Anda di halaman 1dari 46

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres
2.1.1 Definisi
Menurut Kemenkes (2020) stres merupakan reaksi individu
baik secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada
perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang
menyesuaikan diri. Adapun pendapat lain menyatakan, stres
dapat diartikan dengan hubungan antara individu dan lingkungan
yang melampaui kemampuan dan membahayakan
kesejahteraannya. Stres merupakan kondisi yang disebabkan oleh
interaksi antara individu dengan lingkungan, dapat menimbulkan
persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang bersumber dari
keadaan biologis, psikologis, dan sosial seseorang. Selain itu,
stres juga merupakan suatu respon tubuh non spesifik terhadap
tuntutan yang di terima individu dalam hidupnya (Agusmar, et
al., 2019).
Stres merupakan kondisi yang menjadi masalah umum
yang sering terjadi dalam kehidupan manusia. Stres yang
kebanyakan terjadi pada saat ini adalah sebuah kelengkapan dari
kehidupan modern. Dengan demikian, stres sudah menjadi
bagian dari kehidupan yang tidak bisa dielakkan. Baik pada
lingkungan sosial, lingkungan sekolah, pekerjaaan, keluarga,
bahkan dimanapun, stres adalah hal lazim yang bisa dialami oleh
semua orang. Stres tidak hanya dialami oleh orang dewasa, stress
dapat menimpa anak-anak, remaja, bahkan yang sudah lanjut
usia. Dengan kata lain, stress pasti dapat terjadi pada semua
kalangan dan tidak memandang tempat. Hal yang menjadi
prioritas adalah apabila stres tersebut begitu banyak dialami oleh
seseorang (Gaol, 2016).

Universitas Muhammadiyah Palembang


7

2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO dalam (Ambarwati et.al., 2017) pada
penduduk dunia, prevalensi kejadian stres cukup tinggi dimana
hampir lebih dari 350 juta mengalami stres dan merupakan
penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia. Studi prevalensi stres
yang dilakukan oleh Health and Safety Executive di Inggris
melibatkan penduduk Inggris sebanyak 487.000 orangyang masih
produktif dari tahun 2013-2014. Didapatkan data bahwa angka
kejadian stres lebih besar terjadi pada wanita (54,62%)
dibandingkan pada pria (45,38%).

2.1.3 Faktor Penyebab


Suatu hal yang merupakan akibat pasti memiliki penyebab
atau yang disebut stressor, sama halnya dengan stress, seseorang
dapat mengalami stres karena menemui banyak masalah dalam
kehidupannya. Seperti halnya yang telah diungkapkan, stres
dapat dipicu oleh stressor. Stressor tersebut berasal dari berbagai
sumber menurut Andreasen. N. C and Black. D. W. 2001 dalam
(Musradinur, 2016), yaitu:
a. Lingkungan
Stressor yang termasuk pada stressor lingkungan di sini
yaitu:
1. Sikap lingkungan, seperti yang diketahui bahwa
lingkungan itu memiliki nilai negatif dan positif terhadap
prilaku masing-masing individu sesuai pemahaman
kelompok dalam masyarakat tersebut. Tuntutan inilah
yang dapat membuat individu tersebut harus selalu
berlaku positif sesuai dengan pandangan masyarakat di
lingkungan tersebut.
2. Tuntutan dan sikap keluarga, seperti tuntutan yang harus
seperti keinginan orangtua, misalnya untuk memilih
jurusan saat akan kuliah, perjodohan dan lain-lain yang

Universitas Muhammadiyah Palembang


8

bertolak belakang dengan keinginan dirinya sendiri dan


dapat menimbulkan tekanan pada individu tersebut.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK), hal ini menuntut sesorang selalu update
terhadap perkembangan zaman yang dapat membuat
sebagian individu berlomba menjadi yang pertama tahu
akan hal-hal baru, tuntutan tersebut dapat terjadi karena
rasa malu yang tinggi jika disebut gaptek.
b. Diri sendiri, terdiri dari:
1. Kebutuhan psikologis merupakan tuntutan terhadap
keinginan yang ingin dicapai.
2. Proses internalisasi diri yaitu tuntutan individu untuk
terus-menerus menyerap sesuatu yang diinginkan sesuai
dengan perkembangan.
c. Pikiran
1. Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan
dan pengaruhnya pada diri dan persepsinya terhadap
lingkungan.
2. Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara
penyesuaian yang biasa dilakukan oleh individu yang
bersangkutan.

2.1.4 Gejala Stres


Menurut Terry Beehr dan John Newman dalam (Rustiana
and Cahyati, 2012), gejala stres dapat dibagi dalam 3 (tiga) aspek
yaitu gejala psikologis, gejala psikis dan perilaku. Gejala
psikologis, berupa kecemasan, ketegangan, bingung, marah,
sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif,
mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri,
kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah mental, menurunnya
fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan
spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup,

Universitas Muhammadiyah Palembang


9

menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.


Selanjutnya gejala fisik yaitu, meliputi meningkatnya detak
jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan
non-adrenalin, gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan
lambung, mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian,
gangguan pada kulit, gangguan kardiovaskuler, gangguan
pernafasan, lebih sering berkeringat, kepala pusing, migrain
kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak
tidur).
Terakhir gejala pada perilaku, berupa menunda atau
menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas,
meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku
sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang
tidak normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu
makan dan penurunan drastis berat badan, meningkatnya
kecenderungan perilaku berisiko tinggi, seperti ngebut, berjudi,
meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan kualitas
hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman,

kecenderungan bunuh diri.

2.1.5 Tingkatan Stres


Menurut Stuart and Sundeen dalam (Putra et al., 2017) pada
tingkatanya stres dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian
yaitu:
1). Stres ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-
hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi
waspada dan bagaimana mencegah berbagai kemungkinan
yang akan terjadi.

2). Stres sedang

Universitas Muhammadiyah Palembang


10

Stres sedang, pada tingkat ini individu lebih memfokuskan


hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga
mempersempit lahan persepsinya. Respon fisiologis dari
tingkat stres ini didapat gangguan pada lambung dan usus
misalnya maag, buang air besar tidak teratur, ketegangan pada
otot, gangguan pola tidur dan mulai terjadi gangguan siklus
dan pola menstruasi. Pada respon perilaku sering merasa
badan terasa akan jatuh dan serasa mau pingsan, kehilangan
respon tanggap terhadap situasai, ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, dan daya konsentrasi
serta daya ingat menurun.
3). Stres berat
Stres berat merupakan lahan persepsi individu sangat
menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal
lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres.
Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan
lain dan memerlukan banyak pengarahan. Tingkat stres ini
juga mempengaruhi aspek fisiologik yang didapat seperti,
gangguan sistem pencernaan berat, debar jantung semakin
keras, sesak napas dan sekujur tubuh terasa gemetar. Pada
respon psikologis didapatkan kelelahan fisik terasa semakin
mendalam, timbul perasaan takut, cemas yang semakin
meningkat, mudah bingung dan panik (Atziza, 2015).

Depresi, ansietas dan stres dinilai dengan menggunakan kuesioner


Depression, Anxietas, Stress Scale 42 (DASS 42) yang
dikeluarkan oleh Psychology Foundation Australia. Kuesioner
yang digunakan adalah DASS 42 versi translasi ke bahasa
Indonesia oleh Damanik E (Nemiary, dkk, 2012). Pada kuesioner
ini terdapat masing-masing 42 pertanyaan untuk menilai adanya
depresi, ansietas dan stres. Masing-masing pertanyaan memiliki
skor 0-3.

