DARI BU KE ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
1
Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara
berkembang menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan
penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child
transmission/PMTCT). Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV
menanggapi ART dengan baik. Tetapi, pengobatan semacam ini paling efektif
apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum pengembangan
penyakit lanjut). Tanpa ARV, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi
dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi
HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan
lebih dari 50% meninggal sebelum mereka mencapai usia dua tahun. Infeksi HIV
pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan
keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu
penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk
mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan
mental.1,2
Jumlah penderita HIV/ AIDS perempuan semakin bertambah seiring
dengan meningkatnya penularan pada perilaku seksual tidak aman pada laki-laki
yang kemudian menularkan HIV kepada pasangan seksualnya. Selain itu,
penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV. Pada
triwulan III tahun 2013 yang menunjukkan faktor risiko penularan HIV dari ibu
ke anak sebesar 4,3%, meningkat 0,2% dari laporan Kemenkes tentang HIV
triwulan II tahun 2013. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat tersebut dapat
terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan menyusui.
Kementerian Kesehatan telah mengupayakan pencegahan penularan
HIV/AIDS dari ibu ke anak sesuai rekomendasi WHO (2009) dengan menerbitkan
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tahun 2012. PPIA
merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan HIV/AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS) di Indonesia dan merupakan bagian dari program
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
2
Program PPIA bertujuan untuk mengendalikan penularan HIV/AIDS,
menurunkan kasus HIV serendah mungkin, mengurangi stigma dan diskriminasi,
serta menurunkan kematian akibat AIDS (Getting to Zero). Program ini dapat
dilaksanakan secara terintegrasi di setiap tingkatan layanan kesehatan dan dapat
dilaksanakan oleh puskesmas dan jajarannya, rumah sakit, dan bidan praktik
mandiri. Bidan dalam hal ini mempunyai peran yang sangat penting, dimana
bidan berada di barisan terdepan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Meningkatnya penularan HIV dari ibu ke anak menyebabkan program PPIA harus
segera dilaksanakan. Sesuai Pemodelan Matematik oleh Kementerian Kesehatan
(2012), prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan akan meningkat dari 0,38%
pada tahun 2012 menjadi 0,49% pada tahun 2016. Jumlah ibu hamil dengan HIV
positif yang membutuhkan layanan PPIA akan meningkat dari 13.189 orang pada
tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016. Sejak Januari hingga
September 2013, jumlah layanan PPIA yang dilaporkan di Indonesia adalah
sebanyak 114 pelayanan dan telah melayani 4364 ibu hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) didalam tubuh manusia, yang mana virus ini menyerang
sel darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan
tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya tahan tubuh membuat penderita mudah
sekali terjangkit berbagai macam penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun.1
2.2 Penularan
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual:
HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus
ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
2. Tranfusi:
HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole blood, plasma,
trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
3. Jarum yang terkontaminasi:
Transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar
pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika.
4. Transmisi vertikal (perinatal):
Yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta, selama persalinan
melalui pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir, maupun yang terjadi
setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).2
2.3 Patofisiologi
HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA
intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian
bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit
T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang
membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen
target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target
utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar
4
protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+
yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan antigen.3
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral
akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3
minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita
HIV tampak sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap
ini disebut juga periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi
HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan
CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60
sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100
sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi
AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL.
Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala pendahuluan yang kemudian diikuti
oleh infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi yang mengikuti perjalanan
penyakit HIV. Dengan adanya IO maka perjalanan penyakit HIV telah memasuki
stadium AIDS.3
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur
hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
5
penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 3 Seiring dengan
makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat
infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia
di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel
pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.3
6
atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal,
perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
Herpes zoster.
Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum
contagiosum yang ekstensif.
Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). 4
Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV adalah :
Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥14 hari
Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari
Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya
pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV
terutama pada bayi berumur <6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh. 4
Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif :
pneumocystis pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia
(LIP) atau sarkoma kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengaan infeksi HIV.
Fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi
jarang.
