Anda di halaman 1dari 32

RESUME

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN


“KONSEP STRESSS DAN ADAPTASI”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikososial dan Budaya dalam keperawatan
Dosen pengampu: Vera Fauziah Fatah, M.Kep

Disusun Oleh: Kelompok 2


1. Dian Kinanti
2. Dinda Hapsari
3. Dwi Sartika
4. Gumilar Supriyansah
5. Iis Intan L
6. Lusi Desianti
7. Popi Nurmalasari
8. Yolanda Alfurqonia I P

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI BANDUNG


JURUSANKEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2020
KONSEP STRESS DAN ADAPTASI

A. Konsep Stress
1. Definisi
Stres merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin “Stingere”
yang berarti “keras” (stricus), yaitu sebagai keadaan atau kondisi dari
tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan,
membahayakan, dan merisaukan seseorang (Febriana & Wahyuningsih,
2011). Stres adalah tanggapan tubuh yang bersifat non- spesifik terhadap
setiap tuntutan terhadapnya. Stres diartikan sebagai keadaan di dalam
hidup seseorang yang menyebabkan ketegangan atau dysforia (kesedihan)
(Darmawan,2008).
Menurut WHO (2003) Stres adalah reaksi/respons tubuhterhadap
stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stresdewasa ini
digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagaistimulus
dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa responsfisiologis,
perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yangmenjembatani
pertemuan antara individu dengan stimulus yangmembuat stres semua
sebagai suatu sistem.
Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu
dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan
yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis
dan sosial dari seseorang. Stres juga dikatakan sebagai tekanan,
ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari
luar diri seseorang (Legiran, Azis & Bellinawati, 2015).

1
2. Jenis Stress
a. Distress

Distress (stres negatif) yaitu stres individu yang tidak mampu


mengatasi keadaan emosinya sehingga akan mudah merasakan
distress. Distress memiliki arti rusak dan merugikan. Ciri-ciri individu
yang mengalami distress adalah mudah marah, sulit berkonsentrasi,
cepat tersinggung, bingung, pelupa, pemurung, penurunan akademik
dan kesulitan mengambil keputusan (Rachmadi,2014).
Terjadinya gangguan penyesuaian (distress) dapat menimbulkan
gejala-gejala gangguan psikis dan fisik (psikosomatik) sehingga
seseorang tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara optimal
secara psikis dan fisik. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan
tidur, gangguan konsentrasi, gangguan pola makan dan gangguan
emosi. Jika kondisi ini terjadi pada mahasiswa tentu akan
menghambat proses pendidikannya. Selain itu, secara timbal balik,
proses pendidikan juga merupakan salah satu penyebab stres (stressor)
bagi mahasiswa tingkat akhir karena proses pendidikan merupakan
stresor yang lebih bagi individu. Jika mahasiswa tingkat akhir
mengalami distress akan terjadi hubungan timbal-balik yang terus
akan mepengaruhi proses belajarnya (Hardisman & Pertiwi, 2014).
b. Eustress

Eustress (stres positif) yaitu stres baik atau stres yang tidak
mengganggu individu dan memberikan perasaan senang dan
bersemangat. Eustress adalah respon terhadap stres yang bersifat
positif, sehat dan konstruktif (membangun) (Rachmadi, 2014).
Eustress merupakan energi motivasi, seperi kesenangan,
pengharapan, dan gerakan yang bertujuan. Eustress dikatakan juga
sebagai stres yang membangun kesehatan namun, ide srtres yang
sehat bersifat kontroversial karena sulit untuk dikatakan apakah
individu telah diuntungkan karena stres atau beradaptasi dengan

2
penyangkalan stres (Potter & Perry, 2012).

3. Faktor Penyebab Stress


Munir dan Haryanto membagi stresor menjadi dua bagian, yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor yang berasal dari dalam diriseseorang.Bagaimana kondisi
emosi orang yang bersangkutan dapat menimbulkan stres. Emosi adalah
setiap kegiatan pergolakan pikiran, perasaan, dan nafsu.Emosijuga
dapat diartikan sebagai keadaan mental seseorang. Secara umum dalam
diri manusia terdapat dua emosi yang berseberangan (berlawanan),
yakni positif dan negatif. Adapun kondisi-kondisi emosional yang dapat
memicu munculnya stres antara lain sebagai berikut : perasaan cinta
yang berlebihan, rasa takut yang berlebihan, kesedihan yang berlebihan,
rasa bersalah, terkejut.
b. Faktor Eksternal
Faktor penyebab stres yang berasal dari luar diri seseorang.
Dalam faktor eksternal ini dapat berupa ujian atau cobaan yang berupa
kebaikan atau yang dianggap baik oleh manusia adalah keberhasilan,
kesuksesan dalam karir dan bisnis, kekayaan yang berlimpah,
kehormatan, popularitas, dan sebagainya. Macam kebaikan di atas, jika
tidak disikapi dengan baik akan dapat menimbulkan stres bagi
seseorang. Berbagai persoalan dan cobaan yang menimpa kehidupan
manusia yang bersifat buruk atau yang dipandang tidak baik juga
merupakan faktor dan penyebab munculnya gangguan jiwa (stres) pada
diri seseorang, yaitu : tertimpa musibah atau bencana alam, bahaya
kelaparan dan kekeringan, kekurangan harta benda, kekurangan hasil
panen, kekurangan dalam diri (cacat tubuh), problem orangtua,
dansebagainya.

3
Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi stres
menurut Santrock,yaitu:
a. Faktor Lingkungan
Stres muncul karena suatu stimulus menjadi semakin berat dan
berkepanjangan sehingga individu tidak lagi bisa mengahadapinya. Ada
tiga tipe konflik yaitu mendekat-mendekat (approach - approach),
menghindar - menghindar (avoidance - avoidance) dan mendekat-
menghindar (approachavoidance).
Frustasi terjadi jika individu tidak dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Stres dapat muncul akibat kejadian besar dalam hidup
maupun gangguan sehari-hari dalam kehidupan individu.
b. Faktor Kognitif
Lazarus percaya bahwa stres pada individu tergantung pada
bagaimana mereka membuat penilaian secara kognitif dan
menginterpretasi suatu kejadian.Penilaian kognitif adalah istilah yang
digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu
terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai suatu yang
berbahaya, mengancam, atau menantang (penilaian primer) dan
keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk
menghadapi suatu kejadiandengan efektif (penilaianskunder). Strategi
”pendekatan” biasanya lebih baik dari pada strategi ”menghindar”.
c. Faktor Kepribadian
Pemilihan strategi mengatasi masalah yang digunakan individu
dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seperti kepribadian optimis
dan pesimis. Menurut Carver dkk (1989) individu yang memiliki
kepribadian optimis lebih cenderung menggunakan strategi mengatasi
masalah yang berorientasi pada masalah yang dihadapi.
Individu yang memiliki rasa optimis yang tinggi lebih
mensosiasikan dengan penggunaan strategi coping yang efektif.
Sebaliknya, individu yang pesimis cenderung bereaksi dengan perasaan
negatif terhadap situasi yang menekan dengan cara menjauhkan diri

4
dari masalah dan cenderung menyalahkan dirisendiri.
d. Faktor Sosial-Budaya

Akulturasi mengacu pada perubahan kebudayaan yang merupakan


akibat dari kontak yang sifatnya terus menerus antara dua kelompok
kebudayaan yang berbeda. Stres alkuturasi adalah konsekuensi negatif
dari akulturasi. Anggota kelompok etnis minoritas sepanjang sejarah
telah mengalami sikap permusuhan, prasangka, dan ketiadaan dukungan
yang efektif selama krisis, yang menyebabkan pengucilan, isolasi
sosial, dan meningkatnya stres.

Kemiskinan juga menyebabkan stres yang berat bagi individu dan


keluarganya. Kondisi kehidupan yang kronis, seperti pemukiman yang
tidak memadai, lingkungan yang berbahaya, tanggung jawab yang
berat, dan ketidakpastian keadaan ekonomi merupakan stresor yang
kuat dalam kehidupan warga yang miskin. Kemiskinan terutama
dirasakan berat di kalangan individu dari etnis minoritas dan
keluarganya.

4. Gejala Stress
Menurut Andrew Goliszek, gejala-gejala stres dapat dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu gejala fisik, emosional, dan gejala perilaku. Antara
lain:
a. Gejala fisik: sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, rasa lemah,
gangguan pencernaan, rasa mual atau muntah-muntah, sakit perut, nafsu
makan hilang atau selalu ingin makan, jantung berdebar-debar, sering
buang air kecil, tekanan darah tinggi, tidak dapat tidur atau tidur
berlebihan, berkeringat secara berlebihan, dan sejumlah gejala lain.
b. Gejala emosional: mudah tersinggung, gelisah terhadap hal-hal kecil,
suasana hati berubah-ubah, mimpi buruk, khawatir, panik, sering
menangis, merasa tidak berdaya, perasaan kehilangan kontrol, muncul
pikiran untuk bunuh diri, pikiran yang kacau, ketidakmampuan
membuat keputusan, dan sebagainya.

5
c. Gejala perilaku: merokok, memakai obat-obatan atau mengkonsumsi
alkohol secara berlebihan, berjalan mondar-mandir, kehilangan
ketertarikan pada penampilan fisik, menarik atau memutar-mutar
rambut, perilaku sosial berubah secara tiba-tiba, dan lainnya.
Indikator stres dapat dilihat dari dua gejala, yaitu gejala
fisikdangejala mental. Adapun yang termasuk gejala fisik antara lain: tidak
peduli dengan penampilan fisik, menggigit-gigit kuku, berkeringat,
mulutkering,mengetukkan atau menggerakkan kaki berkali-kali, wajah
tampak lelah, pola tidur yang terganggu, memiliki kecenderungan yang
berlebihan pada makanan dan terlalu sering ke toilet.
Sedangkan menurut Walia (2005) untuk gejala mentalnya antara lain:
kemarahan yang tak terkendali, atau lekas marah/agresivitas,
mencemaskan hal-hal kecil, ketidakmampuan dalam memprioritaskan,
berkonsentrasi dan memutuskan apa yang harus dilakukan, suasana hati
yang sulit ditebak atau tingkah laku yang tak wajar, ketakutan atau fobia
yang berlebihan, hilangnya kepercayaan pada diri sendiri, cenderung
menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar-benar tidak
komunikatif, ingatan terganggu dan dalam kasus- kasus yang ekstrim
benar-benarkacau.

5. Tingkat Stress
Stres yang menimpa seseorang tidak sama antara satu orang dengan
yang lainnya, walaupun faktor penyebabnya boleh jadi sama. Seseorang
bisamengalami stres ringan, sedang, atau stres yang berat (stres kronis).
Hal demikian sangat dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan, kematangan
emosional, kematangan spiritual, dan kemampuan seseorang untuk
menangani dan meresponstresor.
1. Stress Normal
Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian
alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi: kelelahan setelah
mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung

6
berdetak lebih keras ketika melakukan bimbingan skipsi maupun ketika
akan melakukan persentasi. Stres normal alamiah dan menjadi penting,
karena setiap mahasiswa pasti pernah mengalami stres bahkan, sejak
dalam kandungan (Purwati, 2012).
2. Stres Ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari
dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan
bagaimana mencegah berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Umumnya dirasakan oleh setiap mahasiswa misalnya: lupa,
kebanyakan tidur, kemacetan, dikritik atau revisi skripsi yang
menumpuk. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa
menit atau beberapa jam dan biasanya tidak akan menimbulkan
bahaya (Rachmadi, 2014).
3. Stres Sedang
Pada stres tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat
ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan
persepsinya. Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam
sampai beberapa hari. Misalnya masalah perselisihan yangtidak dapat
diselesaikan dengan teman atau pacar (Potter & Perry, 2012). Fase ini
ditandai dengan kewaspadaan, fokus pada indera penglihatan dan
pendengaran, peningkatan ketegangan dalam batas toleransi, dan tidak
mampu mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi dirinya (Suzanne
& Brenda,2008).
4. Stres Berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan
cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba
memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak
pengarahan. Situasi Stres yang terjadi beberapa minggu sampai tahun.
Semakin sering dan lama situasi stress, semakin tinggi resiko kesehatan
yang ditimbulkan (Mardiana & Zelfino, 2014). Stres berat seperti

7
perselisihan dengan dosen atau teman secara terus-menerus, kesulitan
finansial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang.
Makin sering dan lama situasi stres, makin tinggi risiko stres yang
ditimbulkan. Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain merasa
tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk
melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan
di masa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat akan
segala hal, merasa tidak berharga sebagai seorang manusia, berpikir
bahwa hidup tidak bermanfaat. Semakin meningkat stres yang dialami
mahasiswa tingkat akhir secara bertahap maka akan menurunkan energi
dan respon adaptif (Purwati, 2012).
Stres yang berat akan menyebabkan perilaku kita tidak efisien dan
tidak efektif, tidak berhasil dalam menggali sumber-sumber daya
adaptif, dan mengauskan sistem. Bahkan dalam kasus yang ekstrim,
stres bisa membebani atau mempengaruhi kepribadian dan kemudian
mengalami deterioration mental.Mengenai efek ketegangan yang kuat,
beberapa penurunan penyesuaian diri dapat dilihat pada taraf fisiologis
atau faali, dimana stres tersebut dapat menghasilkan kelemahan atau
kekurangan pada kemampuan individu untuk melawan virus atau
bakteri. Pada taraf psikologis persepsi atas ancaman menimbulkan
peningkatan lapangan persepsi yang semakin menyempit dan proses
kognisi yang rigid
Menurut Amberg dalam buku kedokteran jiwa, gangguan stres
biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan sering
kali kita tidak menyadari. Berikut adalah keenam tingkatantersebut:
a. Stres tingkat 1
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan dan
biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
1) Semangat besar.
2) Penglihatan tajam tidak sebagaimanamestinya.
3) Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan

8
masalah pekerjaan lebih daribiasanya.
b. Stres tingkat 2
Dalam tingkatan ini dampak stres yang menyenangkan mulai
menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan
energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan yang sering
dikemukakan sebagai berikut:
1) Merasa letih ketika bangunpagi.
2) Merasa lelah sesudah makansiang.
3) Merasa lelah sepanjangsore.

4) Terkadang gangguan sistem pencernaan (gangguan usus, perut


kembung), kadang-kadang pula jantungberdebar.
5) Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk
(belakangleher).
6) Perasaan tidak bisasantai.
c. Stres tingkat 3
Pada tingkat ini eluhan keletihan nampak disertai dengan gejala-
gejala seperti:
1) Gangguan usus lebih terasa.
2) Otot terasa lebih tegang.
3) Perasaan tegang yang semakinmeningkat.
4) Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun dan sukar tidur
kembali, atau bangunpagi-pagi).
5) Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh).
d. Stres tingkat 4
Tingkatan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk,
yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasasulit.
2) Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasasulit.
3) Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan
social dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasaberat.
4) Tidur semakain sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali

9
terbangun dinihari.
5) Perasaannegativistik.
6) Kemampuan konsentrasi menuruntajam.
7) Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak
mengertimengapa.
e. Stres tingkat 5
Tingkat ini merupakan keadan yang lebih mendalam dari
tingkatan empat diatas:
1) Keletihan yangmendalam.
2) Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa
kurangmampu.
3) Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering,
sukar buang air besar atau sebaliknya feses encer dan sering ke
belakang (kamar mandi).
f. Stres tingkat 6
Tingkatan ini merupakan tingkatan puncak yang merupakan
keadaan darurat. Gejalanya antara lain:
1) Debaran jantung terasa amatkeras.
2) Nafas sesak.
3) Badan gemetar.
4) Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi,
pingsan atau collap

3. Tahapan Stress
Stres yang dialami seseorang dapat melalui beberapa tahapan,
menurut Van Amberg (1979 dalam Alimul 2008), tahapan stres dapat
terbagi menjadi enam tahap diantaranya :
a. Tahap Pertama
Merupakan tahap yang ringan dari stres yang ditandai dengan adanya
semangat bekerja besar, penglihatannya tajam tidak seperti pada
umumnya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan yang tidak seperti

10
biasanya, kemudian merasa senang akan pekerjaannya akan tetapi
kemampuan yang dimiliknya semakin berkurang.
b. Tahapan Kedua
Pada stres tahap kedua ini seseorang memiliki ciri sebagai berikut, adanya
perasaan letih sewaktu bangun pagi yang semestinya segar, terasa lelah
setelah makan siang, cepat lelah menjelang sore, sering mengeluh lambung
atau perut tidak nyaman, denyut jantung berdebar-debar lebih dari
biasanya, otot-otot punggung dan tengkuk semakin tegang dan tidak bisa
santai.
c. Tahap Ketiga
Pada tahap ketiga ini apabila seseorang mengalami gangguan seperti
pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar
tidak teratur, ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang,
gangguan pola tidur seperti sukar mulai untuk tidur, terbangun tengah
malam dan sukar kembali tidur, lemah, terasa seperti tidak memiliki
tenaga.
5. Tahap Keempat
Tahap ini seseorang akan mengalami gejala seperti segala pekerjaan
yang menyenangkan terasa membosankan, semula tanggap terhadap
situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara adekuat,
tidak mampu melaksanakan kegiatan sehari-hari, adanya gangguan pola
tidur, sering menolak ajakan karena tidak bergairah, kemampuan
mengingat dan konsentrasi menurun karena adanya perasaan ketakutan
dan kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.
6. Tahap Kelima
Stres tahap ini ditandai adanya kelelahan fisik secara mendalam, tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan dan sederhana, gangguan
pada sistem pencernaan semakin berat dan perasaan ketakutan dan
kecemasan semakin meningkat.

