Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. HIV/AIDS
3.1.1. Definisi
HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis virus yang
menyerang atau menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh. AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune
Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-
tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan
Aquired berarti diperoleh atau didapat, dalam hal ini “diperoleh” mempunyai
pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang menderita
AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS, tetapi karena ia
terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu, AIDS dapat
diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau
menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.7

3.1.2. Epidemiologi
Masalah HIV pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang hidup dengan
HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia < 15 tahun.
Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari
1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat
AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak
berusia <15 tahun diseluruh dunia.8
Di Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai
dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah
orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling
banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun
provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099). 3
Di Palembang, menurut data statistik Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Selatan, jumlah pengidap Human Imunnodeficiency Virus/Acquired Imunno
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Sumatera Selatan periode Januari-Juni

15
2019 HIV 178 pengidap dengan 9 orang meninggal dan AIDS 109 penderita
dengan 9 meninggal dengan kumulatif kasus tahun 1995-2019 HIV (STD I
dan II) 1634 pengidap dengan 17 meninggal dan kasus AIDS (STD III dan
IV) 1790 penderita dengan 175 meninggal. Untuk kasus HIV periode Januari-
Juni 2019 di seluruh Kabupaten/Kota di Sumsel, Palembang masih menjadi
yang tertinggi dengan angka 41 pengidap, sedangkan pada AIDS Kota
Palembang sebanyak 65 penderita. Penderita AIDS tertinggi oleh laki-laki
dibanding perempuan dengan rentan usia 30 sampai 40 Tahun.4

3.1.3. Etiologi
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.
Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim
ini menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya ke dalam
bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang
diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri,
informasi genetik virus juga ikut diturunkan.8
Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2)
yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di
Afrika . HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang
tersering dahulu dikenal juga sebagai human T-cell-lymphotropic virus type
III (HTLV-III) lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-
associated virus. Secara mikrobiologik HIV-1 berbentuk bulat dan terdiri atas
bagian inti dan selubung.9

3.1.4. Faktor Risiko


Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang
paling utama adalah faktor perilaku seksual. Perilaku seksual yang berisiko
merupakan faktor utama yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS.
Partner seks yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan
aktivitas seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan
HIV/AIDS. Seks anal juga merupakan faktor perilaku seksual yang

16
memudahkan penularan HIV/AIDS. Pemakaian narkotika dan obat-obatan
terlarang (narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting drug users (IDU)
merupakan faktor risiko HIV/AIDS, termasuk di Indonesia.10

3.1.5. Transmisi
Cara penularan HIV sampai saat ini diketahui adalah melalui hubungan
seksual (Homoseksual maupun Heteroseksual) dan secara non seksual
(darah/produkdarah, parinatal dan transplasental/perinatal) . Secara umum ada
5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar
kuman dan tempat masuk kuman (port’d entree). Secara epidemiologik yang
penting sebagai media perantara adalah semen, darah dan cairan vagina atau
serviks.11
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan Seksual baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling serius
terjadi. Penularan cara ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina
atau serviks. lnfeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Risiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks. jumlah pasangan seks, dari jenis hubungan
seks. Angka infeksi HIV cendrung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap orang yang sering berhubungan
seksual dengan berganti pasangan merupakan ke lompok manusia yang
beresiko tinggi terinfeksi virus HIV.
2. Transmisi Non-Seksual
a. Transmisi Parenteral
Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat
tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi misalnva pada
penyalahgunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan

17
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari
1%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif keanak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan air susu ibu termasuk penularan
dengan resiko rendah.

3.1.6. Patogenesis
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi
sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu
menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit
dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu
mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan
pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi
sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut
seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual,
muntah, sulit tidur, batuk-batuk,dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom
retroviral akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-
RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin
berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat.
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam
waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada
kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T
helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan
sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem
imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan
membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.

18
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke
dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse
transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar
dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung
seumur hidup.7
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga
ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan
lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini
disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan
sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada
masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal
dengan masa “window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa
tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi
HIV tersebut. Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada
infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun,
tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat
cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-
progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh
virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh
yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang,
sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik.7

19
3.1.7. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan tahapan
infeksi yang diderita. Berikut adalah tanda dan gejala HIV :12
a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan
timbulnya suatu tanda dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul
biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada kulit, sakit kepala,
ruam-ruam dan sakit tenggorokan.
b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi
tersebut maka akan timbul tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar
getah bening bengkak, penurunan berat badan, demam, diare dan
batuk.Selain itu juga ada tanda dan gejala yang timbul yaitu mual,
muntah dan sariawan.
c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang
khas dan lebih parah. Gejala yang muncul seperti sariawan yang
banyak, bercak keputihan pada mulut, gejala herpes zooster, ketombe,
keputihan yang parah dan gangguan psiskis.
d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan,
jumlah virus terus meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga
<200 sel/ul. Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.
e. Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik
seperti meningitis, mycobacteruim avium dan penurunan sistem imun.
Jika tidak melakukan pengobatan maka akan terjadi perkembangan
penyakit berat seperti TBC, meningitis kriptokokus, kanker seperti
limfoma dan sarkoma Kaposi.

Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi


klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan
surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV.13

20
Gejala Minor Gejala Mayor
Berat badan menurun >10% dalam Batuk menetap >1 bulan
1 bulan
Diare kronik berlangsung >1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan >1 bulan Herpes Zooster multi-segmental
dan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Retinitis Cytomegalovirus
Tabel 2.1 Gejala Mayor dan Minor HIV/AIDS13

Stadium Gejala Klinis


I Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala atau hanya
Limfadenopati Generalisata
Persisten
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media,
tonsilitis, dan
faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (Kelitis
Angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau
prurigo)
Dermatitis Seboroik
Infeksi jamur pada kuku

III Penurunan berat badan >10%

21
Diare, demam yang tidak diketahui
penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy
Leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat:
Pneumonia, Piomiosis
Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni
Kronik (<50 109
per liter)
IV Sindroma Wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia Bakterial yang berat
berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis
meluas
Tabel 2.2 Stadium Klinis HIV/AIDS14

3.1.8. Diagnosis

22
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah
disepakati secara global yaitu 5C (informed consent, confidentiality,
counseling, correct test results, connections to care, treatment and prevention
services). Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model layanan testing dan
konseling (TK) HIV.15
1. Tes Diagnosis HIV
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode
pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis.15
a. Metode pemeriksaan serologis
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan
serologis. Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering
digunakan adalah rapid immunochromatography test (tes cepat)
dan EIA (enzyme immunoassay). Secara umum tujuan
pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama, yaitu mendeteksi
antibodi saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi
(generasi ketiga dan keempat). Metode western blot sudah tidak
digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV lagi di
Indonesia.
b. Metode pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV
dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif
di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada
bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA
HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan
pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke
tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV dengan
menggunakan tetes darah kering (dried blood spot [DBS]).
Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV
pada :15
1) bayi berusia dibawah 18 bulan.
2) infeksi HIV primer.

23
3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negative
namun gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil
laboratorium yang berbeda.
Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:15
1) tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau
reagen berbeda menunjukan hasil reaktif.
2) pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi
HIV.
Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan mempunyai
sensitivitas minimal 99% (batas bawah IK 95%) dan spesifisitas
minimal 98% (batas bawah IK 95%), sehingga menghasilkan nilai
duga positif sebesar 99% atau lebih. Strategi pemeriksaan yang
dilakukan di laboratorium atau di komunitas harus memberikan
hasil yang sama. Strategi ini dapat diaplikasikan pada semua
format tes serologis. Semua personel yang terlibat, baik tenaga
laboratorium maupun pekerja kesehatan yang telah dilatih, dalam
melakukan tes, termasuk pengambilan spesimen, prosedur
pemeriksaan, pelaporan status HIV harus berpedoman pada
strategi tes ini. Kombinasi tes cepat atau kombinasi tes cepat dan
EIA dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan kombinasi EIA/western blot.
2. Pemeriksaan HIV pada anak >18 bulan, remaja dan dewasa
Terdapat tiga jenis tes antibodi untuk menegakkan diagnosis HIV
pada anak >18 bulan, remaja, dan dewasa. Hasil pemeriksaan anti-
HIV dapat berupa reaktif, non-reaktif (negatif), dan tidak dapat
ditentukan (inkonklusif).
Hasil yang belum terkonfirmasi didapatkan jika tes HIV pertama
reaktif namun pemeriksaan tambahan tidak dilakukan pada kunjungan
yang sama untuk konfirmasi diagnosis HIV. Hal ini terjadi pada
daerah yang menerapkan satu kali pemeriksaan, suatu pendekatan
yang dinamakan “tes untuk triase”. Konselor dan penyedia layanan tes

24
bertanggung jawab menjelaskan bahwa hasil yang didapatkan bukan
merupakan diagnosis HIV dan memerlukan konfirmasi serta merujuk
klien dengan hasil reaktif ke tempat dimana diagnosis HIV dapat
ditentukan. Pasien dimotivasi untuk sesegera mungkin ke fasilitas
pemeriksaan selanjutnya.
3. Tes ulang pada periode jendela
Pada sebagian besar kondisi, konseling pasca-tes menganjurkan
pasien dengan hasil tes HIV negatif untuk melakukan tes ulang. Tes
ulang dimaksudkan untuk mengeluarkan kemungkinan infeksi akut
pada periode yang terlalu dini untuk melakukan tes diagnostik
(periode jendela). Meski demikian tes ulang hanya perlu dilakukan
pada individu dengan HIV negatif yang baru saja mendapat atau
sedang memiliki risiko pajanan. Pada beberapa orang terduga terpapar
secara spesifik atau berisiko tinggi dapat disarankan tes ulang setelah
4 hingga 6 minggu. Orang berisiko tinggi seperti populasi kunci,
dianjurkan melakukan tes ulang secara regular setiap tahun. Tes ulang
memberikan kesempatan untuk memberikan kepastian diagnosis HIV
secara dini dan untuk mendapatkan edukasi mengenai pencegahan
HIV. Pada daerah dengan prevalens tinggi, tes ulang HIV pada wanita
hamil dapat dilakukan pada kehamilan lanjut, persalinan, atau
sesegera mungkin setelah persalinan.
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Seperti juga halnya penyakit infeksi lainnya,
diagnosis laboratorium HIV dapat dengan cara deteksi langsung virus HIV
atau bagian-bagian dari virus HIV misalnya dengan pemeriksaan antien p24,
PCR HIV-RNA atau kultur virus; atau dengan cara tidak langsung yaitu
dengan deteksi respon imun terhadap infeksi HIV atau konsekuensi klinis dari
infeksi HIV. Pemeriksaan tidak langsung lebih sering dipergunakan karena
lebih mudah dan murah daripada pemeriksaan langsung, tetapi mempunyai
kerugian terutama karena respon imun memerlukan jangka waktu tertentu
sejak mulai infeksi HIV hingga timbul reaksi tubuh. Pada masa jendela atau
window period ini, tubuh telah terinfeksi, tetapi pemeriksaan antibodi

25
memberikan hasil negative. Masa jendela dapat berlangsung hingga 6 bulan,
tetapi sebagian besar berlangsung kurang dari 3 bulan.7

3.1.9. Tatalaksana
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara
total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV dicapai melalui
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap
infeksi oportunistik.7
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat ARV,
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks, pengobatan suportif,
yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang elbih baik dan pengobatan
pendukung lain, seperti dukungan psikososial, dan dukungan agama, serta
tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.7
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan, seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, non-nucleotide reverse transcript inhibitor, dan
inhibitor protease. Tidak semua ARV tersedia di Indonesia.7

Nama Nama Golongan Sediaan Dosis (per


Dagang Generik hari)
Duviral Tablet, 2 x 1 tablet
kandungan:
zidovudin
300 mg,
lamivudine
150 mg

