HIV AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan
AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai
saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme
perusakan sistem imun oleh HIV.1
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang
mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis
kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus
berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub
familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai
efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.2
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-
sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV.
Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering
terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau
demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus
turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung
kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi
jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.4
B. Epidemiologi
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi
baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan
240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta
yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun.3
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi
melalui transfuse darah atau komponen yang tercemar. Makin sering transfusi
dilakukan makin besar kemungkinan terjadina infeksi. Menurut CDC Amerika,
13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya,
5% diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical),
yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir
(pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).2
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak
secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-
to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi
baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di Negara berkembang atau
terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan
transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu
mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke
anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan
berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV)
untuk anak dan bayi yang terinfeks karenanya menjadi satu jalan untuk
menanggulangi pandemic HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah
penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.1
C. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-
1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2)
yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan
spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai
human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated
virus (LAV) dan AIDS-associated virus.2
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik,
mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian
memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti
juga terdapat enzim protease yang tidak meekat pada rangkaian RNA. Partikel yang
membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi komponen
nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid. Protein matriks p17
merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagan paling luar adalah lapisan
membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)
dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh
virus.1
Gambar 2.1 Struktur virus HIV
Ada tiga cara utama penularan virus HIV, yaitu kontak seksual, inokulasi
parenteral, dan perjalanan virus dari ibu yang terinfeksi terhadap bayi mereka yang
baru lahir. Penularan seksual jelas merupakan cara infeksi yang paling utama di
seluruh dunia, secara umum disebabkan oleh aktivitas heteroseksual. Virus berada
di dalam semen secara ekstraseluler maupun di dalam sel inflamasi mononuclear,
dan memasuki tubuh resipien melalui robekan atau lecet pada mukosa. Yang jelas,
semua bentuk penularan seksual dibantu dan dipermudah oleh adanya penyakit
menular seksual lainnya.5,6
Penularan parenteral HIV dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemophilia yang menerima konsentrat
faktor VIII atau IX, dan resipien acak transfuse darah.Diantara penyalah guna obat
intravena, penularan terjadi melalui penggunaan jarum, alat suntik, atau
perlengkapan lain secara bersama yang tercemar oleh darah yang mengandung
HIV.5
Penularan dari ibu ke bayi secara vertical merupakan penyebab utama AIDS
pada anak- anak. Ada tiga rute yang terlibat, yaitu: 5,6
1. In utero, yaitu melalui penyebaran transplasental
2. Intrapartum, yaitu selama persalinan
3. Ingesti, yaitu melalui air susu ibu yang tercemar oleh HIV
Dari ketiga jalur rute ini, rute transplasental dan intrapartum berperan pada
sebagian besar kasus. 5
D. Patogenesis
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel
pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat
besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung
virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki
molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan
penempelan virus pada limfosit-T. setelah penempelan, terjadi diskontinyuitas dari
membrane sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam
sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dai virus
mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan banuan enzim reverse
transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-aseH, RNA yang asli dihancurkan
sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerasi menjadi dua untai DNA
dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk in kemudian pindah dari
sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu
dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk
ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat,
tergantug kepada aktivitas dan deferensiasi sel pejmu (T-CD4) yang diinfeksinya,
sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya
replikasi dengan kecepatan yang sangat tinggi.2
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau
ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat
ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan
mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat
sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat
memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat
replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta
mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis
factor dan , interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat
adalah interleukin-4, transforming growth factor , dan interferon dan .2
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah ko-faktor yang terdiri
dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus
Hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell
lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat
dibentuk dan bekerja local di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka
konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan
pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada
keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam
kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Pada penelitian
dengan hibridasi in situ dan polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid
(kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya memang merupakan tempat hidup
dan berkembang HIV yang terpenting, baik pada periode akut maupun periode
laten yang panjang.2
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan peran organ
limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik
melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam
kelenjar limfe regional. Disini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan
viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multiple) yang dapat menimbulkan
limfadenopati subklinis.2
Sementara itu, sel Limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum
germinativum jaringan limfoid juga memberikan respons imun yang spesifik
terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya limfadenopati yang nyata
akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel
dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel Limfosit T-CD4.
Akumulasi sel Limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain
akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi Limfosit dari luar.
Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di
dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom
infeksi HIV akut. Di samping itu, sel Limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin
yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4.2
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibody dan
komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik
folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang
terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun
yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi.
Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk
waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat
berbagai stimulasi.2
Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel
HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat
diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit
folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel
HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini meningkatkan
penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.2
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel Limfosit T-
CD4 tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan
fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah) sel Limfosit T-CD4 ini diduga
berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut.2
Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)
Pembentukan sinsitium
Respons imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibody
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna
yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp120-CD4
Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel_T akibat adanya suatu
super antigen
E. Cara Penularan
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu
kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudsh kehamilan.
Penularan lain yang juga penting adalah dari transfuse produk darah yang tercemar
HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh
penderita HIV, prostitusi anak, dan seba-sebab lain yang buktinya sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HI seperti air
ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang
atau kontak social seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang
dipergunakan sehari-hari bukanlah cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang
anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu
dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
Ibu Hamil dengan HIV (+)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapa menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi in dinamakan juga transmisu secara vertical.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau secret genitalia yang mengandung
HIV selama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit T-
CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV,
atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba
suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses
intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketubn
pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi.
Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam
tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yan berada dalam cairan ASI
(limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI
adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak
semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi
diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan anigen. WHO
menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses
terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai
pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui
perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan.
Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfuse darah yang mengandung HIV atau
produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah
dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara in
menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercemar HIV
Penularan melalui cara in terutama ditemukan pada penyalahguna obat
intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka
seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual.
Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak
Negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba
dengan mmbagikan jarum suntik steril pada pemakai.
Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Penularan cara in ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan
seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Pendeita AIDS yang
berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
F. Faktor Resiko
Dari cara penularan tersebut di atas maka factor resiko untuk tertular HIV
pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu
atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat
transfuse darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV
dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan
hubungan seksual berganti-ganti pasangan.1
G. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya
antibody anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-
tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa
viremia sudap dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap
terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunisik sudah dapat
dilihat ketika usia 2 bulan.1
I. Diagnosis
Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
a) Uji Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan
spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA
dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma
EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV.
b) Uji Serologis
7. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99%
dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada
pemeriksaan serologis dewasa.
Umur <18 bulan digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
tidaknya pajanan HIV
Umur >18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
8. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur
9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan
terapi ARV.
Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
9. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
10. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif.
11. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
12. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
Skenario Pemeriksaan HIV
Catatan:
1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI):
a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal
atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak merah di lidah, langit-langit
mulut atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan
pengobatan antifungal topikal.
b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran
chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti letargik atau penurunan
kesadaran, tidak dapat minum atau menyusu, muntah, dan adanya kejang
selama episode sakit sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang
berat seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubun-ubun besar membonjol,
letargi, gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusu, kejang, dan
lain-lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus dilanjutkan
dengan 2 tes serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien harus segera
mendapat obat ARV.
J. Tatalaksana
1. Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
(bagian dari P encegahan PenularanHIVdar i IbukeAn ak/PPIA)
2. Inisiasi profilaksis kotrimoksazol pada anak
Catatan:
Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3
atau 4, sehingga harus segera dimulai terapi ARV.
Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling
tinggi untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4 normal.
Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang
dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang
batas sebelum ARV dimulai.
Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai
CD4 setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi
yang lebih muda.
d. Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis presumtif
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV.
Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat dilakukan (mendapat
kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau
menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi
HIV ulang); maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV
dihentikan.
a. Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam
program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) mempunyai risiko
tinggi untuk resistensi NNRTI oleh karena itu dianjurkan menggunakan
golongan PI sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak tersedia, paduan
kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI dapat dipilih dengan pemantauan utama
munculnya resistensi.
b. NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung
estrogen. Kondom harus selalu digunakan untuk mencegah penularan
HIV tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri dalam masa
reproduktif yang mendapat EFV harus menghindari kehamilan
(lampiran C).
L. Prognosis
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan
terutama persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum
tercapainya stadium ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada
orang dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung
CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan
studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak
yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung
CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada
anak-anak yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel
Limfosit sitotoksik terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak
terinfeksi HIV yang sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV.
Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan
transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup
anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.1
BAB III
KESIMPULAN
Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan
saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan,
kemungkinan anak akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun
pertama kehidupannya, bila tidak diberi ART. Namun pada sebagian besar anak dengan
HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan
hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena
hanya bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas
kesehatan baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA