Anda di halaman 1dari 35

REFERAT Oktober 2017

HIV AIDS

Nama : Ahmad Dwi Prasetya


No. Stambuk : N 111 16 106
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada


anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan
infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola
serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode
diagnosis, dan manifestasi oral.1
Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus
meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan
peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World Health
Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena
AIDS. 2
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru
HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000
anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri
dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun.3
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur
tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal
diperkirakan sebesar 83%. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada
hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-
utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi
virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih
jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi
penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa
remaja.1,2
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan
pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus
menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter
untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang
mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh,
diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia
berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure
to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan
AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai
saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme
perusakan sistem imun oleh HIV.1
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang
mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis
kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus
berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub
familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai
efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.2
Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-
sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV.
Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering
terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau
demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus
turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung
kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi
jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.4
B. Epidemiologi
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi
baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan
240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta
yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun.3
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi
melalui transfuse darah atau komponen yang tercemar. Makin sering transfusi
dilakukan makin besar kemungkinan terjadina infeksi. Menurut CDC Amerika,
13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya,
5% diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical),
yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir
(pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).2
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak
secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-
to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi
baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di Negara berkembang atau
terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan
transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu
mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke
anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan
berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV)
untuk anak dan bayi yang terinfeks karenanya menjadi satu jalan untuk
menanggulangi pandemic HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah
penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.1

C. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-
1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2)
yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan
spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai
human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated
virus (LAV) dan AIDS-associated virus.2
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik,
mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian
memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti
juga terdapat enzim protease yang tidak meekat pada rangkaian RNA. Partikel yang
membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi komponen
nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid. Protein matriks p17
merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagan paling luar adalah lapisan
membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)
dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh
virus.1
Gambar 2.1 Struktur virus HIV

Ada tiga cara utama penularan virus HIV, yaitu kontak seksual, inokulasi
parenteral, dan perjalanan virus dari ibu yang terinfeksi terhadap bayi mereka yang
baru lahir. Penularan seksual jelas merupakan cara infeksi yang paling utama di
seluruh dunia, secara umum disebabkan oleh aktivitas heteroseksual. Virus berada
di dalam semen secara ekstraseluler maupun di dalam sel inflamasi mononuclear,
dan memasuki tubuh resipien melalui robekan atau lecet pada mukosa. Yang jelas,
semua bentuk penularan seksual dibantu dan dipermudah oleh adanya penyakit
menular seksual lainnya.5,6
Penularan parenteral HIV dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemophilia yang menerima konsentrat
faktor VIII atau IX, dan resipien acak transfuse darah.Diantara penyalah guna obat
intravena, penularan terjadi melalui penggunaan jarum, alat suntik, atau
perlengkapan lain secara bersama yang tercemar oleh darah yang mengandung
HIV.5
Penularan dari ibu ke bayi secara vertical merupakan penyebab utama AIDS
pada anak- anak. Ada tiga rute yang terlibat, yaitu: 5,6
1. In utero, yaitu melalui penyebaran transplasental
2. Intrapartum, yaitu selama persalinan
3. Ingesti, yaitu melalui air susu ibu yang tercemar oleh HIV
Dari ketiga jalur rute ini, rute transplasental dan intrapartum berperan pada
sebagian besar kasus. 5

D. Patogenesis
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel
pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat
besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung
virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki
molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan
penempelan virus pada limfosit-T. setelah penempelan, terjadi diskontinyuitas dari
membrane sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam
sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dai virus
mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan banuan enzim reverse
transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-aseH, RNA yang asli dihancurkan
sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerasi menjadi dua untai DNA
dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk in kemudian pindah dari
sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu
dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk
ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat,
tergantug kepada aktivitas dan deferensiasi sel pejmu (T-CD4) yang diinfeksinya,
sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya
replikasi dengan kecepatan yang sangat tinggi.2
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau
ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat
ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan
mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat
sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat
memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat
replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta
mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis
factor dan , interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat
adalah interleukin-4, transforming growth factor , dan interferon dan .2
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah ko-faktor yang terdiri
dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus
Hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell
lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat
dibentuk dan bekerja local di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka
konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan
pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada
keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam
kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Pada penelitian
dengan hibridasi in situ dan polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid
(kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya memang merupakan tempat hidup
dan berkembang HIV yang terpenting, baik pada periode akut maupun periode
laten yang panjang.2
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan peran organ
limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik
melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam
kelenjar limfe regional. Disini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan
viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multiple) yang dapat menimbulkan
limfadenopati subklinis.2
Sementara itu, sel Limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum
germinativum jaringan limfoid juga memberikan respons imun yang spesifik
terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya limfadenopati yang nyata
akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel
dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel Limfosit T-CD4.
Akumulasi sel Limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain
akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi Limfosit dari luar.
Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di
dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom
infeksi HIV akut. Di samping itu, sel Limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin
yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4.2
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibody dan
komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik
folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang
terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun
yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi.
Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk
waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat
berbagai stimulasi.2
Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel
HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat
diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit
folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel
HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini meningkatkan
penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.2
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel Limfosit T-
CD4 tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan
fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah) sel Limfosit T-CD4 ini diduga
berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut.2
Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)
Pembentukan sinsitium
Respons imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibody
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna
yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp120-CD4
Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel_T akibat adanya suatu
super antigen

a) Pengaruh sitopatik langsung


Kematian sel inang dapat disebabkan oleh karena terjadinya akumulasi DNA
virus yang tidak mengalami integrasi, atau oleh karena sintesis protein inang
mengalami hambatan. Virus HIV, dengan cara yang sama, tidak saja dapat
melisiskan sel Limfosit T-CD4 yang matang, tetapi juga sel-sel yang
merupakan T-CD4 cadangan. Virus HIV juga dapat menginduksi sel CD4
tertentu hingga menghasilkan bahan yang bersifat toksik untuk sel Limfosit
b) Pembentukan sinsitium
Adanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan
sel tersebut dapat menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk
sinsitium sehinggan terbentuk sel datia dan kemudian menyebabkan kematian
sel. Keadaan ini jarang dijumpai in vivo. Keadaan ini mungkin terjadi akibat
pengaruh molekul LFA-1 (lymphocyte-function-associated antigen-1), yang
mempengaruhi adesi leukosit, yang dihasilkan oleh Limfosit T-CD4 yang
terinfeksi HIV.
c) Respons imun spesifik
Penurunan populasi sel T-CD4 dapat pula terjadi akibat respons imun yang
spesifik terhadap baian tertentu dari selubung virus. Molekul gp120 dari
selubung virus yang bebas misalnya, dapat terikat pada sel T-CD4, dan
menimbulkan zat imun yang dapat menyebabkan sitotoksisitas atau kematian
sel T-CD4 setelah berikatan dengan sel pembunuh alami (natural killer cells).
Pada fase awal, proses ini tampaknya dapat membantu mengatasi bahkan
mengeliminasi infeksi HIV (protektif), akan tetapi pada fase yang lanjut
eliminasi sel yang terinfeksi HIV ini (sel T-CD4, sel dendritik folikular dan sel
makrofag) malah dapat menyebabkan gangguan system imun yang makin berat.
d) Apoptosis
Yang dimaksud apoptosis adalah terjadinya kematian sel T-CD4, sebagai reaksi
terhadap adanya aktivitas sel T-CD4 oleh suatu antigen atau superantigen.
e) Mekanisme autoimun
Molekul klas-II dari MHC (major-histocompatibility-complex) dari sel penyaji
antigen ternyata memiliki struktur yang homolog dengan protein selubung HIV
(gp120 dan gp41) hingga zat imun terhadap protein selubung HIV ini dapat
berikatana dengan molekul klas-II dari MHC hingga menghalangi fungsi dari
sel penyaji antigen maupun sel T-CD4.
f) Anergi
Molekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein
gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120 anti gp120, akan menyebabkan
sel T-CD4 tidak dapat diaktifkan atau tidak dapat melaksanakan fungsinya lagi
(menjadi refrakter) melalui molekul CD3 dengan anti CD3. Keadaan refrakter
atau anergi ini juga dapat jadi pada sel mononuclear yang terdapat dalam darah
perifer yang terinfeksi HIV. Keadaan ini diduga terjadi sebagai akibat adanya
signal negatif yang diberikan pada sel T-CD4 setelah molekul CD-4 nya terikat.
g) Superantigen
Superantigen yang berasal ari kuman atau virus (baik dari golongan retrovirus
atau bukan) yang hanya berikatan dengan rantai beta dari reseptor antigen sel
Limfosit-T. ikatan ini akan mengakibatkan stimulasi yang berlebihan (massif)
yang diikuti oleh anergi dari sel-sel yang memiliki rantai beta, termasuk sel
Limfosit T-CD4. Oleh karena itu, bila terdapat superantigen, infeksi HIV dapat
terjadi lebih mudah. Aktivasi pertama sel T-CD4 terjadi sebagai akibat
terjadinya ikatan molekul CD4 dengan gp120 dari virus atau dengan kompleks
gp120-antigp120. Aktivasi kedua yang akhirnya menyebabkan kematian sel T-
CD4 adalah sebagai akibat reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas-
II MHC dari sel penyaji antigen yang telah mengikat antigen atau
superantigen.2

