Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

HERPES ZOSTER

Dokter Pembimbing :
dr. Sri Katon Sulistyaningrum, Sp. KK

Disusun Oleh :
Indri Erda Yahya
2017730059

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada
kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas laporan kasus
yang berjudul “Herpes Zoster”. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang
penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya


kepada dr. Sri Katon Sulistyaningrum, Sp.KK selaku pembimbing serta
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan
laporan kasus ini. Demikian tugas ini penulis buat sebagai tugas dari kepaniteraan
Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin serta untuk menambah pengetahuan bagi
penulis dan pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk kita
semua.

Jakarta, September 2021

Indri Erda Yahya

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
STATUS PASIEN...................................................................................................1
I. IDENTITAS PASIEN................................................................................1
II. ANAMNESIS............................................................................................1
III. PEMERIKSAAN FISIK...........................................................................2
IV. RESUME...................................................................................................3
V. DIAGNOSIS.............................................................................................4
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN...................................................................4
VII. TATALAKSANA.....................................................................................4
VIII. PROGNOSIS.............................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................5
I. DEFINISI..................................................................................................5
II. EPIDEMIOLOGI......................................................................................5
III. ETIOPATOGENESIS...............................................................................5
IV. MANIFESTASI KLINIS..........................................................................9
V. DIAGNOSIS...........................................................................................10
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................11
VII. TATALAKSANA...................................................................................13
VIII. KOMPLIKASI........................................................................................15
IX. PROGNOSIS...........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

ii
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : 81 tahun

Usia : Perempuan

Alamat : Jakarta

Pekerjaan : IRT

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 7 September 2021

Jenis Anamnesis : Autoanamnesis


II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Terdapat lentingan yang nyeri di dekat anus sejak 3 hari yang lalu.

Keluhan Tambahan

Gatal di tangan, kaki dan punggung.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSIJ Cempaka Putih Jakarta
dengan keluhan terdapat lentingan yang nyeri di dekat anus sejak 3 hari yang lalu.
Sebelum lentingan muncul pasien mengeluhkan gatal dan panas seperti rasa terbakar
di sekitar anus. Nyeri kepala dan demam disangkal. Saat 3 hari yang lalu lentingan
muncul disertai nyeri di sekitar anus. Keluhan disertai gatal, perih, dan panas sensasi
seperti terbakar yang hilang timbul. Saat beraktivitas maupun istirahat pasien

1
mengatakan merasa tidak nyaman seperti mengganjal. Nyeri kepala dan demam
disangkal. Pasien mengatakan gatal di punggung, kedua tangan dan kaki.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien belum pernah mengalami gejala seperti ini
 Saat kecil pernah terkena varisela
 Diabetes, Hipertensi dan Jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa seperti pasien

Riwayat Pengobatan

Sebelumnya belum pernah ke dokter

Riwayat Alergi

Alergi udang dan penisilin. Alergi cuaca disangkal

Riwayat Psikososial

Pasien tidak mengkonsumsi alcohol dan tidak merokok


III. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital
- Tekanan Darah : 130/60 mmHg
- Nadi : 81x/menit
- Suhu : 36,6°C
- Respirasi : 18x/menit
- SpO2 : 96%
- Tinggi Badan : 156 cm
- Berat Badan : 42 kg
- IMT : 17,25 (underweight)
 Status generalis
1. Kepala : Normocephal
2
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-), refleks
pupil (+/+) pupil bulat isokor (+/+)
- Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-), massa (-/-)
- Telinga : Normotia, serumen (-/-)
- Mulut : Mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
2. Thoraks
- Inspeksi : Dinding dada simetris kiri & kanan, retraksi dinding
dada (-/-), otot bantu napas (-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
3. Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada massa, peradangan (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
4. Ekstremitas
- Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
- Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik

 Status Dermatologikus
Regio : Inguinalis dextra
Efloresensi : Terdapat vesikel, ukuran miliar, bentuk teratur, hepertiformis,
sirkumskrip

3
IV. RESUME
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSIJ Cempaka Putih Jakarta
dengan keluhan tetrdapat vesikel yang nyeri di inguinalis dextra sejak 3 hari yang
lalu. Rasa nyeri tidak menjalar. Keluhan disertai gatal, perih, dan panas sensasi seperti
terbakar yang hilang timbul.

Pada pemeriksaan fisik generalis dalam batas normal. Pada status dermatologikus
ditemukan lesi pada

- Regio inguinalis dextra


- Efloresensi terdapat vesikel, ukuran miliar, bentuk teratur, hepertiformis,
sirkumskrip
V. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja
- Herpes Zoster

Diagnosis Banding
- Herpes simplex
- Dermatitis venenata
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
Polymerase Chain Reaction (PCR) (mendeteksi DNA virus varisela zoster dari
cairan vesikel)

4
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa
a. Topikal
Bedak salisil 2% untuk mencegah vesikel pecah

b. Sistemik
1. Asiklovir 5x800 mg/hari selama 7 hari
2. Parasetamol 3x500 mg/hari
3. Cetirizine 1x5mg/hari

Non medikamentosa

- Memulai pengobatan sesegera mungkin


- Tidak menggaruk lesi
VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad sanationam : Bonam
- Quo ad functionam : Bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral
yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi
reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion
sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang
menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.2

Herpes zoster merupakan penyakit neurodermal yang ditandai dengan nyeri


radicular unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa pada
daerah kulit yang dipersarafi oleh saraf kranialis atau spinalis, dan merupakan
reaktivasi dan multiplikasi dari varicella zoster virus (VZV).4

II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
lnsidensnya 2-3 kasus per-1000 orang/tahun. lnsiden dan keparahan penyakitnya
meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah jumlah keseluruhan kasus
dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan komplikasi terjadi hampir 50% di
usia tua. Jarang dijumpai pada usia dini (anak dan dewasa muda); bila terjadi,
kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal saat kehamilan. Risiko penyakit
meningkat dengan adanya keganasan, atau dengan transplantasi sumsum tulang/ginjal
atau infeksi HIV. Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini bersifat menular
namun daya tulamya kecil bila dibandingkan dengan varisela.2

III. ETIOPATOGENESIS
VZV yang sangat menular memasuki tubuh melalui saluran pernapasan dan
menyebar dengan cepat dari jaringan limfoid faring ke limfosit T yang bersirkulasi.
Selama masa inkubasi 10-21 hari, virus tiba di kulit, menyebabkan ruam vesikular
khas varicella. Infeksi menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap episode kedua
yang tampak secara klinis varicella pada sebagian besar individu.8

6
Latensi. Semua virus herpes memiliki kemampuan untuk membangun latensi,
sehingga menyediakan reservoir untuk memfasilitasi infeksi generasi baru individu
yang rentan. Dua hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan bagaimana VZV
memperoleh akses ke akar dorsal ganglia (DRG) dan ganglia akar kranial (CRG)
untuk menetapkan latensi:

1. VZV bebas sel diproduksi di epidermis dan menginfeksi intraepidermal


proyeksi neuron sensorik. Virus kemudian melakukan perjalanan dengan
transportasi retrograde di akson untuk mencapai badan sel, di mana latensi
ditetapkan. Teori ini didukung dengan pengamatan bahwa distribusi HZ
mencerminkan distribusi relative lesi kulit varisela.
2. VZV dibawa ke DRG/CRG di dalam sel T yang terinfeksi selama viremia
stadium infeksi varisela. Sel T yang terinfeksi bergabung dengan neuron dan
menginfeksi badan sel saraf. Virus mulai berproliferasi di dalam neuron, tetapi
sel kematian dicegah, proliferasi berhenti dan latensi ditetapkan. Ini hipotesis
didasarkan pada tindakan anti-apoptosis dari gen ORF63.8

Ekspresi gen VZV sangat terbatas selama latensi ganglion. Tidak ada antigen virus
disajikan pada permukaan neuron yang terinfeksi secara laten, sehingga melindungi
sel yang terinfeksi secara laten dari deteksi imun. Imunitas sel T sangat penting
untuk pemeliharaan latensi.8

Reaktivasi. Produk transkripsi gen virus diperlukan untuk membangun dan


mempertahankan latensi, tetapi host faktor selanjutnya menentukan apakah virus
tetap laten atau tidak. Ada nomor pemicu potensial reaktivasi, termasuk ekspresi
protein ORF61 dan adanya mediator inflamasi.8

Ketika VZV diaktifkan kembali, ia diangkut sepanjang mikrotubulus dalam


akson sensorik untuk menginfeksi sel epitel, biasanya tanpa viremia. Infeksi kulit
yang diakibatkannya menyebabkan ruam dalam dermatom yang dipersarafi oleh
satu saraf sensorik. Trigeminal (saraf kranial), saraf sensorik serviks dan toraks
paling sering terlibat dalam reaktivasi VZV. Ada juga peradangan dan nekrosis dari
semua jenis sel lain di dalam ganglion yang terkena.8

Ketika terjadi sindrom ramsay hunt, parese nervus VII timbul akibat
reaktivasi virus varisela zoster yang menetap pada ganglion genikulatum sehingga
7
menjadi peradangan dan menimbulkan gejala pada nervus VII. Peradangan dapat
meluas sampai ke foramen stylomastoid. Gejala kelainan nervus VIII yang juga
dapat timbul akibat infeksi pada ganglion yang terdapat di telinga dalam atau
penyebaran proses peradangan dari nervus VII. Pada sindrom ramsay hunt
menimbulkan gejala dan lesi di mulut, faring, atau laring, dapat disertai paralisis
fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan mengecap pada 2/3 bagian depan lidah,
tinitus, vertigo, dan tuli. Pada keadaan ini virus menyerang nervus fasialis dan
nervus auditorius. Pada infeksi primer, setelah tahap viremik, virus herpes zoster
berada dikulit, menyebabkan erupsi vesikular. Multiplikasi viral terjadi di sel epitel
dan meluas ke ujung saraf bebas pada lapisan dalam stratum germinativum. Saat
berada di dalam nervus sensoris, partikel virus dibawa ke badan sel saraf lalu fase
laten dimulai. Virus herpes zoster dapat mencapai ganglia sensoris melalui rute
hematogen selama fase inisial viremia. Reaktivasi virus herpes zoster pada ganglia
genikulatum , infllamasi neuronal, dan destruksi nervus fasialis di tulang temporal
dapat menyebabkan paralisis fasialis. Virus herpes zoster bermigrasi dari ganglion
genikulatum kekulit sekitar telinga atau ke orofaring melalui serabut saraf sensoris,
dima virus tersebut bereplika dan memproduksi zoster pada sindrom Ramsay Hunt.
Sering terjadi keterlibatana nervus kranilais VIII yang menyebabkan tuli
sensorineural dan vertigo.8

Sindrom Rumsay Hunt (facial palsy dengan kombinasi herpes zoster pada
telinga eksternal, kanal telinga, atau membrane timfani, dengan atau tanpa tinitus,
vertigo dan tuli) dihasilkan dengan keikutsertaan saraf fasialis dan auditori. Telinga
dan auditori kanal eksternal disarafi oleh saraf kranial 5, 7, 9, dan 10 dan saraf
servikal bagian atas, dan saraf fasialis mengalami anastomosis dengan semuanya.
Jadi, saat herpes zoster mengenai ganglia dan salah satu dari saraf ini dapat
menyebabkan fasial paralisis dan lesi kutaneus pada atau sekitar telinga.7

Herpes zoster yang melibatkan reaktivasi VVZ pada nervus trigeminus


cabang pertama atau oftalmikus kita kenal dengan istilah herpes zoster oftalmikus
(HZO). Manifestasi klinis HZO adalah sesuai cabang oftalmikus yang terkena, di
mana HZO dapat melibatkan satu cabang atau lebih. Keterlibatan cabang frontalis
umumnya tidak mengenai mata, sebaliknya keterlibatan cabang nasosiliaris
memberi akses masuk bagi VVZ ke struktur intraokular sehingga berpotensi
8
menimbulkan komplikasi okular. Cabang nasosiliaris menginervasi bola mata,
kantus medial, serta ujung, sisi dan akar hidung. Adanya lesi herpes zoster pada
ujung, sisi, atau akar hidung yang disebut juga tanda Hutchinson merupakan faktor
prediktor penting dalam penentuan ada tidaknya komplikasi okular, di mana
didapatkan peningkatan risiko sebesar 3-4 kali dibanding pasien HZO tanpa tanda
Hutchinson. Komplikasi okular yang dapat terjadi antara lain konjungtivitis,
keratitis, glaukoma inflamasi, uveitis, retinitis, serta kelemahan otot transien yang
disertai pandangan ganda. Herpes zoster dapat mengenai divisi kedua dan ketiga
dari saraf trigeminalis, yang dapat memberikan gejala dan lesi pada mulut, telinga,
faring atau laring.7

Komplikasi okular yang dapat terjadi pada HZO sangat beragam, namun
secara umum dapat dikelompokkan menurut struktur yang terkena, yaitu blefaritis
dan konjungtivitis, episkleritis/skleritis, keratitis dan keratopati, uveitis dan
hipertensi okuli, nekrosis retina, neuritis serta kelemahan otot ekstraokular. Bila
mengenai cabang nervus nasosiliaris dapat menimbulkan kelainan pada mata yang
bisa berupa konjungtivitis, keratitis, uveitis anterior, iridosiklitis, bahkan
panoftalmitis.7

Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih, yang bervariasi


dari pasien ke pasien dan dari waktu ke waktu pada setiap pasien individu,
tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN. Cedera
pada saraf perifer dan neuron di ganglion memicu sinyal nyeri aferen (nyeri
neuropatik). Peradangan di kulit memicu sinyal nyeri nosiseptif yang semakin
memperkuat rasa sakit ini. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang dan
ganglion, dan saraf perifer, penting dalam patogenesis PHN. Pemeriksaan
postmortem pasien dengan herpes zoster dan PHN berat dibandingkan dengan
pasien dengan herpes zoster dan tidak ada nyeri persisten menunjukkan atrofi dan
sel kornu dorsalis, akson, dan hilangnya mielin dengan fibrosis di ganglia sensorik
hanya pada pasien dengan nyeri persisten. Rusak saraf aferen primer dapat menjadi
spontan aktif dan hipersensitif terhadap rangsangan perifer, dan juga untuk
stimulasi simpatis. Nosiseptor yang berlebihan aktivitas dan generasi impuls
ektopik dapat, pada gilirannya, peka neuron SSP, menambah dan memperpanjang

9
tanggapan sentral untuk tidak berbahaya serta berbahaya rangsangan. Secara klinis,
mekanisme ini menghasilkan alodinia.7

Secara umum herpes zoster menyebabkan perubahan saraf perifer oleh


multiplikasi virus pada ganglion radiks dorsalis, dan migrasi cepat virus sepanjang
akson saraf sensorik perifer menuju jaringan ikat kulit dan subkutan. Proses ini
menimbulkan respon inflamatorik masif pada daerah yang terkena dan
menyebabkan nyeri. Nyeri kemudian berlanjut melalui proses eksitasi dan
sensitisasi berkelanjutan terhadap nosiseptor. Proses inflamatorik melibatkan kornu
anterior dan posterior medulla spinalis, ditandai dengan kerusakan aksonal myelin
yang meluas ke perifer, sehingga jumlah akhiran saraf di kulit yang dilayani neuron
ini berkurang.8

IV. MANIFESTASI KLINIS


Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa sensasi
abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom,
gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi,
pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau empedu,
apendisitis. Dapat juga dijumpai gejala konstitusi misalnya nyeri kepala, malaise dan
demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2
hari). 2
Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri
terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan. Kemudian
berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya
isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-
10 hari). Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus
herpes zoster, erupsi kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa. 2 Lesi yang
paling sering berupa vesikel herpetiformis bergerombol dengan dasar eritema, dan
distribusi segmental unilateral. Erupsi diawali plak eritematosa terlokalisir atau difus.
Dalam waktu 12-24 jam tampak vesikel jernih pada bagian tengah plak eritematosa,
kemudian akan berssatu dalam waktu 2-4 hari, dan setelah 72 jam dapat berupa
pustul.4
Pada sejumlah kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelainan mata (10-20%
penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder, dan neuropati motorik.
10
Kadang-kadang dapat terjadi meningitis, ensefalitis atau myelitis. Perjalanan penyakit
herpes zoster pada penderita imunokompromais sering rekuren, cenderung kronik
persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula hemoragik, nekrotik dan sangat nyeri),
tersebar diseminata, dan dapat disertai dengan keterlibatan organ dalam. Proses
penyembuhannya juga berlangsung lebih lama.2
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zoster sine herpete bila
terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Herpes zoster abortif
bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel yang langsung
mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangsung singkat. Disebut
herpes zoster aberans bila erupsi kulitnya melalui garis tengah.2
Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi sindrom
Ramsay-Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membran timpani
disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan
lidah; tinitus, vertigo dan tuli.2
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus
trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung
yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan mata.
Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ dalam.2

V. DIAGNOSIS
Pada tahap pra-erupsi, nyeri prodromal herpes zoster sering dikacaukan dengan
penyebab nyeri lokal lainnya. Setelah letusan muncul, karakter dan lokasi dermatomal
11
ruam, ditambah dengan nyeri dermatomal dan kelainan sensorik lokal, biasanya
membuat diagnosis menjadi jelas. Sekelompok vesikel, terutama di dekat mulut atau
alat kelamin, mungkin mewakili herpes zoster, tetapi juga mungkin menjadi infeksi
HSV berulang. Zosteriform herpes simpleks seringkali tidak dapat dibedakan dari
herpes zoster berdasarkan klinis. Dengan tidak adanya defisiensi imun yang dalam dan
jelas secara klinis, riwayat beberapa kekambuhan pada dermatom yang sama
membedakan herpes simpleks zosteriform dari herpes zoster1.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi VZV adalah reaksi berantai poli
merase (PCR) karena sifatnya yang sangat tinggi sensitivitas dan spesifisitas,
ketersediaan siap, dan waktu penyelesaian yang relatif cepat (1 hari atau kurang).
Cairan vesikel adalah spesimen terbaik untuk analisis PCR, tetapi kerokan lesi,
krusta, biopsi jaringan, atau cairan serebro spinal sama-sama berguna. PCR dapat
membedakan VZV dari HSV, dan VZV wildtype dari vaksin Oka strain VZV.
Isolasi virus kurang sensitif dan mungkin memakan waktu seminggu atau lebih,
tetapi itu adalah satu-satunya Teknik yang menghasilkan VZV menular untuk
analisis lebih lanjut, seperti: penentuan sensitivitas terhadap obat antivirus. VZV
adalah sangat labil, dan hanya 30% hingga 60% kultur dari kasus yang terbukti
umumnya positif. Untuk memaksimalkan virus pemulihan, spesimen harus
diinokulasi ke dalam kultur sel segera. Penting untuk memilih vesikel baru
mengandung cairan bening untuk aspirasi, karena kemungkinan kemampuan
mengisolasi VZV berkurang dengan cepat sebagai lesi menjadi pustular. VZV
hampir tidak pernah diisolasi dari kerak.1
 Tzanck Test
Pemeriksaan ini dilakukan dengan pengecatan Giemsa untuk melihat
adanya multinucleated giant cell. Sensitivitas pemeriksaan Tzanck pada kasus
herpes zoster sebesar 67%, 55% dan 17% berturut turut pada lesi vesikel baru,
pustul dan erosi. Pengecatan Gram dapat dilakukan sebagai pemeriksaan
tambahan bila dicurigai terdapat infeksi sekunder pada lesi kulit.5 Pewarnaan
imunofluoresen atau imunoperoksidase bahan seluler dari vesikel segar atau
prevesikular lesi dapat mendeteksi VZV secara signifikan lebih sering dan lebih

12
cepat dari kultur virus. Enzyme immunoassays menyediakan metode lain yang
cepat dan sensitif untuk deteksi anti gen. Teknik ini memiliki sedikit waktu
penyelesaian lebih cepat daripada PCR, tetapi tidak memiliki kandidat yang
sangat baik untuk isolasi atau profilaksis. Tekniknya yang paling umum
digunakan adalah enzim-linked fase padat immunosorbent assay (ELISA).
Namun, tes ini (ada banyak sumber komersial) seringkali kurang sensitif, gagal
mendeteksi antibodi pada sejumlah besar orang yang kebal, terutama mereka yang
mendapat vaksin varisela. Hasil positif palsu pada individu yang rentan kurang
umum, tetapi bermasalah, terutama pada petugas kesehatan di mana kerentanan
terhadap VZV adalah risiko varicella nosocomial.1
Multinucleated giant cell terbentuk dari fusi epitel yang terinfeksi sel
dengan sel yang terinfeksi dan tidak terinfeksi berdekatan di dasar dan tepi
vesikel. Dermis yang mendasari menunjukkan edema dan infiltrasi sel
mononuklear. Kehadiran multinucleated giant cell dan sel epitel yang
mengandung inklusi intranuklear asidofilik tubuh membedakan lesi kulit yang
dihasilkan oleh VZV dari semua erupsi vesikular lainnya, seperti: yang
disebabkan oleh poxvirus, Coxsackievirus, dan echovirus, kecuali yang
diproduksi oleh HSV. Ini sel dapat ditunjukkan dalam apusan Tzanck yang
disiapkan dari bahan yang dikikis dari dasar lesi vesikular dan diwarnai dengan
hematoxylin dan eosin, Giemsa, atau pewarna serupa. Multinucleated giant cell
yang serupa sel yang mengandung inklusi intranuklear asidofilik tubuh terbentuk
oleh fusi sel yang terinfeksi dengan sel yang berdekatan sel yang terinfeksi dan
tidak terinfeksi.1 Dianjurkan melakukan Tes Tzanck pada kasus infeksi herpes
karena dianggap uji diagnostik yang mudah, cepat, dapat diulang, dan tidak mahal
serta memberikan jawaban lebih cepat dibanding uji serologi.5

13
VII. TATALAKSANA
Tujuan utama terapi antivirus pada pasien dengan herpes zoster adalah untuk
membatasi tingkat, durasi, dan keparahan nyeri dan ruam pada dermatom primer dan
untuk mencegah penyakit di tempat lain. Kecuali untuk PHN, sebagian besar
komplikasi herpes zoster, termasuk vaskulopati, diakibatkan oleh berlanjutnya
replikasi dan penyebaran VZV dari gang glion yang terkena, dan dengan demikian
dapat dicegah dengan inisiasi dini terapi antivirus yang efektif.1

Medikamentosa
 Sistemik
1. Obat antivirus.
Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat
keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya dalam mencegah NPH
masih kontroversial. Tiga antivirus oral yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi herpes zoster, famsiklovir (Famvir®),
valasiklovir hidrokhlorida (Valtrex®), dan asiklovir (Zovirax®).
Bioavailabilitas asiklovir hanya 15-20%, lebih rendah dibandingkan
valasiklovir (65%) dan famsiklovir (77%). Antivirus famsiklovir 3x 500 mg
atau valasiklovir 3x 1000 mg atau asiklovir 5x 800 mg diberikan sebelum 72
jam awitan lesi selama 7 hari.2
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun berbagai
penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang digunakan bersama
asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan penurunan derajat
neuritis akibat infeksi virus dan kemungkinan juga menurunkan derajat
kerusakan pada saraf yang terlibat. Akan tetapi pada penelitian lain,
penambahan kortikosteroid hanya memberikan sedikit manfaat dalam
memperbaiki nyeri dan tidak bermanfaat untuk mencegah NPH, walaupun
memberikan perbaikan kualitas hidup. Mengingat risiko komplikasi terapi
kortikosteroid lebih berat daripada keuntungannya, Departemen llmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUl/RSCM tidak menganjurkan pemberian
kortikosteroid pada herpes zoster.2
3. Analgetik
14
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons
baikterhadapAINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenamat). Kadang-
kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau oksikodon) untuk pasien
dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba pemakaian kombinasi parasetamol
dengan kodein 30-60 mg.2
4. Antidepresan dan antikonvulsan
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi terapi
asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal
mengurangi prevalensi NPH.2
 Topikal
1. Analgetik topikal
a. Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin
(CaladrylD) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan
pruritus. Kompres dengan Solusio Burowi (alumunium asetat 5%)
dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold
pack juga sering digunakan.2
b. Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau
etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai. Balakrishnan
S dkk. (2001 ), melaporkan asam asetil salisilat topikal dalam pelembab
lebih efektif dibandingkan aspirin oral dalam memperbaiki nyeri akut.
Aspirin dalam etil eter atau kloroform dilaporkan aman dan bermanfaat
menghilangkan nyeri untuk beberapa jam. Krim indometasin sama
efektifnya dengan aspirin, dan aplikasinya lebih nyaman. Penggunaannya
pada area luas dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal akibat
absorpsi per kutan. Penelitian lain melaporkan bahwa krim indometasin
dan diklofenak tidak lebih baik dari plasebo.2
2. Anestetik lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf
yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk
menghilangkan nyeri. Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blok saraf
15
perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan blok simpatis untuk nyeri
yang berkepanjangan sering digunakan. Akan tetapi, dalam studi prospektif
dengan kontrol berskala besar, efikasi blok saraf terhadap pencegahan NPH
belum terbukti dan berpotensi menimbulkan risiko.2
Nonmedikamentosa

- Memulai pengobatan sesegera mungkin


- Tidak menggaruk lesi
- Tetap mandi
- Mengurangi kecemasan dan ketidakpahaman pasien.3
VIII. KOMPLIKASI
Ketika ruam dermatomal sangat luas, seperti yang sering terjadi pada pasien
immunocompromised parah, mungkin ada gangren superfisial dengan penyembuhan
yang tertunda dan jaringan parut berikutnya. Infeksi bakteri sekunder (biasanya
dengan Staphylococci atau Streptococci) dapat menunda penyembuhan dan
menyebabkan jaringan parut pada pasien imunokompeten dan pasien
immunocompromised.1

Zoster oftalmik dapat disertai dengan berbagai komplikasi. Sensasi kornea


umumnya terganggu dan, ketika gangguan itu parah, itu dapat menyebabkan keratitis
neurotropik dengan ulserasi kronis dan infeksi bakteri.1

Herpes zoster dapat disertai dengan berbagai komplikasi neurologis, di antaranya


neuralgia postherpetic (PHN) adalah yang paling umum dan penting

 Neuralgia Pasca Herpes (NPH)


Didefinisikan secara bervariasi sebagai nyeri setelah penyembuhan ruam,
atau nyeri 1 bulan, 3 bulan, 4 bulan, atau 6 bulan setelahnya onset ruam.
Prevalensi PHN dilaporkan menjadi 5% sampai 30%. Usia adalah faktor risiko
paling signifikan untuk PHN. Nyeri yang signifikan secara klinis yang
berlangsung 3 bulan atau lebih jarang terjadi pada orang imunokompeten yang
lebih muda dari 50 tahun usia. Pasien dengan PHN mungkin menderita nyeri
konstan (digambarkan sebagai “terbakar”, “sakit”, atau “berdenyut”), nyeri
menusuk intermiten ("menusuk," "menembak"), dan/atau nyeri yang ditimbulkan
oleh stimulus, termasuk Allodynia ("lembut," "membakar," "menusuk"). PHN

16
sering mengakibatkan gangguan tidur, depresi, anoreksia, penurunan berat badan,
kelelahan kronis, dan isolasi sosial, dan itu dapat mengganggu berpakaian, mandi,
aktivitas umum, bepergian, berbelanja, memasak, dan pekerjaan rumah tangga.1
Faktor risiko lain untuk PHN termasuk: adanya nyeri prodromal, nyeri hebat
selama fase akut herpes zoster, ruam luas, dan kelainan sensorik yang signifikan
pada dermatom yang terkena. PHN biasanya remisi secara bertahap selama
beberapa bulan tetapi, seperti kejadian PHN durasi meningkat dengan
bertambahnya usia.
Pasien terinfeksi HIV yang tidak diobati dengan terapi antiretroviral
kombinasi sering menderita beberapa kekambuhan herpes zoster sebagai HIV
mereka infeksi berlangsung. Kekambuhan mungkin dalam dermatom yang sama
atau berbeda atau pada beberapa dermatom yang berdekatan atau tidak
berdekatan. kulit dan penyebaran visceral juga dapat terjadi pada pasien dengan
infeksi HIV yang tidak diobati. Selain itu, pasien dengan AIDS dapat berkembang
menjadi verukosa kronis, hiperkeratosis, atau lesi kutaneus ektima yang
disebabkan oleh VZV yang resistan terhadap asiklovir. 1
o Tatalaksana
Lini pertama:
- Antidepresan trisiklik 10 mg setiap malam (ditingkatkan 20 mg
setiap 7 hari menjadi 50 mg, kemudian menjadi 100 mg dan 150 mg
tiap malam)
- Gabapentin 3x100 mg (100-300 mg ditingkatkan setiap 5 hari
hingga dosis 1800-3600 mg/hari)
- Pregabalin 2x75 mg (ditingkatkan hingga 2x150 mg/hari dalam 1
minggu)
- Lidokain topikal (lidokain gel 5%, lidokain transdermal 5%).3
Lini kedua:

- Tramadol 1x50 mg (tingkatkan 50 mg setiap 3-4 hari hingga dosis


100- 400 mg/hari dalam dosis terbagi)
 Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus terjadi bila virus menyerang cabang pertama
nervus trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di

17
puncak hidung yang dikenal sebagai tanda “Hutchinson” kemungkinan besar
terjadi kelainan mata. Zoster oftalmik dapat disertai dengan berbagai
komplikasi. Sensasi kornea umumnya terganggu dan, ketika gangguan itu
parah, itu dapat menyebabkan keratitis neurotropik dengan ulserasi kronis dan
infeksi bakteri.2
o Tatalaksana
- Asiklovir/valasiklovir diberikan hingga 10 hari pada semua pasien.
- Rujuk ke dokter spesialis mata.3
 Sindrom Ramsay Hunt
Terjadi bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius, yaitu
erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membrane timpani disertai paresis
fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah,
tinitus, vertigo dan tuli.2
o Tatalaksana
- Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid 40-60
mg/hari selama 1 minggu pada semua pasien.
- Rujuk ke dokter spesialis THT.3
 Herpes Zoster Generalisata
Herpes zoster dengan kelainan kulit yang timbul unilateral dan ditambah
kelainan kulit yang menyebar secara generalisata. Vesikel soliter dan ada
umbilikasi.1

IX. PROGNOSIS
Lesi kulit biasanya menyembuh dalam 2-4 minggu tetapi penyembuhan
sempurna membutuhkan waktu >4 minggu. Pasien usia lanjut dan imunokompromais
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk resolusi.3
▫ Quo ad vitam : Bonam
▫ Quo ad sanationam : Bonam
▫ Quo ad fungtionam : Bonam

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In : Kang S, Amaga
IM, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th ed. New York : McGraw Hill Companies; 2019. p.3035-58
2. Pusponegoro EHD. Herpes Zoster. In : Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 121-26.
3. Widaty S, Soebano H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, dkk. Herpes
Zoster. Dalam : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. p.61-4
4. Murlistyarini S. Herpes Zoster. In : Murlistyarini S, Prawitasari S, Setyowatie L,
Brahmanti H, Yuniaswan AP, Ekasari DP, dkk. Intisari Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Malang : UB Press; 2018. p.67-70
5. Lusiana, Paramitha L, Rihatmadja R, Menaldi SL, Yusharyahya SN. Tes tzanck di bidang
Dermatologi dan Venereologi. MDVI; 2019;46(1).p.57-63
6. Santoso WM, Mondiani YQ, Husna M, Rachmatiar R. Postherpetic Neuralgia and
Ophtamoplegia in Patient with Multiple Sclerosis. Journal of Pain, Headache and Vertigo;
2020,1. p.10-2
7. Utami DNT, Rusyati LMM, Sudarsa PSS. Herpes Zoster Oftalmikus dengan Komplikasi
Okular. Intisari Sains Medis; 2021: 12(1).p.420-27
8. Gershon AA. Gershon MD, Breuer J, Levin MJ, Oaklander AL, Griffiths PD. Advances
in the Understanding of the Pathogenesis and Epidemiology of Herpes Zoster. London;
HHS Public Access; 2017;48(1).p.3-6

19

Anda mungkin juga menyukai