7
Demam terus-menerus tanpa alasan (di Pneumonia Pneumosistis (PCP)
atas 37,5°C, sementara atau terus- Infeksi bakteri yang parah dan
menerus, lebih dari 1 bulan) berulang (mis. empiema,
Kandidiasis oral terus-menerus (setelah piomisotis, infeksi tulang atau
usia 6-8 minggu) sendi, atau meningitis, tetapi tidak
Oral hairy leukoplakia (OHL) termasuk pneumonia)
Gingivitis atau periodonitis nekrotising Infeksi herpes simpleks kronis
berulkus yang akut (orolabial atau kutaneous lebih dari
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening 1 bulan atau viskeral pada tempat
Tuberkulosis paru apa pun)
Pneumonia bakteri yang parah dan Tuberkulosis di luar paru
berulang Sarkoma Kaposi
Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala Kandidiasis esofagus (atau
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk kandidiasis pada trakea, bronkus
brokiektasis atau paru)
Anemia (<8g/dl),> Toksoplasmosis sistem saraf pusat
(setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus: retinitis
atau infeksi CMV yang
mempengaruhi organ lain, yang
mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru
(termasuk meningitis)
Mikosis diseminata endemis
(histoplasmosis luar paru,
kokidiomikosis)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Infeksi mikobakteri non-TB
diseminata
Limfoma serebral atau non-
Hodgkin sel-B
Progressive multifocal
leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV
atau kardiomiopati bergejala
terkait HIV
B. Pemeriksaan Penunjang
Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)
Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai
bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia >18 bulan, uji antibodi
HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa Uji antibodi HIV dilakukan
8
usia >18 bulan karena antibodi maternal yang ditransfer secara pasif selama
kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan.4
Tes virologis
Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode
yang paling dipercaya untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia <
18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau
komponennya. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA
negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk
memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.4.
CD4+
Adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi yang digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini
progresivitas penyakit karena, nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan
kondisi klinis. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian
ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk
anak <5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila >5 tahun, persentase CD4+ dan
nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk
imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam
12 bulan (5%).
2.6 Tatalaksana
Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).
9
Pencegahan infeksi oportunistik
Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak
dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh
pneumonia berat. PCP saat ini sangat jarang di negara yang memberikan
pencegahan secara rutin.
Indikasi pemberian kotrimoksazol:
Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi
HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari
program pencegahan transmisi ibu ke anak = prevention of mother-to-child
transmission (PMTCT).
Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau
keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau
hitung CD4.4
Lama pemberian Kotrimoksazol:
Anak yang terpapar HIV sampai infeksi HIV benar-benar dapat
disingkirkan dan ibunya tidak lagi menyusui
Anak yang terinfeksi HIV, bila ARV tidak tersedia
Jika diberi ARV, kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indicator
klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6
bulan.4
Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam
sehari. Bagi anak umur <6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet dewasa, 20
mg Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol). Bagi anak umur 6 bulan sampai 5
tahun beri 2 tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa) dan bagi anak umur 6-14
tahun, 1 tablet dewasa dan bila > 4 tahun digunakan 1 tablet dewasa. Jika anak
alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.4
Kapan mulai pengobatan ARV(Anti Retroviral):
ARV pada umur 12–18 bulan dengan HIV (Ab) positif, dengan keluhan
dan jika diduga kuat HIV berdasarkan klinis, dengan diagnosis HIV yang sudah
pasti bisa dimulai pemberian ARV.
10
Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV
diperlukan:
Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL
Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang
defisiensi imun berat
Munculnya gejala klinis
Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian
ARV
Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HIV:
Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk
memulai pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian
klinis. Hitung absolut CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari
orang dewasa, dan menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6
tahun. Tetapi persentase CD4 hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal
ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak yang kurang dari 5
tahun (lihat tabel).1
sel/mm3 mm3
11
Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia
untuk kriteria memulai ART (imunodefisiensi berat) pada anak dengan stadium 2.
Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV. Perhitungan
TLC = % limfosit x hitung total leukosit. 4
Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral therapy = ART)
Obat Antiretroviral (ARV) makin tersedia secara luas dan mengubah dengan
cepat perawatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi
dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki
kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak.
Nucleoside analogue A. Non-nucleoside reverse Protease inhibitors (PI)
reverse transcriptase transcriptase inhibitors
inhibitors (NRTI) (NNRTI)
Zidovudine (ZDV) Nevirapine (NVP) Nelfinavir (NFV)
Lamivudine (3TC) Efavirenz (EFV) Lopinavir/ritonavir
Stavudine (d4T) (LPV/r)
Didanosine (ddI) Saquinavir (SQV)
Abacavir (ABC)
Resistensi terhadap obat tunggal atau ganda bisa cepat terjadi, sehingga rejimen
obat tunggal merupakan kontraindikasi, Oleh karena itu minimal 3 obat
merupakan baku minimum yang direkomendasikan. Obat ARV terdiri dari tiga
golongan utama.
12
Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau 2x300 mg/hari
3TC Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis terapi
(Lamivudine, Viracept*) Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari
BB ≥50 kg: 2x150 mg/hari
NFV Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai 45 mg/kg, 3x
(Nevirapine, Viramune*) sehari
Aldolesen 2x1250 mg/hari, 3x750 mg/hari
NVP Pediatrik
(Nevirapine, Viramune*) -14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali sehari (max.200
mg)
-14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2 kali sehari
-selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali sehari untuk
anak <8 tahun
>8 tahun-
aldolesen -dosis inisial 1x200 mg sehari selama 14 hari
kemudian naikkan menjadi 2x200 mg bila tidak terdapat
rash atau reaksi simpang obat lain.
Stavudin (d4T/Stavir*) 1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Efavirenz (Sustiva*) Anak ≥3 tahun(10-<15 kg)=200mg; (15-20kg)= 250mg;
(20-<25kg)= 300mg; (25-32,5 kg)= 350mg,
(32,5-<40kg) 400 mg
TMP/SMX Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari, 3 kali seminggu
(Kotrimoksasol) untuk Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin); 8-10mg
pneumocytis carinii mg/kg/hari dalam 2 kali pemberian setiap hari
Dosis obat harus ditingkatkan pada saat berat badan bertambah, jika tidak, akan
terjadi risiko kekurangan dosis dan terjadi resistensi.
Anak <18 bulan dengan uji antihodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis
yang berat dan tes PCR tidak tersedia harus segera mendapat terapi ARV setelah
kondisi klinisnya stabil, Tes antihodi harus diulang pada usia 18 bulan.
Anak <18 bulan dengan uji PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa
gejala tetapi dengan persentase CD4+ <25°, harus mendapat ARV secepatnya.
Anak >18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan apakah sedang dalam kondisi
klinis yang berat atau CD4 < 25°, sebaiknya juga mendapat ARV.4
Tabel 3. Definisi klinis dan CD4 untuk kegagalan ART
13
pada anak (setelah pemberian ARV ≥ 6 bulan). 3
14
Sesudah inisiasi ARV atau perubahan ARV. Lihat anak pada 2 dan 4
minggu setelah inisiasi/perubahan.
Anak harus diperiksa jika terdapat masalah yang membuat pengasuh
khawatir atau ada penyakit terjadi pada saat yang sama.
Berat dan tinggi badan (setiap bulan)
Perkembangan syaraf (setiap bulan)
CD4 setiap 3–6 bulan
Hb pada awal atau Ht (jika dengan ZDV/AZT)
15
untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi. Harganya
terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula.
Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan
diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin
keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak
kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar
nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak
berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL
OVER) yang berarti Save atau Aman.4,5
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan
belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child
transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang
gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya. 17
2.8 Imunisasi
Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga infeksi hiv tetapi belum
menunjukan gejala, harus diberikan semua jenis vaksin yang diperlukan
(sesuai jadwal) termasuk BCG, berhubung sebagian besar anak dengan
HIV positif mempunyai respon imun yang efektifpada tahun pertama
kehidupannya, imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur
yang dianjurkan.
Jangan berikan vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah
menunjukan gejala.5
16
regimen obat tersebut adalah tidak ada interaksi dengan rifampisin. Kerugiannya
yaitu kombinasi ini memiliki potensi yang kurang dibandingkan 2 NR'I'I + EFV
serta ABC lebih mahal dan tidak ada bentuk generik. 4
B. Pneumocystis pneumonia (PCP)
Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan
pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrat interstisial bilateral pada
foto toraks. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pneumosistis pada anak,
yang diketahui atau tersangka HIV, yang tidak bereaksi terhadap pengobatan
untuk pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan
sering menimbulkan hipoksia. Napas cepat merupakan gejala yang sering
ditemukan, gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam
biasanya ringan. Umur umumnya 4–6 bulan. Segera beri Kotrimoksazol,
trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara iv dosis tinggi: 8
mg/kgBB/dosis, sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari selama 3
minggu. Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan pentamidin (4
mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 3 minggu. 4
17
toraks yang menunjukkan lymphoid interstitial pneumonitis ditambah salah satu
gejala berikut:
Napas cepat atau sukar bernapas
Sianosis
Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90%.
Beri prednison oral, 1–2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian kurangi dosis
selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan.4
18
Diduga kriptokokus sebagai penyebab jika terdapat gejala meningitis,
seringkali subakut dengan sakit kepala kronik atau perubahan status mental.
Diagnosis pasti melalui pewarnaan tinta India pada Cairan Serebro Spinal (CSS).
Obati dengan amfoterisin 0.5–1.5 mg/kgBB/hari selama 14 hari, kemudian dengan
flukonazol selama 8 minggu.4
BAB III
KESIMPULAN
19
4. Transmisi vertikal (perinatal)
Gejala klinis dari asimptomatik sampai sangat berat. Sedangkan untuk
diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium HIV DNA PCR, HIV
culture, dan HIV RNA PCR.
Tata laksana awal adalah membri konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).
Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan
pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat
disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang
terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan
pertumbuhan dan pengembangan mental.
DAFTAR PUSTAKA
20
5. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun
2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak . 2013.
08-10
6. Departemen Kesehatan Repubil Indonesia. Pedoman Tatalaksana dan Anti
Terapi Antiretroviral Pada Anak Indonesia. 2008
21