Anda di halaman 1dari 15

pengertian

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksiberlangsung, sistem
kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang
lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal inidapat
memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang menjadiAIDS;
obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan
seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]

Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah penyatuan sel
telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada
pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen
yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan
terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)[9].

Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa jumlah
wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80%
penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu
prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena[10].

Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih
muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada
usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan
bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan.
Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik
bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-
AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].

Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita
hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada
negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat
percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan[10].

Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV
kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil International Microbicides
Conference 2010, abstract

#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui[11].

Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Afrika
dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80%
penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama
penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 13-48%[12].

Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan
terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].

Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan
kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin
lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji
antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai
polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus.
Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya[13].

Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].

Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].

` Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak[3].

2.4 Pathogenesis

HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan ASI.
Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual hubungan
seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui. HIV muncul
sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang
diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta
anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena
AIDS[6].

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat
masuk kuman (port’d entrée)[3].

Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh
(misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular menandai
sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi
dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].

Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu[16].

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang
dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau
servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan
HIV yang diketahui adalah melalui[3]:

1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual


merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks,
jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

a. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

b. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksua

a. Transmisi Parenral

- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.

- Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.

b. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA

Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap HIV,
tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat
untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara
berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].

Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah
seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya
sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain
mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3
tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama[10].

Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan
seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi
saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].

Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah
dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI,
resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].

Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak
langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi
melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA.
Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].

Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode
intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu
dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum
persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi
serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis,
dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang
positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka merupakan tempat
masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan
aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran
darah[10].

Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks
dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan
penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester
pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini
juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara
pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan
seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].

Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV


heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau
herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran
mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami
inflamasi[10].

PERIODE PRENATAL

Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini jika wanita
dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori
infeksi HIV meliputi[16]:

1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;

2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;

3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;

4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;

5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.

Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada wanita
berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil negative pada
pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya akan
negative[16].

Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis B,


Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis),
sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita AIDS
mengalami peningkatan titer[16].
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat badan.
Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat kehamilan
dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan
berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan,
dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan[16].

Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi optimum,
tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV didiagnosis, wanita diberi
penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan kondom dan
spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika
pasangan wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak
dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk
menghentikan penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait[16]:

1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit

2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk
AIDS

3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung


terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan
pemaparan terhadap HIV

4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur, yang
membahayakan fungsi sistem imun.

Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus tersebut ditemukan.
Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin,
AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV,
penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik
potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali pada
wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara
signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya[16].
PERIODE INTRAPARTUM

Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric
karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan[16].

Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran per
vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi
vagina ibunya[16].

Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah
dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu,
individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya[16].

PERIODE PASCAPARTUM

Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama periode
pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up yang lebih lama
menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit.
Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka[16].

Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara yang
peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai kemanusiaan. Infeksi
HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral. Sangat penting untuk
diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku
tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang
efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].

Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan
universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada
semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam
terapi AIDS dan kondisi terkait[16].

Diagnosis pada Bayi dan Anak

Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.
Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan
Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah
gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran
hapar dan lien)[17].

Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini
berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat
bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC
merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat
bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan
ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada
usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana
pemeriksaan yang lain[17].

Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi
bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan
berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis
dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa
digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO[17].

CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit
CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosupresi (1,
2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans
serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah
walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain[17].

Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah


penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila
sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu
dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga[17].

Uji HIV pada Wanita Hamil

CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak tahun
2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV (yang berarti
bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih untuk tidak di uji)
pada wanita hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk konseling
sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh Angkatan
US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara
wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun
pertama kehamilan) dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian
dan provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara
perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83%
dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang
wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].

Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi
antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya. Tes HIV
direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan
prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki
tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut[6].

Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat persalinan
dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV
profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika
wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi[6].

8 Pencegahan

Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17]:

- Penggunaan antiretroviral selama kehamilan

- Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan

- Penatalaksanan selama menyusui

Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga 10
sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena
itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia,
karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi
ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk
sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV
sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau
analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan
karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti.
Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang
sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero
dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].

Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang
lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun
1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa
pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke
bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang
ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu
prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20%
dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan
keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain
yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain[20]:

1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);

2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;

3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;

4. tidak memberi ASI

Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase
asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu
median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk
infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi
diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status
klinis, dan status imunologik[20]

Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak
sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat
disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-
patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media,
sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit
lain[20].

Seluruh dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000] infeksibaru


karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90%
diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru,
antara280dan 360.000.000 diperolehselama persalinan danpada periodepra-melahirkan. Dari
infeksi baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama menyusui.Padabayi yangterjangkit
HIVselama waktu persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat cepatdalam beberapa
bulanpertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk
mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi sesegera mungkin
setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir[24].

Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis


bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari
review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman pengobatan pediatrik. PadaJuni 2008,
pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis
dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART
segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anak-
anak[24].

Anda mungkin juga menyukai