Anda di halaman 1dari 29

TUGAS PBL

SKENARIO 4

Disusun oleh :

Nama : Jacob Martins

NPM : 11700036

Kelas : 2017 C

Kelompok :6

PEMBIMBING TUTOR : dr. Harsono Wiradinata, MBA, Sp.KJ.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................


I. SKENARIO .........................................................................................................................
II. KATA KUNCI.....................................................................................................................
III. PROBLEM.........................................................................................................................
VI. PEMBAHASAN
- BATASAN.................................................................................................................
- ANATOMI / HISTOLOGI / FISIOLOGI / PATOFISIOLOGI /
- JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN............................................
- GEJALA KLINIS.......................................................................................................
- PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT.......................................................................
- PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT..........................................................
V. HIPOTESIS AWAL ( DIFFERENTIAL DIAGNOSIS).....................................................
VI.ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS............................................................
- GEJALA KLINIS
- PEMERIKSAAN FISIK
- PEMERIKSAAN PENUNJANG
VII. HIPOTESIS AKHIR ( DIAGNOSIS )..............................................................................
VIII. MEKANISME DIAGNOSIS..........................................................................................
- MEKANISME BERUPA BAGAN SAMPAI TERCAPAINYA DIAGNOSIS
IX. STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH.............................................................
- PENATALAKSANAAN
- PRINSIP TINDAKAN MEDIS
X. PROGNOSIS & KOMPLIKASI.....................................................................................
- CARA PENYAMPAIAN PROGNOSIS KEPADA PASIEN / KELUARGA
PASIEN
- TANDA UNTUK MERUJUK PASIEN
- PERAN PASIEN / KELUARGA UNTUK PENYEMBUHAN
- PENCEGAHAN PENYAKIT

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
SKENARIO 2

KEJANG DENGAN DEMAM PADA ANAK

Seorang usia 1 tahun dibawa ibunya pada IRD dengan keluhan kejang. Kejang mulai
semalam dan sudah berulang 3 kali. Bentuk kejang kelojotan tangan dan kaki kanan
dan kiri. Lama kejang berkisar 1 menit setelahnya berhenti sendiri. Keluhan lain
adalah demam sejak 3 hari sebelumnya dengan suhu yang tinggi yang disertai batuk
dan pilek. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada. Riwayat kehamilan, kelahiran,
trauma kepala tidak didapatkan. Pemeriksaan fisik ditemukan suhu 39oC dengan UUB
membonjol, bayi tampak tidur dan tidak menangis walau dirangsang.
BAB II
KATA KUNCI

Kejang berulang 3 kali.


BAB III
PROBLEM

1.Apa masalah pasien tersebut ?

2.Bagaimana prinsip anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

bagi pasien tersebut ?

3.Bagaimana cara diagnosis pasti pada pasien tersebut ?

4.Bagaimana prinsip penatalaksaan pada pasien tersebut ?


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 BATASAN
1. Identitas
 Nama : an. Toni
 Usia : 1 tahun
 Alamat : dukuh kupang Surabaya
 Nama ibu : Ny. Sukiah
 Usia : 36 tahun
 Pekerjaan : ibu rumah tangga
 Nama bapak : Tn. Margo
 Usia : 42 tahun
 Pekerjaan : sales otomotif

2. Anamnesa
 Keluhan Utama : kejang
 Riwayat Penyakit Sekarang :
 Kejang sejak 1 hari sebelum ke IRD
 Kejang berulang 3x @ 1 menit
 Kejang umum
 Panas 3 hari tinggi, naik turun
 Batuk, pilek ringan
 Masih mau makan dan minum sedikit - sedikit sampai 2 hari sebelum
ke IRD
 1 hari sebelum ke IRD anak tampak banyak tidur tapi masih dapat
dibangunkan tetapi kemudian tidur kembali.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
 Kejang sebelumnya (-)
 Trauma kepala (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga : -
 Riwayat Pengobatan : paracetamol dan obat batuk pilek
 Riwayat kehamilan normal

3. Pemeriksaan Fisik Penyakit


Kesadaran : somnolen
Tanda Vital
 Tekanan darah : 110/70mmHg
 Denyut nadi : 106x/ menit
 Suhu : 39o C
 RR : 30x/ menit
 Berat badan : 9,5 kg
 Tinggi badan :-

Kepala/ Leher

 A/I/C/D : -/-/-/-
 UUB cembung
 Pharunx hiperemi
 T1/T1

Thorax : - Suara Jantung : S1 S2 tunggal, murmur(-)


- Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : acral hangat, edema -/-
Status neurologis : reflex fisiologis meningkat di empat extremitas,
Babinski +/+ , chaddock +/+

4. Pemeriksaan penunjang penyakit


Hasil pemeriksaan penunjang :
Lab.
 Hb 11,6g/dL, leukosit 16.900/mm3, diff count shift to the left
 Analisa CSS : Ʃ sel 15.000 dengan dominasi PMN, glukosa menurun, protein
meningkat, none/pandy +/+
 USG : kepala dalam batas normal

4.2 ANATOMI/FISIOLOGI

4.2.1 . Anatomi Dan Fisiologi Meningitis


1. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena
merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang
terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang
kuat

2. Perkembangan Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah tabung yang
mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal
a. Otak depan menjadi hemister serebri, korpus striatum, talamus serta
hipotalamus
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus
c. Otak belakang, menjadi pons varol, mediula oblongata dan serebellum
3. Meingitis (Selaput Otak)
Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi
struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (Cairan
Serebro spinalis), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari 3 lapisan.
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat,
dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di
bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah.
Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak diantara kedua
hemisfer otak.
b. Arakhnoid (Lapisan Tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piamater
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan saraf sentral.
Medula spinalis terhenti setinggi dibawah Lumbal I – II terdapat sebuah kantong
berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan
untuk mengambil cairan otak yang disebut lumbal.
c. Piamater ( Lapisan Sebelah Dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut
trabekel.
Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium, memisahkan serebri
dengan serebulum.
Diafragma sellae, lipatan berupa cincin dalam duramater dan menutupi sela
tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi hipofiser.
Sistem Ventrikel. Terdiri dari beberapa bagian rongga dalam otak yang
berhubungan satu sama lainnya ke dalam rongga itu, fleksus koroid mengalirkan
cairan (liquor serebro spinalis).
Fleksus koroid dibentuk oleh jaringan pembuluh darah kapiler otak tepi, bagian
paimater membelok kedalam ventrikel dan menyalurkan serebro spinalis. Cairan
serebro spinalis adalah hasil sekresi fleksus koroid. Cairan ini bersifat alkali bening
mirip plasma.
Sirkulasi Caitan Serebro Spinalis. Cairan ini disalurkan oleh fleksus koroid
kedalam ventrikel yang ada dalam otak, kemudaian cairan masuk ke dalam kanalis
sumsum tulang belakang adn ke dalam ruang subaraknoid melalui ventrikularis.
Setelah melintasi ruangan seluruh otak dan sumsum tulang belakang maka kembali ke
sirkulasi melaluigranulasi arakhnoid pada sinus (sagitalis superior).
4. Perjalanan Cairan-Cairan Serebro Spinalis.
Setelah meninggalkan ventrikel lateralis (ventrikel I dan II) cairan otak dan
sumsum tulang belakang menuju ventrikel III melalui foramen monroi dan terus ke
ventrikel IV melalui aquaduktus silvi cairan di alirkan ke bagian medial foramen
magendi selanjutnya ke sisterna magma dan ke kanalis spinalis. Dari sisterna magma
cairan akan membasahi bagian-bagian dari otak, selanjutnya, cairan ini akan di
absorpsi oleh vili-vili yang terdapat pada arakhnoid, cairan ini jumlahnya tiodak tetap
biasanya berkisar antara 80 – 200 cm mempunyai reaksi alkalis.
Fungsi cairan serebro spinalis :
a. Kelembaban otak dan medula spinalis.
b. Melindungi alat-alat dalam medula spinalis dan otak dari tekanan.
c. Melicinkan alat-alat dalam medula spinalis dan otak.
Komposisi cairan serebro spinalis terdiri dari air, protein, glukosa, garam, dan
sedikit limfosit dan CO2.

4.2.2 Definisi meningitis bakteri

Meningitis bakteri adalah suatu peradangan pada selaput otak yang mengenai
lapisan piamater dan ruang subaraknoid termasuk CSS yang dapat disebabkan oleh
bakteri yang menyebar masuk ke dalam ruang subaraknoid (Sáez-Llorens dan
McCracken, 2003; Hoffman dan Weber, 2009).

4.2.3 Etiologi

Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu


melewati perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan memiliki virulensi poten. Faktor
host yang rentan dan lingkungan yang mendukung memiliki peranan besar dalam
patogenesis infeksi. Pada individu dewasa yang imunokompeten, S. pneumonia dan
N. meningitides adalah patogen utama penyebab meningitis bakteri, karena kedua
bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring dan menembus SDO.
Basil gram negatif seperti E. coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan
Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab meningitis bakteri nosokomial, yang
lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun
eksternal, dan trauma kepala (Roper dan Brown, 2005; Clarke et al., 2009).Sedangkan
bakteri gram positif berbentuk kokus yang juga merupakan penyebab meningitis
bakteri (meningitis suis) adalah S. suis (Susilawathi et al., 2016).

Tabel .

Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko (Roper

dan Brown, 2005).

Neonatus (usia <3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria

monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
Dewasa usia <50 S. pneumonia; N. meningitides

tahun(imunokompeten)
Dewasa usia >50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria monocytogenes
Fraktur kranium/pasca-bedahsaraf Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri

gram negatif (Klebsiella,Proteus, Pseudomonas, E. coli);

Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H. influenza


Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S. pneumonia;

Pseudomonas aeruginosa;Streptococcus grup B;

Staphylococcus aureus

S.suis merupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55 tahun

dan tidak pernah ditemukan pada anak-anak ((Wertheim, 2009).


4.2.4 Faktor risiko meningitis bakteri

Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau host yaitu : usia,
demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman, dan status imun yang rendah
(Mace, 2008).
Usia dan demografi
Meningitis dapat terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya
sehat. Pasien lanjut usia(>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama bayi /
neonatus) memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap insiden meningitis (Choi,
1992; Chavez-Bueno dan McCracken, 2005).
Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan sosial ekonomi meliputi:
jenis kelamin laki-laki, ras Afrika Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan
komunitas yang hidup di asrama atau kamp militer (Geiseler et al., 1980; Mace,
2008). Pasien dengan status imun rendah Terdapat hubungan antara imunosupresi dan
peningkatan risiko terjadinya meningitisbakteri. Yang termasuk kondisi
imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati, spelenektomi, gangguan
hematologi (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia mayor), keganasan,
gangguan imunologi (defisiensi komplemen, defisiensi immunoglobulin),
Human Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi (Schutzeetal.,
2002; Mace, 2008).

4.2.5 Mekanisme masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat


Ada beberapa mekanisme masuknya bakteri ke dalam CSS, paling sering
melalui penyebaran secara hematogen, dapat juga melalui penyebaran langsung dari
perluasan infeksi yang berdekatan. Faktor-faktor yang mendukung bakteri dapat
masuk ke dalam CSS adalah : kolonisasi baru, infeksi pada daerah yang berdekatan
(misalnya, sinusitis, mastoiditis, otitis media), kultur darah dari CSS(misalnya,
penyalahgunaan obat intravena, bakteri endokarditis) gangguan pada dura, paska
bedah saraf, trauma tembus CSS, cacat bawaan, shunt (misalnya, ventrikel shunt),
kateter epidural, perangkat monitoring intrakranial, External Ventrikular Drainage
(EVD) (Mace, 2008). Pasien paska operasi bedah saraf dan yang memiliki shunt
ventriculoperitoneal serta pasien yang memiliki trauma kepala penetrasi berisiko
untuk terjadinya meningitis yang disebabkan oleh stafilokokus (Wang et al., 2005).
Sedangkan pasien yang memiliki implan koklea sangat berisiko tinggi (lebih dari 30
kali lipat) terkena meningitis pneumokokus.

4.2.6 Patofisiologi meningitis bakteri


Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen)
atau perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis
pada umumnya berkolonisasi di saluran pernapasan bagian atas dengan melekatkan
diri pada epitel mukosa nasofaring host. Selanjutnya setelah terhindar dari sistem
komplemen host dan berhasil menginvasi ke dalam ruang intravaskular, bakteri
kemudian melewati SDO dan masuk ke dalam CSS lalu memperbanyak diri karena
mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya untuk mempertahankan diri
terhadap invasi bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh (Mace, 2008).
Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat meningkatkan virulensi
kuman itu sendiri. Bakteri H. influenzae, N. meningitidis dan S. pneumonia
menghasilkan imunoglobulin A protease. Bakteri-bakteri ini menginaktifkan
immunoglobulin A host dengan menghancurkan antibodi sehingga memungkinkan
terjadinya perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring dan terjadinya kolonisasi.
Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring host oleh N. meningitidis terjadi melalui
fimbria atau silia. Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi saluran
pernapasan bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat mengurangi kemampuan
fimbria atau silia dalam mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring.
Bakteri kemudian akan memasuki ruang intravaskular melalui berbagai mekanisme.
Bakteri meningokokus memasuki ruang intravaskular melalui proses endositosis
melintasi endotelium di jaringan ikatvakuola. Sedangkan bakteri H. influenzae
memisahkan tight junction apikal antara sel epitel untuk menginvasi mukosa dan
mendapatkan akses ke ruang intravaskular (Mace, 2008).
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N. meningitidis)
mencegah kerusakan oleh host setelah berada dalam aliran darah,karena kapsul
polisakarida bakteri menghambat fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida.
Setelah bakteri berada dalam aliran darah, bakteri akan beradhesi ke SDO tergantung
kualitas struktural dari bakteri seperti fimbria pada beberapa strain E. coli, dan silia
dan fimbria pada N. meningitidis (Mace, 2008). Sistem pertahanan CSS host yang
rendah menyebabkan bakteri akan cepat berkembang biak setelah memasuki CSS.
Beberapa faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme pertahanan dalam CSS
yang rendah adalah : kadar komplemen yang rendah, tingkat immunoglobulin rendah,
dan penurunan aktivitas opsonic, dimana menyebabkan ketidakmampuan host dalam
menghancurkan bakteri melalui mekanisme fagositosis. Di dalam subarakhnoid,
komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade inflamasi pada host. Komponen
sitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan
berbagai sel lainnya termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel.
Sitokin mengaktivasi migrasi neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin
meningkatkan afinitas pengikatan leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi
molekul yang berinteraksi dengan reseptor leukosit (Mace, 2008). Selain itu neutrofil
CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin oksigen, matrix
metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
secara langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini
menyebabkan kelainan pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi edema serebral.
Edema serebral yang timbul dapat berupa edema vasogenik akibat dari peningkatan
permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang disebabkan oleh peningkatan cairan
intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan hilangnya homeostasis seluler.
Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi pada terjadinya edema 11 sitotoksik
dengan membuat cairan ekstrasel hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak.
Edema interstitial disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena
peningkatan produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid
atau menurunnya reabsorpsi sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain
itu peradangan pembuluh darah lokal atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi
serebral fokal sehingga mengganggu autoregulasi aliran darah, dimana dapat terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi otak dan
kematian (van de Beek et al., 2006; Mace, 2008).

4.3 Gejala klinis meningitis bakteri


Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala, kaku kuduk dan
tanda-tanda disfungsi otak (penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma)
(Tunkel, 2001). Meskipun demikian dilaporkan hanya 44-75% pasien memiliki tiga
gejala yaitu demam, Edema intertitial Interaksi endotelleukosit IL-1 TNF dan IL-1
PG2 PAF Edema sitotoksik TIK ↑ Protein CSS ↑ Glukosa CSS ↓ Laktat CSS ↑
Permeabilitas SDO ↑ Cedera endotel ADO ↓ Pleositosis CSS Edema vasogenik
Hipoksia Hambatan aliran keluar CSS Kaskade koagulasi Trombosis Komponen
bakteri Sel endotel Sel makrofag 13 kaku kuduk dan perubahan status mental,
setidaknya semua pasien mengalami salah satu gejala di atas dan 95% memiliki dua
dari empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan status mental
(Durand et al., 1993; van de Beeket al, 2004). Kaku kuduk dapat disertai tanda Kernig
atau Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak mengesampingkan
diagnosis meningitis bakteri. Pada suatu studi prospektif menunjukkan sensitivitas
tanda Kernig sebesar 5%, tanda Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini
menunjukkan bahwa tanda-tanda ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien
meningitis (Thomas et al., 2002). Kelumpuhan saraf kranial (III, IV, VI dan VII) dan
gejala fokal lainnya terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar 30% pasien mengalami
kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh darah, sering terjadi dalam ruang
subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah kortikal dan subkortikal yang
dapat mengakibatkan kejang dan defisit neurologis fokal. Dengan memburuknya
penyakit, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi termasuk koma,
hipertensi, bradikardi dan kelumpuhan nervus III (Nudelman dan Tunkel, 2009).

4.4 Pemeriksaan penunjang meningitis bakteri


Pemeriksaan CSS melalui pungsi lumbal merupakan alat diagnostik utama
dalam menegakkan meningitis bakteri (Tunkel, 2001). Pada pemeriksaan CSS yang
mendukung kearah infeksi meningitis bakteri adalah jumlah leukosit meningkat bisa
mencapai ribuan dengan dominan neutrofil (>60%), kadar protein dalam CSS
meningkat (>200 milligram (mg)/desiliter (dL)) dan penurunan konsentrasi glukosa (<
40 mg/dL ditemukan pada sekitar 60% pasien dengan sebagian besar memiliki rasio
serum glukosa 14 ≤0,4. Pada saat yang sama, kadar leukosit dan protein CSS normal
dapat ditemukan pada pasien immunocompromise berat dalam beberapa kasus
meningitis neonatus dan pada awal penyakit (Nudelman dan Tunkel, 2009).
Pemeriksaan pewarnaan gram pada CSS dapat dilakukan cepat, akurat pada 60-90%
dengan spesifitas hampir 100% pada pasien dengan meningitis bakteri (Domingoet
al., 1997). Semakin tinggi konsentrasi bakteri di dalam CSS, kemungkinan
mendeteksi organisme dengan pewarnaan gram lebih tinggi. Pasien yang telah
mendapatkan antibiotik sebelum terapi yang sesuai mungkin memiliki penurunan
akurasi dalam mengidentifikasi organisme. Beberapa tes diagnostik cepat telah
dikembangkan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis meningitis bakteri
(Gray dan Fedorko, 1992; Tunkel, 2001).Tes aglutinasi latex mendeteksi antigen H.
influenzae tipe B, S. pneumonia, N. meningitidis, E. coli K1 dan kelompok
streptokokus B. Namun, mengingat tes antigen bakteri kurang berperan dalam
pemberian terapi antibiotik dan telah dilaporkan memberikan hasil positif palsu maka
penggunaan rutin modalitas ini untuk diagnostik cepat dari penyebab infeksi bakteri
meningitis tidak dianjurkan (Tunkel et al., 2004). Tes amplifikasi asam nukleat,
seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan untuk mengetahui
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari pasien dengan meningitis yang disebabkan oleh
beberapa patogen meningeal. Pemeriksaan PCR bakteri berperan dalam menegakkan
diagnosis meningitis dan keputusan dalam memulai atau menghentikan terapi
antibiotika. Dalam suatu studi berbasis luas, menunjukkan sensitivitas PCR 100%
dengan spesifisitas dari 98,2%, nilai prediksi positif 98,2% dan nilai prediksi negatif
prediktif 100% (Saravolatz et al., 2003). Sensitivitas PCR dalam mendiagnosis
meningitis pneumokokus sekitar 92-100% dan spesifisitas sebesar 100% (Werno dan
Murdoch, 2008). PCR sangat berperan terhadap pasien yang telah menerima
antibiotik sebelum pengobatan yang sesuai dan pada kultur kuman negatif pada 15
pemeriksaan CSS (Singhi et al., 2002; Tunkel et al., 2004). Beberapa peranan protein
telah dipelajari dalam mendiagnosis meningitis bakteri akut. Pasien dengan meningitis
bakteri akut mengalami peningkatan konsentrasi C-Reaktif Protein (CRP) dan serum
prokalsitonin yang dapat digunakan dalam membedakan meningitis bakteri dan
meningitis virus (Nathan dan Scheld, 2002). Suatu studi melaporkan sensitivitas dan
spesifisitas serum prokalsitonin sebesar 100% untuk mendiagnosis meningitis bakteri,
meskipun telah dilaporkan didapatkan hasil negatif palsu (Viallon et al., 1999;
Schwarz et al., 2000). Tes lain yang digunakan adalah tes immunokromatografi untuk
mendeteksi kuman S. pneumonia pada CSS dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%
dalam mendiagnosis meningitis pneumokokus piogenik (Saha et al., 2005). Meskipun
demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan tes ini dalam
mendiagnosis meningitis pneumokokus (Nudelman dan Tunkel, 2009).

BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSI

1. Meningitis bakterial
2. esenfalitis
BAB VI
ANALISIS DARI DEFFERENTIAL DIAGNOSIS

Tabel analisis defferential diagnosis

Kriteria diagnosa Meningitis bakterial esenfalitis


anamnesis Trias Trias
sakit kepala, demam, kaku Demam tinggi, penurunan
kuduk. kesadaran, dan kejang, tanpa
peningkatan tekanan intrakranial
Pemeriksaan fisik Didapatkan meningeal sign Penurunan kesadaran, disfasia,
ataksia, kejang, hemiparesis
kelainan saraf otak

BAB VII
HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS)

Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan


kejang. Kejang mulai semalam dan sudah berulang 3 kali. Bentuk kejang kelojotan
tangan dan kaki kanan dan kiri. Lama kejang berkisar 1 menit setelahnya berhenti
sendiri. Keluhan lain adalah demam sejak 3 hari sebelumnya dengan suhu yang tinggi
yang disertai batuk dan pilek.

Hasil pemeriksaan fisik keadaan umum : kejang


Pemeriksaan Fisik Penyakit
Kesadaran : somnolen

Tanda Vital
 Tekanan darah: 110/70mmHg
 Denyut nadi : 106x/ menit
 Suhu : 39o C
 RR : 30x/ menit
 Berat badan : 9,5 kg
 Tinggi badan : -

Kepala/ Leher
 A/I/C/D : -/-/-/-
 UUB cembung
 Pharunx hiperemi
 T1/T1

Thorax : - Suara Jantung : S1 S2 tunggal, murmur(-)


- Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : acral hangat, edema -/-
Status neurologis : reflex fisiologis meningkat di empat extremitas,
Babinski +/+ , chaddock +/+
5. Pemeriksaan penunjang penyakit
Hasil pemeriksaan penunjang :

Lab.
 Hb 11,6g/dL, leukosit 16.900/mm3, diff count shift to the left
 Analisa CSS : Ʃ sel 15.000 dengan dominasi PMN, glukosa menurun, protein
meningkat, none/pandy +/+
 USG : kepala dalam batas normal

Dari pemeriksaan tersebut maka diagnosis pada kasus pada pasien ini
adalah Meningitis Bakterial
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSA
6. Identitas
 Nama : an. Toni
 Usia : 1 tahun
 Alamat : dukuh kupang Surabaya
 Nama ibu : Ny. Sukiah
 Usia : 36 tahun
 Pekerjaan : ibu rumah tangga
 Nama bapak : Tn. Margo
 Usia : 42 tahun
 Pekerjaan : sales otomotif

7. Anamnesa
 Keluhan Utama : kejang
 Riwayat Penyakit Sekarang :
 Kejang sejak 1 hari sebelum ke IRD
 Kejang berulang 3x @ 1 menit
 Kejang umum
 Panas 3 hari tinggi, naik turun
 Batuk, pilek ringan
 Masih mau makan dan minum sedikit - sedikit sampai 2 hari sebelum
ke IRD
 1 hari sebelum ke IRD anak tampak banyak tidur tapi masih dapat
dibangunkan tetapi kemudian tidur kembali.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
 Kejang sebelumnya (-)
 Trauma kepala (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga : -
 Riwayat Pengobatan : paracetamol dan obat batuk pilek
 Riwayat kehamilan normal

8. Pemeriksaan Fisik Penyakit


Kesadaran : somnolen
Tanda Vital
 Tekanan darah : 110/70mmHg
 Denyut nadi : 106x/ menit
 Suhu : 39o C
 RR : 30x/ menit
 Berat badan : 9,5 kg
 Tinggi badan :-

Kepala/ Leher

 A/I/C/D : -/-/-/-
 UUB cembung
 Pharunx hiperemi
 T1/T1

Thorax : - Suara Jantung : S1 S2 tunggal, murmur(-)


- Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : acral hangat, edema -/-
Status neurologis : reflex fisiologis meningkat di empat extremitas,
Babinski +/+ , chaddock +/+

9. Pemeriksaan penunjang penyakit


Hasil pemeriksaan penunjang :
Lab.
 Hb 11,6g/dL, leukosit 16.900/mm3, diff count shift to the left
 Analisa CSS : Ʃ sel 15.000 dengan dominasi PMN, glukosa menurun, protein
meningkat, none/pandy +/+
 USG : kepala dalam batas normal

Diferential Diagnosis

1. Ensefatis

Diagnosis

Dari hasil pemeriksaan- pemeriksaan di atas pasien mengalami Meningitis Bakterial


BAB IX
STRATEGI PENYELESAIAN MASALAH

Penatalaksanaan

Terapi

Terapi antibiotika empirik pada meningitis bakteri : pemberian


ceftriaxone 2 gram tiap 12–24 jam intravena (iv) atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam
iv (level evidence III B). Sedangkan terapi alternatif : meropenem 2 gram tiap 8 jam
iv (level evidence III C) atau chloramphenicol 1 gram tiap 6 jam iv. Pada
pneumokokus yang resisten terhadap penicillin atau sefalosporin maka diberikan
ceftriaxone atau cefotaxime ditambah vancomycin 60 miligram (mg)/kilogram
(kg)/24 jam iv (dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis loading
15 mg/kg (level evidence IVA). Jika kuman yang dicurigai adalah listeria maka
diberikan ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam iv (level evidence IVA)
(Chaudhuri et al., 2008).
Terapi bakteri patogen spesifik : i). Pada kuman penyebab meningitis
pneumokokus termasuk spesies streptokokusyang sensitif terhadap penicillin
diberikan benzyl penicillin 250.000 Unit (U)/kg/hari (setara dengan 2.4 gram tiap 4
jam) (level evidence IVA) atau 16 ampicillin/amoxicillin 2 gram tiap 4 jam atau
ceftriaxone 2 gram tiap 12 jam atau cefotaxime 2 gram tiap 6–8 jam. Sedangkan
terapi alternatif: meropenem 2 gram tiap 8 jam (level evidence IVA) atau vancomycin
60 mg/kg/24 jam dosis disesuaikan dengan creatinine clearance) setelah dosis loading
15 mg/kg ditambah rifampicin 600 mg tiap 12 jam (level evidence IVC) atau
moxifloxacin 400 mg tiap hari (level evidence IVC). ii).Pada pneumokokus yang
kurang sensitif terhadap pengobatan penicillin atau sefalosporin diberikan ceftriaxone
atau cefotaxime ditambah vancomycin ± rifampicin (level evidence IV). Terapi
alternatif : moxifloxacin, meropenem atau linezolid 600 mg dikombinasi dengan
rifampicin (level evidence IV). iii). Pada meningitis meningokokus diberikan benzyl
penicillin atau ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence IV). Terapi alternatif:
meropenem atau chloramphenicol atau moxifloxacin (level evidence IVC). iv). Pada
kuman H.infuenzae tipe B diberikan ceftriaxone atau cefotaxime (level evidence
IVC). Terapi alternatif : chloramphenicol–ampicillin/amoxicillin (level evidence
IVC). v). Pada meningitis listeria diberikan ampicillin atau amoxicillin 2 gram tiap 4
jam ± gentamicin 1–2 mg tiap 8jam selama 7 sampai 10 hari pertama (level evidence
IVC). Terapi alternatif : trimethoprim– sulfamethoxazole 10–20 mg/kg tiap 6–12 jam
atau meropenem (level evidence IV). vi). Pada spesies stafilokokus diberikan
flucloxacillin 2 gram tiap 4 jam (level evidence IV) atau vancomycin jika alergi
terhadap penicillin (level evidence IV). Rifampicin sebaiknya juga diberikan sebagai
tambahan terhadap kuman lain dan linezolid untuk methicillin-resistant
staphylococcal meningitis (level evidence IVC). vii). Pada bakteri entero gram negatif
diberikan ceftriaxone atau cefotaxime atau meropenem. viii). Pada meningitis
pseudomonas diberikan meropenem ± gentamicin (Chaudhuri et al., 2008).
Lama pemberian : Durasi optimal pemberian terapi pada meningitis bakteri
tidak di ketahui. Pada suatu studi prospektif observasional di New Zealand pada kasus
meningitis 17 meningokokel dewasa menunjukkan pemberian benzyl penicillin iv
berhasil sebagai terapi meningitis. Belum adanya uji klinis pada orang dewasa, maka
rekomendasi lama pemberian terapi antibiotika didasarkan pada standar praktek.Lama
pemberian antibiotika yang direkombinasikan adalah : a. Meningitis bakteri yang
tidak spesifik selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVC). b. Meningitis
pneumokokus selama 10 sampai 14 hari (level evidence IVA). c. Meningitis
meningokokal selama 5 sampai 7 hari (level evidence IVA). d. Meningitis HIb selama
7 sampai 14 hari (level evidence IVB). e. Meningitis listeria selama 21 hari (level
evidence IVB). f. Meningitis pseudomonas dan basilar gram negatif selama 21 sampai
28 hari (level evidence IVB) (Chaudhuri et al., 2008).
Terapi adjuvan deksametason : Pada hewan percobaan yang dengan
meningitis bakteri menunjukkan bahwa bakteri yang terlisis akibat pemberian
antibiotika menyebabkan peradangan pada ruang subaraknoid. Keparahan respon
inflamasi ini berhubungan dengan luaran dan dapat dikurangi dengan pemberian
steroid (Van de Beek dan de Gans, 2006). Beberapa uji klinis telah dilakukan untuk
mengetahui dampak adjuvan steroid pada meningitis bakteri terhadap anak dan orang
dewasa (Scheld et al., 1980; Brouwer etal., 2010). Penelitian terhadap penggunaan
deksametason pada meningitis bakteri telah banyak dilakukan. Deksametason
merupakan glukokortikosteroid yang mempunyai fungsi sebagai anti inflamasi dan
mempunyai sifat imunosupresif serta memiliki penetrasi yang sangat baik dalam CSS.
Pada suatu penelitian meta analisa tahun 1988, deksametason telah terbukti
mengurangi gangguan pendengaran pada anak akibat meningitis yang disebabkan
oleh kuman H. influenzae tipe B (McIntyre et al., 1997). Sedangkan pada meta analisa
oleh Cochrane tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian deksametason tidak
mengurangi angka kematian pada meningitis bakteri anak tetapi menurunkan kejadian
gangguan pendengaran dari 20% pada kelompok kontrol dimana 15% mendapat 18
deksametason (Relative Risk (RR) 0.74; 95% Confidence Interval (CI) 0.62-0.89)
(Brouwer et al., 2010). Sedangkan pada meningitis dewasa dari suatu hasil uji kontrol
di Eropa didapatkan bahwa pemberian deksametason sebelum atau bersamaan dengan
pemberian pertama kali antibiotika berhubungan dengan penurunan risiko luaran yang
tidak menguntungkan (RR 0.59, 95%; CI 0.37- 0.94) dan menurunkan angka
kematian (RR 0.48; CI 0.24-0.96) (de Gans dan van de Beek, 2002). Dari lima uji
klinis didapatkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan
penurunan angka kematian yang signifikan (RR 0,6; CI 0,4-0,8) dan gejala sisa
neurologi (RR 0,6; CI 0,4-1,0). Penurunan angka kematian yang paling signifikan di
dapatkan pada pasien meningitis pneumokokus dari 34% menjadi 14% (van de Beek
dan de Gans, 2004). Pada penelitian lain didapatkan penurunan kasus kematian pada
pasien dengan meningitis pneumokokus sebesar 21% (RR 0,5; CI 0,3-0,8) (van de
Beek et al., 2004).Pada meningitis meningokokus, di mana jumlah insiden sedikit, ada
titik perkiraan menguntungkan untuk mencegah kematian (RR 0,9; CI 0,3-2,1) dan
neurologis gejala sisa (RR 0,5; CI 0,1-1,7), tetapi efek ini tidak mencapai statistik
makna. Dosis deksametason yang dianjurkan pada semua kasus meningitis
pneumokokus dewasa baik yang imunokompeten atau imunokompromise adalah 10
mg tiap 6 jam selama 4 hari (level evidence IA).
BAB X
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

PROGNOSIS

Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat berupa :
syok, gagal napas, apnu, perubahan status mental/koma, peningkatan TIK, kejang,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), efusi subdural, abses subdural, abses
intraserebral dan bahkan kematian. Pasien dapat mengalami perubahan status mental
atau bahkan koma.Sekitar 15% dari pasien anak yang menderita meningitis
pneumokokus mengalami syok (Kornelisse et al., 1995). Syok dan DIC sering
berhubungan dengan meningitis meningokokus. Apnu atau gagal napas dapat juga
terjadi, 19 terutama pada bayi. Kejang terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kejang
yang menetap (lebih dari 4hari) atau mulai akhir cenderung terkait dengan gejala sisa
neurologis. Kejang fokal membawa prognosis yang lebih buruk dibandingkan kejang
umum. Jika terjadi kejang fokal harus diwaspadai kemungkinan komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau peningkatan TIK dan disarankan dilakukan
pemeriksaan neuroimaging. Efusi subdural yang terjadi pada sepertiga pasien anak
umumnya asimptomatik, dapat membaik secara spontan dan tidak menyebabkan
gejala sisa neurologi permanen. Dapat juga terjadi Sindrom of Inappropriate Anti
Diuretic Hormone (SIADH) sehingga elektrolit dan keseimbangan cairan harus
dipantau ketat.Semua komplikasi seperti syok, DIC, perubahan status
mental/koma,gangguan pernapasan, kejang, peningkatan TIK, SIADH dan gejala
lainnya ditangani dengan terapi yang lazim diberikan (Mace, 2008). Fatality rate
kasus meningitis bakteri dilaporkan sebesar 25% pada orang dewasa dan sampai 50%
pada pasien usia lanjut (Duran et al., 1993; Adedipe dan Lowenstein, 2006). Fatality
rate kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis
atau kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S.
pneumonia sebesar 20% sampai 25% dan 30% sampai 40% pada
Listeriamonocytogenes (Schuchatet al., 1997). Fatality rate yang lebih tinggi terjadi
pada pasien usia ekstrim (lansia dan bayi, terutama neonatus) (Chavez-Bueno dan
McCracken, 2005). Prognosis bervariasi tergantung pada beberapa faktor: usia,
adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan dan adanya gangguan
neurologis saat datang ke rumah sakit. Indikator klinis yang mempengaruhi tingkat
kematian yaitu : derajat penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, adanya tanda
peningkatan TIK, kejang dalam 24 jam masuk rumah sakit, usia >50 tahun atau bayi,
adanya komorbiditas, kebutuhan akan alat bantu napas, keterlambatan pemberian
terapi. Sebuah studi padameningitis bakteri dewasa 20 (51% S. pneumonia, 37% N.
meningitidis) menunjukkan bahwa faktor risiko terkait prognosis buruk adalah usia
lanjut, adanya osteoitis atau sinusitis, Glasgow Coma scale (GCS) yang rendah saat
masuk, takikardi, tidak adanya ruam, trombositopeni, peningkatan laju endap darah,
jumlah sel dalam CSS yang rendah dan kultur darah positif (van de Beek et al., 2004).
Insiden gejala sisa bervariasi kurang lebih 25% yang mengalami sekuele sedang atau
berat. Telah dilaporkan bahwa 40% memiliki gejala sisa berupa gangguan
pendengaran dan gejala sisa neurologi lainnya sementara yang lain menyebutkan 60%
mengalami morbiditas (Miller dan Choi, 1997; Tunkel dan Scheld, 2005). Gejala sisa
dari meningitis bakteri meliputi: gangguan pendengaran sensori neural (terutama
sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi H.influenzae), penurunan fungsi
intelektual/kognitif, gangguan memori, pusing, gangguan gaya berjalan, defisit
neurologis fokal termasuk kelumpuhan dan kebutaan, hidrosefalus, efusi subdural,
dan kejang (Mace, 2008)
DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I
Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica
Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada


University Press.

3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor
edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process,


diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC;
1998.

5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

6. Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan;
1996.

Anda mungkin juga menyukai