1. Gejala fisik
Yang merupakan gejala fisik antara lain: tidak peduli dengan penampilan fisik,
menggigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan atau menggerakkan kaki
dengan senewen, wajah tampak lelah, gangguan pola tidur yang normal, memiliki
kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu sering ke toilet.
2. Gejala mental
Gejala mental yang akan muncul seperti kemarahan yang tak terkendali atau
agresif, mencemaskan hal-hal kecil, ketidakmampuan dalam memprioritaskan,
sulit berkonsentrasi, sulit memutuskan apa yang harus dilakukan, suasana hati
yang tidak stabil, fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan diri sendiri,
cenderung menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar-benar tidak
komunikatif.
Munir dan Haryanto (2007), membagi faktor stress menjadi dua bagian, yaitu :
1. Faktor Internal
Faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Dimana keadaan emosi orang
tersebut dapat menimbulkan stress. Emosi adalah setiap kegiatan pergolakan
pikiran, perasaan dan nafsu. Emosi juga dapat diartikan sebagai keadaan mental
seseorang. Dalam diri manusia terdapat emosi positif dan negatif yang saling
berlawanan. Kondisi kondisi emosional yang dapat memicu stress antara lain
perasaan takut yang berlebihan, rasa cinta yang dalam, rasa bersalah, dan lain lain.
2. Faktor eksternal
Faktor penyebab stress yang berasal dari luar diri seseorang. Dalam faktor
eksternal ini dapat berupa ujian/ cobaan yang dianggap baik oleh manusia seperti
keberhasilan, kesuksesan, kekayaan, kehormatan, popularitas, dll. Hal tersebut
dapat menyebabkan stress bagi seseorang jika tidak disikapi dengan baik.
Persoalan/ cobaan yang bersifat buruk atau dianggap tidak baik juga merupakan
penyebab munculnya stress pada diri seseorang misalnya terkena musibah,
kemiskinan, kekurangan dalam diri, masalah keluarga, dan sebagainya.
General Adaptation Syndrome terdiri dari tiga tahapan reaksi yang berbeda,
yaitu Alarm Reaction, Resistance Phase, dan Exhaustion Phase (Nathania et al,
2019)
Proses fisiologis akibat stres melibatkan tiga sistem, yaitu sistem saraf
pusat dan perifer, sistem endokrin, dan sistem imun, yang saling
berinteraksi dan mensekresikan hormon – hormon yang merubah
homeostasis fisiologis tubuh. Masing – masing hormon dapat
menyebabkan efek langsung, sedang, maupun berkepanjangan yang
menyebabkan tubuh siap untuk melakukan mekanisme “Fight or Flight”
(Seaward, 2015 dalam Nathania et al, 2019).
Konsep stres ini menekankan hubungan antara individu dan lingkungan dengan
mempertimbangkan karakteristik pribadi dan lingkungan. Gambaran ini sejajar
dengan konsep modern tentang etiologi penyakit. Penyebab tidak lagi dilihat
semata-mata sebagai entitas eksternal tapi tergantung juga pada kerentanan
penerima. Untuk memprediksi stres psikologis sebagai reaksi, harus
mempertimbangkan hubungan seseorang dengan lingkungan (Townsend,
2015).
a. Primary Appraisal
Penilaian tahap awal (primary appraisal) dilakukan oleh individu pada saat
mulai mengalami suatu peristiwa. Secara khusus, individu mengevaluasi
pengaruh yang memungkinkan timbul dari adanya tuntutan-tuntutan
terhadap sumber daya yang ada pada kondisi kesehatan (Lyon, 2012).
Lazarus dan Folkman (1984) membagi proses primary appraisal ini dalam
tiga tahap, yaitu irrelevant, benign-positive, dan stressful (Gaol, 2016).
1. Irrelevant (tidak berkaitan) terjadi ketika seseorang berhadapan dengan
situasi yang tidak memberikan dampak apapun terhadap kesejahteraan
(kesehatan) seseorang. Dengan kata lain, seseorang tidak membutuhkan
usaha apapun ketika menghadapi sebuah permasalahan atau kejadian
karena tidak ada yang dihilangkan dan diterima dalam proses transaksi
ini.
2. Benign-positive (berdampak baik) terjadi ketika hasil dari pertempuran
berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan individu. Sebagai
hasilnya, akan timbul luapan perasaan emosi seperti bahagia, kasih,
senang, dan sebagainya (Gaol, 2016).
3. Stressful terjadi ketika individu tidak lagi memiliki kemampuan secara
personal untuk menghadapi penyebab stres. Sebagai akibatnya individu
akan mengalami harmful, threatening dan challenging. Harm adalah
tanda bahwa sesuatu yang membahayakan sedang terjadi pada. Threat
adalah tanda bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan yang
membahayakan itu akan berlanjut di kemudian hari. Challenge
merupakan keterlibatan individu dengan tuntutan yang ada. Tantangan-
tantangan tersebut menimbulkan emosi seperti pengharapan, keinginan
dan keyakinan (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Gaol, 2016).
b. Secondary appraisal
Reaksi umum tubuh untuk menekankan sindrom adaptasi umum, yang terdiri dari tiga tahap
reaksi yang berbeda, antara lain:
1. Tahap reaksi alam
2. Tahap perlawanan, individu menggunakan respon fisiologis tahap pertama sebagai
pertahanan dalam upaya beradaptasi dengan stres. Jika adaptasi terjadi, tahap ketiga dapat
dicegah atau ditunda, dan gejala fisiologis dapat hilang.
3. Tahap kelelahan, terjadi Ketika ada pemaparan yang terlalu lama terhadap stresor yang
telah disesuaikan oleh tubuh. Energi adaptif terkuras, individu tidak dapat lagi menarik dari
sumber daya untuk adaptasi pada tahap pertama dan kedua. Penyakit yang ditimbulkan
akibat gagal beradaptasi misalnya; sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner,
maag, kolitis. Apabila tidak ada intervensi dalam tahapan ini, maka dapat menimbulkan
kematian.
Berikut ini adalah respon psikofisiologis yang dapat muncul akibat stres, antara lain:
1. Respon Fisiologis
Tabel 2.1 Respon Fisiologis
Sistem Tubuh Respon
Kardiovaskuler Palpitasi
Jantung berdebar
Tekanan darah meningkat
Rasa ingin pingsan/Pingsan
Tekanan darah menurun
Denyut nadi menurun
Perilaku Gelisah
Ketegangan fisik
Tremor
Reaksi terkejut
Bicara cepat
Kurang koordinasi
Cenderung mengalami cedera
Menarik diri dari hubungan interpersonal
Inhibisi
Melarikan diri dari masalah
Menghindar
Hiperventilasi
Sangat waspada
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koping adalah cara
atau langkah yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
beradaptasi dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam atau
melebihi batas kemampuan individu, baik secara kognitif maupun perilaku.
Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut (Kozier, 2010) yaitu:
1. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi
usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau
mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada
dirinya. Menurut Stuart & Sundeen (1998) hal-hal yang berhubungan dengan
mekanisme koping yang berpusat pada masalah adalah:
a. Konfrontasi Koping (Confrontative Coping)
Menggambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara
agresif, menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.
Mekanisme koping ini dapat konstruktif jika mengarah pada pemecahan
masalah tetapi juga dapat destruktif jika perasaan stress diekspresikan secara
negatif dan agresif.
b. Isolasi (Withdraw/behavior)
Individu berusaha untuk menarik diri baik fisik maupun psikologis dari
lingkungan atau tidak mau tahu masalah yang sedang dihadapi. Menarik diri
secara fisik yaitu seseremaja menjauhkan diri dari sumber masalah,
seseremaja juga dapat menarik diri secara
c. Kompromi (Compromise)
Menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan dengan hati- hati, meminta
bantuan dan kerjasama dengan keluarga dan teman kerja atau mengurangi
keinginan lalu memilih jalan tengah dengan cara mengubah cara yang tidak
efektif dalam bertindak, mengganti tujuan dan mengorbankan aspek
kepentingan pribadi.
2. Mekanisme Koping yang Berpusat pada Emosi (Emotion Focused Coping
Mechanism)
Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi
usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress emosional. Mekanisme
koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering
merasa lebih baik.
Mekanisme koping yang berpusat pada emosi menurut Stuart & Sundeen (1998)
antara lain:
a. Denial
Denial adalah upaya yang dilakukan untuk menghindari realitas
ketidaksetujuan dengan cara mengabaikan atau menolak untuk
mengenalinya. Penggunaan mekanisme pertahanan denial ini tidak akan
merubah masalah, tidak memecahkan masalah, dan tidak akan merubah
realitas. tampaknya masuk akal untuk menyesuaikan implus, perasaan,
perilaku dan motif yang tidak dapat diterima.
b. Regresi
Menghindari stress terhadap karakteristik perilaku dari tahap perkembangan
yang lebih awal. Individu berperilaku seperti pada saat situasi stress belum
dirasakan.
c. Identifikasi
Proses individu mencoba untuk menjadi seperti remaja lain atau seseremaja
yang dikagumi oleh individu tersebut dengan menirukan pikiran, perilaku
atau kesukaannya.
d. Sublimasi
Penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara sosial karena dorongan
yang merupakan saluran normal ekspresi terhambat.
e. Represi
Dorong impolunter dari pikiran yang menyakitkan atau konflik, atau ingatan
dari kesadaran pertahanan ego yang primer yang lebih cenderung
memperkuatkan mekanisme ego yang lain.
f. Proyeksi
Tidak dapat ditoleransi perasaan emosional atau motivasi kepada individu
lain.
g. Kompensasi
Proses dimana individu dengan citra diri yang kurang berupaya
menggantikan dengan menekan kelebihan lain yang dianggapnya sebagai
aset.
h. Mengalihkan
Mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada remaja atau benda
tertentu ke benda atau remaja yang netral atau tidak membahayakan.
i. Reaksi Formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa
yang benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh remaja lain.
j. Disosiasi
Pemisahan dari setiap kelompok mental atau perilaku dari seluruh kesadaran
atau identitas.
k. Intelektualisasi
Alasan atau logika yang berlebihan yang digunakan untuk menghindari
perasaan-perasaan mengganggu yang dialami.
l. Introyeksi
Tipe identifikasi yang hebat dimana individu menyatukan kualitas atau nilai-
nilai individu lain atau kelompok kedalam struktur egonya sendiri.
m. Isolasi
Memisahkan komponen emosional dari pikiran yang dapat bersifat sementara
maupun jangka Panjang
n. Splitting
Memandang remaja dan situasi sebagai semuanya baik atau semuanya buruk,
gagal untuk mengintegrasikan kualitas negatif dan positif seseremaja.
o. Supresi
Suatu proses yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan diri, tetapi
benar-benar merupakan analogi represi (mengarah pada represi).
p. Undoing
Bertindak atau berkomunikasi yang secara sebagian meniadakan yang sudah
ada sebelumnya. (Mekanisme pertahanan diri primitif).
Menurut Lahey (dalam Suprayogi, 2011), strategi coping stress dibagi menjadi dua
tipe yaitu:
1. Effective – Coping, yaitu upaya / usaha yang dilakukan untuk menghilangkan
sumber stress dan / atau mengontrol reaksi yang dihasilkan dari stress tersebut.
2. Ineffective – Coping, yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
ketidaknyamanan yang dihasilkan dari stress tersebut, namun tidak memberikan
solusi jangka panjang dan dapat memperburuk keadaan.
Menurut Andriyani (2014), faktor yang mempengaruhi coping stress adalah sumber
daya individu itu sendiri. Sumber daya individu tersebut, meliputi:
1. Kesehatan fisik / energi
Dalam berjuang untuk mengatasi stress, kesehatan fisik sangat dibutuhkan karena
dalam mengatasi stress membutuhkan banyak energi.
2. Keterampilan memecahkan masalah.
Merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk mencari solusi dalam
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi, seperti mencari informasi,
menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah hingga menemukan solusi yang
tepat
3. Keterampilan sosial
Merupakan suatu keterampilan yang meliputi keterampilan komunikasi dan
bertingkah laku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
4. Dukungan sosial dan materi
Dukungan sosial sangat penting dalam coping stress karena akan membuat
individu merasa dihargai dan didukung oleh lingkungan sekitarnya. Dukungan
sosial yang baik dan cukup akan membuat individu untuk segera bangkit dari
permasalahan stress yang sedang dialaminya
Daftar Pustaka
Barbara, Kozier dkk. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Ismiati. (2015). Problematika dan coping stres mahasiswa dalam menyusun skripsi. Jurnal Al-
Bayan, 21(32)
Mary C. Townsend, D. P.-B. (2015). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in
Evidence-Based Eight Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.
Mitrousi, S., Travlos, A., Koukia, E., Zyga, S. 2013. Theoretical Approaches to Coping.
International Journal of Caring Science, 6(2), 131-137
Nasir, Abdul dan, Abdul, Muhith. (2011). Dasar-dasar Keperawatan jiwa, Pengantar dan Teori.
Jakarta: Salemba Medika.
Ogden, Jane. 2007. Health Psychology (4th Ed). New York: Open University Press
Rubbyana, U. (2012). Hubungan antara Strategi Koping dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Skizofrenia Remisi Simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1 (2).
Santrock, Jhon W. (2011). Life – Span Development : Perkembangan Masa Hidup, Edisi 13,
Jilid
II. Jakarta : Erlangga
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 10th ed. Canada: Evolve
Ulrich-Lai, Y. M., and Herman, J.P., 2009. Neural regulation of endocrine and autonomic stress
responses.Nature reviews neuroscience, 10(6), p.397