26
Stavir Stavudin NsRTI Kapsul : >60 kg:
Zerit (d4T) 30 mg, 40 mg 2 x 40 mg
<60 kg:
2 x 30 mg
Hiviral Lamivudin NsRTI Tablet 150 2 x 150 mg
3TC (3TC) mg <50 kg:
Larutan oral 2mg/kgBB,
10 mg/ml 2x/hari
Viramune Nevirapin NsRTI Tablet 200 1 x 200 mg
Neviral (NVP) mg selama 14
hari,
dilanjutkan 2
x 200 mg
Retrovir Zidovudin NsRTI Kapsul 100 2 x 300 mg,
Adovi (ZDV, AZT) mg atau 2 x 250
Avirzid mg (dosis
alternatif)
Videx Didanosin NsRTI Tablet >60 kg:
(ddI) kunyah: 2 x 200 mg
100mg atau 1 x 400
mg
<60 kg: 2 x
125 mg, atau
1 x 250 mg
Stocrin Efavirnez NNRTI Kapsul 200 1 x 600 mg,
mg malam
Nelvex Nelvinafir PI Tablet 250 2 x 1250 mg
Viracept mg
Tabel 2.3 Obat ARV yang Beredar di Indonesia7

Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan CD4 dan


deteksi penyakit penyerta serta infeksi oportunistik. Pemeriksaan CD4

27
digunakan untuk menilai derajat imunodefisiensi dan menentukan perlunya
pemberian profilaksis.15
Selanjutnya ODHA akan mendapatkan paket layanan perawatan
dukungan pengobatan yang dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Alur Pelayanan Pasca Diagnosis HIV15

Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan konseling


pasca-diagnosis untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai HIV
termasuk pencegahan, pengobatan dan pelayanan, yang tentunya akan
memengaruhi transmisi HIV dan status kesehatan pasien. Kesinambungan
pelayanan dan pencegahan penularan pasca-diagnosis merupakan komponen
kunci layanan tes HIV yang efektif dan komprehensif.15
Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang
benar dan cukup tentang terapi ARV sebelum memulainya. Hal ini sangat
penting dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus
diminum selama hidupnya. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan
minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak

28
diharapkan, atau terjadinya sindrom inflamasi rekonstitusi imun (immune
reconstitution inflammatory syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV,
komplikasi yang berhubungan dengan ARV jangka panjang, interaksi dengan
obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring pemeriksaan
laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4. Setelah
dilakukan konseling terapi, pasien diminta membuat persetujuan
tertulis/informed consent untuk memulai terapi ARV jangka panjang.15
Sebelum inisiasi ARV, lakukan penilaian klinis dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan stadium HIV dan membantu pemilihan paduan
yang akan digunakan.15
Walaupun terapi ARV saat ini diindikasikan pada semua ODHA tanpa
melihat jumlah CD4-nya, pemeriksaan jumlah CD4 awal tetap dianggap
penting, apalagi di Indonesia di mana masih banyak ODHA yang didiagnosis
HIV pada kondisi lanjut. Jumlah CD4 diperlukan untuk menentukan indikasi
pemberian profilaksis infeksi oportunistik. Stadium klinis juga tidak selalu
sesuai dengan jumlah CD4 seseorang. Pada satu studi di beberapa negara di
Afrika, hampir separuh ODHA dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/μL
diklasifikasikan sebagai stadium WHO kelas 1 dan 2.15
Pada ODHA yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, ARV
dimulai segera dalam 7 hari setelah diagnosis dan penilaian klinis. Pada
ODHA sudah siap untuk memulai ARV, dapat ditawarkan untuk memulai
ARV pada hari yang sama, terutama pada ibu hamil. Terapi ARV harus
diberikan pada semua pasien TB dengan HIV tanpa memandang nilai CD4.
Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8 minggu
pertama pengobatan TB (sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
ODHA dengan TB yang dalam keadaan imunosupresi berat (CD4 <50 sel/μL)
harus mendapat terapi ARV dalam 2 minggu pertama pengobatan TB (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti sedang). Terapi ARV dini pada meningitis
kriptokokus tidak direkomendasikan pada pasien dewasa, remaja, anak-anak
dengan HIV dan meningitis kriptokokus karena dapat meningkatkan
mortalitas. Terapi ARV sebaiknya ditunda hingga 4-6 minggu pasca-

29
pemberian terapi antijamur (sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi
pada dewasa dan kualitas bukti sangat rendah pada anak-anak dan remaja).15
Terapi ARV juga harus diberikan kepada semua ODHA perempuan
yang hamil dan menyusui, tanpa melihat stadium klinis atau nilai CD4 dan
dilanjutkan seumur hidup. Pada satu telaah sistematik, pilihan B+ (ODHA
hamil mendapat terapi ARV dan melanjutkan hingga seumur hidup) memiliki
mendapatkan keuntungan baik parameter klinis maupun imunologis lebih
baik dibandingkan perempuan yang menghentikan terapi ARV setelah
persalinan. Kejadian lost to follow up didapatkan lebih tinggi pada perempuan
yang tidak mendapat terapi ARV setelah melahirkan. Terapi ARV pada
perempuan dengan HIV yang hamil dan menyusui mempunyai tiga tujuan
sinergis, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, mencegah transmisi HIV dari ibu
ke anak, dan mencegah transmisi HIV dari ibu ke pasangan.

Panduan Terapi ARV Lini Pertama


Paduan ARV lini pertama harus terdiri dari dua nucleoside reverse-
transcriptase inhibitors (NRTI) ditambah non-nucleoside reverse-
trancriptase inhibitor (NNRTI) atau protease inhibitor (PI). Pilihan paduan
ARV lini pertama berikut ini berlaku pada pasien yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naif ARV). Sedangkan bagi pasien lama
yang sedang dalam pengobatan ARV, tetap menggunakan panduan yang
sebelumnya.15
Paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa, termasuk ibu
hamil dan menyusui, terdiri atas 3 paduan ARV. Paduan tersebut harus terdiri
dari 2 obat kelompok NRTI+1 obat kelompok NNRTI:15
 TDF+3TC(atau FTC)+EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap
merupakan pilihan paduan terapi ARV lini pertama (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
 Jika TDF+3TC(atau FTC)+EFV dikontraindikasikan atau tidak
tersedia, pilihannya adalah:15
o AZT+3TC+EFV
o AZT+3TC+NVP

30
o TDF+3TC(atau FTC)+NVP (sangat direkomendasikan, kualitas
bukti sedang)
 TDF+3TC(atau FTC)+EFV dapat digunakan sebagai alternatif paduan
terapi ARV lini pertama (rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti
sedang)

Panduan Terapi ARV Lini Kedua


Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan
NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan
3TC. Penggunaan ARV menggunakan boosted-PI + kombinasi 2 NRTI
menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja,
dan juga anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini
pertama.15
Pilihan paduan NRTI lini kedua sebagai berikut:15
 Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan TDF+3TC
(atau FTC), paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah
AZT+3TC. (sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang)
 Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan AZT+3TC,
paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah TDF+3TC (atau
FTC) (sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
Pilihan boosted-PI pada paduan lini kedua adalah LPV/r (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti sedang).15

31
Gambar 2.2 Panduan Terapi ARV Lini Kedua15

Pengobatan ARV Lini Ketiga


Pada kasus kegagalan lini pertama dan kedua dengan NRTI, NNRTI
dan PI seperti di Indonesia, paduan yang dapat diberikan selanjutnya adalah
kombinasi INSTI dan PI generasi kedua, dengan atau tanpa tambahan NRTI.
Studi Sailing pada ODHA yang sudah resisten berbagai obat namun belum
pernah menggunakan INSTI sebelumnya menunjukkan paduan boosted PI
dengan dolutegavir (DTG) dapat mensupresi virus lebih baik daripada
boosted PI dengan raltegravir (RAL) (71% dibanding 64% pada minggu ke-
48 pengobatan). Sebanyak 19% ODHA dalam penelitian tersebut
menggunakan paduan darunavir/ritonavir (DRV/r), TDF dengan DTG atau
RAL dan 10% menggunakan DRV/r, etravirin (ETV) dengan DTG atau
RAL.15
Pada ODHA yang gagal terapi dengan berbagai macam obat namun
tidak mempunyai akses untuk obat lainnya, seperti gagal terapi lini kedua
namun tidak ada obat lini ketiga, tujuan pengobatan ARV adalah
mempertahankan fungsi imunologis, mencegah perburukan klinis, dan
meniminalkan resisten terhadap obat golongan baru yang mungkin dapat

32
digunakan pada paduan selanjutnya. Pada kondisi seperti ini, ODHA
dianjurkan untuk melanjutkan paduan obat yang dapat ditoleransi selanjutnya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa meneruskan terapi ARV walaupun
supresi virus tidak terjadi dan CD4 tidan meningkat, risiko progresivitas
penyakit dapat dikurangi. Menambahkan satu obat ARV yang dianggap
masih aktif tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko timbulnya
resistensi lainnya.15

Gambar 2.3 Panduan Terapi ARV Lini Ketiga15

Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi


respons pengobatan. Evaluasi pasien selama dalam pengobatan dilakukan
bersama-sama antara dokter, perawat, konselor. Evaluasi tidak hanya
dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu pasien
dan keluarganya selama menjalani pengobatan.15
Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi
ARV. Perbaikan klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam masa
pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan terjadinya sindrom
inflamasi rekonstitusi imun (IRIS) atau toksisitas obat. Pemantauan awal dan
pemantauan selanjutnya harus selalu dilakukan untuk memastikan
keberhasilan terapi ARV, mendeteksi masalah terkait kepatuhan, dan
menentukan kapan terapi ARV harus diganti ke lini selanjutnya. Pemeriksaan
viral load rutin dilakukan pada bulan ke 6 dan ke 12 setelah memulai ARV
dan berikutnya setiap 12 bulan. Pada kondisi pemeriksaan viral load dapat

33
dilakukan rutin, pemeriksaan CD4 direkomendasikan untuk dilakukan pada
saat didiagnosis HIV, 6 bulan setelah pengobatan, sampai indikasi
menghentikan kotrimoksazol.15

3.1.10. Pencegahan
Menurut Permenkes no. 21 tahun 2013, pencegahan penularan HIV
dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan
tidak berisiko. Pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan penularan HIV
melalui hubungan seksual, pencegahan penularan HIV melalui hubungan
non-seksual, dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya.16
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan
berbagai upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit
IMS lain yang ditularkan melalui hubungan seksual. Pencegahan penularan
HIV melalui hubungan seksual dilaksanakan terutama di tempat yang
berpotensi terjadinya hubungan seksual berisiko. Pencegahan penularan HIV
melalui hubungan seksual dilakukan dengan 4 (empat) kegiatan yang
terintegrasi meliputi:16
 peningkatan peran pemangku kepentingan;
 intervensi perubahan perilaku;
 manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan; dan
 penatalaksanaan IMS.
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan
melalui upaya untuk:16
a. tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
b. setia dengan pasangan (Be Faithful);
c. menggunakan kondom secara konsisten (Condom use);
d. menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);
e. meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
f. mengobati IMS sedini mungkin (Education); dan
g. melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi

34
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan
untuk mencegah penularan HIV melalui darah. Pencegahan penularan HIV
melalui hubungan non seksual meliputi:16
a. uji saring darah pendonor;
b. pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang
melukai tubuh; dan
c. pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.
Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik meliputi:
a. program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku
serta dukungan psikososial;
b. mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat menjalani
program terapi rumatan;
c. mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan
penularan seksual; dan
d. layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui
4 (empat) kegiatan yang meliputi:16
a. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
b. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV;
c. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya; dan
d. pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi
kesehatan dan pencegahan penularan HIV. Pencegahan penularan HIV terhadap
ibu hamil dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan
konseling. Tes dan Konseling dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan
laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan
pada:16
a. semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan
terkonsentrasi; atau

35
b. ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah epidemi
rendah.
Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus diberikan konseling
mengenai:16
a. pemberian ARV kepada ibu;
b. pilihan cara persalinan;
c. pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable, and
safe).
d. pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia 6
bulan;
e. pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak; dan
f. pemeriksaan HIV pada anak.
Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes
virology HIV (DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan)
minggu atau tes serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.16

36

Anda mungkin juga menyukai