Universitas Muhammadiyah Palembang


11

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai


dengan kategori dari Skala Depression, Anxietas, Stress Scale 42
(DASS 42) yaitu:
0 = tidak sesuai atau tidak pernah
1 = sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu, atau kadang-
kadang 2 = sesuai dengan saya sampai batas yang dapat
dipertimbangkan, atau lumayan sering
3 = sangat sesuai dengan saya, atau sering sekali

Penentuan derajat kecemasan dari Skala Depression,


Anxietas, Stress Scale 42 (DASS 42) yaitu dengan cara
menjumlah nilai skor dan item 1-42 dengan hasil:
- Skala depresi : 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31,34, 37, 38,
42
- Skala kecemasan : 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30,36, 40,
41
- Skala stress : 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35,
39

Tabel 2.1 Skor Skala DAAS 42


Tingkat Depresi Kecemasan Stres
Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Berat 21-27 15-19 26-33
Berat sekali >28 >20 >34

Pada penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar


derajat stres yang dialami oleh penderita thalassemia adalah
dengan menggunakan kuisioner yang diambil dari penelitan
sebelumnya (Handoko, 2017) yang berjudul “Hubungan
Manajemen Stres Dengan Tingkat Stres Pada Keluarga Pasien
Talasemia Di Ruang Melati RSUD Dr. Soedirman Kebumen”.

Universitas Muhammadiyah Palembang


12

2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Semua pengertian hipertensi merupakan angka yang sesuai
dengan kesepakatan berdasarkan evidence based atau
berdasarkan epidemiologi studi meta analisis. Hipertensi
merupakan penyakit tidak menular sampai saat ini menjadi
masalah kesehatan global. Hipertensi adalah suatu keadaan
dimana tekanan darah ≥140/90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadan istirahat (Arifin et
al., 2016).
Menurut Anggriani (2016), Hipertensi secara etiologi
dibagi menjadi dua yaitu hipertensi esensial/primer (90-95%) dan
hipertensi sekunder (510%). Hipertensi Esensial adalah
peningkatan tekanan darah secara drastis yang tidak diketahui
penyebab utamanya. Sedangkan, hipertensi sekunder dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit
jantung, dan gangguan anak ginjal (Cahya, 2019).
Beberapa pasien hanya meningkat pada tekanan darah
sistoliknya saja disebut isolated systolic hypertension (ISH), atau
yang meningkat hanya tekanan diastoliknya saja disebut isolated
diastolic hypertension (IDH). Ada juga yang disebut white coat
hypertension yaitu tekanan darah yang meningkat waktu
diperiksa di tempat praktek, sedangkan tekanan darah yang
diukur sendiri (home blood pressure measurement/HBPM)
ternyata selalu terukur normal. White coat hypertension dianggap
tidak aman (Yogiantoro, 2014).
Hipertensi persisten adalah istilah tekanan darah yang
meningkat, baik diukur di klinik maupun diluar klinik, termasuk
di rumah, dan juga selama menjalankan aktivias harian yang
biasa dilakukan. Walaupun bersama-sama meningkat, sering kali
tekanan darah di klinik lebih tinggi dari pada di luar klinik.
Adapun yang dimaksud hipertensi resisten ialah tekanan darah

Universitas Muhammadiyah Palembang


13

yang tidak mencapai target normal meskipun sudah mendapatkan


tiga kelas obat anti hipertensi yang berbeda dan sudah dengan
dosis optimal (Yogiantoro, 2014).

2.2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan ≤6% dari seluruh penduduk dunia,
dan merupakan suatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi.
Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian
dunia. Data epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi hipertensi, dengan meningkatnya harapan hidup atau
populasi usia lanjut. Lebih dari separuh populasi >65 tahun
menderita hipertensi, baik hipertensi sistol maupun kombinasi
sistolik dan diastolic (Mohani, 2014).
Prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun
di dunia adalah sekitar 38,4%. Prevalensi hipertensi di Asia
Tenggara mencapai 36,6%. Angka kejadian hipertensi akan terus
meningkat dan pada tahun 2025 sekitar 29% diprediksi orang
dewasa di seluruh dunia akan mengidap hipertensi. Pada tahun
2018 kejadian hipertensi menempati peringkat pertama penyakit
tidak menular yaitu sebanyak 185.857 kasus, kemudian disusul
oleh DM tipe 2 sebanyak 46.174 kasus dan disusul oleh Obesitas
sebanyak 13.820 kasus. Prevalensi hipertensi usia ≥ 18 tahun
mencapai 25,8% tahun 2013 dan meningkat menjadi 34,1% di
tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018).

2.2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan, yaitu (Putri et al., 2016):
1. Hipertensi primer atau hipertensi essensial, tidak
diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik.
Terdapat sekitar 90% kasus. Banyak faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti jenis kelamin, usia, genetik,

Universitas Muhammadiyah Palembang


14

obesitas, konsumsi alkohol, merokok, aktivitas fisik serta


faktor sosial ekonomi seperti jenis pekerjaan, lama
pekerjaan, pendapatan dan tingkat pendidikan
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar
5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti
penyakit tiroid, gagal ginjal, stenosis arteri renalis,
koartasio aorta, glomerulonefritis, pielonefritis,
hiperaldostreronisme, feokromositoma, sindrom cushing,
tumor system saraf pusat, penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi oral, kortikosteroid, siklosporin, eritropoetin
atau kokain (Rampengan, 2015). Penyebab yang
antaranya (Yogiantoro, 2014) :
a. Penyakit: penyakit ginjal kronik, sindroma cushing,
koarktasi aorta, obstructive sleep apnea, penyakit
paratroid, feokromositoma, aldosetorinsm primer,
penyakit renovaskular, penyakit tiroid
b. Obat-obatan:
1. Prednisone, fludrokortison, traimsinolon
2. Amfetamin/anorektik: phendimetrazine,
phentermine, sibutramine
3. Antivaskular endothelin growh factor agents
4. Estrogen: biasanya kontrasepsi oral
5. Calcineurin inhibitors; siklosporin, tacrolimus
6. Dekongestan: phenylpropanolamine & analog
7. Erythropoiesis stimulating agents:
erythropoietin, darbepoietin
8. NSADs, COX-2 inhibitors, venlafaxine, bupropion,
bramokriptin, buspirone, carbamazepine.
Clozapine, ketamin, metoklopramid
9. Makanan: sodium, etanol, licorice
10. Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan
sebagai berikut: cocaine, cocaine withdrawal,

Universitas Muhammadiyah Palembang


15

ephedra alkaloids (e.g.,mahuang), “herbal


ecstasy”, phenylpropanolamine analogs, nicotine
withdrawal, anabolic steroids, narcotic withdrawal,
methylphenidate, phencyclidine, ketamin, ergot-
containing herbal products.

Pengontrolan tekanan darah sistolik merupakan hal yang


lebih penting hubungannya dengan faktor risiko
kardiovaskular dibandingkan tekanan darah diastolik kecuali
pada pasien lebih muda dari umur 50 tahun. Hal ini disebabkan
oleh karena kesulitan pengontrolan tekanan darah sistol
umumnya terjadi pada pasien yang berumur lebih tua.
Percobaan klinik terbaru, memperlihatkan pengontrolan
tekanan darah efektif dapat ditemukan, namun kebanyakan
mereka menggunakan dua atau lebih obat kombinasi.
Namun, ketika dokter gagal dengan modifikasi gaya
hidup, dengan dosis obat-obat antihipertensi yang adekuat,
atau dengan kombinasi obat yang sesuai, maka menghasilkan
pengontrolan tekanan darah yang tidak adekuat (Nuraini,
2015).
JNC VIII merupakan salah satu guideline terbaru yang
dapat dijadikan acuan dalam penanganan hipertensi di
Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2014. JNC VIII saat
ini merekomendasikan ACEinhibitor, ARB, diuretik thiazide
dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit
hitam. Terapi awal untuk ras kulit hitam yang
direkomendasikan adalah diuretik thiazide dosis rendah atau
CCB (Kandarini, 2015). JNC VIII mempublikasikan
klasifikasi yang membatasi tekanan darah normal yaitu sistolik
di bawah 120 mmHg dan diastolik di bawah 80 mmHg, dan
menambah satu kategori satu yaitu prehipertensi jika tekanan
sistolik antara 120 dan 139 atau tekanan diastolik di antara 80

Universitas Muhammadiyah Palembang


16

dan 89 mmHg. Untuk hipertensi stadium I bila bila tekanan


sistolik 140-159 mmHg atau tekanan diastolik 90-99 mmHg,
hipertensi stadium II bila tekanan sistolik > 160 mmHg atau
diastolik > 100 mmHg. Klasifikasi menurut JNC VIII ini bisa
dilihat pada tabel 2.1 (Bell et al., 2015).

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VIII


Klasifikasi Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre-hipertensi 120-139 Atau 80-90
Hipertens
i 140-159 atau 90-99
Stage 1 ≥160 atau ≥100
Stage 2

(Sumber: Bell et al., 2015)

Klasifikasi tekanan darah didasarkan pada rata-rata dua


atau lebih pengukuran yang tepat pembacaan tekanan darah
dari dua atau lebih kunjungan klinis (Bell et al., 2015). Jika
tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik nilai
termasuk dalam kategori yang berbeda, klasifikasi keseluruhan
ditentukan berdasarkan dua tekanan darah yang lebih tinggi.
Tekanan darahnya diklasifikasikan menjadi salah satu dari
empat kategori: normal, prehipertensi, stadium 1 hipertensi
dan tahap 2 hipertensi. Prehipertensi tidak dianggap penyakit,
tetapi mengidentifikasi mereka yang cenderung berkembang
ke tahap 1 atau tahap 2 hipertensi di masa mendatang (Bell et
al., 2015).

2.2.4 Patogenesis
Penyebab hipertensi sangatlah kompleks dan multifaktorial.
Tidak dapat diterangkan oleh satu faktor penyebab. Pada

Universitas Muhammadiyah Palembang


17

akhirnya kesemuannya akan menyangkut kendali natrium (Na) di


ginjal sehingga tekanan darah akan meningkat. Setelah umur 45
tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena
adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga
pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi
kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena kelenturan
pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur
sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik
meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap
atau cenderung menurun.
Pengaturan tekanan darah yaitu reflex baroreseptor pada
usia lanjut sensitivitasnya sudah berkurang, sedangkan peran
ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus menurun (Nuraini, 2015). Namun terdapat
empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi
(Yogiantoro, 2014). Hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Peran volume intravaskular
Menurut Kaplan tekanan darah tinggi adalah hasil
interaksi antara cardiac output (CO) dan TPR (total
peripheral resistance) yang masng-masing dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Gambar 2.1). Volume intavaskular
meruapakan determinan utama untuk kestabilan tekanan
darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah
dalam posisi vasodilatasi atau vasokontriksi. Bila asupan
NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar eksresi
garam keluar bersama urine ini juga akan meingkat. Tetapi
bila upaya mengekresikan NaCl ini melebihi ambang
kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H20 sehingga
volume intravaskular meningkat.
Pada gilirannya CO akan meningkat. Akibatnya
terjadilah ekspansi volume intra vaskular, sehingga tekanan
darah akan meningkat. Seiring dengan perjalan waktu TPR

Universitas Muhammadiyah Palembang


18

juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO akan turun


menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR
vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sbaliknya bila TPR
vasokontriksi tekanan darah akan meningkat.
Tekanan darah yang dipengaruhi curah jantung dan
tahapan perifer, menyebabkan semua faktor yang
mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah. Tekanan darah dapat
diformulasikan pada gambar 2.1 sebagai berikut:

Tekanan darah = Curah jantung x Tahanan Perifer

Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi Berdasarkan Peran


Volume Intravaskular Sumber: Yogiantoro, 2014

2. Peran kendali saraf autonom


Persarafan aoutonom ada dua macam, yang pertama
adalah sistem saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan
menstimulasi saraf visceral (termasuk ginjal) melalui
neurotransmitter: katekolamin, epinefrin, maupun dopamine.
Sedangkan saraf parasimpatis adalah yang menghambat
stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan parasimpatis
berlangsung secara independen tidak dipengaruhi oleh
kesedaran otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti
siklus sirkardian.
Ada beberapa resptor adrenergic yang berada di jantung,

Universitas Muhammadiyah Palembang


19

ginjal, otak, serta dinding vaskular pembuluh darah ialah


reseptor α1, α2, β1 dan β2. Belakangan ditemukan reseptor β3
di aorta yang ternyata kalau dihambat dengan beta bloker β1
selektif yang baru (nebivolol) maka akan memicu terjadinya
vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO). Karena
pengaruh- pengaruh lingkungan misalnya genetic, stes kejiwaan,
rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf
simpatis berupa kenaikan katekolami, nor epinefrin (NE) dan
sebagainya.
Selanjutnya neurotransmitter ini akan meningkatkan
denyut jantung (heart Rate) lalu diikuti kenaikan CO, sehingga
tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan mengalami
agregasi platelet. Peningkatan neurotransmitter NE ini
mempunyai efek negarif terhadap jantung, sebab di jantung ada
reseptor α1, β1 dan β2 yang akan memicu terjadinya kerusakan
miokard, hipertrofi dan aritmia dengan akibat progresivitas dari
hipertensi aterosklerosis. Karena pada dinding pembuluh darah
juga ada reseptor α1, maka bila NE meningkat hal tersebut akan
memicu vasokontriksi sehingga hipertensi aterosklerosis juga
makin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di
ginjal ada reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya
retensi natrium, mengaktivasi RAA, memicu vasokontriksi
pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis yang
semakin progresif. Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah
normal maka sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan
berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ target/ Target
Organ Damage (TOD).

Universitas Muhammadiyah Palembang


20

Gambar 2.2. Patogenesis Hipertensi Berdasarkan Peran kendali

saraf autonomi (Sumber: Yogiantoro, 2014)

3. Peran renin angiotensin aldosteron (RAA)


Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu
reflex baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA
akan dipicu mengikuti kaskade seperti yang tampak pada
gambar di bawah ini, yang mana pada akhirnya renin akan
disekresikan, lalu angiotensin I (A I), angiotensin II (A II),
dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali.
Begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi
melalui aktifasi dari sistem RAA. Adapun proses
pembentukan renin dimulaui dari pembentukan
angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya
angiotensinogen akan dirubah menjadi angiotensin I oleh
renin yang dihasilkan oleh macula densa apparat juxta
glomerulus renal. Lalu angiotensi I akan dirubah menjadi
angiotensin II oleh enzim ACE. Akhirnya angiotensin II ini
akan bekerja pada reseptor-reseptor yang terkait dengan
tugas proses fisiologinya ialah di reseptor AT1, AT2, AT3,
AT4.
Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem
RAA. Tekanan darah semakin meningkat, hipertensi
aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan

Universitas Muhammadiyah Palembang


21

utama memicu progresifitas ialah angiotensi II, bukti


klinisnya sangat kuat. Setiap intervensi klinik pada tahap-
tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini terbukti
selalu bisa menghambat progresifitas dan menurunkan risiko
kejadian kardiovaskular.

Gambar 2.3. Patogenesis Hipertensi Berdasarkan Peran Peran


renin angiotensin aldosteron (RAA) Sumber: Yogiantoro, 2014

2.2.5 Manifestasi Klinis


Hipertensi sering disebut sebagai “the silent killer”
dikarenakan hipertensi tidak menunjukkan tanda-tanda atau
gejala yang khas. Hal tersebut dapat berlangsung selama
bertahun-tahun tanpa disadari oleh penderita. Sering kali
diketahui ketika melakukan chek up kesehatan (Nuraini, 2015).
Peninggian tekanan darah seringkali merupakan satu-satunya
gejala pada hipertensi esensial. Kadang-kadang hipertensi
esensial berjalan tanpa gejala, manifestasi klinis yang dapat
timbul berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang
disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah
intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan
langkah tidak mantap karena kerusakan saraf, nokturia karena
peningkatan aliran darah ke gijal dan filtasi glomerulus, edema
dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan

Universitas Muhammadiyah Palembang


22

pembuluh darah otak dapat meinimbulkan stroke atau serangan


iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara
pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epitaksis, mudah
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidurm
dan mata berkunang-kunang.jika ada gejala yang dialami adalah
sakit kepala, mimisan, pusing atau migren (Nuraini, 2015).