11
7. Tahap Keenam
Tahap ini merupakan tahap puncak dan seseorang mengalami panik dan
perasaan takut mati dengan ditemukan gejala seperti detak jantung semakin
keras, susah bernapas, terasa gemetar seluruh tubuh dan berkeringat,
kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Terhadap Stressor


Menurut Alimul (2008), respon terhadap stresor yang diberikan setiap
individu akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari
stresor tersebut, dan koping yang dimiliki individu , di antara stresor yang
dapat mempengaruhi respon tubuh antara lain :
1. Sifat stresor
Sifat stresor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh
terhadap stresor. Sifat stresor ini dapat berupa tiba-tiba atau berangsur-
angsur, sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung dari
pemahaman tentang arti stresor.
2. Durasi stresor
Lamanya stresor yang dialami klien akan mempengaruhi respon tubuh.
Apabila stresor yang dialami lebih lama, maka respon yang dialaminya
juga akan lebih lama dan dapat mempengaruhi dari fungsi tubuh yang lain.
3. Jumlah stresor
Jumlah stresor yang dialami seseorang dapat menentukan respon tubuh.
Semakin banyaks tresor yang dialami pada seseorang, dapat menimbulkan
dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya dengan jumlah
stresor yang dialami banyak dan kemampuan adaptasi baik, maka
seseorang akan memiliki kemampuan dalam mengatasinya.
4. Pengalaman masalalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap stressor
yang dimiliki. Semakin banyak stresor dan pengalaman yang dialami dan
mampu menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasi sehingga
kemampuan adaptifnya akan semakin baik pula.

12
5. Tipe kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respon terhadap
stresor.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat mempengaruhi respon
tubuh dimana semakin matang dalam perkembangannya, maka semakin
baik pula kemampuan untuk mengatasinya. Dalam perkembangannya
kemampuan individu dalam mengatasi stresor dan respon terhadapnya
berbeda-beda dan stresor yang dihadapinya pun berbeda.

C. Adaptasi Terhadap Stresor


1. Adaptasi Fisologis
Merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau secara
fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dan berbagai faktor
yang menimbulkan atau mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang
Adaptasi secara fisiologis dapat dibagi menjadi dua yaitu sindrom
adaptasi lokal atau LAS (local adaptation syndroma) dan Sindrome
adaptasi umum atau GAS (General adaptation Syndrome)
a. Sindrom Adaptasi Umum
Sejak tahun 1930 hingga 1950, Hans selye mengembangkan
hipotesis atau lawan dari cannon untuk mendeskripsikan sindrom
adaptasi umum (general adaptation syndrome/GAS),yaitu tiga tahap
reaksi stress dan gas menggambarkan bagaimana respon tubuh
respon tubuh terhadap stressor melalui reaksi peringatan,tahap
pertahanan dan tahap kelelahan dan GAS dirancang secara tidak
langsung oleh kejadian fisik atau secara tidak langsung oleh kejadian
fisiologis.
1) Reaksi alarm terjadi ketika system saraf simpatik dan saraf
endokrin bereaksi tehadap stress( misalnya system fight to fight )
tahap sinyal ini adalah mobilisasi awal dimana badan menemui
tantangan yang diberikan oleh penyebab stress. Ketika penyebab

13
stress ditemukan, otak mengirimkan suatu pesan biokimia kepada
semua sistem tubuh. Pernafasan meningkat, tekanan darah naik,
ketegangan otot naik dan seterusnya jika penyebab stress terus
aktif maka akan beralih pada tahap perlawanan(Yosep,I:2007).

BAGIAN ATAU SISTEM TUBUH ADAPTASI TERHADAP STRESS


Hipotalamus Stimulan system saraf simpatik
System saraf simpatik(SSS) Stimulan medulla adrenal
Medulla adrenal Melepaskan epinerin dan non epinefrin
Mata Dilatasi pupil
Kelenjar air mata Meningkatkan sekresi air mata
System pernafasan Dilatasi bronkiolus dan pembuluh darah
pulmonary;meningkatkan frekuensi
pernafasan
System kardiovaskuler Meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
Meningkatkan curah jantung
Meningkatkan tekanan darah
System gastrointestinal Menurunkan motilitas gastrik (lambung dan
usus)
Liver Glikogenolosis (pemecahan glukosa) dan
gluconeogenesis (meningkatkan
pembentukan glukosa dari zat tubuh lainya)
Menurunkan sintesis glikogen
Traktus urinarius Meningkatkan motilitas ureter
Kontraksi otot kandung kemih
Merelaksasikan sfingter kandung kemih

Kelenjar keringat dan sel sel lemak Meningkatkan sekresi dan lipolysis

2) Tahap resistensi merupakan respons adaptif yang berusaha


membatasi kerusakan akibat stress .tubuh mempertahankan dan
merespond reaksi peringatan dengan cara yang berlawanan. Kadar
hormon, denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung kemali
ke normal, dan tubuh memperbaiki segala kerusakan yang terjadi.
Namun, jika stresor tetap ada dan tubuh tidak dapat beradaptasi,
maka individu masuk ke tahap ketiga yaitu kelelahan.

14
3) Tahap kelelahan adalah ketika kekuatan fisiologik dan psikologik
telah terkuras dan system kekebalan menjadi terdepresi.terjadi
saat tubuh tidak lagi dapat menahan efek stressor dan ketika tubuh
menghabiskan energy yang diperlukan untuk mempertahankan
koping. Respon fisiologis telah diperkuat; tetapi dengan tingkat
energi yang rendah, koping seseorang terhadap stressor akan
menurun. Tuuh tidak dapat melindungi dirinya terhadap dampak
dari kejadian, perbedaan regulasi fisiologis, dan jika stres terus
berlanjut, dapat menyebabkan kematian (potter dan perry,2010)

Ilustrasi reaksi stress selama tiga fase (selye,1982)

Normal level of
residence

B
A C
Resistence
ALARM exhaustion

b. Sindrom Adaptasi Lokal


Las adalah respon dari jaringan,organ atau bagian tubuh terhadap
stress karena trauma,penyakit atau perubahan fisiologis contoh
respon refleksi nyeri dan respon inflamasi.karakteristik dari LAS
yaitu respon adaptif dan tidak melibatkan seluruh system tubuh.

2. Adaptasi Secara Psikologis

15
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stressor
yang ada, dengan memberikan mekanisme pertahanan dari dengan
harapan dapat melindungu atau bertahan diri dari serangan atau hal-hal
yang tidak menyenangkan. Dalam adaptasi secara psikologis terdapat dua
untuk mempertahankan diri dari berbagai stressor yaitu dengan cara
melakukan koping atau penanganan diantaranya berorientasi pada tugas
(task oriented) yang dikenal dengan problem solving strategi dan ego
oriented atau mekanisme pertahanan diri. Riset lain telah memfokuskan
pada orang yang paling tahan terhadap stres yang tidak mengalami
gangguan fisik atau emosional walaupun menghadapi peristiwa stres
berat. Karakteristik kepribadian individu yang tahan stres atau tabah
diringkaskan dalam pengertian “komitmen”, “kendali”. Rasa mampu
mengendalikan peristiwa kehidupan mencerminkan perasaan kompetensi
dan juga mempengaruhi penilaian terhadap peristiwa stres.
a. Task oriented behavior
Perilaku berorientasi tugas mencakup penggunaan kemampuan
kognitif untuk mengurangi stres, memecahkan masalah,
menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan (Stuart & Sundeen,
2005). Tiga tipe umum perilaku yang berorientasi tugas adalah:
1) Perilaku menyerang Adalah tindakan untuk menyingkirkan atau
mengatasi suatu stresor.
2) Perilaku menarik diri Adalah menarik diri secara fisik atau
emosional dari stresor.
3) Perilaku kompromi Adalah mengubah metode yang biasa
digunakan, mengganti tujuan atau menghilangkan kepuasan
terhadap kebutuhan untuk memenuhi lain atau untuk menghindari
stres.

b. Ego Dependen

16
Mekanisme Perilaku tidak sadar yang memberikan perlindungan
psikologis terhadap peristiwa yang menegangkan . Mekanisme ini
sering kali diaktifkan oleh stressor jangka pendek dan biasanya tidak
mengakibatkan gangguan psikiatrik.Adabanyak mekanisme
pertahanan ego, yaitu:
1) Represi Menekan keinginan, impuls/dorongan, pikiran yang
tidak menyenagkan ke alam tidak sadar dengan cara tidak sadar.
2) Supresi Menekan secara sadar pikiran, impuls, perasaan yang
tidak menyenangkan ke alam tidak sdar.
3) Reaksi formasi Tingkah laku berlawanan dengan perasaan yang
mendasari tingkah laku tersebut.
4) Rasionalisasi Berusaha memperlihatkan tingkah laku yang
tampak sebagai pemikiran yang logis bukan karena keinginan
yang tidak disadari.
5) Substitusi Mengganti obyek yang bernilai tinggi dengan obyek
yang kurang bernilai tetapi dapat diterima oleh masyarakat.
6) Restitusi Mengurangi rasa bersalah dengan tindakan pengganti.
7) Displacement Memindahkan perasaan emosional dari obyek
sebenarnya kepada obyek pengganti.
8) Proyeksi Memproyeksikan keinginan, perasaan, impuls, pikiran
pada orang lain/obyek lain/lingkungan untuk mengingkari.
9) Simbolisasi Menggunakan obyek untuk mewakili ide/emosi
yang menyakitkan untuk diekspresikan
10) Regresi Ego kembali pada tingkat perkembangan sebelumnya
dalam pikiran, perasaan dan tingkah lakunya.
11) Denial Mengingkari pikiran, keinginan, fakta dan kesedihan.
12) Sublimasi Memindahkan energi mental (dorongan) yang tidak
dapat diterima kepada tujuan yang dapat diterima masyarakat.

3. Adaptasi Sosial Budaya

17
Adaptasi sosial budaya merupakan cara untuk mengadakan
perubahan dengan melakukan proses penyesuaian perilaku sesuai dengan
norma yang berlaku dimasyarakat, berkumpul dalam masyarakat dalam
kegiatan kemasyarakatan (Priyoto, 2014).

D. Respon Terhadap Stress

PSIKOLOGI
Stresso Respon
individu
r stres
FISIOLOOGIS

Respon individu terhadap stressor memiliki dua komponen, yaitu


komponen psikologi yang seperti : terkejut, cemas, malu, nerveus dan
lainnya, sedangkan komponen fisiologis seperti : denyut nadi menjadi lebih
cepat, tekanan darah menjadi lebih tinggi, nafas menjadi lebih cepat, mual,
banyak mengeluarkan keringat dan lainnya (Musradinur, 2016). Di antara
reaksi tubuh tersebut seperti terjadi perubahan warna rambut yang semula
hitam lambat laun dapat mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan dan
kusam, perubahan ketajaman mata sering kali menurun karena kekenduran
pada otot-otot mata sehingga akan mempengaruhi fokus lensa mata, pada
telinga terjadi gangguan seperti adanya suara berdenging, pada daya pikir
sering kali ditemukan adanya penurunan konsentrasi dan keluhan sakit kepala
dan pusing, ekspresi wajah tampak tegang, mulut dan bibir terasa kering, kulit
reaksi yang dapat dijumpai sering berkeringat dan kadang-kadang panas,
dingin dan juga akan dapat menjadi kering atau gejala lainnya.
Pada sistem pernapasan dapat dijumpai gangguan seperti terjadi sesak
karena penyempitan pada saluran pernapasan, sedangkan pada sistem
kardiovaskuler terjadi gangguan seperti berdebar-debar, pembuluh darah
melebar atau menyempit kadang-kadang terjadi kepucatan atau kemerahan
pada muka dan terasa kedinginan dan kesemutan pada daerah pembuluh

18
darah perifer seperti pada jari-jari tangan atau kaki, sistem pencernaan juga
dapat mengalami gangguan seperti lambung terasa kembung, mual, perih,
karena peningkatan asam lambung, pada sistem perkemihan terjadi gangguan
seperti adanya frekuensi buang air kecil yang sering, pada otot dan tulang
terjadi ketegangan dan terasa ditusuk-tusuk, khususnya pada persendian dan
terasa kaku.
Respon terhadap stres itu berasal dari dalam diri individu, Hasil stres itu
pun meliputi perubahan kondisi psikis, emosional, dan psikologis (Carr &
Umberson, 2013). Misalnya, ketika seseo-rang mengalami situasi yang
mengkhawatirkan, tubuh secara spontan bereaksi terhadap ancaman tersebut.
Ancaman termasuk sumber stres, dan respons tubuh terhadap ancaman itu
merupakan stres respons (Scheneidrman, Ironson & Siegel, 2005).Oleh
karena itu, stres respons dapat disimpulkan sebagai reaksi tubuh secara
jasmaniah terhadap sumber-sumber stres yang ada atau rangsangan yang
menyerang tubuh.
E. Proses Keperawatan dan Adaptasi Terhadap Stress
1. Pengakajian
a. Kaji ulang riwayat klien untuk adanya stressor
b. Catatgejalafisiologik
c. Tentukan tingkat stress klien
d. Tentukan respons kognitif klien
e. Observasikeluarga
f. Tentukan dampak distress klien terhadap keluarganya
g. Tentukan strategi koping yang digunakan klien
2. Dignosa Keperawatan
a. Analisis stressor internal dan eksternal yang mempengaruhi klien dan
analisis efektivitas strategi koping yang digunakan klien dan
mekanisme defensifnya.
b. Rumuskan diagnosis keperawatan untuk keluarga klien atau klien dan
atau untuk keduanya:
c. Gangguan penyesuaian

19
d. Ansietas
e. Koping individu tidak efektif
f. Koping keluarga tidakefektif
g. Konflik keputusasaan
h. Gangguan polatidur
i. Resiko kekerasan pada diri sendiri atau orang lain
3. Perencanaan dan Identifikasi Hasil
a. Bekerjasama dengan klien, keluarganya atau keduanya untuk
menetapkan tujuan yang realistic.
b. Menentukan kriteria hasil yang diinginkan yang merupakan ukuran
untuk mengevaluasi perkembangan klien sebagai hasil dari intervensi
keperawatan dan perubahan mandiri klien dalam berpikir, berkperasaan
atau berperilaku.
1) Menyelidiki adanya stress
2) Mengidentifkasi adanya yang menyebakan stress
3) Menggunakan strategi koping yang baru untuk mengurangi ansietas.
4) Memodifikasi pikiran atau perilaku untuk meningkatkan koping
4. Implementasi
Perawat membantu klien mengidentifikasi steressor dan mengajarkan
pada klien cara-cara memantau respon fisik dan psikologis terhadap stress.
a. Anjurkan klien untuk membatasi asupan kafein dan nikotin
b. Bantu klien meningkatkan tidur dengan tindakan yang memberi rasa
nyaman (mis.,mandi air hangat,music,usapandipunggung)
c. Lindungi klien dari tindakan yang impulsive dengan pengawasan satu
orang.
d. Bantu klien mengespresikan perasaanya dengan mendengarkan secara
aktif dan memberikan respon empati
e. Beri informasi kepada klien tentang system pendukung yang ada di
komunitas seperti nomor telepon hotline krisis, rujukan kepusat
kesehatan jiwa ,kelompok swadaya dan klinik serta program
manajemen stres.

20
f. Ajarkan pada klien, keluarga, tentang pengobatan yang diresepkan,
termasuk alasan penggunaanya, dosis, waktu minum obat
,tindakanuntukmengatasiefeksamping yang kecil,efeksamping yang
memerlukan perhatian penyedia jasa layanan kesehatan dan apa yang
diperllukan apabila dosisnya terlewati.

F. Konsep Kehilangan, Kematian dan Berduka


1. Kehilangan
a. Definisi
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial
yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan
dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Setiap individu akan
bereaksi terhadap kehilangan(Potter& Perry, 2005).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidakada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak
lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda(Yosep,
2010).
b. Tipe-tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
a. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang
lain. Kehilangan yang nyata merupakan kehilangan terhadap orang
atau objek yang tidak dapat lagi dirasakan, dilihat, diraba atau
dialami individu, misalnya anggota tubuh, anak, hubungan, dan
peran di tempat kerja.
b. Persepsi hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat
dibuktikan. Kehilangan yang dirasakan merupakan kehilangan yang

21
sifatnya unik berdasarkan individu yang mengalami kedukaan,
misalnya kehilangan harga diri atau rasa percaya diri.
c. Jenis Kehilangan
Menurut Aziz Alimul (2014), kehilangan digolongkan menjadi
beberapa jenis yakni sebagai berikut:
1) Kehilangan seseorang yang dicintai (ACTUAL LOSS)
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang
yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan
mengganggu dari tipe-tipe kehilangan, yang mana harus ditanggung
oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan
bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan
ketergantungan dari ikatan dampak emosional yang luar biasa dan
tidak dapat ditutupi. Contoh: kehilangan anggota badan, kehilngan
suami/ istri, kehilangan pekerjaan.
2) Kehilangan yang ada pada diri sendiri (LOSS OF SELF)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan
tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan
terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuanfisik dan mental,
peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri
mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit.
Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang. Contoh :
misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
3) Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau
bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka
yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung
pada arti dan kegunaan benda tersebut.
4) Kehilangan lingkungan yang dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang
sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga
dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Contoh:

22
pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru
dan proses penyesuaian baru.
5) Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan
respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya.

2. Kematian
a. Definisi
Secara biologis kematian merupakan berhentinya proses aktivitas
dalam tubuh biologis seorang individu yang ditandai dengan hilangnya
fungsi otak, berhentinya detak jantung, berhentinya tekanan aliran darah
dan berhentinya proses pernafasan (Santrock,2002).Sedangkan menurut
Islam, kematian didefinisikan sebagai sebuah transisi atau perpindahan
ruh untuk memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan abadi
(Hidayat, 2006).Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al- Qur’an
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh”
(Annisa:4:78). Maut juga disebut sebagai pengancam hidup bagi
manusia, sehingga kebanyakan dari individu takut akan kematian itu
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematian
terjadi ketika berhentinya proses aktivitas dalam tubuh biologis seorang
individu yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, berhentinya detak
jantung, berhentinya tekanan aliran darah dan berhentinya proses
pernafasan serta terhentinya hubungan manusia dengan alam dunia

.
b. Macam-Macam Kematian
Terdapat dua jenis kematian antara lain kematian yang mendadak
atau tiba-tiba dan kematian yang diantisipasi (Ann dan Lee, 2001) :

23
1) Kematian yang diantisipasi
Menurut Ann dan Lee (2001) dapat dipahami sebagai reaksi
akan kesadaran terhadap kehilangan di waktu yang akan datang.
Beberapa orang percaya bahwa kematian yang telah diketahui
terlebih dahulu atau diantisipasi terlebih dahulu dapat memudahkan
orang-orang untuk mengatasi duka cita daripada kematian secara
tiba-tiba.
Jika seseorang mengetahui bahwa saudara atau orang yang
terdekat akan meninggal dunia, maka secara tidak langsung memberi
waktu untuk menyelesaikan beberapa urusan dengan orang tersebut.
Sehingga orang yang akan ditinggalkan dapat menjadi lebih mudah
untuk mengatasi duka cita daripada orang yang ditinggalkan pada
kematian tiba-tiba (Niven, 2013).
2) Kematian Mendadak
Pada kematian mendadak dapat muncul dalam konteks tertentu
misalnya, perang mengakibatkan suatu keadaan tertentu yang
melingkupi kematian, dan keadaan ini mempengaruhi sikap
seseorang dalam mengatasi rasa berduka cita.
Seseorang yang kehilangan karena kematian secara mendadak
biasanya menginginkan informasi secepatnya dan biasanya yang
detail mengenai penyebab kematian, guna membantu orang yang
kehilangan untuk segera merasakan kehilangan. Selain itu kematian
yang mendadak bukan hanya tidak diduga-duga tetapi menyebabkan
orang yang ditinggalkan tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan
yang belum selesai dengan orang yang meninggal (Niven, 2013).

3. Berduka
a. Definisi

24
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap
kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada
masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi,
ekspetasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Sementara
itu, istilah kehilangan (bereavement) mencakup berduka dan berkabung
(mourning), yaitu perasaan di dalam dan reaksi keluar orang yang
ditinggalkan. Berkabung adalah periode penerimaan terhadap
kehilangan dan berduka. Hal ini terjadi dalam masa kehilangan dan
sering dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan (Aziz Alimul,
2014).
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak
nafas, susah tidur dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal
pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua jenis
tipe berduka, yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional
(Rachmad, 2011).
b. Tahapan Berduka
Tahapan berduka menurut Elisabeth Kubler Ross dan David
Kessler (2004) terdapat 5 tahapan, yaitu:
1) Denial (Penolakan)
Seseorang yang baru saja mengalami kejadian menyedihkan
akan berpikir “ini tidak mungkin terjadi.” Reaksi penolakan ini
adalah sebuah reaksi yang normal dilakukan banyak orang yang
sedang dipenuhi dengan emosi. Penolakan atau denial merupakan
salah satu mekanisme pertahanan yang biasa dilakukan orang untuk
melindungi hal yang ia percayai. Orang yang sedang berada dalam
tahap ini belum bisa mempercayai peristiwa yang dialami sekaligus
menarik diri dari semua orang. Tahap ini adalah respons sementara
yang membawa seseorang pada gelombang rasa sakit yang pertama.
Reaksi pertamanya yaitu: kaget, tidak percaya, atau mengingkari
kenyataan. Berlangsung beberapa menit hingga beberapa tahun.

25
2) Anger (Marah)
Memudarnya efek penyangkalan dan isolasi akan diiringi
dengan rasa sakit yang belum bisa diterima seseorang. Seseorang
dengan rasa sakit rentan terpicu emosi untuk melampiaskan rasa
sakitnya melalui kemarahan. Rasa marah kadang diarahkan pada
orang yang berkaitan dengan peristiwa yang dialami seseorang.
Seperti membenci orang yang sudah meninggal. Merasa kecewa
akan peristiwa yang terjadi. Namun, bukan tidak mungkin rasa
marah, rasa membenci dan rasa kecewa ini dilampiaskan kepada
orang yang tidak berkaitan.
3) Bergaining (Penawaran)
Pada tahap ini seseorang diam-diam akan membuat kesepakatan
dengan Tuhan sebagai upaya melindungi diri dari rasa sakit. Fase ini
adalah fase pertahanan yang paling lemah dalam melindungi
seseorang dari kenyataan yang menyakitkan. Pada fase ini, seseorang
mulai percaya terhadap apa yang sudah menimpanya. Setelah
kemarahan mulai pudar, mulai timbul perasaan bersalah atau
penyesalan dan biasanya diiringi dengan pikiran “kalau saja...”
seperti “kalau saja saya sadar sebelumnya...” dan sebagainya.
4) Depression (Depresi)
Depresi ini berisi kesedihan, kekhawatiran, dan kegelisahan.
Fase ini dapat berakhir ketika seseorang mendapatkan klarifikasi dan
jaminan yang dapat meyakinkan bahwa hidup mereka akan baik-baik
saja. Depresi ini bisa jadi sebuah persiapan untuk melepas dan
menerima seluruh keadaan. Fase ini dapat berkurang dengan afeksi
berupa pelukan dan pujian. Dalam tahapan ini menunjukkan sikap
menarik diri, bersikap sangat penurut, menyataan keputusasaan,
kesedihan , keragu-raguan, bahkan merasa tidak berharga.

5) Acceptance (Penerimaan)

26
Penerimaan tidak selalu menjadi tahap yang membahagiakan
atau membangkitkan semangat. Tahap ini tidak berarti seseorang
telah melewati kesedihan. Seseorang mungkin akan merasakan
perubahan besar dalam hidupnya. Perasaan kurang puas dalam fase
ini dapat diminimalisir apabila seseorang sudah bisa bahwa masalah
ini tidak akan terlalu berat jika dibandingkan hal buruk lainnya yang
untungnya tidak mereka alami atau berhasil mereka lewati
sebelumnya. Tahapan ini akan memikirkan objek yang hilang beralih
ke objek lain, dan menerima kenyataan kehilangan. Serta mulai
memandang ke depan.

c. Tipe Berduka
NANDA atau North American Nursing Diagnosis Association
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
1) Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual
ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.
2) Berduka disfungsional adalah suatu stastus yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, ataukesalahan/kekacauan.

d. Jenis-Jenis Berduka

27
1) Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
2) Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yang muncul
sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan di
dunia sebelum ajalnya tiba
3) Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju
ke tahap berikutnya, yaitu kedukaan normal. Masa berkabung
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam
hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4) Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak
dapat diakui secara terbuka.Contohnya: Kehilangan pasangan
karena AIDS, anak mengalami kematian orangtua tiri, atau ibu
yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
e. Fase Berduka
Menurut teori Rondo dalam Yusuf (2015) menjelaskan proses
berduka meliputi tiga fase, yaitu:
1) Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin,
tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung.
Perasaan tersebut berlangsung selama beberapa hari, kemudian
individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya,
individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan
menangis dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama
beberapa minggu.

2) Fase pertengahan

28
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan
adanya perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengulang-
ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3) Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai
berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

29
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz.2014.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 1 Edisi 2.Jakarta:


Salemba Medika

Amin, Munir Samsul. dkk. 2007. Kenapa Harus Stres. Jakarta: Amzah. hal 47

Ann, L. & Lee. A. 2001. The Last Dance: EncounteringDeathandDying (7th ed).
New York: McGraw Hill.

Dalimartha S, Purnama BT, Sutarina N, Mahendra B, Darmawan R. 2008.Care


Your Self Hypertension. Depok: Penebar Plus.

Febriana, Desita & Wahyuningsih, Aries. (2011) . Kajian Stres Hospitalisasi


Terhadap Pemenuhan Pola Tidur anak Usia Prasekolah Di Ruang Anak RS
Baptis Kediri. Kediri : Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri. Diunduh dari
puslit 2.petra.ac.id tanggal 30 juni 2014

Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana
Bakti
Prima Yasa. 1997. Hal 89

Hardisman, Pertiwi D (2014). Gambaran distress pada mahasiswa preklinik tahun


ketiga fakultas kedokteran. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia,
3(3):145-153.

Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep


dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Iyus, Yosep., 2010, Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama

Legiran. Azis, M., Z., & Bellinawati, N. Faktor Risiko Stres dan Perbedaannya
Pada Mahasiswa Berbagai Angkatan di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol 2, (No
2). Hal 197-198.

Niven, Neil. 2013. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesi
Lain. Jakarta: EGC

Mardiana, Y., dan Zelfino. 2014. Hubungan Antara Tingkat Stres Lansia
danKejadian Hipertensi pada Lansia di RW 01 Kunciran Tangerang.
ForumIlmiah, Vol. 11, No. 2, hlm. 261-267.
Priyoto. (2014).Konsep Manajemen Stress. Yogyakarta : Nuha Medika
Potter, P.A & Perry A.G. (2012). Fundamental of Nursing. Jakarta : EGC
Potter, P.A & Perry A.G. (2010). Fundamental Keperawatan.Elsavier : Singapore
Potter, P.A & Perry A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta:
EGC
Rachmadi, Faizal. (2014). Pengaruh Tingkat Intensitas Belajar Terhadap
Terjadinya Stres Pada Mahasiswa PSPD 2011 FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. SKRIPSI. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ross, Elisabeth Kubler dan David Kessler. 2004. On GriefAndGrievingFinding


The MeaningOfGriefThrough The FiveStagesOfLoss. New York:
Scribner.
Santrock, J.W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup, Jilid
2, Penerjemah: Chusairi dan Damanik). Jakarta: Erlangga.
.(2017). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group; 2017.

Suzanne Cludy Smeltzer, & Brenda Glyon Bare. 2008. Keperawatan Medikal
Bedah 2, Edisi 8. Jakarta : EGC

Yosep,I.(2009).Keperawatan Jiwa. Reflika Aditama: Bandung.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31775/Chapter?
sequence=4 diakses pada Minggu, 11 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai