Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

BAYI DENGAN KELAINAN KONGENITAL

Disusun Oleh :

SUCI MAUDY AULIA

PO.71.20.4.16.034

Dosen Pembimbing :

Ns. Riski Sri Hartanti, M. Epid.

D-IV Keperawatan Palembang


Poltekkes Kemenkes Palembang
2017
BAB 1
LATAR BELAKANG

Kelainan bawaan (kelainan kongenital) adalah suatu kelainan pada struktur fungsi maupun
metabolism tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Sekitar 3-4 % bayi baru
lahir memiliki kelainan bawaan yang berat. Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak
mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5% terdiagnosa ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebayakan
bersifat ringan (Muslihatum, 2010).

Malformasi kongenital (kelainan kongenital) adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang
terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian
janin dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital.
Khususnya pada bayi berat badan diperkirakan kira- kira 20 % diantaranya meninggal karena
kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya (Sofian, 2011).

Sebab terjadinya kelainan kongenital dapat di sebabkan: kelainan kromosom, kekurangan


nutrisi tertentu, agen teratogenic. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa kejadian
kelainana kongenital dapat di sebabkan oleh: factor genetik 40%, gangguan perkembangan
janin terdiri atas: akibat infeksi 5%, obat-obatan 5%, gangguan metabolisme ibu; pada
kelainan kongenital mi;tipel kematiannya lebih dari 50-60%. Kelainana kongenital dimaksud
dengan ketidakmampuan berfungsi normal atau ketidakmampuan hidup normal. Kejadian
kelainan kongenital tergantung dari: factor lingkungan geografis dan factor rasia (Manuaba,
2007).

Semua bayi baru lahir harus dinilai tanda-tanda kegawatan/kelainan yang menunjukkan suatu
penyakit. Bayi baru lahir dinyatakan lahir sakit apabila mempunyai satu atau tanda-tanda
sesak napas, frekuensi napas lebih dari 60 kali per menit, tampak tertraksi dinding dada,
malas minum, panas atau suhu badan bayi rendah, kurang aktif berat badan lahir rendah
dengan kesulitan umum sedangkan pada bayi labioskizis ditandai dengan adanyta kelainan
pada bentuk bibir sumbing atau tidak sempurna (Muslihatun, 2010).

Angka kejadian kalainan kongenital sekitar 1/700 kelahiran dan merupakan salah satu
kongenital yang sering ditemukan, kelainan ini berwujud sebagai labioskizis di sertai
palatoskizis 50%, labioskizis saja 25% dan palatoskizis saja 25%. Pada 20% dari kelompok
ini ditemukan adanya riwayat kelainan sumbing dan keturunan. Kejadian ini mungkin
disebabkan adanya factor toksik dan lingkungan yang mempengaruhi gen pada periode fesi
ke-2 belahan tersebut. Pengaruh toksik terhadap fusi yang telah terjadi tidak akan
memisahkan lagi belahan tersebut (Muslihatun, 2010).

Kejadian kelainan kongenital dijumpai sekitar 1,5-3,5% dari semua persalinan. Angka
kejadian tersebut diindonesia masih belum ketahui, sekalipun angka kejaian di rumah sakit.
Dari kejadian 1,5-3,5%, sebayak 2% kasus terdapat kelainan kongenital mayor sehingga
kemampuan hidupnya praktis tidak mungkin. Dengan perkembangan ultrasonografi yang
makin pesat maka diagnose kelainan kongenital sudah dapat ditegakkan sejak kehamilan dini.
Bila dokter mengetahui bahwa pada kehamilannya dijumpai kelainan kongenital, pasien
harus diberitahu dengan cara simpatik, dengan penjelasan dari berbagai aspek sehingga
keluarganya memikirkan dapat kelanjutannya (Manuaba, 2007).

Pada kelainan kongenital mayor sebaiknya dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan
sedangkan kelainan kongenita minor dipertahankan akan dapat hidup ditengah keluarganya.
Oleh karena itu penjelasan yang paling utama harus dapat menumbuh kembangkan
pengertian tentang kelainan kongenital monir yang mungkin dapat hidup terus. Pada
kelainan kongenital minor, ada kemungkinan untuk dapat melakukan operasi rekonstruksi
sehingga dapat berfungsi dengan normal (Manuaba, 2007).

Tujuan
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan Kelainan Kongenital pada
Neonatus.
2) Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi konsep medis Kelainan Kongenital pada Neonatus yang
meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan patofisiologi.
b. Untuk mengidentifikasi proses keperawatan Kelainan Kongenital pada Neonatus
meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.
BAB 2

TINJAUAN TORITIS

1. Konsep Medis

a. Anatomi Dan Fisiologi

1. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk
system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di
permukaan lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis,asam, asin dan pahit.
Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius hidung, terdiri dari berbagai macam
bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh
gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah
dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari
makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah
protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadar dan berlanjut secara otomatis (Syaiffudin,2011).
2. Penyakit Kongenital pada Neonatus

a. Hipospedia

1. Definisi
Hipospedia merupakan suatu cacat bawaan dimana lubang uretra tidak
terletak pada tempatnya (Maryanti, 2011). Bentuk hipospadia yang lebih
berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada
pangkal penis dan kadang pada skrotum atau di bawah skrotum. Kelainan ini
seringkali berhubungan dengan kordi atau suatu jaringan fibrosa yang
kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan berkemih
pada anak dan gangguan berhubungan seksual pada saat dewasa (Maryanti,
2011).

2. Etiologi
Etiologi belum dapat di jelaskan, namun teori yang berkembang karena
kelainan hormonal. Teori lain mengungkapkan kelainan ini di sebabkan oleh
penghentian prematur perkembangan sel-sel penghasil adrogen terhenti yang
mengakibatkan maskulinisasi inkomplit dari alat kelamin luar. Proses ini
menyebabkan gangguan pembentukan uretra, sehingga saluran ini berujung
sepanjang garis tengah penis tergantung saat terjadinga gangguan hormonal.
Semakin dini terjadi gangguan hormonal, maka lubang kencing abnormal
akan bermuara ke pangkal (Maryanti, 2011).
3. Penatalaksanaan
a. Subyektif
Informasi dari ibu riwayat kesehatan selama hamil dan faktor etiologi tidak
langsung kelainan bawaan seperti : faktor infeksi, mekanik, obat, usia ibu,
hormonal, radiasi dan gizi.
b. Obyektif
1) Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi di bawah atau di dasar
penis.
2) Penis melengkung kebawah
3) Kadang terjadi keluhan berkemih
c. Assessment
Neonatus dengan hipospadia.
a) Planning
- Beri penjelasan pada keluarga tentang keadaan neonatus
- Beri support pada keluarga untuk menerima keadaan
neonatus
b) Terapi lainnya
- Pada bayi : di lakukan tindakan kordektomi
- Pada usia 2-4 tahun : dilakukan rekonstruksi uretra.
- Jika neonatus memiliki mikro penis, maka akan
mendapatkan terapi hormonal sampai ukuran penis sesuai.
- Operasi sebaiknya telah tuntas sebelum penderita masuk
sekolah (Maryanti, 2011).
b. Epispadia
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada
permukaan dorsal penis. Insidens epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000
laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali
saluran kemih. Epispadia di klasifikasikan berdasarkan letak meatus kemih
disepanjang batang penis : glandular (pada glans bagian dorsal), penis (antara
simfisis pubis dan sulkus koronarius), dan penopubis ( pada pertemuan antara
penis dan pubis). Meatus uretra meluas, dan perluasan alur dorsal dari meatus
terletak di bawah glans. Prepusium menggantung dari sisi ventral penis. Penis
pipih mugkin akan melengkung ke dorsal akibat adanya chordee (Price, 2005).
Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis (95%) dan penis (75%)
karena perkembangan yang salah dari spinter urinarius. Penatalaksanaan yang
dapat di lakukan adalah pembedahan untuk memperbaiki inkotinensia, untuk
membuang chordee, dan meperluas uretra ke glas. Prepusium di gunakan dalam
proses rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir denga epispadia tidak boleh di
surkumsisi (Price, 2005)

c. Atresia Duodenum
1. Definisi
Atresia duodenum adalah defek di mana duodenum, bagian pertama usus
halus, tidak berkembang dengan sempurna. Suatu bagian duodenum
tertutup sehingga makanan dan cairan tidak dapat masuk. Bagian
duodenum yang tertutup biasanya adalah ampula vateri. Kondisi ini sering
berhubungan dengan defek kongenital yang lain ( Saputra, 2014 ).
2. Etiologi
Penyebab utama atresia duodenum belum diketahui. Namun, secara umum
atresia duodenum diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi setelah tahap “
solid cord ” dari pertumbuhan usus proksimal ( Saputra, 2014 ).
3. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang di jumpai pada bayi dengan atresia duodenum
antara lain :
a. Mengalami muntah pada awal terjadinya atresia duodenum, biasanya
pada hari pertama atau kedua postnatal
b. Polihidramnion terlihat pada 50 % bayi dengan atresia duodenum
c. Berat badan menurun atau sukar bertambah
d. Perut kembung di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya
4. Pada foto polos dalam posisi tegak akan tampak gambaran pelebaran
lambung dan bagian proksimal duodenum, tanpa adanya udara di bagian
usus lain
5. Penataklasanaan:
Sebuah selang digunakan untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit diperbaiki dengan memberikan cairan secara
IV. Evaluasi kelainan kongenital lain perlu dilakukan.
Pembedahan untuk memperbaiki sumbatan duodenal diindikasikan untuk
semua bayi yang mengalami kelainan ini karena malformasi ini dapat
diperbaiki dengan sempurna. Namun, jika ada kondisi yang mengancam
jiwa, operasi ini dapat ditunda. Dapatkan informed consent dari orangtua
sebelum melakukan rujukan atau pembedan (Saputra, 2014).
d. Spina Bifida
1. Definisi
Spina bifida adalah defek kongenital yang ditandai dengan penutupan
kanal neural yang tidak komplit dan biasanya di regio lumbosakralis
(Brooker,2008). Spina bifida dapat menyebabkan gangguan fisik dan
intelektual yang bervariasi dari ringan hingga berat. Tingkat keparahan
tergantung pada ukuran dan lokasi lubang pada tulang belakang serta
bagian medula spinalis dan saraf yang terkena (Saputra,2014)
2. Klasifikasi:
a) Spina bifida okulta
Spina bilfida okulta merupakan jenis spina bifida yang paling
ringan. Pada kondisi ini, penutupan dengan meninges tidak terpajan
dipermukaan kulit. Medula spinalis dan sarafnya biasanyanormal.
Defek ini secara eksternal sering ditandai dengan perubahan warna
kulit, hemangioma, tumpukan rambut atau lipoma yang dapat meluas
ke kanal spinalis. Sering kali spinal bifida okulta tidak diketahui hingga
akhir masa kanak-kanak atau awal masa dewasa. Tipe spina bifida ini
biasanya tidak menyebabkan gangguan(Saputra,2014).
b) Meningokel
Meningokel adalah tipe spinal bifida dimana kantung cairan
muncul dari lubang pada punggung bayi. Namun, medula
spinalis tidak terdapat pada kandung tersebut. Biasanya kondisi
ini menyebabkan sedikit kerusakan saraf, tetapi bisa juga tidak
menyebabkan kerusakan saraf. Meningokel ini dapat
menyebabkan gangguan kecil.
c) Mielomeningokel
Mielomeningokel adalah tipe spina bifida yang paling serius.
Pasa kondisi ini, kantung cairan muncul dari lubang pada
punggung bayi. Sebagian medula spinalis dan saraf terdapat
dalam kantung tersebut dan rusak. Mielomeningokel
merupakan tipe spina bifida yang lebih sring terjadi dan lebih
serius. Biasanya terletak pada daerah lumbolasakral.
Penyebab pasti spina bifida tidak diketahui, predisposisi genetik
mungkin ada.
3. Etiologi
Risiko gangguan ini menigkat pada defesiensi asam folat maternal.
Dengan demikian, semua wanita yang hamil atau sedang merencanakan
untuk hamil dianjurkan untuk mulai medapat suplemen vitamin asam folat
minimal tiga bulan sebelum konsepsi (Saputra,2014).
4. Gambaran Klinis
a. Spina bifida okulta
Spina bifida okulta dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan:
1) Pertumbuhan rambut yang terjaddi di sepanjang spina
2) Lekukan digaris tengah, biasanya didaerah lumbosakral.
3) Abnormalitas gaya berjalan atau kaki.
4) Kontrol kandung kemih yang tidak baik.
b. Meningokel
Meningokel dapat tanpa gejala atau berkaitan dengan :
1) Tonjolan mirip kantung pada meninges dan cairan serebrospinal
dari punggung.
2) Club foot
3) Gangguan gaya berjalan akibat masalah neurologis ekstermitas
bawah (jarang terjadi).
4) Inkontenensia kandung kemih akibat defidit neurologis parsial.
5) Hidrosefalus jarang terjadi.
c. Mielomeningokel
Mielomeningokel kemih dan usus akan lumpuh dan tidak sensitif.
5. Penatalaksanaan:
Tujuan dari pengobatan awal spina bifida adalah mengurangi kerusakan
saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi) serta membantu
keluarga dalam menghadapi kelainan ini. Spina bifida okulta umumnya
tidak membutuhkan pengobatan. Namun, meningokel dan
mieolomeningokel membutuhkan pembedahan untuk menutup lubang
yang terbentuk. Sebelum melakukan pembedahan, dilakukan penilaian
potensi bayi dengan pemeriksaan secara lengkap dan tepat segera setelah
bayi lahir untuk menentukan luasnya defidit neurologik, ada tidaknya
hidrosefalus, luasnya deformitas lubang belakang, dan adanya kelainan
kongenital yang lain. Seksio Caesarea terencana sebelum mulainya
persalinan penting dilakukan untuk mengurangi kerusakan neurologik
yang terjadi pada bayi dengan defek medula spinalis (Saputra,2014).

6. Ensefalokel
1. Definisi
Ensefalokel adalah defek atau cacat pada kranium yang ditandai
dengan adanya penonjolan keluar meninges (selaput otak) dan otak
yang biasanya ditutupi oleh kulit melalui suatu lubang pada tulang
tengkorak. Ensefalokel disebabkan oleh kegagagaln penutupan
tabung saraf selama perkembangan janin.
Penyebab pasti ensefalokel belum diketahui, tetapi kemungkinan
merupakan kombinasi dari berbagai faktor seperti nutrisi paa ibu,
genetik, dan paparan terhadap toksin atau infeksi pada tahap awal
kehidupan janin. Defek tabung saraf tampaknya berhubungan
dengan kekurangan asam folat pada ibu, dan penambahan
suplemen asam folat pada ibu hamil atau pada wanita yang
berencana hamil dapat menurunkan risiko kelainan ini.
1. Gambaran Klinis
a. Hidrosefalus
b. Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadriplegia pastik)
c. Gangguan perkembangan
d. Mikrosefalus
e. Gangguan penglihatan
f. Keterbelakangan mental dan pertumbuhan
g. Ataksia
h. Kejang/sawan
2. Pelaksanaan
a. Tujuan dari pengobatan awalensefalokel adalah mengurangi
kerusakan saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya
infeksi), serta membantu keluarga dalam menghadapi
kelainan ini.
b. Umumnya, pembedahan dilakukan semasa bayi untuk
mengembalikan jaringan yang menonjol ke dalam
tengkorak, membuang kantung, dan memperbaiki kelainan
kraniofasial yang terjadi.
c. Sebelum pembedahan, bayi dimasukkan de dalam inkubator
dengan kondisi tanpa baju.
d. Bayi dengan hidrosefalus mungkin perlu dibuatkan suatu
pintas (shunt)
3. Prognosis
Prognosis untuk ensefalokel tergantung pada tipe jaringan otak
yang terkena, lokasi kantung, dan malformasi otak yang
menyertai.

7. Hidrosefalus
1. Definisi
Secara umum, hidrosefalus merupakan penimbunan cairan
serebrospinal yang berlebih di dalam otak. Hidrosefalus adalah
kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal (CCS) dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meningkat, sehingga terdapat pelebaran ventrikel
(Darsono,2005).
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan sumbatannya
1) Hidrosefalus obstrukstif
Tekanan CCS meningkat akibat obstruksi pada salah satu
tampat pembentukan CSS, Antara lain pleksus koroidalis
dan keluarnya ventrikel IV melalui faromen Luscka dan
magendhi.
2) Hidrosefalus komunikans
Tekanan CSS yang meningkat tidak disebabkan oleh
penyumbatan pada salah satu tempat pembentukan CSS.
Cairan dapat bebas keluar-masuk ventrikel.
b. Bedasarkan perolehannya
1) Hidrosefalus congenital
Hidrosefalus ini sudah diderita sejak dalam kandungan.
Berarti, pada saat lahir otaknya sudah berukuran kecil atau
pertumbuhan otak terganggu karena desakan oleh
banyaknya cairan dalam kepala dan tingginya tekanan
intrakranial.
2) Hidrosefalus didapat
Pertumbuhan otak pada awalnya sudah sempurna, tetapi
kemudian terjadi gangguan karena adanya tekanan
intrakranial yang tinggi
3. Etiologi
a. Hidrosefalus congenital
1) Stenosis akuaduktus sylvii : penyebab terbanyak
hidrosefalus bayi dan anak (60-90%). Akuaduktus dapat
merupakan saluran buntu atau lebih sempit dari biasanya.
Gejala hidrosefalus umunya erlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan-bula pertama kelahiran.
2) Spina bifida dan kranium bifida : berhubungan dengan
sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis
ke medula oblongata dan serebelum terletaak lebih rendah
dan menutupi foreman magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker: atresia kongenital foramen Luscka
dan Magendhi yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif
dengan pelebaran ventrikel-terutama ventrikel IV-yang
dapat menjadi sangat besar hingga menjadi suatu kista besar
didaerah fosa posterior.
4) Kista araknoid: dapat terjadi secara kongenital atau trauma
sekunder suatu hematoma.
4. Hidrosefalus disebabkan oleh :
- Infeksi : biasanya terjadi pada hidrosefalus pasca meningitis.
- Neoplasma : disebabkan oleh adanya obstruksi mekanisme
pada saluran aliran CSS
- Perdarahan intrakranial : dapat menyebabkan hematoma
didalam otak sehingga dapat timbul penyumbaan
- Sumbatan pada penyakit penimbunan, misalnya
mukopolisakarida dan histiositosis X.
- Intoksikasi vitamin A.
5. Gambaran Klinis
a. Bayi muda
1) Kecepatan pertumbuhan kepala tidak normal
2) Penonjolan fontanel (khususnya anterior) yang kadang
tanpa disertai pembesaran kepala : tegang dan tidak
berdenyut
3) Dilatasi vena pada kulit kepala
4) Terdapat peregangan sutura
5) Tanda Mecewen (bunyi “cracked-post [vas pecah]”) pada
saat perkusi
6) Terjadi penipisan tulang tengkorak
b. Bayi lanjut
1) Pembesaran frontal atau “bossing”
2) Depresi mata
3) Tanda setting sun (skelra terlihat diatas iris)
4) Respons pupil lambat dan tidak sama dalam merespon
cahaya
c. Bayi, umum :
1) Peka terhadap rangsangan
2) Letargik
3) Bayi menangis jika diangkat atau diayun dan diam jika
dibiarkan berbaring
4) Kerja refleks dini menetap
5) Respons normal tidak terlihat
6) Dapat menunjukkan tanda : tingkat kesadaran berubah,
opistotonus ( sering kali bersifat ekstrem), spastisitas
ekstermitas bawah
d. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
b. Pemeriksaan CT tidak scan dan MRI dapat menunjukan
ukuran ventrikel dan mengindikasikan letak obstruksi. CT
scan merupakan cara aman yang dapat diandalkan untuk
membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal.
c. Pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
e. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita, pembesaran kepala akan
berhenti dengan sendirinya ( arrested hydrocephalus). Hal ini
mungkin disebabkan oleh rekanalisasi ruang subaraknoid atau
kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan
bedah untuk menangani hidrosefalus sebelum kelahiran tidak
berhasil dan bersifat eksperimental. Jika penyebab hidrosefalus
adalah tumor, tindakan bedah untk mengangkat tumor tersebut
dapat dipertimbangkan.
Penatalaksanaan hidrosefalus antara lain adalah :
1. Lakukan perawatan umum, misalnya pengawasan suhu,
pencegahan infeksi, pengawasan asupan dan haluaran, serta
perawatan setelah BAK dan BAB.
2. Ukur lingkar kepala secara berkala untuk mengetahui laju
perta,bahan CSS.
3. Lakukan pengawasan dan pencegahan muntah.
4. Lakukan pengawasan kejang. Jika perlu, spatel lidah dapat
dipasang untuk mencegah retraksi lidah yang dapat
menyebabkan perdarahan atau sumbatan pada saluran
pernapasan.
5. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk ke
pusat pelayaan kesehataan yang lebih memadai.
Pada dasarnya terdapat tiga prinsip dalam pengobatan
hidrosefalus, yaitu mengurangi produksi CSS, memengaruhi
hubungan antara tempat produksi CSS dan tempat absorbsi,
serta pengeluaran CSS ke dalam organ ekstrakranial.

8. Obstruksi Biliaris
1. Definisi
Obstruksi biliaris adalah suatu kelainan kongenital berupa adanya
penyumbatan saluran empedu sehingga empedu tidak dapat
mengalir ke dalam usus untuk dikeluarkan dalam feses sebagai
sterkobilin.
2. Etiologi
Obstruksi biliaris terjadi karena saluran empedu belum terbentuk
dengan sempurna sehingga tersumbat pada saat amnion tertelan
masuk.
3. Gambaran Klinis
Gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama, yaitu bayi tampak
ikterus. Feses berwarna putih keabu-abuan, terlihat seperti dempul,
dan warna urine menjadi lebih tua karena mengandung urobilin.
4. Penatalaksanaan
a. Beri perawatan layaknya bayi normal yang lain, misalnya
pemberian nutrisi yang adekuat, pencegahan infeksi, dan
pencegahan hipotermia.
b. Berikan konseling pada orangtua agar mereka mengerti
keadaan bayi mereka dan mengetahui tindakan apa yang perlu
dilakukan. Dapatkan informed consent untuk melakukan
rujukan ke pusat pelayanan yang lebih memadai atau untuk
melakukan tindakan operasi (Syaputra,2014)
9. Atresia Esofagus.
1. Definisi
Atresia Esofagus adalah kelainan kongenital pada kontiunitas
esophagus dengan/tanpa hubungan dengan trakea atau esophagus
yang tidak terbentuk secara sempurna.
Atresia esophagus sering disertai dengan kelainan bawaan lain,
seperti kelainan jantung, kelainan gastrointestinal (misalnya atresia
duodeni), dan kelainan tulang (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
2. Etiologi
Umumnya penyebab atresia esophagus tidak diketahui secara pasti
dan kemungkinan penyebabnya adalah multifactor. Faktor kelainan
genetic seperti sindrom trisomy 21,13, dan 18 kemungkinan dapat
meningkatkan kejadian atresia esophagus. Faktor lain terjadi secara
sporadic dan rekuren pada saudara kandung (2 %) (Saputra, Dr.
Lyndon. 2014).
3. Patofisiologi
Pada pemisahan jaringan, terjadi pemisahan antara trakea dan
esophagus pada minggu ke-4 hingga minggu ke-6 kehidupan
embrional (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
4. Klasifikasi
a. Tipe A (5-8 %)
Kantung buntu di setiap ujung esophagus, terpisah jauh tanpa
hubungan ke trakea.
b. Tipe B (jarang)
Kantung buntu di setiap ujung esophagus dengan fistula dari
trakea ke segmen esophagus bagian atas.
c. Tipe C (80-95 %)
Segmen esophagus proksimal berakhir pada kantung buntu dan
segmen distal di hubungkan ke trakea atau bronkus primer
dengan fistula pendek pada atau dekat bifurkasi.
d. Tipe D (jarang).
Kedua segmen esophagus atas dan bawah dihubungkan ke trakea (Saputra, Dr.
Lyndon. 2014).

10. Atresia Ani/Anus Imperforata.


1. Definisi
Atresia ani adalah kondisi dimana tidak ada lubang secara tetap di daerah
anus.Kondisi ini merupakan kelainan malformasi kongenital dimana terjadi
ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya
anus secara abnormal.
Menurut Melbourne, atresia ani dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Atresia ani letak tinggi : rectum berakhir diatas m. levator ani (m.
pubokoksigeus), jarak anatara ujung buntu rectum dan kulit perineum >
1cm.
b. Atresia ani letak intermediet : rectum berakhir di m. levator ani, tetapi
tidak menembusnya.
c. Atresia anus letak rendah (pada anus) : rectum berakhir dibawah m.
levator ani, jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm (Saputra,
Dr. Lyndon. 2014).
2. Etiologi
Penyebab utama atresia ani tidak diketahui secara pasti.Secara umum atresia
ani disebabkan oleh migrasi yang tidak sempurna dan perkembangan struktur
kolon yang tidak sempurna yang terjadi antara 7-10 minggu selama
perkembangan fetus (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Gambaran Klinis
a. Selama 24-48 jam setelah lahir, bayi mengalami muntah-muntah dan
tidak ada defekasi meconium.
b. Tidak ditemukan anus dengan ada/tidak adanya fistula.
c. Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
d. Gerak usus dan bising usus meningkat (hiperperistaltik).
e. Jika ada fistula rektovestibular dan meconium keluar dari fistula tersebut,
berarti terjadi atresia letak rendah (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
4. Penatalaksanaan
a. Beri dukungan emosional dan keyakinan pada ibu
b. Pertolongan pertama adalah dengan tidak memberikan apa pun melalui
mulut, menutup organ yang menonjol dengan kassa steril yang dibasahi
saline normal, sehingga kassa tetap basah, memastikan bayi tetap hangat,
memasang pipa lambung untuk membiarkan cairan lambung mengalir
bebas.
c. Ganti asupan makanan melalui mulut dengan pemberian cairan intravena
sesuai dengan kebutuhan, misalnya glukosa 5-6 % atau Na-bikarbonat.
d. Pengobatan kasus atresia ani adalah dengan pembedahan untuk membuat
lubang anus. Untuk itu, dapatkan informed consent dari orangtua untuk
merujuk bayi ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
e. Pembedahan perlu segera dilakukan setelah tinggi atresia ditentukan.
Pada atresia ani letak tinggi dan intermediet, dilakukan sigmoid
kolostomi, 6-12 minggu kemudian dilakukan tindakan definitive
(PSARP). Pada atresia ani letak rendah, dilakukan tes provokasi dengan
stimulator otot untuk mengidentifikasi batas otot sfingter ani sekitar anus
dan melakukan perineal anoplasti. Pada atresia ani yang disertai fistula,
dilakukan cut back incision. Pada stenosis ani dilakukan dilatasi rutin
(Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
11. Hernia Diafragmatika.
1. Definisi
Hernia diafragmatika adalah masuknya organ abdomen melalui defek
(lubang) pada diafragma ke dalam rongga toraks.Lubang ini hanya ditutup
oleh lapisan pleura dan peritoniun. Secara umum terdapat tiga tipe dasar
hernia diafragmatika, yaitu hernia Bochdalek (melalui defek
posterolateral), hernia morgagni (melalui defek anterio retosternal) dan
hiatus hernia, yaitu masuknya bagian atas lambung, yaitu kardiak gaster
kedalam rongga toraks melalui pelebaran hiatus esophagus. Kelainan yang
paling sering ditemukan adalah hernia Bochdalek (Saputra, Dr. Lyndon.
2014).
2. Etiologi
Penyebaran pasti hernia diafragmatika masih belum diketahui. Hal ini
sering dihubungkan dengan penggunaan thalidomide, kuinin, nitrofenide,
antiepileptic, atau defisiensi vitamin A selama kehamilan.Neonatus hernia
ini disebabkan oleh gangguan pembentukan diafragma.
Diafragma terbentuk dari tiga unsur, yaitu membrane pleuroperitonei,
septum transversum, dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari otot
dinding dada.Gangguan pembentukan diafragma dapat berupa kegagalan
pembentukan sebagian diafragma, gangguan fusi ketiga unsur, dan
gangguan pembentukan otot. Gangguan pembentukan dan fusi tersebut
akan menyebabkan terbentuknya lubang hernia, sedangkan gangguan
pembentukan otot akan menyebabkan diafragma tipis dan menimbulkan
eventarasi (Saputra, Dr. Lyndon. 2014).
3. Gambaran Klinis
Berat ringannya gejala hernia diafragmatika tergantuk pada banyaknya
organ dibagian abdomen yang masuk kerongga toraks. Pada kasus hernia
diafragmatika berat, terdapat gambaran klinis sebagai berikut :
a) Gangguan pernapasan pada hari-hari pertama.
b) Sesak nafas, terutama pada saat tidur terlentang.
c) Retraksi sela iga dan substernal.
d) Perut kempis dan menunjukkan gambaran skafoid (cekung).
e) Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong
oleh isi perut.
f) Terdengar bising usus di daerah dada.
g) Muntah.
h) Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen). (Saputra,
Dr. Lyndon. 2014).
4. Penatalaksanaan
1. Berikan oksigen untuk mengatasi sianosis.
2. Posisi bayi semifowler atau fowler agar tekanan dari isi perut terhadap
paru berkurang dan agar diafragma dapat bergerak bebas.
3. Pasang sonde lambung untuk dekompresi abdomen.
4. Jika bayi muntah, tegakkan bayi agar tidak terjadi aspirasi.
5. Bayi tidak diberi minum, hanya diberikan infus.
6. Berikan antibiotic profilaksis.
7. Dapatkan informed consent dari orangtua untuk merujuk bayi ke pusat
pelayanan kesehatan yang lebih memadai.
8. Organ perut harus dikembalikan ke rongga abdomen dan lubang pada
diafragma diperbaiki. Hal ini dilakukan dengan cara operasi. (Saputra,
Dr. Lyndon. 2014).
5. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang sering terjadi akibat hernia diafragmatika adalah komplikasi
kardiologi akibat hypoplasia paru.Prognosis tergantung pada keberhasilan
tindakan pembedahan dan atau tidak adanya komplikasi (Saputra, Dr. Lyndon.
2014).
Konsep Keperawatan

Pengkajian Keperawatan

a. Lakukan pengkajian fisik Pada labio skizis: distorsi pada hidung, tampak sebagian
atau keduanya, adanya celah pada bibir.

b. Pada platoskizis: tampak ada cela pada tekak atau uvula, palato lunak, dan keras dan
atau foramen incisive, adanya rongga pada hidung, distorsi hidung, teraba adanya
celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari, kesukaran dalam
mengisap atau makan.

c. Inspeksi palatum, baik secara visusal maupun dengan menempatkan jari secara
langsung diatas palatum

d. Observasi perilaku makan

e. Observasi interaksi bayi-keluarga.

Diagnosa Keperawatan

1) Ketidakefektifan pola makan bayi b/d abnormalitas anatomik d/d ketidakmampuan


untuk mengoordinasi mengisap, menelan, dan bernapas, ketidakmampuan untuk
memulai mengisap yang efektif, ketidakmampuan untuk mempertahankan mengisap
yang efektif

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis d/d
kurang makanan, ketidakmampuan memakan makanan.

3) Hambatan komunikasi verbal b/d defek anatomis (misl; celah palatum) d/d kesulitan
menggunakan ekspresi wajah dan tubuh.

4) Gangguan citra tubuh b/d penyakit d/d perubahan aktual pada fungsi, perubahan
aktual pada struktur.

5) Risiko aspirasi d/d gangguan menelan


Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA NOC NIC


1. Ketidakefektifan Status Nutrisi Pemberian Makan dengan
pola makan bayi Setelah dilakukan tindakan Botol
b/d abnormalitas keperawatan selama 3 x 24 1. Pegang bayi selama
anatomik d/d jam, diharapkan nyeri menyusui dengan botol
ketidakmampuan berkurang , dengan kriteria 2. Posisikan bayi pada posisi
untuk hasil : semi fowler pada saat bayi
mengoordinasi 1. Asupan gizi menyusu
mengisap, 2. Asupan makanan 3. Sendawakan bayi sering –
menelan, dan 3. Asupan cairan sering selama dan setelah
bernapas, 4. Energy menyusu
ketidakmampuan 5. Rasio berat badan 4. Tempatkan dot di ujung lidah
untuk memulai 6. Hidrasi 5. Control intake cairan dengan
mengisap yang mengatur kelembutan dot,
efektif, ukuran lubang dot, dan
ketidakmampuan ukuran botol
untuk 6. Tingkatkan kewaspadaan
mempertahankan terhadap bayi dengan
mengisap yang melonggarkan pakaian bayi,
efektif menggosok kaki dan tangan,
atau bicara pada bayi
7. Dorong untuk menghisap
dengan menstimulasi reflek
rooting, sesuai kebutuhan
8. Monitor intake cairan
9. Monitor atau evaluasi reflex
menghisap selama menyusu
10. Monitor berat badan bayi
sesuai kebutuhan

2. Ketidakseimban Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


gan nutrisi : Setelah dilakukan tindakan Monitor kalori dan asupan makanan
kurang dari keperawatan selama 3 x 24 1. Monitor kecenderungan
kebutuhan tubuh jam, diharapkan nyeri terjadinya penurunan dan
b/d faktor berkurang , dengan kriteria kenaikan berat badan
biologis d/d hasil : 2. Ciptakan lingkungan yang
ketidakmampuan 7. Asupan gizi optimal pada saat
memakan 8. Asupan makanan mengkonsumsi makanan
makanan. 9. Asupan cairan 3. Tentukan status gizi pasien
10. Energy dan kemampuan untuk
11. Rasio berat badan memenuhi kebutuhan gizi
12. Hidrasi 4. Tentukan apa yang menjadi
preferensi makanan bagi
pasien
5. Tentukan jumlah kalori dan
jenis nutrisi yang dibutuhkan
untuk memenuhi persyaratan
gizi
6. Atur diet yang diperlukan
7. Lakukan atau bantu pasien
terkait dengan perawatan
mulut sebelum makan
8. Anjurkan orangtua terkait
dengan kebutuhan makanan
tertentu berdasarkan
perkembangan atau usia
3. Hambatan Komunikasi : Peningkatan Komunikasi :
komunikasi Mengekspresikan Kurang Bicara
verbal b/d defek Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor kecepatan bicara,
anatomis (misl; keperawatan selama 3 x 24 tekanan, kuantitas, volume
celah palatum) jam, diharapkan nyeri 2. Monitor proses kognitif,
d/d kesulitan berkurang , dengan kriteria anatomis dan fisiologi terkait
menggunakan hasil : dengan kemampuan bicara
ekspresi wajah 1. Kejelasan berbicara 3. Instruksikan pasien dan
dan tubuh. 2. Menggunakan bahasa keluarga untuk
tertulis menggunakan proses
3. Menggunakan foto kognitif, anatomis dan
dan gambar fisiologi terkait dengan
4. Menggunakan bahasa kemampuan bicara
lisan : vocal 4. Kenali emosi dan perilaku
5. Menggunakan bahasa fisik sebagai bentuk
isyarat komunikasi
5. Jaga lingkungan yang
terstruktur
6. Modifikasi lingkungan untuk
bisa meminimalkan
kebisingan yang berlebihan
dan menurunkan distress
emosi
4. Gangguan citra Citra Tubuh Peningkatan Citra Tubuh
tubuh b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan gambaran
penyakit d/d keperawatan selama 3 x 24 mengenai gambaran diri
perubahan jam, diharapkan nyeri sebagai mekanisme evaluasi
aktual pada berkurang , dengan kriteria dari persepsi citra diri anak
fungsi, hasil : 2. Instruksikan anak – anak
perubahan 1. Gambaran internal mengenai fungsi dari
aktual pada diri berbagai bagian tubuh,
struktur. 2. Kesesuaian antara dengan cara yang tepat
realitas tubuh dengan 3. Ajarkan untuk melihat
penampilan tubuh pentingnya respon mereka
3. Deskripsi bagian terhadap perubahan tubuh
tubuh yang terkena anak dan penyesuaian di
(dampak) masa depan
4. Sikap terhadap 4. Bantu orangtua untuk
menyentuh bagian mengidentifikasi perasaan
tubuh yang terkena sebelum mengintervensi
( dampak ) anak
5. Sikap terhadap 5. Tentukan persepsi pasien
penggunaan strategi dan keluarga terkait dengan
untuk meningkatkan perubahan citra diri dan
penampilan realitas
6. Kepuasaan dengan 6. Identifikasi strategi – strategi
penampilan tubuh penggunaan koping oleh
7. Sikap terhadap orangtua dalam berespon
penggunaan strategi terhadap perubahan
untuk meningkatkan penampilan anak
fungsi tubuh 7. Tentukan bagaimana anak
berespon terhadap tindakan
yang dilakukan orangtua
8. Fasilitasi kontak dengan
individu yang mengalami
perubahan yang sama dalam
hal citra tubuh
5. Risiko aspirasi Status Menelan Pencegahan Aspirasi
d/d gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tingkat kesadaran,
menelan keperawatan selama 3 x 24 reflek batuk, kemampuan
jam, diharapkan nyeri menelan
berkurang , dengan kriteria 2. Pertahankan kepatenan jalan
hasil : napas
1. Mempertahankan 3. Monitor kebutuhan perawatan
makanan di mulut terhadap saluran cerna
2. Jumlah menelan 4. Jaga kepala tempat tidur
sesuai dengan ukuran ditinggikan 30 sampai 45
atau tekstur bolus menit setelah pemberian
3. Mempertahankan makan
posisi kepala dan 5. Pantau cara makan atau bantu
batang tubuh netral jika diperlukan
4. Reflek menelan 6. Beri makanan dalam jumlah
sesuai dengan sedikit
waktunya 7. Hindari pemberian cairan
5. Penerimaan makanan atau penggunaan zat yang
kental
BAB 3
PENUTUP

1. Kesimpulan
Malformasi kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak
konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian janin
dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital.
Khususnya pada bayi berat badan diperkirakan kira- kira 20 % diantaranya meninggal
karena kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya ( Sofia, 2011 ).
Penyebab sebenarnya malformasi kongenital tidak diketahui. Secara umum
pertumbuhan embrio dan janin dalam kandungan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain genetik, lingkungan, atau keduanya ( Sofia, 2011 ).

Di bawah ini dikemukakan berbagai faktor :


a. Faktor Kromosom
b. Faktor Mekanis
c. Faktor Infeksi
d. Faktor Umur
e. Faktor obat
f. Faktor Hormonal
g. Faktor Pengaruh Radiasi
h. Faktor Gizi
i. Faktor Lain – lain
j. Faktor yang tidak diketahui penyebabnya.

Labioskizis adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas,


yang biasanya berlokasi tepat di bawah hidung (Muslihatun, 2010). Celah bibir dapat
terjadi dengan berbagai derajat malformasi, dimulai dari taktik ringan pada bagian
tepi bibir di kanan atau di kiri garis tengah, sampai celah komplet yang meluas hingga
ke hidung. Terdapat variasi lanjutan yang melibatkan palatum (Sodikin, 2011).
Labio/plato skizis adalah merupakan kogenital anomali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada struktur wajah (Wahid, 2012). Platoskizis adalah adanya celah pada
garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada
masa kehamilan 7-12 minggu. Labio/plato skizis adalah kogenital yang berupa adanya
kelainan bentuk pada struktur wajah Bibir sumbing adalah malformasi yang
disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu
selama perkembangan embriotik. Palatoskisis adalah fissura garis tengah pada
polatum yang terjadi karena kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan
embriotik.

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek,G. 2016. Nursing Interventions Classification, 6th ed. Elsevier :USA

Herdman, H. 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta : EGC

Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC

Maryanti, Dwi. 2011. Buku ajar Neonatus dan balita. Jakarta : CV. Trans Infomedia

Moorhead, S. 2016. Nursing Outcomes Classifications 5th ed. Elsevier : USA

Muslihatun, Wati Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Yogyakarta :
Fitramaya

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Saputra, Dr. Lyndon. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Tangerang : Binarupa
Aksara

Sofian, Dr. Amru. 2011. Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : EGC

Sodikin. 2011. Keperawatan Anak. Jakarta : EGC

Willian & Wilkins. 2011. Kapita Selekta Penyakit. Edisi 2. Jakarata : EGC

Anda mungkin juga menyukai