2.2.6 Faktor Resiko


A. Faktor risiko yang Tidak Bisa diubah
1) Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko
hipertensi. Umumnya orang dewasa muda laki-laki
memiliki kemungkinan lebih menderita hipertensi
dibandingkan perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh
fungsi hormonal. Perempuan lebih kecil menderita
hipertensi dikarenakan adanya peranan hormone
estrogen sebagai sistem proktektif kardiovaskuler.
Hipertensi berdasarkan gender dapat pula dipengaruhi
oleh faktor psikologis. Laki-laki lebih berhungan dengan
pekerjaan seperti perasaan kurangn yaman terhadap
pekerjaan, menganggur, dan perilaku tidak sehat sepeti
merokok, dan lain sebagainya (Tumanduk et al., 2019).
Teori menyebutkan bahwa laki-laki memiliki risiko lebih
besar untuk menderita hipertensi daripada perempuan
Aktivitas plasma renin (kadar prorenin dan renin) laki-
laki biasanya lebih tinggi daripada perempuan yang akan
berpengaruh pada sintesis AT II dalam sistem renin
angiotensin. 29 testosteron dapat secara langsung
merangsang reabsorpsi natrium melalui tubulus
proksimal ginjal. Androgen reseptor terlokalisir ke
tubulus proksimal ginjal dapat mempengaruhi sintesis

Universitas Muhammadiyah Palembang


23

komponen Renin Angiotensin System (RAS) sehingga


menyebabkan peningkatan produksi AT II di ginjal dan
dengan demikian mempengaruhi tekanan darah. Salah
satu mekanisme yang bisa digunakan adalah melalui
efeknya pada produksi vasokonstriktor (Oktaviarni et
al., 2019).
2) Usia
Pertambahan usia menyebabkan terjadinya perubahan
fisiologis dalam tubuh seperti penebalan dinding arteri
akibat penumpukan zat kolagen pada lapisan otot
pembuluh darah sehingga pembuluh darah menyempit
dan menjadi kaku yang dimulai saat usia 45 tahun.
Selain itu juga terjadi peningkatan resistensi perifer dan
aktivitas simpatis serta kurangnya sensitivitas
baroreseptor (pengaturan tekanan darah) dan peran ginjal
dimana aliran darah ginjal dan laju filtasi glomerulus
menurun (Pramana, 2016). Tekanan darah tinggi lebih
sering diderita pria dari pada wanita dikelompok usia
yang sama. Namun, pada usia 60 tahun atau lebih justru
lebih cenderung diderita oleh wanita. Hal tersebut
dikarenakan menurunnya peranan hormone estrogen
sebagai proteksi vaskular dari kerusakan sehingga
mengakibatkan wanita yang mengalami menopause
cenderung lebih tinggi dibandingkan pria seumurya
(Kusumawaty et al., 2018).
3) Genetik
Faktor genetik berperanan besar terhadap kejadian
hipertensi. Penderita hipertensi esensial sekitar 70-80%
lebih banyak pada kembar monozigot dari pada
heterozigot. Adanya faktor genetik pada keluarga
meningkatkan risiko menderita hipertensi. Hal tersebut
terjadi karena berhubungan dengan peningkatan kadar

Universitas Muhammadiyah Palembang


24

sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara


potassium terhadap sodium. Seseorang yang memiliki
orang tua dengan hipertensi berisiko dua kali lebih besar
untuk mendertia hipertensi dibandingkan dengan pada
orang yang tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam
keluarga. Terdapat banyak gen yang dapat
mempengaruhi tekanan darah, seperti gen yang
mengkode system rennin-angiotensin, gen yang berperan
dalam homeostatis natrium ginjal dan gen yang mengatur
metabolism steroid (Sarumaha & Diana, 2018).
4) Ras
Ras memiliki pengaruh besar terhadap angka kejadian
hipertensi. Pada orang kulit hitam berisiko lebih besar
menderita hipertensi. Hal tersebut terjadi ketika
prediposisi kadar renin plasma yang rendah dapat
mengurangi kemampuan renal untuk mengekskresikan
kadar natrium yang berlebih.

B. Faktor risiko yang dapat dikendalikan


1. Gaya Hidup:
a) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor risiko terjadinya
hipertensi. Aktivitas fisik mengurangi risiko hipertensi
dengan mengurangi resistensi pembuluh darah dan
menekan aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem
renninangiotensin. Aerobik selama 30-45 menit/hari
efektif mengurangi risiko hipertensi 19-30%. Kebugaran
kardio respirasi rendah pada usia paruh baya diduga
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%. Orang-
orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih tinggi. Semakin tinggi detak jantung
semakin keras jantung bekerja untuk setiap kontraksi dan

Universitas Muhammadiyah Palembang


25

semakin kuat desakan pada dinding arteri . Hal tersebut


meningkatkan risiko terjadinya hipertensi (Hardati &
Ahmad, 2017).
Berdasarkan Beacke Questionnaire, mengukur
aktivitas fisik seseorang terbagi menjadi 3 domain yaitu
aktivitas sehari-hari, aktivitas olahraga dan aktivitas
waktu senggang. Sedangkan aktivitas fisik akan
menunjukan hasil aktivitas ringan, aktivitas sedang dan
aktivitas berat (Utami & Dieny, 2016). Adapun
pengertian dari ketiga klasifikasi aktivitas fisik :
1. Aktivitas ringan adalah segala sesuatu yang
menggerakan tubuh, sama dengan aktivitas sehari-
hari yang hanya memerlukan sedikit tenaga dan
biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam
pernapasan atau ketahanan (endurance).
2. Aktivitas sedang merupakan kegiatan yang
membutuhkan gerakan membutuhkan otot yang
intens atau terus menerus, gerakan otot yang
berirama atau kelenturan namun dalam durasi yang
minimum dan menyebabkan perubahan nafas sedikit
lebih cepat dari biasanya.
3. Aktivitas berat merupakan aktivitas yang
membutuhkan kekuatan otot yang terus-menerus,
menghabiskan banyak energi tubuh dan dalam
durasi yang lama sehingga menyebabkan perubahan
nafas menjadi cepat dan tingkat kelelahan yang
tinggi

b) Obesitas
Obesitas sangat erat berhubungan dengan
hipertensi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya
kadar lipid dalam tubuh. Meningkatnya lipid

Universitas Muhammadiyah Palembang


26

menginisiasi tubuh untuk melepaskan melepaskan


sitokin yang meningkatkan produksi reactive oxidative
species (ROS) dan menurunkan nitric oxide (NO).
Peningkatan sitokin dan ROS yang disertai penurunan
kadar NO menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan resistensi pembuluh darah yang berujung
pada terjadinya hipertensi. Peningkatan lemak
berhubungan dengan tingginya kadar kolesterol dalam
tubuh, yakni LDL. Peningkatan LDL dalam darah
meningkatkan risiko kejadian aterosklerosis dan
sehingga meningkatkan terjadinya peningkatan tekanan
darah (Gunawan & Andriani, 2020).
c) Garam
Tingginya asupan garam merupakan menstimulasi
mekanisme peningkatan tekanan darah. Tekanan darah
meningkat akibat peningkatan volume plasma tubuh.
Konsumsi garam menyebabkan haus dan mendorong
kita minum. Hal tersebut melatarbelakangi peningkatan
volume darah di dalam tubuh sehingga jantung harus
mempompa lebih kuat dan mengakibatkan tekanan
darah meningkat. Karena input harus sama dengan
output dalam sistem vaskular, jantung harus memompa
lebih kuat dengan tekanan lebih tinggi (Polii et al.,
2016).
d) Rokok
Rokok merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya hipertensi yang dapat dikendalikan. Semakin
lama seseorang menghisap rokok maka akan
meningkatkan pengaruh terhadap kenaikan tekanan
darah atau hipertensi. Hal ini dapat disebabkan karena
gas CO yang dihasilkan oleh asap rokok dapat
berpengaruh besar terhadap kenaikan tekanan darah.

Universitas Muhammadiyah Palembang


27

Jika rokok/nikotin dikonsumsi terus menerus maka


akan menumpuk di dalam dinding pembuluh darah
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Peningkatan ini terjadi karena nikotin menyempitkan
pembuluh darah sehingga memaksa jantung untuk
bekerja lebih keras, dan sebagai hasil akhir ialah
kecepatan jantung dan tekanan darah meningkat
(Setyanda et al., 2015).
e) Alkohol
Alkohol merupakan jenis minuman yang
mengandung unsur-unsur yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Penjelasan mengenai mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum
jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.
Kandungan pada minuman berakohol yang
menurunkan tingkat kedasaran bagi konsumennya
adalah zat etanol dan juga terdapat zat adiktif yang
memiliki efek kecanduan sehingga pada akhirnya
malah merasa bergantung pada minuman keras.
Minuman keras juga memengaruhi sistem kerja otak
karena miras menghambat kekurangan oksigen oleh
sebab itu pengguna miras merasakan pusing (Sarumaha
& Diana, 2018).
f) Kopi
Kopi merupakan jenis minuman yang berasal dari
proses pengolahan biji tanaman kopi yang mengandung
kafein, polifenol dan kalium. Ketiga kandungan kopi
tersebut yang meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi. Peningkatan tekanan darah ini terjadi
melalui mekanisme biologi antara lain kafein mengikat

Universitas Muhammadiyah Palembang


28

reseptor adenosin, mengaktifasi system saraf simpatik


dengan meningkatkan konsentrasi cathecolamines
dalam plasma, dan menstimulasi kelenjar adrenalin
serta meningkatkan produksi kortisol. Hal ini
berdampak pada vasokonstriksi dan meningkatkan total
resistensi perifer, yang akan menyebabkan tekanan
darah naik.
Kandungan kafein pada kopi berbeda-beda,
tergantung pada jenis kopi, asal kopi, iklim daerah kopi
dibudidayakan, dan proses pengolahan kopi. Selain
kandungan kafein yang dapat meningkatkan tekanan
darah, ada pula kandungan kopi lain yang
mempengaruhi tekanan darah, yaitu kandungan
polifenol dan kalium. Polifenol menghambat terjadinya
atherogenesis dan memperbaiki fungsi vaskular.Kalium
menurunkan tekanan darah siastolik dan diastolik
dengan menghambat pelepasan renin sehingga terjadi
peningkatan ekskresi natrium dan air. Hal tersebut
menyebabkan tejadinya penurunan volume plasma,
curah jantung, dan tekanan perifer sehingga tekanan
darah akan turun (Kurniawaty & Insan, 2016).
g) Minyak Jelatah
Penggunaan minyak yang berulang, akan
menimbulkan asam lemak trans. Selanjutnya, zat ini
akan mempengaruhi metabolisme profil lipid darah
yaitu HDL kolesterol dan LDL kolesterol dan total
kolesterol yang kemudian menimbulkan penyumbatan
pada pembuluh darah atau disebut atherosklerosis yang
dapat memicu terjadinya hipertensi, stroke dan
penyakit jantung koroner (Fitriayani et al., 2020).
h) Stres
Stres merupakan respon fisiologis dan psikologis

Universitas Muhammadiyah Palembang


29

manusia yang dalam mengadaptasi dan mengregulasi


tekanan internal maupun eksternal. Stres dibagi
menjadi tiga tingkatan, yakni stres ringan, stres sedang
dan stres berat. Stres dapat bertindak secara langsung
dengan mempengaruhi sistem aksis hipotalamus-
hipofisisadrenal (HPA) dan sistem saraf otonom,
menyebabkan pelepasan katekolamin abnormal yang
merusak kinerja vaskular, dorongan simpatis yang tidak
tepat, dan dengan demikian memberi kontribusi untuk
meningkatkan tekanan arteri (Sari et al., 2018).
2. Sosial Ekonomi
a) Jenis pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan
orang untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari
manusia mempunyai kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi. Semakin padat rutinitas waktu pekerjaan
maka semakin tinggi beban fisik dan mental
seseorang. Hal tersebut melatarbelakangi terjadinya
peningkatan tekanan darah. Suatu jenis pekerjaan
yang dilakukan melebihi batas waktu kerja memicu
terjadinya kelelahan kerja sehingga mempengaruhi
aspek beban mental, fisik, dan waktu kerja (Ikhwan et
al., 2017).
b) Waktu kerja
Beban kerja meliputi pembatasan jam kerja dan
jam kerja yang diharuskan adalah 6-7 jam setiap
harinya. Sisanya digunakan untuk keluarga dan
masyarakat, istirahat, tidur dan lainlain. Dalam satu
minggu seseorang bekerja dengan baik selama 40-50
jam, lebih dari itu terlihat kecenderungan yang negatif
seperti kelelehan kerja, penyakit dan kecelakaan kerja
(Sinubu, dkk, 2015). Semakin lama waktu kerja maka

Universitas Muhammadiyah Palembang


30

tubuh akan mengalami stress mengeluarkan hormon


adrenalin dan kortisol sehingga mengakibatkan
peningkatan denyut jantung lebih kencang atau
sedangkan hormone kortisol menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah. Sehingga saat terjadi
vasokontriksi pembuluh darah dan jantung berdenyur
cepat akhirnya akan mengakibatkan kenaikan tekanan
darah (AHA, 2014).
c) Pendapatan
Negara dengan penghasilan rendah dan
menengah menunjukkan hasil signifikan untuk
terjadinya hipertensi. Di Indonesia menggunakan
standar pendapatan atau upah berdasarkan dari
penentapan Upah minimum. Upah minimum adalah
suatu standar minimum yang digunakan oleh para
pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan
upah kepada pekerja dalam lingkungan usaha atau
kerjanya. Upah minimum ditetapkan di tingkat
Provinsi, Kabupaten/ Kotamadya, dan Sektoral/
berdasarkan Pasal 89 UU 13/2003, setiap wilayah
diberikan hak untuk mementapkan kebijakan upah
minimum mereka sendiri baik di tingkat Provinsi,
Kabupaten, dan Kotamadya. Karena pemenuhan
kebutuhan yang layak di setiap provinsi berbeda-
beda. Pada tingkat masyarakat atau kelompok yang
berpenghasilan rendah memiliki peningkatan risiko
hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok berpenghasilan tinggi. Kebanyakan dari
masyarakat Indonesia dengan ekonomi menengah ke
bawah, yang lebih banyak menggunakan
penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pokok
seperti membayar kebutuhan hidup contohnya

Universitas Muhammadiyah Palembang


31

membayar sewa rumah, bayar listrik dan bayar air


dari pada mengutamakan makan makanan sehat dan
memeriksakan kesehatan (Sarki et al., 2015).
Bahkan terkadang meskipun telah mengetahui
bahwa dirinya menderita hipertensi, mereka
mengabaikan nasihat dari petugas kesehatan tentang
pengobatan hipertensi, karena kecenderungan orang-
orang yang hidup sendiri dan daya ingatnya sudah
mulai menurun. Sehingga hal tersebutlah yang
menjadi latarbelakang terjadinya peningkatan tekanan
darah (Sarki et al., 2015).
d) Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor
yang dapat dimodifikasi. Rendahnya tingkat
pendidikan dan pengetahuan masyarakat mengenai
pola perilaku hidup sehat meningkatkan angka
kejadian hipertensi. Sehingga sangat diperlukannya
upaya preventif yang lebih tertuju pada pemberian
motivasi oleh tenaga kesehatan tentang perilaku sehat,
pola makanan sehat, aktivitas yang mendukung dalam
menurunkan tekanan darah (Sarumaha & Diana,
2018).

2.2.7 Diagnosis
Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai
keluhan. Hipertensi adalah the silent killer. Penderita baru
mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi. Diagnosis
dilakukan secara sistematik dimulai dari anamnesa, pemeriksaan
fisik dan penunjang bila diperlukan (Yogiantoro, 2014).
A. Anamnesis
Anamnesis yang pertama kali perlu dicari informasinya
adalah identitas pasien selanjutnya melakukan anamnesis yang

Universitas Muhammadiyah Palembang


32

meliputi riwayat hipertensi sebelumnya, riwayat konsumsi


obat antihipertensi, riwayat hipertensi di keluarga, riwayat
merokok, konsumsi garam, konsumsi alkohol, aktivitas fisik
yang dilakukan sehari-hari, faktor psikososial dan pada wanita
perlu ditanyakan mengenai hipertensi pada masa kehamilan
(Adrian & Tommy, 2019).
B. Pemeriksaan Fisik
Diagnosa hipertensi dapat ditetapkan dengan pengukuran
tekanan darah dalam dua atau lebih pengukuran yang
berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-
gejala klinis.
Diperlukan pengukuran darah yang akurat, karena kadang-
kadang peninggian tekanan darah merupakan satu-satunya
tanda klinis, cara pengukuran tekanan darah yang baik dan
benar adalah sebagai berikut (Kaplan, 2002):
1. Posisi Pasien
Awalnya pengukuran tekanan darah, hanya untuk pasien
berusia lebih dari 65 tahun, memiliki diabetes, atau
menerima pengobatan antihipertensi. Pasien harus duduk
secara tenang selama 5 menit dengan tangan yang
terpasang manset sejajar dengan proyeksi jantung dan
punggung bersandar secara rileks pada kursi. Perlu
dilakukan pemeriksaan kembali dengan perubahan posisi
dan pembacaan setelah 5 menit dalam posisi tubuh
supinasi, kemudian dengan segera berdiri dan diukur 2
menit setelah berdiri.
2. Situasi
Pasien tidak boleh mengkonsumsi kafein dan tidak boleh
merokok 30 menit sebelum pengukuran. Pasien juga harus
dipastikan tidak menggunakan stimulant adrenergic
eksogen (misalnya fenilefrin pada dekongestan nasal/
inhaler). Pengukuran harus dilakukan pada ruangan yang

Universitas Muhammadiyah Palembang


33

tenang dan hangat.


3. Perlengkapan
Ukuran manset, diameter balon harus paling tidak
melingkari 80 % dari lengan dan menutupi dua pertiga
dari panjang lengan atas, jika tidak letakkan balon di atas
arteri brakialis. Balon yang terlalu kecil dapat
menyebabkan kesalahan pembacaan yang terlalu tinggi.
Gunakan manometer air raksa aneroid yang terkalibrasi,
atau jenis elektronik yang tervalidasi. Bagian stetoskop
yang dipakai adalah bagian bel untuk menghindari
gangguan / intervensi dan manset harus diletakkan dengan
selang pada puncaknya.
4. Teknik
Pada setiap kesempatan, ambil minimal dua kali
pembacaan dalam rentang waktu beberapa menit. Apabila
pada pengukuran terdapat perbedaan lebih dari 5 mmHg,
lakukan beberapa pengukuran sampai tidak terdapat
perbedaan.
5. Pengukuran
Kembangkan balon secara cepat sampai tekanan darah di
atas 20 mmHg diatas tekanan darah sistolik, ditandai
dengan menghilangnya pulsari arteri radialis. Hal ini
dimaksudkan celah auskulatasi (auskulatasi gap).
Kempiskan balon 3 mmHg perdetik. Catat bunyi
Korotkoff 1 (muncul) dan Korotkoff V (menghilang). Jika
bunyi Korotkoff lemah, minta pasien mengangkat lengan
atas dan mengepalkan tangan selama 5-10 menit
kemudian kembangkan balon secara cepat.
6. Pencatatan
Catat tekanan darah, posisi pasien, lengan dan ukuran
manset, misalnya 140/mmHg,duduk,lengan kanan, manset
ukuran dewasa. (Kaplan, 2002) Apabila menemukan

Universitas Muhammadiyah Palembang


34

penderita hipertensi pada pemeriksaan pertama atau


penderita tersebut mengetahui pertama kali menderita
hipertensi, maka anjuran pemeriksaan selanjutnya
dilakukan pengukuran sampai 2-3 kali pengukuran
tekanan darah selama tiga kali kunjungan terpisah (Fitri,
2015). Biasanya kunjungan dilakukan dengan interval 1-4
minggu diperlukan untuk memastikan diagnosis
hipertensi. Diagnosis dapat ditegakkan dalam sekali
kunjungan, jika tekanan darah ≥180/110 mmHg dan
terdapat bukti penyakit kardiovaskular (Unger, 2020).

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : tes
darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total
serum, kolesterol LDL, dan HDL serum, trigliserida serum
(puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum,
hemoglobin dan hematokrit, urinalisis (uji carik celup serta
sedimen urin), elektrokardiogram. Beberapa pedoman
penanganan hipertensi menganjurkan test lain seperti: EKG,
USG karotis (dan femoral), C-reactive protein,
mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin,
proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada
hipertensi berat). Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan
untk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu:
aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak), diabetes
(kadar gula darah), fungsi ginjal (Yogiantoro, 2014).

2.2.8 Tatalaksana
A. Tatalaksana non farmakologi
Modifikasi gaya hidup dalam penatalaksanaan
nonfarmakologi sangat penting untuk mencegah ataupun
memperlambat awitan hipertensi dan dapat mengurangi risiko

Universitas Muhammadiyah Palembang


35

kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat


ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat
I, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat pada
pasien dengan risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup sehat
telah terbukti menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan
konsumsi garam dan alcohol, peningkatan konsumsi sayuran
dan buah, penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal,
aktivitas fisik teratur, serta menghindari rokok. Penatalaksanaan
nonfarmakologis pada penderita hipertensi bertujuan untuk
menurunkan tekanan darah tinggi dengan cara memodifikasi
faktor resiko yaitu:
1. Pembatasan konsumsi garam
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan
hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya
tidak lebih dari 2 gram/hari (setara 5-6 gam NaCl perhari
atau 1 sendok the garam dapur). Sebaiknya menghindari
makanan dengan kandungan tinggi garam.
2. Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk mengkonsumsi
makanan seimbang yang mengandung sayuran, kacang-
kacangan, buahbuahan segar, produk susu rendah lemak,
gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak
zaitun), serta mematasi asupan dagin merah dan asam lemak
jenuh.
3. Perununan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah
obesitas dan menargetkan berat badan ideak dengan lingkar
pinggan <90cm pada laki-laki dan <80cm pada perempuan.
4. Olahraga teratur
Olahraga aerobic teratur bermanfaat untuk pencegahan
dan pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan
mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur dengan intesitas

Universitas Muhammadiyah Palembang


36

dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil


dibandingkan dengan latihan intesitas sedang atau tinggi,
sehingga pasien hipertensi disarankan untuk berolahraga
setidaknya 30 menit katihan aerobic dinamik berintesitas
sedang (seperti: berjalan, jogging, bersepeda, atau berenang)
5-7 hari per minggu.
5. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker,
sehingga status merokok harus ditanyakan pada setiap
kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok
harus diedukasi untuk berhenti merokok.
B. Pengobatan Farmakologi
Stategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan
penatalaksanaan hipertensi saat ini adalah dengan
menggunakan terapi obat kombinasi pada sebagian besar
pasien, untuk mencapai tekanan darah sesuai target. Bila
tersedia luas dan memungkinkan, maka dapat diberikan dalam
bentuk pil tunggal berkombinasi (single pill combination),
dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan.
1. Obat-obat untuk penatalaksanaan hipertensi
Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin
direkomendasikan yaitu : ACEi, ARB, beta bloker, CCD
dan diuretic, dapat dilihat jenis obatnya pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Obat Antihipertensi


Kelas Obat-Obatan Obat Dosis Frekuensi
Lini Utama (mg/hari) per hari
Tiazid atau Hidroklorothiazid thiazide- 1
type Indapamide 1
diuretics
ACE Inhibitor Captopril 12,5-150 2 atau 3
Enalapril 5-40 1 atau 2

Universitas Muhammadiyah Palembang


37

Lisinopril 10-40 1
Perindopril 5-10 1
Ramipril 2,5-10 1 atau 2
ARB Candesartan 8-32 1
Eprosartan 1
1
Irbesartan
Losartan 50-100 1 atau 2
Olmersartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1
CCB-hidropiridin Amlodipin 2,5-10 1
Felodipin 5-10 1
Nifedipin OROS 30-90 1
Lercanidipin 1
CCB- Diltiazem SR 2
nonhidropiridin Diltiazem CD 100-200 1
Verapamil SR 120-480 1 atau 2

Tabel 2.3 Obat Antihipertensi (lanjutan


tabel)
Kelas Obat-Obatan Obat Dosis Frekuensi
Lini Kedua (mg/hari) per hari
Diuretik loop Furosemid 20-80 1
Eprosartan 600 1
Irbesartan 150-300 1
Losartan 50-100 1 atau 2

Olnesartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1

Universitas Muhammadiyah Palembang


38

Diuretik hemat Amilorid 5-10 1 atau 2


kalium Tramteren 50-100 1 atau 2
Diuretik anagonis Eplerenon 50-100 1 atau 2
aldosterone Spironolakton 25-100 1
Beta bloker- Atenolol 25-100 1 atau 2
kardioselektif Bisoprolol 2,5-10 1
Metaporlol tartrate 100-400 2

Beta bloker- Nebivolol 5-40 1


kardioselektif dan vasodilator
Beta bloker-non Propanolol IR 160-480 2
kardioselektif
Propanolol LA 80-320 1

Beta bloker- Carvedilol kombinasi 12,5-50 2


reseptor alfa dan beta
Alfa 1 bloker Doxazosin 1-8 1
Prazosin 2-20 2 atau 3
Terazosin 1-20 1 atau 2
Sentral alfa-1 Metildopa agonis dan 250-100 2
obat sentral lainnya Klonidin 0,1-0,8 2
Direct vasodilator Hidralazin 25-200 2 atau 3
Minoxidil 5-100 1-3

Sumber: ACC/AHA Guideline of Hypertension, 2017


ACE = angiotensin-converting enzyme; ARB = angiorensin
receptor blocker, CCB = calcium channel blocker; OROS =
osmotic-controlled release pral delivery system; IR= immediate
release; LA = long-acting; SR
= sustained release.

2. Mekanisme Kerja Obat Antihipertensi


a) ACE inhibitor
ACE inhibitor Angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif

Universitas Muhammadiyah Palembang


39

pembentukan angiotensin II dari prekursor


angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah,
pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. Angitensin II merupakan vasokonstriktor kuat
yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan
pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan
tekanan darah. Jika sistem angiotensin-
reninaldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan
penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga
bertanggung jawab terhadap degradasi kinin,
termasuk bradikinin, yang mempunyai efek
vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan
menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.
Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik
obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi
mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien
akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis
pertama ACEi harus diberikan pada malam hari
karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi dan efek ini akan meningkat jika pasien
mempunyai kadar sodium rendah (Katzung et al.,
2012).
b) Angiotensin II Receptor Blockers
Antagonis Angiotensin II Reseptor Angiotensin
(AIIRA) ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1
dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon
farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi
dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya

Universitas Muhammadiyah Palembang


40

menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2


masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II
tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem
renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1
dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II
mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin
II (AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan
ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena
efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal
bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang
mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu (Katzung
et al., 2012).
c) Beta-blocker
Beta blocker memblok beta-adrenoseptor. Reseptor
ini diklasifikasikan menjadi reseptor β-1 dan β-2.
Reseptor β1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor β-2 banyak ditemukan di paru‐
paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor
β-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan
reseptor β-1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor
beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor
beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system
saraf simpatis. Stimulasi reseptor β-1 pada nodus
sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart rate
dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada
ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin,
meningkatkan aktivitas system renin-angiotensin-
aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac
output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan

Universitas Muhammadiyah Palembang


41

sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.


Terapi menggunakan betablocker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi
penurunan tekanan darah. Beta-blocker yang selektif
(dikenal juga sebagai cardioselective betablockers),
misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor β-1, tetapi
tidak spesifik untuk reseptor β-1 saja oleh karena itu
penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan
bronkhospasma harus hati-hati. Beta-blocker yang
non- selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor
β-1 dan β-
2. Beta-blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial
(dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic),
misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulant beta
pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat
tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah
raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi
bradikardi pada siang hari. Beberapa beta-blocker,
misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek
adrenoseptor-alfa perifer.
Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek
agonis β-2 atau vasodilator. Beta-blocker
diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat
kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang
diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan
beberapa kali dalam sehari sedangkan yang
diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat
diberikan sekali dalam sehari. Beta-blocker tidak
boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara
bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena

Universitas Muhammadiyah Palembang


42

dapat terjadi fenomena rebound (Katzung et al.,


2012).
d) Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks
ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam
sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan
kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu
aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi
otot polos pembuluh darah. Pemilihan obat-obat
golongan CCB berbeda-beda berdasarkan perbedaan
lokasi kerja, sehingga efek terapetiknya tidak sama,
dengan variasi yang lebih luas daripada golongan beta
bloker. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin
(misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin
(verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem).
Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer
yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan
verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan
dugunakan untuk menurunkan heart rate dan
mencegah angina (Katzung et al., 2012).
e) Diuretik
Diuretik secara teknis meningkatkan volume urin,
namun secara klinis diuretik meningkatkan laju
eksresi Na+ (natriuresis) dan anion (Cl-). Mekanisme
diuretik ditujukan mengurangi volume CES dengan
mengurangi volume total NaCl dalam tubuh.
Mekanisme kerja diuretik mengurangi reabsorpsi
natirum pada tubulus proksimal, ansa henle, tubulus
distal dan tubulus kolektivus. Diuretik digolongkan
menjadi golongan karbonik anhidrase inhibitors,

Universitas Muhammadiyah Palembang


43

diuretic loop, thiazides, diuretik hemat kalium,


diuretik osmotik dan antagonis vasopresin (Katzung
et al., 2012).

3. Efek Samping Obat Antihipertensi

Tabel 2.4 Efek Samping Obat Antihipertensi


ACE Inhibitor Batuk, hyperkalemia
Angiotensin Receptor Hiperkalemia lebih jarang terjadi
Blocker dibandingkan ACB
Calcium Channel Bloker
Dihidropiridin Edema pedis, sakit kepala
Non-Dihidropiridin Konstipasi (verapamil), sakit kepaka
(diltiazem)
Diuretik Sering berkemih, hiperglikemia,
hiperlipidemia, hiperurisemia,
disfungsi seksual
Sentral alfa-agonis Sedasi, mulut kering, rebound
hypertension, disfungsi seksual
Alfa blocker Edema pedis, hipotensi ortostatik,
pusing
Beta blocker Lemas, bronkospasme, hiperglikemia,
disfungsi seksual
Sumber: Comprehensive Clinical
Nephrology, 2018 ACE I =
angiotensin-converting
enzymeinhibitor

4. Algoritma Terapi Obat untuk Hipertensi


Algoritma farmakoterapi telah dikembangkan
untuk memberikan rekomendasi praktis pengobatan
hipertensi. Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah
untuk mencapai dan mempertahankan target tekanan
darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam

Universitas Muhammadiyah Palembang


44

waktu satu bulan pengobatan, maka dapat dilakukan


peningkatan dosis obat awal atau dengan
menambahkan obat kedua dari salah satu kelas
(diuretic, thiazide, CCB, ACEI, atau ARB). Beberapa
rekomendasi utama, yaitu :
1. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien
dengan kombinasi dua obat. Bila memungkinkan
dalam bentuk SPC, untuk meningkatkan kepatuhan
pasien.
2. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah
RAS blocker, yakni ACEi atau ARB, dengan CCB
atau diuretic
3. Kombinasi beta blocker dengan diuretic ataupun
obat golongan lain dianjurkan bila adaindikasi
spesifik, misanya angin, pasca IMA, gagal jantung
dan untuk control denyut jantung.
4. Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi
derajat 1 dengan risiko rendah (TDS <150mmHg),
pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan
berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat
lanjut( ≥80 tahun) atau ringkih
5. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari
RAS blocker (ACEi atau ARB), CCB, dan diuretic
jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
6. Penambahan spironolakton untuk pengobatan
hipertensi resisten, kecuali ada kontraindikasi.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus
tertentu bila TD belum terkendali dengan
kombinasi obat golongan di atas.
8. Kombinasi dua penghambat RAS tidak
direkomendasikan.

Universitas Muhammadiyah Palembang


45

Terapi initial Pertimbangkan


ACEi atau ARB +
kombinasi dua
CCB atau diuretik pada hipertensi
obat derajat 1 risiko
rendah (TDS
<150 mmHg )
atau usia sangat
tua (≥80 tahun)
Langkah II
ACEi atau ARB +
Kombinasi tiga CCB + diuretic
obat

Langkah II Pertimbangka
Hipertensi Risisten
Kombinasi tiga Tambah n merujuk
Spironolakton atau untuk evaluasi
obat
diuretic lain, alfa lanjut
+spironolakton
bloker/betabloker

terapi tunggal

Beta Blocker
Pertimbangkan beta blocker pada setiap
langkah, jika ada indikasi spefisik

Gambar 2.4. Strategi Penatalaksanaan Hipertensi Tanpa


Komplikasi Sumber: Yogiantoro, 2014

Universitas Muhammadiyah Palembang


46

5. Target Pengobatan Hipertensi


Pada Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi PERHI
tahun 2016, disepakati bahwaa target tekanan darah adalah
<140/90 mmHg, tidak bergantung kepada jumlah penyakit
penyerta dan nilai risiko kardiovaskularnya. Pada
Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019 ini, telah
disepakati target tekanan darah, seperti tercantum pada
tabel 2.5 berikut yang menunjukkan perbandingkan target
tekanan darah berdasarkan kelompok usia dan diagnosa
penyakit yang diderita:

Tabel 2.5 Target TD di Klinik


Kelompok Target TSD (mmHg)
Usia Hipertensi + + + PJK + TIA Target
Diabetes PGK TDD
Target Target Target Target Target
≤130 ≤130 <140 ≤130 jika ≤130 jika
jika jika hingga dapat dapat
dapat dapat 130 ditoleransi ditoleransi
ditoleransi ditoleransi jika Tetapi Tetapi
18-65
Tetapi Tetapi dapat tidak tidak
tahun 70-79
tidak tidak ditolerans <120 <120
<120 <120 i
Target Target Target Target Target
130-139 130-139 130- 139 130- 139 130- 139
jika jika jika jika jika

65-79 dapat dapat dapat dapat dapat 70-79


tahun ditoleransi ditoleransi ditolerans ditoleransi ditoleransi
i

Universitas Muhammadiyah Palembang


47

Target Target Target Target Targ et


130-139 130-139 130- 139 130- 139 130- 139
jika jika jika jika jika

≥80 dapat dapat dapat dapat dapat 70-79


tahun ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi

Target 70-79 70-79 70-79 70-79 70- 79 70-79


TDD
(mmHg
)
Sumber: ESC.ESH Hypertensin Guidelines,2018
PGK = penyakit ginjal kronik; PJK = penyakit jantung
koroner; TIA = transient ischemic attack; TD = tekanan
darah; TTD = tekanan darah diastolic; TSD = tekanan
darah sistolik.
*Untuk stroke lakunar : target penurunan TSD 120-130
mmHg

6. Pengobatan Hipertensi dengan Metoda Alat


Beberapa jenis terapi intervensi menggunakan alat telah diteliti
sebagai pilihan terapi hipertensi, terutama jenis hipertensi yang resisten
dengan obat, antara lain :
1. Stimulasi baroreseptor karotis (alat pacu dan stent)
2. Denervasi ginjal
3. Pembuatan fistula arterio-vena

Penggunaan terapi intervensi alat belum direkomendasikan sebagai


modalitas terapi rutin untuk hipertensi, kecuali pada konteks penelitian,
hingga data-data yang lebih lengkap mengenai efektivitas dan
keamanan tersedia (Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi, 2019).

2.2.9 Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya
penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan

Universitas Muhammadiyah Palembang


48

dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya


meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang
tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Mortalitas pada
pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan
telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian
yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai
stroke dan gagal ginjal. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan
dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa
perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan.
Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada
hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering
terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh
pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian.
Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan
serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama
dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna. Hipertensi dapat
menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab
kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress
oksidatif. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam
dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya
kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (Nuraini, 2015).
a. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang
diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan,
tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke

Universitas Muhammadiyah Palembang


49

dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang


mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga
aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang.
Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.
Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau
hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan
tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga
mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh
susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di
sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian.
b. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat
aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga
miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup.
Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan
terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi
infark.
c. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif
akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus.
Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke
unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran
glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin
sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik
koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada
hipertensi kronik.
d. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin

Universitas Muhammadiyah Palembang


50

lama hipertensi tersebut berlangsung, maka makin berat pula


kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang
terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik
neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang
buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah
pada arteri dan vena retina. Penderita retinopati hipertensif pada
awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya dapat
menjadi kebutaan pada stadium akhir.
Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi
hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat secara tiba-
tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara
mendadak, antara lain nyeri kepala, double vision, dim vision, dan
sudden vision loss (Nuraini, 2015)

2.3. Hubungan Tingkat Stres dengan Tekanan darah pada Lansia


Stress yang terjadi dapat memicu terjadinya tingkat tekanan darah pada
lansia, stress akan bertambah tinggi jika pembuluh darah perifer dan curah jantung
meningkat sehingga menstimulasikan syaraf simpatis shingga stresss akan
bereaksi dan terjadinya peningkatan tekann darah. Pencegahan tingkat stress
dengan peningkatan tekanan darah dengan cara positifkan sikap, keyakinan ,
mengontrol emosi, bersikap fleksibel rasional dan adaktif terhadap orang lain dan
kembangkan sikap efesien untuk mengurangi stress tang dialami serta lakukan
relaksasi. Stress suatu kondisi dimana keadaa tubuh terganggu karena tekanan
psikologis dan stress bukan penyakit fisik akan tetapi karena pengaruh stresss
tersebut maka penyakit fisik muncul akibat lemah dan daya tahan tubuh
berpengaruh dengan kesehatan.
Peningkatan tekanan darah juga dapat dikontrol dengan menjaga tingkat
stress setiap individu karena bila mana lansia dapat mengontrol tingkat stressnya
maka tingkat tekanan darah dappat stabil dan normal. Selain itu untuk mengontrol
tingkat stressnya setiap individu dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas
yang menghibur dirinya dan berusaha untuk membuka berbagai beban fikiran

Universitas Muhammadiyah Palembang


51

yang dialami terhadap orang yang ada di sekitarnya. (Tyas dan Zulfikar, 2021)

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai