana
bidan berada di barisan terdepan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Meningkatnya penularan HIV dari ibu ke anak menyebabkan program PPIA harus
segera dilaksanakan. Sesuai Pemodelan Matematik oleh Kementerian Kesehatan
(2012), prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan akan meningkat dari 0,38%
pada tahun 2012 menjadi 0,49% pada tahun 2016. Jumlah ibu hamil dengan HIV
positif yang membutuhkan layanan PPIA akan meningkat dari 13.189 orang pada
tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016. Sejak Januari hingga
September 2013, jumlah layanan PPIA yang dilaporkan di Indonesia adalah
sebanyak 114 pelayanan dan telah melayani 4364 ibu hamil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune


Deficiency Syndrome)

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus RNA dari subfamili


retrovirus. Infeksi HIV dapat menimbulkan defisiensi kekebalan tubuh sehingga
menimbulkan gejala berat yang disebut dengan AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome).1

3
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) didalam tubuh manusia, yang mana virus ini menyerang
sel darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan
tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya tahan tubuh membuat penderita mudah
sekali terjangkit berbagai macam penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun.1

2.2 Penularan
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual:
HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus
ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
2. Tranfusi:
HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole blood, plasma,
trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
3. Jarum yang terkontaminasi:
Transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar
pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika.
4. Transmisi vertikal (perinatal):
Yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta, selama persalinan
melalui pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir, maupun yang terjadi
setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).2

2.3 Patofisiologi
HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA
intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian
bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit
T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang
membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen
target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target
utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar

4
protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+
yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan antigen.3
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral
akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3
minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita
HIV tampak sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap
ini disebut juga periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi
HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan
CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60
sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100
sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi
AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL.
Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala pendahuluan yang kemudian diikuti
oleh infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi yang mengikuti perjalanan
penyakit HIV. Dengan adanya IO maka perjalanan penyakit HIV telah memasuki
stadium AIDS.3

Gambar 1. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ 1


Keterangan gambar:
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
jumlah RNA HIV per mL plasma

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur
hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi

5
penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 3 Seiring dengan
makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat
infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia
di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel
pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.3

2.4 Diagnosis Hiv/Aids Pada Bayi Dan Anak


A. Gejala
Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak
dengan HIV-positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada
tahun pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap
tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan
hidup sampai beberapa tahun. Disebut Tersangka HIV apabila ditemukan gejala
berikut, yang tidak lazim ditemukan pada anak dengan HIV-negatif.4
 Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV:
 Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.
 Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau
berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah, kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila
meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis
esofagus
 Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni atau bilateral selama ≥ 14 hari, dengan
atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.
 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti sitomegalovirus.
 Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung ≥ 7 hari,

6
atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
 Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal,
perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
 Herpes zoster.
 Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum
contagiosum yang ekstensif.
 Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). 4
Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV adalah :
 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥14 hari
 Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari
 Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya
pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV
terutama pada bayi berumur <6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh. 4
 Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif :
pneumocystis pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia
(LIP) atau sarkoma kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengaan infeksi HIV.
Fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi
jarang.

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :


Stadium Klinis 1 Stadium Klinis 2
 Tanpa gejala (asimtomatis)  Hepatosplenomegaly persisten
 Limfadenopati generalisata persisten tanpa alasan i

 Erupsi papular pruritis


 Infeksi virus kutil yang luas
 Moluskum kontagiosum yang luas
 Infeksi jamur di kuku
 Ulkus mulut yang berulang
 Pembesaran parotid persisten tanpa
alasan
 Eritema lineal gingival (LGE)
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas bagian atas
yang berulang atau kronis (ototis
media, otore, sinusitis, atau
tonsilitis)
Stadium Klinis 3 Stadium Klinis 4ii
 Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak  Wasting yang parah, tidak
membaik dengan terapi baku bertumbuh atau malanutrisi yang
 Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari parah tanpa alasan dan tidak
atau lebih) menanggapi terapi yang baku

7
 Demam terus-menerus tanpa alasan (di  Pneumonia Pneumosistis (PCP)
atas 37,5°C, sementara atau terus-  Infeksi bakteri yang parah dan
menerus, lebih dari 1 bulan) berulang (mis. empiema,
 Kandidiasis oral terus-menerus (setelah piomisotis, infeksi tulang atau
usia 6-8 minggu) sendi, atau meningitis, tetapi tidak
 Oral hairy leukoplakia (OHL) termasuk pneumonia)
 Gingivitis atau periodonitis nekrotising  Infeksi herpes simpleks kronis
berulkus yang akut (orolabial atau kutaneous lebih dari
 Tuberkulosis pada kelenjar getah bening 1 bulan atau viskeral pada tempat
 Tuberkulosis paru apa pun)
 Pneumonia bakteri yang parah dan  Tuberkulosis di luar paru
berulang  Sarkoma Kaposi
 Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala  Kandidiasis esofagus (atau
 Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk kandidiasis pada trakea, bronkus
brokiektasis atau paru)
 Anemia (<8g/dl),>  Toksoplasmosis sistem saraf pusat
(setelah usia 1 bulan)
 Ensefalopati HIV
 Infeksi sitomegalovirus: retinitis
atau infeksi CMV yang
mempengaruhi organ lain, yang
mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
 Kriptokokosis di luar paru
(termasuk meningitis)
 Mikosis diseminata endemis
(histoplasmosis luar paru,
kokidiomikosis)
 Kriptosporidiosis kronis
 Isosporiasis kronis
 Infeksi mikobakteri non-TB
diseminata
 Limfoma serebral atau non-
Hodgkin sel-B
 Progressive multifocal
leucoencephalopathy (PML)
 Nefropati bergejala terkait HIV
atau kardiomiopati bergejala
terkait HIV

B. Pemeriksaan Penunjang
 Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)
Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai
bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia >18 bulan, uji antibodi
HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa Uji antibodi HIV dilakukan

8
usia >18 bulan karena antibodi maternal yang ditransfer secara pasif selama
kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan.4
 Tes virologis
Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode
yang paling dipercaya untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia <
18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau
komponennya. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA
negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk
memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.4.
 CD4+
Adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi yang digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena, nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan
kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk
anak <5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila >5 tahun, persentase CD4+ dan
nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk
imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam
12 bulan (5%).

2.5 Penegakan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Dugaan infeksi HIV, Gejala klinik, Resiko penularan.
2. Tes serologi darah HIV
3. Pembuktian virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat antibodi
HIV ibu yang menetap sampai 18 bulan

2.6 Tatalaksana
Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).

9
Pencegahan infeksi oportunistik
 Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak
dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh
pneumonia berat. PCP saat ini sangat jarang di negara yang memberikan
pencegahan secara rutin.
Indikasi pemberian kotrimoksazol:
 Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi
HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari
program pencegahan transmisi ibu ke anak = prevention of mother-to-child
transmission (PMTCT).
 Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau
keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau
hitung CD4.4
Lama pemberian Kotrimoksazol:
 Anak yang terpapar HIV sampai infeksi HIV benar-benar dapat
disingkirkan dan ibunya tidak lagi menyusui
 Anak yang terinfeksi HIV, bila ARV tidak tersedia
 Jika diberi ARV, kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indicator
klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6
bulan.4
Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam
sehari. Bagi anak umur <6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet dewasa, 20
mg Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol). Bagi anak umur 6 bulan sampai 5
tahun beri 2 tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa) dan bagi anak umur 6-14
tahun, 1 tablet dewasa dan bila > 4 tahun digunakan 1 tablet dewasa. Jika anak
alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.4
 Kapan mulai pengobatan ARV(Anti Retroviral):
ARV pada umur 12–18 bulan dengan HIV (Ab) positif, dengan keluhan
dan jika diduga kuat HIV berdasarkan klinis, dengan diagnosis HIV yang sudah
pasti bisa dimulai pemberian ARV.

10
Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV
diperlukan:
 Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL
 Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang
defisiensi imun berat
 Munculnya gejala klinis
 Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian
ARV
Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HIV:
Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk
memulai pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian
klinis. Hitung absolut CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari
orang dewasa, dan menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6
tahun. Tetapi persentase CD4 hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal
ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak yang kurang dari 5
tahun (lihat tabel).1

 Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+


Tabel 1. Klasifikasi WHO Imunodefisiensi HIV Menggunakan CD4+. 4
Imunodefisiensi Nilai CD4+ menurut umur
< 11 bulan(%) 12-35 bulan(%) 36-59 bulan(%) 5tahun (sel/mm3)
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 – 35 25 – 30 20 – 25 350−499
Sedang 25 – 30 20−25 15−20 200−349
Berat <25 <20 <15 <200 atau <15%
Tabel 2. Klasifikasi Imunodefisiensi WHO Menggunakan TLC ( Total
Lymphocyte Count)4
Petanda Rekomendasi pemberian ARV menurut umur
imunologis ≤11 bulan 12 bulan- 35 36 bulan- 59 5 – 8 tahun
[C (II)]* bulan bulan
TLC <4000 <3000 sel/mm <2500 sel/mm3 <2000sel/
3

sel/mm3 mm3

11
Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia
untuk kriteria memulai ART (imunodefisiensi berat) pada anak dengan stadium 2.
Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV. Perhitungan
TLC = % limfosit x hitung total leukosit. 4
 Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral therapy = ART)
Obat Antiretroviral (ARV) makin tersedia secara luas dan mengubah dengan
cepat perawatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi
dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki
kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak.
Nucleoside analogue A. Non-nucleoside reverse Protease inhibitors (PI)
reverse transcriptase transcriptase inhibitors
inhibitors (NRTI) (NNRTI)
 Zidovudine (ZDV)  Nevirapine (NVP)  Nelfinavir (NFV)
 Lamivudine (3TC)  Efavirenz (EFV)  Lopinavir/ritonavir
 Stavudine (d4T) (LPV/r)
 Didanosine (ddI)  Saquinavir (SQV)
 Abacavir (ABC)

Resistensi terhadap obat tunggal atau ganda bisa cepat terjadi, sehingga rejimen
obat tunggal merupakan kontraindikasi, Oleh karena itu minimal 3 obat
merupakan baku minimum yang direkomendasikan. Obat ARV terdiri dari tiga
golongan utama.

Rekomendasi rejimen Inisiasi (first time)4:


Anak usia ≤3 tahun :
-  Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+Nevirapine (NVP) ATAU
- Stavudine (D4T)+Lamivudine (3TC)+Nevirapine (NVP)
Anak usia ≥3 tahun dan berat badan ≥10 kg
-  Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+NVP atau Efavirenz (EFV)
-  Stavudine (D4T)+Lamivudine (3TC)+NVP atau Efavirenz (EFV)
Dosis ARV:
ZDV (AZT)  Pediatrik (rentang dosis 90 mg-180mg/m2 LPB)
(Zidovudine, Retrovir*)  Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7 mg/kg/1xl

12
 Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau 2x300 mg/hari
3TC  Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis terapi
(Lamivudine, Viracept*)  Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari
BB ≥50 kg: 2x150 mg/hari
NFV  Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai 45 mg/kg, 3x
(Nevirapine, Viramune*) sehari
 Aldolesen 2x1250 mg/hari, 3x750 mg/hari
NVP  Pediatrik
(Nevirapine, Viramune*) -14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali sehari (max.200
mg)
-14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2 kali sehari
-selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali sehari untuk
anak <8 tahun
>8 tahun-
aldolesen -dosis inisial 1x200 mg sehari selama 14 hari
kemudian naikkan menjadi 2x200 mg bila tidak terdapat
rash atau reaksi simpang obat lain.
Stavudin (d4T/Stavir*)  1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Efavirenz (Sustiva*)  Anak ≥3 tahun(10-<15 kg)=200mg; (15-20kg)= 250mg;
(20-<25kg)= 300mg; (25-32,5 kg)= 350mg,
(32,5-<40kg) 400 mg
TMP/SMX  Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari, 3 kali seminggu
(Kotrimoksasol) untuk  Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin); 8-10mg
pneumocytis carinii mg/kg/hari dalam 2 kali pemberian setiap hari

 ARV pada anak yang asimptomatik tidak dianjurkan, karena meningkatkan


terjadinya resistensi sejalan dengan waktu. Secara umum, anak lebih cepat
memetabolis PI dan NNRTI dibandingkan dewasa, oleh sebab itu dibutuhkan
dosis ekuivalen dewasa yang lebih besar untuk mencapai tingkat kecukupan obat.
4

 Dosis obat harus ditingkatkan pada saat berat badan bertambah, jika tidak, akan
terjadi risiko kekurangan dosis dan terjadi resistensi.
 Anak <18 bulan dengan uji antihodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis
yang berat dan tes PCR tidak tersedia harus segera mendapat terapi ARV setelah
kondisi klinisnya stabil, Tes antihodi harus diulang pada usia 18 bulan.
 Anak <18 bulan dengan uji PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa
gejala tetapi dengan persentase CD4+ <25°, harus mendapat ARV secepatnya.
 Anak >18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan apakah sedang dalam kondisi
klinis yang berat atau CD4 < 25°, sebaiknya juga mendapat ARV.4
Tabel 3. Definisi klinis dan CD4 untuk kegagalan ART

13
pada anak (setelah pemberian ARV ≥ 6 bulan). 3

Obat perlu diganti dengan yang lain jika terdapat:


 Keadaan toksik, seperti : Sindrom Stevens Johnson, keracunan hati yang berat,
perdarahan yang berat
 Interaksi obat (pengobatan tuberkulosis dengan rifampisin mengganggu NVP atau
PI)
Rejimen pengobatan lini kedua adalah ABC ditambah ddI ditambah Protease
inhibitor: LPV/r atau NFV atau SQV/r jika BB ≥ 25 kg. 4
 Efek samping pengobatan antiretroviral dan pemantauan
Respons terhadap ARV dan efek samping pengobatan harus dipantau. Jika
tersedia penghitung sel CD4, harus dilakukan setiap 3–6 bulan dan dapat
mengetahui respons yang sukses terhadap pengobatan atau kegagalan, sehingga
dapat memandu perubahan pengobatan. Jika hal tersebut tidak memungkinkan,
parameter klinis, termasuk tahapan klinis harus digunakan. 4
Tabel 4. Efek samping yang umum dari obat ARV. 4

Pemantauan respons setelah inisiasi ARV:

14
 Sesudah inisiasi ARV atau perubahan ARV. Lihat anak pada 2 dan 4
minggu setelah inisiasi/perubahan.
 Anak harus diperiksa jika terdapat masalah yang membuat pengasuh
khawatir atau ada penyakit terjadi pada saat yang sama.
 Berat dan tinggi badan (setiap bulan)
 Perkembangan syaraf (setiap bulan)
 CD4 setiap 3–6 bulan
 Hb pada awal atau Ht (jika dengan ZDV/AZT)

2.7 Pemberian Nutrisi


Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi ASI dari perempuan yang
terinfeksi HIV. Di Amerika Serikat dan Kanada, di mana formula bayi aman dan
tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk tidak menyusui
bahkan jika dia menerima ART (terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total
untuk menyusui (dan susu sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap
menjadi satu-satunya mekanisme dimana pencegahan penularan HIV melalui ASI
dapat dipastikan.4,5
Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu
terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika
pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai
AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi.
AFASS merupakan kepanjangan dari:
A : ACCEPTABLE                : mudah diterima
F : FEASIBLE        : mudah dilakukan
A : AFFORDABLE : terjangkau
S : SUSTAINABLE : berkelanjutan
S : SAFE                                : aman penggunaannya
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk
memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga,
mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai

15
untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi. Harganya
terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula.
Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan
diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin
keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak
kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar
nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak
berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL
OVER) yang berarti Save atau Aman.4,5
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan
belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child
transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang
gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya. 17

2.8 Imunisasi
 Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga infeksi hiv tetapi belum
menunjukan gejala, harus diberikan semua jenis vaksin yang diperlukan
(sesuai jadwal) termasuk BCG, berhubung sebagian besar anak dengan
HIV positif mempunyai respon imun yang efektifpada tahun pertama
kehidupannya, imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur
yang dianjurkan.
 Jangan berikan vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah
menunjukan gejala.5

2.9 Tatalaksana Kondisi Terkait Dengan Hiv


A. Tuberculosis
Apabila diagnosis TB ditegakkan, terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan
ARV diberikan 2-8 minggu setelah timbul toleransi terapi TB dan untuk
menurunkan risiko IRIS (immune reconstitution inflammatory_syndrome). Pilihan
ARV yang diberikan adalah AZT atau d4T + 3TC + ABC. Keuntungan dari

16
regimen obat tersebut adalah tidak ada interaksi dengan rifampisin. Kerugiannya
yaitu kombinasi ini memiliki potensi yang kurang dibandingkan 2 NR'I'I + EFV
serta ABC lebih mahal dan tidak ada bentuk generik. 4
B. Pneumocystis pneumonia (PCP)
Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan
pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrat interstisial bilateral pada
foto toraks. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pneumosistis pada anak,
yang diketahui atau tersangka HIV, yang tidak bereaksi terhadap pengobatan
untuk pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan
sering menimbulkan hipoksia. Napas cepat merupakan gejala yang sering
ditemukan, gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam
biasanya ringan. Umur umumnya 4–6 bulan. Segera beri Kotrimoksazol,
trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara iv dosis tinggi: 8
mg/kgBB/dosis, sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari selama 3
minggu. Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan pentamidin (4
mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 3 minggu. 4

Gambar 1. Pneumocystis Pneumonia (PCP):


tipikal ground glass appearance.4

C. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)


Tersangka LIP: foto toraks menunjukkan pola interstisial retikulo-nodular
bilateral, Anak seringkali tanpa gejala pada fase awal, tetapi selanjutnya terjadi
batuk persisten, dengan atau tanpa kesulitan bernapas, pembengkakan parotis
bilateral, limfadenopati persisten generalisata, hepatomegali dan tanda lain dari
gagal jantung dan jari tabuh. Beri antibiotik Kotrimoksasol (4 mg/kg BB/kali) 2
kali sehari selama 5 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 5 hari. Mulai pengobatan dengan steroid, hanya jika ada temuan foto

17
toraks yang menunjukkan lymphoid interstitial pneumonitis ditambah salah satu
gejala berikut:
 Napas cepat atau sukar bernapas
 Sianosis
 Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90%.
Beri prednison oral, 1–2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian kurangi dosis
selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan.4

Gambar 2. Lymphocytic Interstitial Pneumonia (LIP)


tipikal limfadenopati hilus dan infiltrat seperti renda 4

D. Infeksi jamur : Kandidiasis Oral dan Esofagus


Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100 000
unit/ml). Olesi 1–2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika
tidak tersedia, olesi dengan larutan gentian violet 1%. Jika hal ini masih tidak
efektif, beri gel mikonazol 2%, 5 ml 2 kali sehari, jika tersedia.
Tersangka (suspect) kandidiasis esofagus jika ditemukan kesulitan atau
nyeri saat muntah atau menelan, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau
menangis saat makan. Kondisi ini bisa terjadi dengan atau tanpa ditemukannya
oral thrush. Jika tidak ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan
flukonazol (3–6 mg/kgBB sekali sehari).4
E. Sarkoma Kaposi
Pertimbangkan sarkoma kaposi pada anak yang menunjukkan luka kulit
yang nodular, limfadenopati yang difus dan lesi pada palatum dan konjungtiva
dengan memar periorbital. Diagnosis biasanya secara klinis, tetapi dapat
dipastikan dengan biopsi. Perlu juga diduga pada anak dengan diare persisten,
berkurangnya berat badan, obstruksi usus, nyeri perut atau efusi pleura yang luas.
Pertimbangkan merujuk untuk penanganan di rumah sakit yang lebih besar. 4
F. Meningitis Kriptokokus

18
Diduga kriptokokus sebagai penyebab jika terdapat gejala meningitis,
seringkali subakut dengan sakit kepala kronik atau perubahan status mental.
Diagnosis pasti melalui pewarnaan tinta India pada Cairan Serebro Spinal (CSS).
Obati dengan amfoterisin 0.5–1.5 mg/kgBB/hari selama 14 hari, kemudian dengan
flukonazol selama 8 minggu.4

BAB III
KESIMPULAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan
AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS.
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu
komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, organ limfoid.
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual
2. Tranfusi
3. Jarum yang terkontaminasi

19
4. Transmisi vertikal (perinatal)
Gejala klinis dari asimptomatik sampai sangat berat. Sedangkan untuk
diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium HIV DNA PCR, HIV
culture, dan HIV RNA PCR.
Tata laksana awal adalah membri konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).
Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan
pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat
disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang
terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan
pertumbuhan dan pengembangan mental.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency


Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. 243 – 247.
2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds).
Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2006; 13-16.
3. Ram Yogev, Ellen Gould Chadwick. Acquired Immunodeficiency Syndrome :
Behrman RE, Kliegman RM Jenson HB (editor). Nelson test book of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders; 2004: 1109-1121
4. W orld Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di
Rumah Sakit Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. 2010. Anak dengan HIV/AIDS 224-245

20
5. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun
2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak . 2013.
08-10
6. Departemen Kesehatan Repubil Indonesia. Pedoman Tatalaksana dan Anti
Terapi Antiretroviral Pada Anak Indonesia. 2008

21

Anda mungkin juga menyukai