Anda di halaman 1dari 18

LIMFADENITIS TB

Oleh :

Jacob Panteleã o Da Costa Martins


11700036

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Tuberkulosis telah menjadi masalah
kesehatan besar dunia. Pada tahun 2015 TB merupakan penyebab 10 besar
kematian diseluruh dunia, menempati ranking diatas HIV/AIDS sebagai penyebab
terbesar kematian akibat penyakit infeksi (WHO, 2016).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri
TB. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat penyakit TB diseluruh dunia, yang kebanyakan terjadi di negara-negara
berkembang (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Indonesia menempati urutan kedua setelah India sebagai negara dengan
kategori “High burden“ dengan tingkat insidens mencapai 1 juta penderita TB dari
258 juta penduduk tahun 2015 (395 dari 100.000 penduduk) (WHO, 2016).
Tuberkulosis ditularkan melalui droplet yang mengandung bakteri TB.
Semakin lama seseorang terpapar dengan droplet TB semakin tinggi kemungkinan
ia akan terinfeksi TB. Kumungkinan terinfeksi TB juga lebih besar pada kelompok
yang memiliki hubungan dekat dengan penderita, biasanya anggota keluarga yang
serumah (Hopewell, 2016).
Limfadenitis TB merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Bagaimana epidemiologi limfadenitis TB?
2. Bagaimana etiologi limfadenitis TB?
3. Bagaimana patogenesis limfadenitis TB?
4. Bagaimana manifestasi klinis limfadenitis TB?

1.3 Tujuan
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui epidemiologi limfadenitis TB.
2. Untuk mengetahui etiologi limfadenitis TB.
3. Untuk mengetahui patogenesis limfadenitis TB.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis limfadenitis TB.

1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru kepada
masyarakat dan bahan referensi bagi rekan mahasiswa lainnya mengenai penyakit
Limfadenitis TB.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tuberkolosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2007). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan
kejaadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan
tuberkulosis ekstrapulmoner (Djojodibroto, 2009).
Klasifikasi Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis kompleks ini biasanya mempengaruhi paru, meskipun organ lain yang
terlibat dalam sepertiga kasus. Bagian tubuh lain yang sering terkena adalah TB
kelenjar getah bening, pleura, saluran genitourinari, tulang dan sendi, meninges,
peritoneum, dan perikardium (Loscalzo, 2010).
Berdasarkan letak anatomi tuberkulosis dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang mengenai parenkim paru.
Pleura tidak termasuk sedangkan TB milier di klasifikasikan sebagai
TB paru karena lesinya berada di dalam paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang mengenai bagian
tubuh lain selain paru (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Untuk menegakkan diagnosis perlu ditinjau dari gejala klinis pemeriksaan
dahak, dan foto toraks. Selain untuk diagnosis gejala klinis, pemeriksaan dahak,
dan foto toraks dapat untuk menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (DEPKES, 2007).
Berdasarkan pemeriksaan dahak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tuberkulosis paru disebut BTA (+)
Apabila minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan
dahak menunjukan hasil positif. Dengan syarat laboratorium harus
sesuai dengan Quality external assurance (EQA). Dua kali pemeriksaan
dahak baru bisa dinyatakan sebagai BTA (+) apabila laboratorium
belum sesuai dengan EQA atau salah satu dari pemeriksaan dinyatakan
positif dan didukung dari hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan
gambaran TB paru yang sudah ditetapkan oleh klinisi. Satu hasil
pemeriksaan dahak positif ditambah dengan hasil kultur positif maka
bisa dinyatakan sebagai BTA (+).
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Apabila hasil dari pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif.
BTA (-) dinyataka jika hasil dari pemeriksaan dahak dua kali negatif
dan belum ada fasilitas pemeriksaan kultur dengan syarat hasil foto
toraks sesuai dengan gambaran TB paru aktif dan mencantumkan hasil
pemeriksaan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif atau jika
status HIV negatif, tidak diketahui, tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian antibiotik sepektrum luas kecuali antibiotik yang
mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida
(PDPDI, 2011).
Riwayat pengobatan penting diketahui untuk melihat adanya resiko
resistensi obat. Diperlukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) jika ada indikasi resistensi. Berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
c. Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB adalah dengan ditentukan dari hasil pemeriksaan BTA
negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap (PDPI, 2011).

2.2 Limfadenitis TB
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening.
Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland,
1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi (Kumar et.al, 2007).
Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada
sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman
raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama “King’s evil”, dimana
dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya. Infeksi
M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit
dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan
scrofuloderma (Dorland, 1998).

2.3 Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah
pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan
penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit
tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan
3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari
peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis
menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS
(Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara
dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-
2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55
juta) (WHO, 2016).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB
sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan
penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok
penyakit infeksi (Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun
TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah
satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada
tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB
ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif,
dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB
ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner
adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu
35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2016).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 1,2:1. Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien
limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur
40,9 ± 16,9 (13 – 88). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat
48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ± 13,1 (14 – 60)
(Jniene, 2010).

2.4 Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5.
M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan
perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk
kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain.
Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan
Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat
mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione,
2010; Jawetz, 2005).
M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl Neelsen atau karbol fuksin
(Kumar, 2007). Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari
asam mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan
lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam
bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak
khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu
replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih
cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu
bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).

2.5 Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi
pada anakanak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-
primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada
orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain
paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner.
Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang
pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini
masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan
difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB
akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara
limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB
ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana
penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis).
Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi
akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran
basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu
fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan
limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya
fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam
tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB.
Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi
basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan
bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2015).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas
seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer
disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB
primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe
menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2015).
Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil
TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru.
Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan
dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2015).

2.6 Manifestasi Klinis


Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis
banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mohapatra, 2009).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra,
2009). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe
yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar
mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien
pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat (Mohapatra, 2009).
Menurut Sharma (2016), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh
kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi
secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini
biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai
bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang
di regio supraklavikular (Mohapatra, 2009).
Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada
90% pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal,
limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering
ditemukan (Sharma, 2016). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat
menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue
dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik
(Mohapatra, 2009). Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8%
pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2009).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2009)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium
yaitu:
1. Stadium 1
Pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2
Pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar
oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3
Perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4,
Pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5
Pembentukan traktus sinus. Gambaran klinis limfadenitis TB
bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena
biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii)
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi
HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat
terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.
Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra,
2009).
Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB
didapat 11 orang dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan
adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan
kelenjar yang disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya
fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-
biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi
mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit
dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra,
2009).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada
dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang
jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk
disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat
menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe
dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah
dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2009).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2011).

2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang
tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak
klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan
biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang
dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum
diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Narang, 2011). Juga
penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-
tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB:
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan
mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh
dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan
minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra,
2009).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk
membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69%
kasus (Mohapatra, 2009).
Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau,
Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu
untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa,
M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis
(Mohapatra, 2009).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk
menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk
antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah
protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10
minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi
lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila
indurasi kurang dari 4 mm (Narang, 2011).
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan
menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas
pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan
diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2006). CT
scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi
kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2016).
Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell,
granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam
pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid
atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (Sharma, 2016),
bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat
digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran
epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan
gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk
membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan
kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB
pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan
dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Kocjan, 2006).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular
singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal
(Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk
membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang
disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes (Kocjan, 2006).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi
sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta
nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya
manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan
pada limfadenitis TB (Kocjan, 2006).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi,
dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah
perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema
jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Kocjan,
2006).

2.8 Terapi
Secara umum tidak diindikasikan modifikasi atau pemanjangan regimen
pengobatan TB. Pada beberapa kasus bahkan setelah pengobatan hasil FNA masih
positif karena adanya kuman yang mati. Pengobatan hanya perlu dilanjutkan bila
hasil kultur positif (Dokter Post, 2018).
Terapi pembedahan seringkali menimbulkan kekambuhan dan terbentuknya
fistula. Kombinasi eksisi dengan pengobatan farmakologis menimbulkan hasil yang
sedikit lebih buruk dibandingkan dengan terapi obat-obatan saja. Eksisi limfe nodi
biasanya tidak diindikasikan. Namun pada kasus adenitis nontuberkulosis atau
beberapa kasus pembedahan dapat berguna karena dapat mengetahui kuman apa
yang menginfeksi (Dokter Post, 2018).
Steroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dari terapi fase awal dari
limfadenitis TB dan dapat dipertimbangkan bila nodul menekan struktur vital
seberti bronkus. Namun pemberian steroid masih kontroversial. Prednisolon 40 mg
per hari selama 6 bulan diikuti tapering selama 4 minggu bersamaan dengan
pengobatan TB dapat diberikan. Namun keamanan dari pemberian steroid ini masih
belum terbukti kecuali pada penyakit intratoraks yang dapat mengurangi tekanan
pada bronkus yang tertekan (Dokter Post, 2018).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening.
Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB antara lain adalah Pemeriksaan mikrobiologi, Tes Tuberkulin,
Pemeriksaan Sitologi, dan Pemeriksaan Radiologi.

3.2 Saran
Pemerintah setempat agar lebih memberikan perhatian terhadap perumahan-
perumahan kumuh, dan memberikan fasilitas perumahan yang memenuhi standar
seperti misalnya pembangunan rumah susun, dan peningkatan program bedah
rumah untuk mencegah penularan virus TB.
Puskemas agar memberikan penyuluhan keliling ke rumah-rumah warga
sekaligus mengecek kondisi rumah serta apabila ada pasien TB agar diingatkan
untuk berobat secara teratur hingga sembuh. Serta bagi masyarakat untuk
mengadakan program bebas asap rokok dalam rumah dan membuat kesepakatan
tentang tempat yang diperbolehkan untuk merokok. Masyarakat juga dihimbau agar
membuka jendela yang tertutup untuk meningkatkan hawa ruangan dan mengurangi
risiko penyakit akibat kurangnya pergantian udara.
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, G.F., Butel J.S & Morse S.A. (2004). Jawetz, Melnick & Adelberg’s
Medical Microbiology twenty second edition Lange Medical Books. New
York: McGraw-hill Medical publishing division.
Datta D, Datta P.P., & Majumdar, K.K., (2015). Role ff Social Interaction On
Quality Of Life. National Journal Of Medical Research. Volume 5.Issue 4.
DEPKES RI. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan TB.2:4-20.
Dokter Post. (2018). 155 Diagnosis dan Terapi Faskes Primer. Majalah, Media
Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia.
Djojodibroto, D.R. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorland, ed.25. Jakarta: EGC.
Hopewell, Phillip. C., Kato-Maeda, Midori., & Ernst, Joel D. (2016). Murray &
Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine 6th ed. Philadeplhia: Elsevier.
I. Sharma, T. Patel. And P. Dhaval. (2016). Radial Feeder Protection Using
Arduino. Jurnal Yang Dipublikasikan. http://ijiere.com.
Ioachim, M. L., Medeiros, L. J. (2009). Ioachim’s Lymph Node Pathology. 4th
Edition. Philadelphia: Lip pincott Williams & Wilkins.
Jawetz, E, J. melnick, et al. (2005). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Jniene, A., et al. (2010). Epidemiological, Therapeutic and Evolutionary Profiles in
Patients with Lymph Node Tuberculosis. Tuberkuloz ve Toraks Dergisi,
58(4):366-74.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2014) Pedoman Nasional
Pengendalian Tubekulosis, Jakarta.
Kocjan, G. (2006). Fine-needle aspiration cytology “Diagnostic Principles and
Dilemmas”. London. Springer.
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7.
Jakarta: EGC.
Loscalzo J. (2010). Pulmonary and critical care medicine.17. New York: Mc Grand
Hill Medical.
Mohapatra, P., Janmeja, A. (2009). Tuberculous Lymphadenitis. Department of
Pulmonary Medicine, Government Medical College and Hospital,
Chandigarh, India. Journal Association of Physician India, Vol 57.
Narang, N. (2011). An updated review on pulsatile drug delivery system.
International journal of advances in pharmaceutics, 3 (1), Hal 1–7.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta.
Raviglione, Mario.C., & O’Brien, Richard.J. (2010). Tuberculosis. New York: Mc
Graw Hill Medical.
World Health Organization, (2016). Tuberculosis Report.

Anda mungkin juga menyukai