E. Cara Penularan
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu
kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudsh kehamilan.
Penularan lain yang juga penting adalah dari transfuse produk darah yang tercemar
HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh
penderita HIV, prostitusi anak, dan seba-sebab lain yang buktinya sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HI seperti air
ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang
atau kontak social seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang
dipergunakan sehari-hari bukanlah cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang
anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu
dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
Ibu Hamil dengan HIV (+)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapa menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi in dinamakan juga transmisu secara vertical.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau secret genitalia yang mengandung
HIV selama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit T-
CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV,
atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba
suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses
intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketubn
pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi.
Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam
tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yan berada dalam cairan ASI
(limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI
adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak
semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi
diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan anigen. WHO
menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses
terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai
pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui
perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan.
Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfuse darah yang mengandung HIV atau
produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah
dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara in
menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercemar HIV
Penularan melalui cara in terutama ditemukan pada penyalahguna obat
intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka
seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual.
Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak
Negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba
dengan mmbagikan jarum suntik steril pada pemakai.
Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Penularan cara in ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan
seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Pendeita AIDS yang
berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin

F. Faktor Resiko
Dari cara penularan tersebut di atas maka factor resiko untuk tertular HIV
pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu
atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat
transfuse darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV
dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan
hubungan seksual berganti-ganti pasangan.1

G. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya
antibody anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-
tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa
viremia sudap dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap
terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunisik sudah dapat
dilihat ketika usia 2 bulan.1

H. Gejala Klinis dan Perjalanan Penyakit


Perjalanan klinis infeksi HIV tebagi atas 3 tahap, yaitu:
1. Fase Akut
Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, secara khas penyakit pada
fase ini sembuh sendiri 3-6 minggu setelah infeksi. 7
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik, yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam, dan kadang- kadang meningitis aseptik. Namun, segera setelah
hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang
dibuktikan melalui serokonversi ( sekitar 3 hingga 17 minggu setelah pajanan)
dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus.
Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal,
Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan
sel T CD4+ jaringan. 7
2. Fase Kronis
Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak
penderita yang mengalami infeksi oportunistik, seperti sariawan (Candidiasis)
atau herpes zoster. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan
gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan onset fase krisis. 7
3. Fase Krisis
Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah CD4+ menurun dibawah 500 sel/L. 7
Setelah interval yang berubah- ubah, pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologis,
dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang
sesungguhnya. 7
Menurut penurunan CD4+, CDC ( Centers for Disease Control )
mengklasifikasikan gejala pasien berdasarkan jumlah sel CD4+, yaitu:7
1. CD4+ lebih dari 500 sel/L: asimptomatis
2. CD4+ 200- 500 sel/L: gejala awal penuruna CD4+
3. CD4+ dibawah 200 sel/L: disertai imunosupresi yang bera
Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut.1

Klasifikasi Stadium klinis WHO


Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIV
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana
Erupsi pruritik popular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea,
sinusitis, tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara
adekuat terhadap terapi standar
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten
atau konstan, > 1 bulan)
Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulan
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3)
atau trombositopenia (<50 000/ mm3)
Stadium klinis 4
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standar
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis,
infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau
viseralis di lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,
dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang
simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh
sebab yang lain
Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada
kategori ini

I. Diagnosis
Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
a) Uji Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan
spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA
dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma
EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera
diikuti dengan inisiasi ARV.
b) Uji Serologis
7. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99%
dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada
pemeriksaan serologis dewasa.
Umur <18 bulan digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
tidaknya pajanan HIV
Umur >18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
8. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur
9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan
terapi ARV.
Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18 bulan.
9. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji
virologis.
10. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif.
11. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
12. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
Skenario Pemeriksaan HIV

Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan


Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi
perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan
diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara DIAGNOSIS
PRESUMTIF.

Bila ada 1 kriteria berikut Minimal ada 2 gejala berikut


PCP, meningitis Oral thrush
Atau
kriptokokus, kandidiasis Pneumonia berat
esophagus
Toksoplasmosis Sepsis berat
Malnutrisi berat yang Kematian ibu yang berkaitan
tidak membaik dengan dengan HIV atau penyakit
pengobatan standar HIV yang lanjut pada ibu
CD4+ <20%

Catatan:
1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI):
a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal
atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak merah di lidah, langit-langit
mulut atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan
pengobatan antifungal topikal.
b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran
chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti letargik atau penurunan
kesadaran, tidak dapat minum atau menyusu, muntah, dan adanya kejang
selama episode sakit sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang
berat seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubun-ubun besar membonjol,
letargi, gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusu, kejang, dan
lain-lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus dilanjutkan
dengan 2 tes serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien harus segera
mendapat obat ARV.

Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan


Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada
orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat
tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi
utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI
sebelum dilakukan diagnosis HIV.

J. Tatalaksana
1. Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
(bagian dari P encegahan PenularanHIVdar i IbukeAn ak/PPIA)
2. Inisiasi profilaksis kotrimoksazol pada anak

3. Penghentian terapi profilaksis


Profilaksis kotrimoksasol dapat dihentikan bila:
1) Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi (dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibodi pada usia
sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah status ditetapkan
(sesingkatnya umur 6 bulan atau sampai umur 1 tahun)
2) Untuk anak yang terinfeksi HIV:
a) Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau
diteruskan seumur hidup tanpa penghentian
b) Umur 1 sampai 5 tahun profilaksis diberikan seumur hidup.
c) Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4< 350
sel, maka dapat diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila CD4>350
sel/ml setelah minurm ARV 6 bulan. Bila dimulai pada stadium 3 dan 4
maka profilaksis dihentikan jika CD4 > 200 sel/ml.
4. Kriteria pemberian ARV
a. Penetapan kriteria klinis
Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian
stadium klinis (lihat lampiran). Penilaian stadium ditetapkan menurut
kondisi klinis paling berat yang pernah dialami, dibandingkan dengan
tabel.
Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan
dengan HIV
Klinis Stadium Klinis WHO
Asimptomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
berat 4

b. Penetapan kelas imunodefisiensi


Kelas imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4,
terutama nilai persentase pada anak umur < 5 tahun.
Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4
Nilai CDC menurut umur
Imunodefisiensi < 11 bulan 12-35 36-59 >5 tahun
(%) bulan (%) bulan (%) (sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200 atau
<15%
Keterangan:
CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.
Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4 dapat menjadi
petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4 menurun
lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis.
Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV
atau penggantian obat.
Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun
digunakan persentase CD4. Bila 5 tahun, nilai CD4 absolut dapat
digunakan.
Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak >
1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada
anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat
memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi
bahkan pada nilai CD4 yang tinggi.

c. Indikasi terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis dan


imunologis
Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi
untuk mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin.
Umur Kriteria klinis Kriteria imunologis terapi
<5 tahun Terapi ARV tanpa terkecuali
>5 tahun Stadium 3 dan 4 Terapi ARV
Stadium 2 <25 % pada anak Jangan obati
Stadium 1 24-59 bulan bila tidak ada
<350 pada anak <5 pemeriksaan
tahun CD4
Obati bila
CD4 < nilai
menurut
umur
a) Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus
didahulukan
b) Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila
memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4 untuk memantau hasil
pengobatan

Catatan:
Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3
atau 4, sehingga harus segera dimulai terapi ARV.
Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling
tinggi untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4 normal.
Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang
dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang
batas sebelum ARV dimulai.
Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai
CD4 setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi
yang lebih muda.

d. Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis presumtif
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV.
Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat dilakukan (mendapat
kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau
menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi
HIV ulang); maka dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV
dihentikan.

e. Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse


transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI)
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV (pilih
warna yang berbeda)

Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama


Langkah 2: Pilih 1 NRTI untuk dikombinasi dengan 3TCa :

a. 3TC dapat digunakan bersama dengan 3 obat di atas karena memiliki


catatan efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah
timbul resistensi bila tidak patuh minum ARV.
b. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama untuk lini 1. Namun bila
Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T)
sebagai lini 1.
c. Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka
panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak
> 8 gr/dl)setelah pemakaian 6 12 bulan. Bila terdapat efek anemia
berulang maka dapat kembali ke d4T
d. Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena
ketersediannya belum dipastikan, sedangkan umur termuda yang
diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak yang
lebih muda tidak dapat menggunakannya. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang
sedang bertumbuh karena diharapkan penggunaan ARV tidak
mengganggu pertumbuhan tinggi badannya.

Langkah 3: Pilih 1 NNRTI

a. Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam
program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) mempunyai risiko
tinggi untuk resistensi NNRTI oleh karena itu dianjurkan menggunakan
golongan PI sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak tersedia, paduan
kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI dapat dipilih dengan pemantauan utama
munculnya resistensi.
b. NNRTI dapat menurunkan kadar obat kontrasepsi yang mengandung
estrogen. Kondom harus selalu digunakan untuk mencegah penularan
HIV tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri dalam masa
reproduktif yang mendapat EFV harus menghindari kehamilan
(lampiran C).

K. Upaya Penanggulangan dan Pencegahan


Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa
Negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk
dilaksanakan secara sekaligus, yaitu: 7
1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda
2. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai
kelompok sasaran
3. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik
4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk
program pengadaan jarum suntik steril
5. Program pendidikan agama
6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)
7. Program promosi kondom dilokalisasi pelacuran dan panti pijat
8. Pelatihan keterampilan hidup
9. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling
10. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak
11. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan
dukungan untuk ODHA
12. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat
ARV.
Banyaknya virus menjadi faktor resiko utama dalam penularan HIV.
Pengobatan sebagai pencegahan berdasarkan fakta bahwa antiretroviral dapat
menurunkan jumlah virus plasma dan genital diamping menurunkan tingkat
infeksi. 7

L. Prognosis
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan
terutama persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum
tercapainya stadium ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada
orang dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung
CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan
studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak
yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung
CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada
anak-anak yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel
Limfosit sitotoksik terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak
terinfeksi HIV yang sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV.
Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan
transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup
anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.1
BAB III
KESIMPULAN

Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan
saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan,
kemungkinan anak akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun
pertama kehidupannya, bila tidak diberi ART. Namun pada sebagian besar anak dengan
HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan
hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena
hanya bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas
kesehatan baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N, penyunting: Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed


2. Jakarta; IDAI; 2008.
2. Sumarmo. Dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Bag. IKA FKUI: Jakarta.
3. Infodatin. Situasi dan Analisis HIV AIDS.Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. 2014. Jakarta
4. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus.
Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247.
5. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. Hal.427-431.
6. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L Robbins.
Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2007. Hal.164-176.
7. Price, S. Lorraine M Wilson. Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses
penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. Hal.
236-237.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada
anak. 2014. Jakarta.
9. Piot, Peter. Response to the AIDS Pandemic- A Global Health Model. UK. 2013.
www.nejm.com . Diakses 02 Oktober 2017.

Anda mungkin juga menyukai