Anda di halaman 1dari 27

2.2.

Konsep Stres dan Koping


2.2.1 Pengertian Stres
Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sarafino mendefinisikan
stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan
lingkungan yang menimbulkan jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari
berbagai situasi dengan sumber- sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial
seseorang (Smet. 1994). Menurut Ardani dalam bukunya psikologi klinis bahwa stres
adalah keadaan dimana seseorang yang mengalami ketegangan karena adanya kondisi-
kondisi yang mempengaruhi dirinya (Ardani, 2007). Maramis berpendapat bahwa stres
adalah segala masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah
individu merasa terganggu keseimbangan hidupnya (Maramis, 1994). Berdasarkan
pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah kondisi yang
disebabkan oleh tuntutan-tuntutan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan luar
tetapi seseorang tidak mampu menghadapinya dengan mekanisme koping yang
adaptif.

2.2.2 Manifestasi Stres


Menurut Anaroga (2005), Stres yang tidak teratasi menimbulkan gejala badaniah, jiwa
dan gejala sosial. Gejala-gejala tersebut antara lain:
1. Gejala badaniah seperti sakit kepala, sakit maag, mudah kaget (berdebar-debar),
banyak keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu, letih, kaku leher
belakang sampai punggung, dada rasa panas/nyeri, rasa tersumbat di
kerongkongan, gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual muntah,
bermacam-macam gangguan menstruasi, keputihan, kejang-kejang, pingsan dan
sejumlah gejala lain.
2. Gejala Emosional seperti pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan,
cemas, was-was, kuatir, mimpi buruk, murung, mudah marah, mudah menangis,
bunuh diri, gelisah, pandangan putus asa, dan sebagainya.
3. Gejala sosial seperti makin banyak merokok/minuman/makan, menarik diri dari
pergaulan sosial, mudah bertengkar, membunuh dan lainnya.
Menurut Walia (2005), Indikator stres dapat dilihat dari dua gejala, yaitu:

1. Gejala fisik 
Yang merupakan gejala fisik antara lain: tidak peduli dengan penampilan fisik,
menggigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan atau menggerakkan kaki
dengan senewen, wajah tampak lelah, gangguan pola tidur yang normal, memiliki
kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu sering ke toilet. 
2. Gejala mental 
Gejala mental yang akan muncul seperti kemarahan yang tak terkendali atau
agresif, mencemaskan hal-hal kecil, ketidakmampuan dalam memprioritaskan,
sulit berkonsentrasi, sulit memutuskan apa yang harus dilakukan, suasana hati
yang tidak stabil, fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan diri sendiri,
cenderung menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar-benar tidak
komunikatif.

2.2.3 Manajemen Stres


Manajemen stres melibatkan penggunaan strategi koping dalam menanggapi situasi
stres. Manajemen stres adalah teknik, cara atau strategi yang dilakukan untuk
mengurangi efek negatif dari stres terhadap kesehatan badan dan pikiran. 
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengelola stress, yaitu:
1. Kesadaran 
Langkah awal dalam mengelola stres adalah kesadaran. Untuk menjadi sadar akan
faktor-faktor yang menciptakan stres dan perasaan yang terkait dengan respons
stres. Stres bisa dikendalikan hanya ketika seseorang mengakui bahwa dirinya
sedang mengalami stres. Saat seseorang menyadari penyebab stres, dia dapat
menghilangkan, menghindari, atau menerimanya.
2. Relaksasi 
Individu mengalami relaksasi dengan cara yang berbeda. Beberapa individu
bersantai dengan melakukan aktivitas motorik besar seperti: olahraga, jogging, dan
latihan fisik. Dan ada juga yang menggunakan teknik seperti latihan pernapasan
dan relaksasi progresif untuk menghilangkan stres. 
3. Meditasi 
Berlatih 20 menit sekali atau dua kali sehari, meditasi telah terbukti menurunkan
tekanan darah dan gejala terkait stres lainnya dalam waktu yang lama (Davis,
Eshelman, & McKay, 2008). Meditasi melibatkan asumsi posisi yang nyaman,
membuang semua pikiran lain yang negative dan berkonsentrasi pada satu kata,
suara, atau frase yang memiliki efek positif bagi individu. 
4. Komunikasi Interpersonal Dengan Orang lain yang Peduli 
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kekuatan seseorang dapat memberi support
system yang secara signifikan mempengaruhi kemampuan adaptasi dalam
menghadapi stres. Kadang-kadang hanya "membicarakan masalahnya" dengan
individu yang berempati sudah cukup untuk menghentikan peningkatan respons
stres. Menulis perasaan dalam jurnal atau buku harian juga bisa menjadi terapi
untuk menurunkan stres.
5. Penyelesaian masalah 
Strategi koping yang sangat adaptif adalah melihat situasi secara objektif (atau
mencari bantuan dari orang lain untuk mencapai strategi koping yang adaptif jika
tingkat kecemasan terlalu tinggi untuk berkonsentrasi). Setelah penilaian obyektif
dari situasi, pemecahan masalah dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Menilai fakta dari situasi tersebut.
b. Merumuskan tujuan untuk mengatasi Situasi stress
c. Pelajari alternatif untuk menghadapi situasi tersebut.
d. Tentukan risiko dan manfaat dari setiap alternatif
e. Pilih alternatif.
f. Menerapkan alternatif yang dipilih.
g. Mengevaluasi hasil dari alternatif tersebut diimplementasikan.
h. Jika pilihan pertama tidak efektif, pilih dan tetapkan pilihan kedua.
6. Hewan peliharaan 
Studi menunjukkan bahwa mereka yang merawat hewan peliharaan, khususnya
anjing dan kucing mampu menurunkan stres yang dialami. (Allen, Blascovich, &
Mendes, 2002; Barker, Knisely, McCain, & Best, 2005). Tindakan fisik dari
membelai atau membelai anjing atau kucing bisa menjadi terapi karena hewan
peliharaan memberikan perasaan intuitif untuk dirawat dan pada saat yang sama
memberi individu ketenangan, perasaan hangat, kasih sayang, dan saling
ketergantungan dengan makhluk yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa di antara orang-orang yang pernah
mengalami serangan jantung, pemilik hewan peliharaan memiliki tingkat kematian
yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak memiliki hewan peliharaan
(Friedmann & Thomas, 1995). Studi lain mengungkapkan bukti bahwa individu
mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan secara statistik sebagai
respons mengelus anjing atau kucing (Whitaker, 2000).
7. Musik 
Memang benar bahwa musik dapat “menenangkan binatang buas”. Menciptakan
dan mendengarkan musik merangsang motivasi, kenikmatan, dan relaksasi. Musik
dapat mengurangi depresi dan membawa perubahan suasana hati yang terukur dan
menenangkan.
8. Konsultasi Spesialis Keperawatan Jiwa untuk membantu mengelola stres 
Bantuan khusus dari profesional, misalnya melalui konsultasi dengan spesialis
keperawatan jiwa tentu sangat dibutuhkan bila stres sudah cukup parah dan
manajemen stres secara mandiri tidak membuahkan hasil. 
Beberapa jenis terapi yang umum dilakukan untuk mengurangi stress adalah:
1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT). 
2. Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT)
3. Dialectical Behavior Therapy (DBT)
4. Acceptance And Commitment Therapy (ACT).
Mendiskusikan dengan Spesialis Keperawatan Jiwa mengenai berbagai penyebab
dan gejala stres yang dialami akan membantu  perawat untuk menentukan strategi
terapi yang paling sesuai dengan kondisi yang dialami.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Stres


Faktor-faktor penyebab stres (stressor) secara umum dapat diklasifikasikan sebagai
stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri
seseorang misalnya kondisi fisik, atau suatu keadaan emosi. Stressor eksternal berasal
dari luar diri seseorang misalnya perubahan lingkungan sekitar, keluarga dan sosial
budaya. 

Munir dan Haryanto (2007), membagi faktor stress menjadi dua bagian, yaitu :
1. Faktor Internal 
Faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Dimana keadaan emosi orang
tersebut dapat menimbulkan stress. Emosi adalah setiap kegiatan pergolakan
pikiran, perasaan dan nafsu. Emosi juga dapat diartikan sebagai keadaan mental
seseorang. Dalam diri manusia terdapat emosi positif dan negatif yang saling
berlawanan. Kondisi kondisi emosional yang dapat memicu stress antara lain
perasaan takut yang berlebihan, rasa cinta yang dalam, rasa bersalah, dan lain lain.
2. Faktor eksternal 
Faktor penyebab stress yang berasal dari luar diri seseorang. Dalam faktor
eksternal ini dapat berupa ujian/ cobaan yang dianggap baik oleh manusia seperti
keberhasilan, kesuksesan, kekayaan, kehormatan, popularitas, dll. Hal tersebut
dapat menyebabkan stress bagi seseorang jika tidak disikapi dengan baik.
Persoalan/ cobaan yang bersifat buruk atau dianggap tidak baik juga merupakan
penyebab munculnya stress pada diri seseorang misalnya terkena musibah,
kemiskinan, kekurangan dalam diri, masalah keluarga, dan sebagainya.

Stuart (2013) menjelaskan bahwa psikodinamika adalah masalah keperawatan


yang disebabkan oleh faktor predisposisi dan faktor presipitasi, kedua faktor
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko maupun faktor protektif yang
mempengaruhi kualitas seseorang dalam mengatasi stress atau tekanan dalam
hidupnya. 
Faktor predisposisi dapat mencakup beberapa faktor yaitu:
a. Biologis
Faktor biologis berhubungan dengan kondisi fisiologis klien sebagai
stressor penyebab terjadinya gangguan jiwa. Teori yang berhubungan
dengan kondisi ini adalah teori genetik, teori biologi, teori neuro kimiawi
dan teori kognitif. Teori genetik menekankan pada masalah genetik yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Teori biologi melihat struktur fisiologi
manusia meliputi fungsi saraf, hormon, anatomi dan kimia syaraf. Teori
neurokimia menjelaskan beberapa faktor neurokimiawi yang menjadi
penyebab gangguan jiwa meliputi kadar katekolamin, kadar neuroendokrin,
neurotransmitter (serotonin, GABA, dan kolesistokinin). Teori kognitif
menjelaskan perubahan aktivitas fisik yang menimbulkan terjadinya
gangguan psikososial
b. Psikologis
Menurut Stuart (2013) dan Berman, A et al (2016), faktor psikologis yang
dapat menjadi penyebab gangguan berhubungan dengan kemampuan klien
dalam menyelesaikan ancaman, kehilangan kemampuan untuk
mengendalikan keadaan, perasaan kehilangan fungsi dan harga diri, gagal
membentuk pertahanan dari ancaman dan rasa tidak aman. Teori yang
berhubungan dengan faktor psikologis adalah teori psikoanalisa dan teori
perilaku oleh Freud. Teori psikologis menjelaskan bahwa kondisi yang
memicu terjadinya masalah psikososial adalah melemahnya fungsi ego
seperti riwayat kegagalan, penolakan dari orang lain, gangguan integritas
fisik, kehilangan sumber dukungan dan lain-lain. Teori perilaku
menjelaskan bahwa psikososial terjadi akibat frustasi karena terganggunya
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
c. Sosial budaya
Faktor sosial budaya dilihat dari teori interpersonal dan teori budaya.
Hubungan interpersonal yang tidak adekuat dan konsep diri yang negatif
dapat menjadi penyebab disfungsi tugas perkembangan klien tidak sesuai
dengan tahapan usianya. Faktor sosial budaya yang dapat menyebabkan
gangguan jiwa menurut Rinawati & Alimansur (2016) adalah pekerjaan,
aktivitas sosial, teman dekat, konflik dengan keluarga, penghasilan kurang
dan kehilangan orang yang berarti.\
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh klien sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan yang membutuhkan usaha untuk mengatasinya. Komponen
dari stressor presipitasi dapat dilihat dari beberapa faktor meliputi:
a. Sifat stressor
Sifat stressor diidentifikasikan menjadi tiga komponen yaitu biologis,
psikologis, dan sosial. Komponen biologis berhubungan terhadap ancaman
fisiologis seperti gangguan kardiovaskuler, sistem imun, terpapar penyakit
yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan di masa
depan. Komponen psikologis meliputi pengalaman tidak menyenangkan dan
keinginan yang tidak terpenuhi. Sedangkan komponen sosial berhubungan
dengan kondisi ekonomi dan penghasilan keluarga.
b. Asal stressor
Asal stressor diidentifikasi berdasarkan sumber internal dan eksternal dari
klien. Sumber internal berasal dari dalam individu yang bersifat biologis
maupun psikologis. Sedangkan sumber eksternal penyebab gangguan jiwa
berasal dari pengaruh orang lain atau orang yang berada di sekitar klien.
c. Waktu dan lamanya stressor
Jumlah stressor dan pengalaman dalam menghadapi stress dapat menjadi
penyebab terjadinya masalah psikososial.
d. Jumlah stressor
Jumlah stressor lebih dari satu pada klien akan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan dengan stressor yang hanya berjumlah satu.

2.2.5 Konsep Adaptasi Stres


2.2.5.1 Stres sebagai Respons Biologis
Stres merupakan suatu reaksi dari tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
stressor. Stressor adalah suatu keadaan yang menimbulkan stress.  Stressor
dapat menghasilkan respon tubuh yang menyebabkan perubahan pada fungsi
normal tubuh yang akan terus menerus memicu respon seseorang (Muzliyati et
al, 2019).
Pada tahun 1956, Selye menerbitkan hasil penelitiannya mengenai respon
fisiologis tubuh terhadap perubahan yang dipaksakan. Sindrom gejala pada
respon ini dikenal dengan istilah fight or flight syndrome (Townsend, 2015).
Menurut Selye, stres merupakan respons seseorang terhadap stimulus yang
diberikan, yaitu reaksi  tubuh secara spesifik terhadap penyebab yang
mempengaruhi seseorang (Gaol, 2016). Untuk mengetahui lebih lanjut
bagaimana tubuh memberikan respons terhadap sumber stres, Selye pun
memperkenalkan sebuah model stress. Model stres yang diperkenalkan Selye
adalah General Adaptation Syndrome atau disingkat dengan istilah GAS (Rice,
2011). 

General Adaptation Syndrome terdiri dari tiga tahapan reaksi yang berbeda,
yaitu Alarm Reaction, Resistance Phase, dan Exhaustion Phase (Nathania et al,
2019)

1. Alarm Reaction Stage, response fisiologis dari sindrom "fight or flight"


dimulai pada tahap ini. Suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi
ketika ada perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi
yang diharapkan. Sebagai akibatnya, tubuh menerima rangsangan dan
secara alami mengaktifkan reaksi flight-or-fight karena adanya kondisi
yang berpotensi mengancam kestabilan kondisi tubuh. Pada tahap pertama
ini akan timbul seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala,
disfagia (kesulitan menelan), kram, dan lain sebagainya (Gaol, 2016).
2. Stage of Resistance (perlawanan), ketika tubuh berusaha  
mengkompensasi stressor yang ada. Perlawanan terjadi saat alarm tidak
berakhir atau terus menerus berlangsung. Dampaknya, kekuatan fisik pun
dikerahkan untuk melanjutkan kerusakan-kerusakan karena rangsangan-
rangsangan yang membahayakan sedang menyerang. selama proses
perlawanan di tahap resistance ada kemungkinan akan timbulnya penyakit,
seperti radang sendi, kanker, dan hipertensi (Lyon, 2012 dalam Gaol,
2016). 
3. Stage of Exhaustion (kelelahan), ketika  tubuh  tidak  mampu  lagi 
mengkompensasi  stressor  akibat  kehabisan  tenaga. Kondisi ini
dikarenakan tubuh benar-benar tidak sanggup lagi mengadakan
perlawanan terhadap sumber stres. Atau dengan kata lain, tubuh sudah
menyerah karena kehabisan kemampuan untuk menghadapi serangan yang
mengancam (Gaol, 2016)

Proses fisiologis akibat stres melibatkan tiga sistem, yaitu sistem saraf
pusat dan perifer, sistem endokrin, dan sistem imun, yang saling
berinteraksi dan mensekresikan hormon – hormon yang merubah
homeostasis fisiologis tubuh. Masing – masing hormon dapat
menyebabkan efek langsung, sedang, maupun berkepanjangan yang
menyebabkan tubuh siap untuk melakukan mekanisme “Fight or Flight”
(Seaward, 2015 dalam Nathania et al, 2019).

2.2.5.2 Stres sebagai hubungan antara individu dengan lingkungan

Konsep stres ini menekankan hubungan antara individu dan lingkungan dengan
mempertimbangkan karakteristik pribadi dan lingkungan. Gambaran ini sejajar
dengan konsep modern tentang etiologi penyakit. Penyebab tidak lagi dilihat
semata-mata sebagai entitas eksternal tapi tergantung juga pada kerentanan 
penerima. Untuk memprediksi stres psikologis sebagai reaksi, harus
mempertimbangkan hubungan seseorang dengan lingkungan (Townsend,
2015). 

Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai hubungan antara


orang dan lingkungan yang dinilai oleh orang tersebut membebani dan
membahayakan kesejahteraannya. Penentuan bagaimana hubungan seseorang
dengan lingkungan dilihat dari cognitive appraisal individu tersebut. Cognitive
appraisal adalah evaluasi seseorang dari peristiwa atau kejadian secara personal
(Townsend, 2015). 

Lazarus dan Folkman menegaskan bahwa appraisal (penilaian) adalah faktor


utama dalam menentukan seberapa banyak jumlah stres yang dialami oleh
seseorang saat berhadapan dengan situasi mengancam. Jadi, stres adalah hasil
dari terjadinya transaksi antara individu dengan penyebab stres yang
melibatkan proses pengevaluasian (Gaol, 2016).

Appraisal atau proses penilaian adalah suatu tindakan pengevaluasian,


penafsiran, dan tanggapan tentang peristiwa-peristiwa yang ada. Merujuk pada
Lazarus dan Folkman (1984), ada dua tahap penilaian yang dilakukan oleh
manusia ketika sedang mengalami stres yaitu primary appraisal dan secondary
appraisal (Gaol, 2016).

a. Primary Appraisal 
Penilaian tahap awal (primary appraisal) dilakukan oleh individu pada saat
mulai mengalami suatu peristiwa. Secara khusus, individu mengevaluasi
pengaruh yang memungkinkan timbul dari adanya tuntutan-tuntutan
terhadap sumber daya yang ada pada kondisi kesehatan (Lyon, 2012).
Lazarus dan Folkman (1984) membagi proses primary appraisal ini dalam
tiga tahap, yaitu irrelevant, benign-positive, dan stressful (Gaol, 2016).
1. Irrelevant (tidak berkaitan) terjadi ketika seseorang berhadapan dengan
situasi yang tidak memberikan dampak apapun terhadap kesejahteraan
(kesehatan) seseorang. Dengan kata lain, seseorang tidak membutuhkan
usaha apapun ketika menghadapi sebuah permasalahan atau kejadian
karena tidak ada yang dihilangkan dan diterima dalam proses transaksi
ini. 
2. Benign-positive (berdampak baik) terjadi ketika hasil dari pertempuran
berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan individu. Sebagai
hasilnya, akan timbul luapan perasaan emosi seperti bahagia, kasih,
senang, dan sebagainya (Gaol, 2016).
3. Stressful terjadi ketika individu tidak lagi memiliki kemampuan secara
personal untuk menghadapi penyebab stres. Sebagai akibatnya individu
akan mengalami harmful, threatening dan challenging. Harm adalah
tanda bahwa sesuatu yang membahayakan sedang terjadi pada. Threat
adalah tanda bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan yang
membahayakan itu akan berlanjut di kemudian hari. Challenge
merupakan keterlibatan individu dengan tuntutan yang ada. Tantangan-
tantangan tersebut menimbulkan emosi seperti pengharapan, keinginan
dan keyakinan (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Gaol, 2016).
b. Secondary appraisal

Secondary appraisal (penilaian tahap kedua) adalah penilaian


keterampilan, sumber daya, dan pengetahuan yang dimiliki seseorang
menghadapi situasi. 

Individu mengevaluasi dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Strategi koping apa yang tersedia untuk saya?


2. Apakah opsi yang saya pilih akan efektif dalam situasi ini?
3. Apakah saya memiliki kemampuan untuk menggunakan strategi itu
secara efektif? (Townsend, 2015).

Secondary appraisal merupakan proses penentuan jenis coping yang bisa


dilakukan dalam menghadapi situasi-situasi yang mengancam (Lyon,
2012). Coping tergantung pada penilaian terhadap hal apa yang bisa
dilakukan untuk mengubah situasi. 

Lazarus dan Folkman (1984) membagi dua metode coping


(penanggulangan) yang dilakukan ketika menghadapi stres yaitu problem-
focused coping (penanggulangan berfokus pada masalah) dan emotion-
focused coping (penanggulangan berfokus pada emosi). 

1. Problem-focused coping adalah cara menanggulangi stres dengan


berfokus pada permasalahan yang dihadapi. Coping yang berfokus
pada masalah ini bisa dilakukan apabila masih ada memungkinkan
melakukan sesuatu untuk menanggulangi stres. Jadi, problem-focused
coping dilakukan untuk menghindari atau mengurangi stres dengan
cara langsung menghadapi sumber stres atau masalah yang terjadi
(Gaol, 2016)
2. Emotion-focused coping adalah cara penanggulangan stres dengan
melibatkan emosi. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami stres
akan melibatkan emosinya dan menggunakan penilaiannya terhadap
sumber-sumber stres yang ada. Coping yang berfokus pada emosi
dilakukan karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan terhadap sumber
stres. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan
stres yang berfokus pada masalah adalah berurusan dengan situasi
secara langsung. Sedangkan penanggulangan stres yang berfokus pada
emosi berurusan dengan diri sendiri (Gaol, 2016).

Interaksi antara penilaian primer terhadap suatu kejadian dan penilaian


sekunder terhadap strategi koping yang ada menentukan kualitas respons
adaptasi individu terhadap stress (Townsend, 2015).

2.2.6 Model-model Stress


Stres tidak selalu buruk, meskipun seringkali dibahas dalam konteks yang negatif,
karena stress memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi
hasil (Asih dkk 2018)

Stres digolongkan atas tiga pendekatan :


1. Stres Model Stimulus
Stres model stimulus merupakan model stres yang menjelaskan bahwa stres itu
adalah variabel bebas (independent) atau penyebab manusia mengalami stress.
Atau dengan kata lain, stres adalah situasi lingkungan yang seseorang rasakan
begitu menekan dan individu tersebut hanya menerima secara langsung
rangsangan stres tanpa ada proses penilaian. Penyebab-penyebab stres tersebut
berperan dalam menentukan seberapa banyak stres yang akan mungkin diterima.
Oleh karena itu, tekanan yang berasal dari situasi-situasi lingkungan bisa
bertindak sebagai penyebab dan penentu pada gangguan-gangguan kesehatan
apabila terjadi dalam kurun waktu yang sering dan dengan jumlah yang
berbahaya. Adapun situasi-situasi yang memungkinkan menjadi pemicu terjadinya
stres adalah beban kerja, kepanasan, kedinginan, suara keributan, ruangan yang
berbau menyengat, cahaya yang terlalu terang, lingkungan yang kotor, ventilasi
yang tidak memadai, dan lain sebagainya, stres stimulus lebih memfokuskan pada
sumber-sumber stres dari pada aspek-aspek lainnya. Sumber stres tersebut dikenal
dengan istilah “stressor” (Hariharan & Rath, 2008).

1. Stress Model Response


Stres model Respon merupakan  respons seseorang terhadap stimulus yang
diberikan, stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh yang secara spesifik
terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada seseorang. Reaksi
tubuh terhadap sumber stres sebagai variabel terikat atau hasil. Hasil stres itu
bersumber dari dalam diri individu, hasil stres itupun meliputi perubahan kondisi
psikis, emosional, dan psikologis. Misalnya, ketika seseorang mengalami situasi
yang mengkhawatirkan, tubuh secara spontan bereaksi terhadap ancaman tersebut.
Ancaman tersebut termasuk sumber stres, dan respons tubuh terhadap ancaman itu
merupakan stres respons (Lyon 2012).
2. Stres Model Transaksional
Stres model transaksional berfokus pada respon emosi dan proses kognitif yang
mana didasarkan pada interaksi manusia dengan lingkungan. Richard Lazarus dan
Susan Folkman adalah tokoh yang terkenal dalam mengembangkan teori stres
model transaksional. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah
hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dievaluasi oleh seseorang
sebagai tuntutan atau ketidakmampuan dalam menghadapi situasi yang
membahayakan atau mengancam kesehatan. stres adalah hasil dari terjadinya
transaksi antara individu dengan penyebab stres yang melibatkan proses
pengevaluasian. sumber stres merupakan kejadian atau situasi yang melebihi
kemampuan pikiran atau tubuh saat berhadapan dengan sumber stres tersebut.
Ketika situasi tersebut memberikan rangsangan, maka individu akan melakukan
appraisal (penilaian) dan coping (penanggulangan). Oleh karena itu, stres bisa
berlanjut ke tahap yang lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang.
Hal tersebut ditentukan bagaimana usaha seseorang berurusan dengan sumber
stress (Dewe 2012).

2.2.7 Jenis-jenis Stress 


Berney dan Selye (Asih dkk ,2018) mengungkapkan ada empat jenis stres: 
1. Eustress (good stress) 
Merupakan stress yang menimbulkan stimulus dan kegairahan, sehingga memiliki
efek yang bermanfaat bagi individu yang mengalaminya. Contohnya Seperti:
tantangan yang muncul dari tanggung jawab yang meningkat, tekanan waktu, dan
tugas 5 berkualitas tinggi. 
2. Distress 
Merupakan stres yang memunculkan efek yang membahayakan bagi individu
yang mengalaminya seperti: tuntutan yang tidak menyenangkan atau berlebihan
yang menguras energi individu sehingga membuatnya menjadi lebih mudah jatuh
sakit.
3. Hyperstress
Merupakan stress yang berdampak luar biasa bagi yang mengalaminya. Meskipun
dapat bersifat positif atau negatif tetapi stress ini tetap saja membuat individu
terbatas kemampuan adaptasinya. Contoh adalah stres akibat serangan teroris. 
4. Hysteresis
Merupakan stress yang muncul karena kurangnya stimulasi. Contohnya, stres
karena bosan atau karena pekerjaan yang rutin.

2.2.8 Respon Psikofisiologis Yang Dapat Muncul Akibat Stress

Gambar 2.1 Skema respon biologis dan fisiologis dari stres


Gambar 2.2 Skema respon biologis dan fisiologis dari stres
Dari skema diatas dengan adanya stressor yang menyebabkan stress artinya keadaan yang
dimanifestasikan oleh sindrom spesifik yang terdiri dari semua perubahan yang diinduksi secara
tidak spesifik di dalam tubuh. Sindrom gejala ini kemudian dikenal dengan “fight or flight”. 

Reaksi umum tubuh untuk menekankan sindrom adaptasi umum, yang terdiri dari tiga tahap
reaksi yang berbeda, antara lain:
1. Tahap reaksi alam
2. Tahap perlawanan, individu menggunakan respon fisiologis tahap pertama sebagai
pertahanan dalam upaya beradaptasi dengan stres. Jika adaptasi terjadi, tahap ketiga dapat
dicegah atau ditunda, dan gejala fisiologis dapat hilang. 
3. Tahap kelelahan, terjadi Ketika ada pemaparan yang terlalu lama terhadap stresor yang
telah disesuaikan oleh tubuh. Energi adaptif terkuras, individu tidak dapat lagi menarik dari
sumber daya untuk adaptasi pada tahap pertama dan kedua. Penyakit yang ditimbulkan
akibat gagal beradaptasi misalnya; sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner,
maag, kolitis. Apabila tidak ada intervensi dalam tahapan ini, maka dapat menimbulkan
kematian. 
Berikut ini adalah respon psikofisiologis yang dapat muncul akibat stres, antara lain:
1. Respon Fisiologis
Tabel 2.1 Respon Fisiologis
Sistem Tubuh Respon

Kardiovaskuler Palpitasi
Jantung berdebar
Tekanan darah meningkat
Rasa ingin pingsan/Pingsan 
Tekanan darah menurun
Denyut nadi menurun

Pernapasan  Napas cepat


Sesak napas
Tekanan pada dada
Napas dangkal
Pembengkakan pada tenggorokan 
Sensasi tercekik
Terengah-engah 

Neuromuskuler Refleks meningkat


Reaksi terkejut
Mata berkedip – kedip
Insomnia
Tremor
Rigiditas
Gelisah, mondar-mandir
Wajah tegang
Kelemahan umum 
Tungkai lemah
Gerakan yang janggal

Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan 


Menolak makan 
Rasa tidak nyaman pada abdomen 
Nyeri abdomen 
Mual
Nyeri ulu hati
Diare

Saluran Tidak dapat menahan buang air kecil


Perkemihan  Sering berkemih

Kulit Wajah kemerahan 


Berkeringat setempat (telapak tangan)
Gatal 
Rasa panas dan dingin pada kulit 
Wajah pucat
Berkeringat seluruh tubuh 
2. Respon Perilaku, Kognitif, dan Afektif 
Tabel 2.2 Respon Perilaku, Kognitif dan Afektif
Sistem Tubuh Respon

Perilaku Gelisah 
Ketegangan fisik 
Tremor 
Reaksi terkejut
Bicara cepat 
Kurang koordinasi
Cenderung mengalami cedera
Menarik diri dari hubungan interpersonal 
Inhibisi 
Melarikan diri dari masalah 
Menghindar
Hiperventilasi 
Sangat waspada 

Kognitif  Perhatian terganggu 


Konsentrasi buruk 
Pelupa 
Salah dalam memberikan penilaian 
Preokupasi 
Hambatan berpikir 
Lapang persepsi menurun 
Kreativitas menurun 
Produktivitas menurun 
Bingung
Sangat waspada 
Kesadaran diri 
Kehilangan objektivitas 
Takut kehilangan kendali

Kognitif Lanjutan  Takut pada gambaran visual 


Takut cedera atau kematian 
Kilas balik 
Mimpi buruk

Afektif Mudah terganggu 


Tidak sabar 
Gelisah 
Tegang 
Gugup 
Ketakutan 
Waspada 
Kekhawatiran 
Kengerian 
Kecemasan 
Mati rasa 
Rasa bersalah 
Malu 

2.2.9 Definisi Koping


Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang
diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam
suatu keadaan yang penuh tekanan, koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau
menguasai suatu masalah dapat juga membantu mengubah persepsi atas
ketidaksesuaian, menerima bahaya, melepaskan diri atau menghindari situasi stres
(Nasir dan Muhith, 2011).Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku
bertujuan untuk mengurangi perasaan tertekan yang muncul ketika menghadapi situasi
stres (Rubbyana, 2012). Coping adalah upaya / usaha individu untuk bereaksi terhadap
kesulitan yang dihadapi, baik kesulitan eksternal maupun internal (Mitrousi, Travlos,
Koukla & Zyga, 2013). Menurut Chaplin (2002), coping behavior adalah suatu
tindakan / perbuatan sembarang yang dilakukan oleh individu dengan cara berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya untuk menyelesaikan sesuatu (tugas maupun masalah).
Menurut Ismiati (2015), coping adalah suatu proses dinamis dari pola perilaku dan
pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi situasi atau masalah yang sedang
dihadapi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koping adalah cara
atau langkah yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
beradaptasi dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam atau
melebihi batas kemampuan individu, baik secara kognitif maupun perilaku.

2.2.10 Mekanisme koping


Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stres,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Susilo, 2009).

Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut (Kozier, 2010) yaitu: 
1. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi
usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau
mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada
dirinya. Menurut Stuart & Sundeen (1998) hal-hal yang berhubungan dengan
mekanisme koping yang berpusat pada masalah adalah:
a. Konfrontasi Koping (Confrontative Coping)
Menggambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara
agresif, menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.
Mekanisme koping ini dapat konstruktif jika mengarah pada pemecahan
masalah tetapi juga dapat destruktif jika perasaan stress diekspresikan secara
negatif dan agresif.
b. Isolasi (Withdraw/behavior)
Individu berusaha untuk menarik diri baik fisik maupun psikologis dari
lingkungan atau tidak mau tahu masalah yang sedang dihadapi. Menarik diri
secara fisik yaitu seseremaja menjauhkan diri dari sumber masalah,
seseremaja juga dapat menarik diri secara
c. Kompromi (Compromise) 
Menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan dengan hati- hati, meminta
bantuan dan kerjasama dengan keluarga dan teman kerja atau mengurangi
keinginan lalu memilih jalan tengah dengan cara mengubah cara yang tidak
efektif dalam bertindak, mengganti tujuan dan mengorbankan aspek
kepentingan pribadi.
2. Mekanisme Koping yang Berpusat pada Emosi (Emotion Focused Coping
Mechanism) 
Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi
usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress emosional. Mekanisme
koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering
merasa lebih baik.

Mekanisme koping yang berpusat pada emosi menurut Stuart & Sundeen (1998)
antara lain:
a. Denial
Denial adalah upaya yang dilakukan untuk menghindari realitas
ketidaksetujuan dengan cara mengabaikan atau menolak untuk
mengenalinya. Penggunaan mekanisme pertahanan denial ini tidak akan
merubah masalah, tidak memecahkan masalah, dan tidak akan merubah
realitas. tampaknya masuk akal untuk menyesuaikan implus, perasaan,
perilaku dan motif yang tidak dapat diterima.
b. Regresi
Menghindari stress terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan
yang lebih awal. Individu berperilaku seperti pada saat situasi stress belum
dirasakan.
c. Identifikasi
Proses individu mencoba untuk menjadi seperti remaja lain atau seseremaja
yang dikagumi oleh individu tersebut dengan menirukan pikiran, perilaku
atau kesukaannya.
d. Sublimasi
Penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara sosial karena dorongan
yang merupakan saluran normal ekspresi terhambat.
e. Represi
Dorong impolunter dari pikiran yang menyakitkan atau konflik, atau ingatan
dari kesadaran pertahanan ego yang primer yang lebih cenderung
memperkuatkan mekanisme ego yang lain.
f. Proyeksi
Tidak dapat ditoleransi perasaan emosional atau motivasi kepada individu
lain.
g. Kompensasi
Proses dimana individu dengan citra diri yang kurang berupaya
menggantikan dengan menekan kelebihan lain yang dianggapnya sebagai
aset.
h. Mengalihkan
Mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada remaja atau benda
tertentu ke benda atau remaja yang netral atau tidak membahayakan.
i. Reaksi Formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa
yang benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh remaja lain.
j. Disosiasi
Pemisahan dari setiap kelompok mental atau perilaku dari seluruh kesadaran
atau identitas.
k. Intelektualisasi
Alasan atau logika yang berlebihan yang digunakan untuk menghindari
perasaan-perasaan mengganggu yang dialami.
l. Introyeksi
Tipe identifikasi yang hebat dimana individu menyatukan kualitas atau nilai-
nilai individu lain atau kelompok kedalam struktur egonya sendiri.
m. Isolasi
Memisahkan komponen emosional dari pikiran yang dapat bersifat sementara
maupun jangka Panjang
n. Splitting
Memandang remaja dan situasi sebagai semuanya baik atau semuanya buruk,
gagal untuk mengintegrasikan kualitas negatif dan positif seseremaja.
o. Supresi
Suatu proses yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan diri, tetapi
benar-benar merupakan analogi represi (mengarah pada represi).
p. Undoing
Bertindak atau berkomunikasi yang secara sebagian meniadakan yang sudah
ada sebelumnya. (Mekanisme pertahanan diri primitif).

2.2.10 Macam - Macam Koping


1. Koping psikologis
Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis tergantung pada
dua faktor, yaitu 
a. Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya
seberapa berat ancaman yang dirasakan individu terhadap stressor yang
diterima
b. Keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu, artinya dalam
menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka akan
menghasilkan adaptasi yang baik
2. Koping psikososial
Adalah reaksi psikososial terhadap adanya stimulus stres yang diterima atau
dihadapi oleh klien. Menurut Stuart dan Sundeen mengemukakan bahwa terdapat
2 kategori koping yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan :
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented reaction).
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, konflik dan memenuhi
kebutuhan dasar.
b. Reaksi yang berorientasi pada ego 
Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi stres, atau
ancaman dan jika dilakukan dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi
kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu lama akan dapat
mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan
interpersonal dan menurunkan produktivitas kerja (Rasmun, 2004: 30-34)

2.2.11 Strategi Koping


Berbicara mengenai coping stress, banyak tokoh yang kemudian mulai
mengelompokkan coping stress. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan strategi
antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Meskipun demikian, hasil dari pembeda
tersebut memiliki kesamaan alur pikir. 

Menurut Lahey (dalam Suprayogi, 2011), strategi coping stress dibagi menjadi dua
tipe yaitu:
1. Effective – Coping, yaitu upaya / usaha yang dilakukan untuk menghilangkan
sumber stress dan / atau mengontrol reaksi yang dihasilkan dari stress tersebut. 
2. Ineffective – Coping, yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
ketidaknyamanan yang dihasilkan dari stress tersebut, namun tidak memberikan
solusi jangka panjang dan dapat memperburuk keadaan. 

Lahey mengelompokkan effective coping dalam beberapa kelompok, yaitu: 


1. Removing stress : upaya untuk menghilangkan sumber stress 
2. Cognitive coping : upaya menghilangkan sumber stress dengan cara merubah cara
berpikir atau cara pandang terhadap permasalahan yang sedang dihadapi 
3. Managing stress reaction : upaya yang dilakukan untuk menghilangkan stress
dengan cara mengatur keadaan psikologis dan reaksi terhadap sumber stress 

Lahey mengelompokan ineffective coping dalam beberapa kelompok, terdiri dari:


1. Withdrawal : melarikan diri dan menghindari kenyataan akan stress yang sedang
dihadapi.
2. Aggresion : tindakan agresif sebagai respon akan stress 
3. Self medication: penggunaan obat – obatan terlarang untuk menghilangkan
pikiran dan menenangkan diri dari stress yang sedang dihadapi dan
mengkonsumsi alkohol untuk menghindari rasa cemas dan lain sebagainya. 
4. Defence mechanism: ego pertahanan akan rasa tidak nyaman yang dihasilkan dari
sumber stress, sehingga individu seolah – olah merasa nyaman ditengah masalah
yang sedang dihadapi.

Menurut Andriyani (2014), faktor yang mempengaruhi coping stress adalah sumber
daya individu itu sendiri. Sumber daya individu tersebut, meliputi: 
1. Kesehatan fisik / energi 
Dalam berjuang untuk mengatasi stress, kesehatan fisik sangat dibutuhkan karena
dalam mengatasi stress membutuhkan banyak energi.
2. Keterampilan memecahkan masalah.
Merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk mencari solusi dalam
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi, seperti mencari informasi,
menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah hingga menemukan solusi yang
tepat 
3. Keterampilan sosial 
Merupakan suatu keterampilan yang meliputi keterampilan komunikasi dan
bertingkah laku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. 
4. Dukungan sosial dan materi 
Dukungan sosial sangat penting dalam coping stress karena akan membuat
individu merasa dihargai dan didukung oleh lingkungan sekitarnya. Dukungan
sosial yang baik dan cukup akan membuat individu untuk segera bangkit dari
permasalahan stress yang sedang dialaminya
Daftar Pustaka

Barbara, Kozier dkk. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Chaplin, J. T. (2002). Kamus Lengkap Priskologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Ismiati. (2015). Problematika dan coping stres mahasiswa dalam menyusun skripsi. Jurnal Al-
Bayan, 21(32)

Mary C. Townsend, D. P.-B. (2015). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in
Evidence-Based Eight Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Mitrousi, S., Travlos, A., Koukia, E., Zyga, S. 2013. Theoretical Approaches to Coping.
International Journal of Caring Science, 6(2), 131-137
Nasir, Abdul dan, Abdul, Muhith. (2011). Dasar-dasar Keperawatan jiwa, Pengantar dan Teori.
Jakarta: Salemba Medika.

Ogden, Jane. 2007. Health Psychology (4th Ed). New York: Open University Press

Rasmun. (2004). Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung Seto


Rias, Y. A. (2021). Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan. Bandung: Media Sains
Indonesia.

Rubbyana, U. (2012). Hubungan antara Strategi Koping dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Skizofrenia Remisi Simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1 (2).

Santrock, Jhon W. (2011). Life – Span Development : Perkembangan Masa Hidup, Edisi 13,
Jilid
II. Jakarta : Erlangga

Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 10th ed. Canada: Evolve

Townsend, M. C. Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence – Based


Practice Edition- USA: F.A Davis Company

Ulrich-Lai, Y. M., and Herman, J.P., 2009. Neural regulation of endocrine and autonomic stress
responses.Nature reviews neuroscience, 10(6), p.397

Anda mungkin juga menyukai