Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

PITIRIASIS ROSEA

Disusun Oleh :

Felicia Harsono/ 01073200082


Stephanie Anastasia Handono/ 01073200083

Pembimbing :
dr. Nana Novia Jayadi, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 22 FEBRUARI – 26 MARET 2021

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2


BAB I LAPORAN KASUS ........................................................................................ 4

1.1. Identitas Pasien ................................................................................ 4


1.2. Anamnesis........................................................................................ 4
1.2.1. Keluhan Utama................................................................................ 4
1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang............................................................. 4
1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ................................................................ 5
1.2.4. Riwayat Pengobatan ........................................................................ 5
1.2.5. Riwayat Kebiasaan .......................................................................... 5
1.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi ................................................................. 6
1.2.7. Riwayat Penyakit Keluarga ............................................................. 6

1.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 6


1.4. Resume ....................................................................................................... 14
1.5. Diagnosis .................................................................................................... 15
1.6. Tatalaksana ................................................................................................. 15
1.7. Prognosis .................................................................................................... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 17

2.1. Definisi ....................................................................................................... 17


2.2. Epidemiologi .............................................................................................. 17
2.3. Etiologi ....................................................................................................... 17
2.4. Patogenesis ................................................................................................. 18
2.5. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 19
2.6. Diagnosis .................................................................................................... 21
2.7. Diagnosis Banding ..................................................................................... 21
2.7.1. Tinea Korporis .............................................................................. 21

2
2.7.2. Sifilis Sekunder ............................................................................. 23
2.7.3. Dermatitis Numularis .................................................................... 24
2.7.4. Psoriasis Gutata ............................................................................. 26
2.7.6. Dermatitis Seboroik ...................................................................... 27
2.7.7. Erupsi Obat Menyerupai Pitiriasis Rosea ..................................... 29

2.8. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................. 31


2.9. Komplikasi ................................................................................................. 32
2.10. Tatalaksana ............................................................................................... 32
2.11. Prognosis .................................................................................................. 33

BAB III ANALISA KASUS ..................................................................................... 34


DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 40

3
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama : An. K
Umur : 16 tahun
Tanggal Lahir : 23 Mei 2004
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
No. Rekam Medis : 00-42-92-58
Alamat : Karawaci
Agama :-
Kewarganegaraan : Indonesia
Tanggal Masuk RS : 2 Maret 2021
Tanggal Periksa : 2 Maret 2021

1.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit Rumah Sakit Siloam


Hospital Lippo Village, pada hari Selasa, 2 Maret 2021 pukul 15.50 WIB.

1.2.1. Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan bercak merah di punggung dan badan bagian depan sejak
7 hari SMRS.

1.2.2.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan bercak kemerahan di punggung dan di badan bagian depan sejak
7 hari SMRS. Bercak tersebut timbul secara mendadak, dimulai dari bercak merah

4
punggung kanan, kemudian semakin meluas di sekitar bercak pertama. Bercak juga
muncul di sekitar dada, hingga sekarang bercak hampir di seluruh punggung dan badan
depan. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa gatal ringan pada bagian yang mengalami
bercak kemerahan, pasien menggaruk kulit yang mengalami bercak tersebut sesekali.
Pasien menyangkal bercak tersebut terdapat di bagian tubuh lain. Pasien sudah
mencoba menggunakan obat krim klotrimazol di punggungnya, namun tidak membaik.
Pasien menyangkal flu, demam, lemas, hilang nafsu makan, maupun nyeri kepala.
Pasien menyangkal olahraga di luar ruangan, berkeringat berlebih, penggunaan sabun
mandi yang baru, serta menyangkal sedang membatasi makanan. Pasien menyangkal
adanya alergi terhadap makanan apapun, serta menyangkal alergi debu.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku pernah mengalami penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur di
bagian punggung 2 bulan yang lalu. Pasien menyangkal pernah mengalami bercak
serupa di daerah kemaluan. Pasien menyangkal memiliki riwayat asma.

1.2.4. Riwayat Pengobatan

Pasien telah menggunakan krim klotrimazol 1% 3x1 hari untuk mengatasi penyakit ini
di bagian bercak, namun tidak memberikan pengaruh terhadap bercak. Pasien
menyangkal penggunaan obat lainnya, terutama obat-obatan yang diminum (oral).

1.2.5. Riwayat Kebiasaan

Keseharian pasien adalah sekolah online setiap hari Senin hingga Jumat, di sela-sela
jam sekolah, pasien istirahat 30 menit. Pasien sekolah hingga sore, terkadang
dilanjutkan dengan les pelajaran setelahnya, pasien juga les pelajaran di hari libur.
Setiap harinya, pasien berada di ruangan yang memiliki pendingin ruangan. Riwayat
berhubungan seksual disangkal.

5
1.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien berada dalam status ekonomi menengah ke atas. Pasien bersekolah dan sedang
duduk di bangku SMA. Pasien dan sang ibu juga mengaku tinggal di lingkungan rumah
yang bersih serta menjaga kebersihan tubuh dengan baik.

1.2.7. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala serupa dengan pasien. Pada keluarga
pasien tidak ada yang memiliki asma, ataupun alergi debu.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 168 cm
Tanda-tanda vital :

Suhu : 36,6°C
Nadi : 92 bpm
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernapasan : 20x/min

6
Kepala dan Wajah

Bentuk: normosefali
Rambut : tersebar secara merata, warna hitam, kuat, tidak mudah rontok
Kulit kepala : luka (-), massa (-), deformitas (-), edema (-), eritema (-)
Wajah: normofacies

Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm,
RCL(+/+), RCTL (+/+), pergerakan bola mata normal

Telinga

Bentuk normal, hiperemis (-/-), edema (-/-), massa (-/-), pembesaran KGB pre dan
post aurikular (-/-), serumen (-/-), sekret (-/-)

Hidung

Bentuk hidung normal, pernafasan cuping hidung (-/-), simetris, deviasi septum (-),
massa (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut dan Tenggorokan

Bibir pucat (-), mukosa mulut lembab, uvula di tengah, faring hiperemis (-), tonsil
T1/T1, tonsil, hiperemis (-)

7
Leher

Bentuk leher normal, bekas luka (-), ruam (-), trakea intak di tengah, deviasi (-),
pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran kelenjar parotis (-)

Thorax

Paru

- Inspeksi : Bentuk dada normal, pengembangan dada statis dinamis simetris,


bekas luka (-), massa (-), spider naevi (-), pelebaran iga (-), retraksi (-)
- Palpasi : Chest expansion simetris, taktil fremitus simetris
- Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru (+/+)
- Auskultasi : VBS (+/+), wheezing (-/-), ronchi (-/-)

Jantung

- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


- Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicular sinistra

- Perkusi : Batas jantung normal


- Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur(-), gallop (-)

8
Abdomen

- Inspeksi : Luka (-), massa (-), caput medusa (-)


- Auskultasi : Bising usus (+) 12x/ menit, bruit (-), metallic sound (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-) pada regio epigastrik, massa (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-), asites (-), shifting dullness (-)
- Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

Ekstremitas

Superior: Simetris, deformitas (-), akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-), kelainan
kuku (-)
Inferior: Simetris, deformitas (-), akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)

9
Status Dermatologis

10
11
BAB II

12
Ad regio skapularis dextra tampak herald patch (panah merah) berupa plak eritema
berbatas tegas, soliter, berbentuk oval dengan ukuran numuler disertai dengan
hipopigmentasi di bagian sentral.
Ad regio torakalis anterior dan posterior serta deltoidalis ditemukan makula
eritematosa berbatas tegas, soliter, berbentuk oval hingga anular, berukuran lentikuler
hingga numuler, disertai skuama koleret perifer (panah biru) pada beberapa lesi.
Makula tersebar menurut Langer’s line, membentuk “christmas tree pattern”. Pada
pemeriksaan wood’s lamp, lesi tidak ber-fluoresensi, tidak ditemukan lesi yang
penyebabnya merupakan jamur.

13
1.4. Resume

Pasien An. K, 16 tahun, datang dengan keluhan bercak kemerahan di punggung


dan di badan depan sejak 7 hari SMRS. Bercak timbul secara mendadak, dimulai dari
punggung kanan, kemudian meluas di sekitar bercak pertama, dan muncul di sekitar
dada. Pada pemeriksaan, bercak telah menyebar hampir di seluruh punggung dan badan
depan. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa gatal pada bagian yang mengalami bercak
kemerahan, sehingga pasien menggaruk bagian tersebut.
Pasien mengaku pernah mengalami penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
di bagian punggung 2 bulan lalu. Pasien telah mencoba menggunakan krim klotrimazol
1% 3x1 hari untuk mengatasi penyakit ini, namun tidak memberikan pengaruh terhadap
bercak.
Keseharian pasien adalah sekolah online setiap hari Senin hingga Jumat. Di
sela-sela jam sekolah, pasien mendapat istirahat 30 menit sebanyak 2 kali. Setiap
harinya, pasien berada di ruangan yang memiliki pendingin ruangan. Sang ibu mengaku
bahwa kondisi tempat tinggal mereka bersih dan tidak ada keluarga yang mengalami
kejadian dengan gejala serupa.
Pada pemeriksaan fisik kulit, ditemukan herald patch (panah merah) di
skapularis dextra berupa plak eritema berbatas tegas, soliter, berbentuk oval dengan
ukuran numuler disertai dengan hipopigmentasi di bagian sentral. Ad regio torakalis
anterior dan posterior serta deltoidalis ditemukan makula eritematosa berbatas tegas,
soliter, berbentuk oval hingga anular, berukuran lentikuler hingga numuler, disertai
skuama koleret (panah biru) di beberapa lesi. Makula tersebar menurut Langer’s line,
membentuk “christmas tree pattern”. Pada pemeriksaan wood’s lamp, lesi tidak lesi
tidak ber-fluoresensi, tidak ditemukan lesi yang penyebabnya jamur.

14
1.5. Diagnosis

Diagnosis Kerja

1) Pitiriasis Rosea

Diagnosis Banding

1) Tinea Korporis
2) Sifilis Sekunder
3) Dermatitis Numularis
4) Psoriasis Gutata
5) Dermatitis Seboroik
6) Erupsi obat menyerupai Pitiriasis Rosea

1.6. Tatalaksana

Non-medikamentosa :

1) Istirahat yang cukup


2) Konsumsi makanan yang bergizi
3) Berjemur di bawah matahari selama beberapa menit setiap harinya

Medikamentosa :

1) Krim Mometasone furoate pagi dan sore jika bercak dirasa gatal
2) Echinacea purpurea 1 x 1 tablet PO, selama 10 hari
3) Desloratadine 5 mg 1x 1 hari PO, di malam hari jika dirasa gatal, selama 8 hari
4) Acyclovir 400 mg 3 x 1 tablet PO, selama 7 hari

15
1.7. Prognosis

Quo Ad vitam : Bonam


Quo Ad functionam : Bonam
Quo Ad sanationam : Bonam
Quo Ad kosmetikam : Dubia ad Bonam

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pitiriasis rosea atau bisa disebut dengan roseola annulata, atau pitiriasis
sirsinata, merupakan erupsi kulit akut yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam
waktu 3-8 minggu.1,2 Istilah pitiriasis rosea berasal dari kata “pityriasis” yang berarti
skuama, dan “rosea” yang berarti berwarna merah muda.3 Lesi pitiriasis rosea berupa
papuloskuamosa yang eritem, dikarakteristikan dengan lesi awal berupa herald patch,
yang disertai dengan kemunculan bercak oval berskuama 4-14 hari setelahnya.1,2,3

2.2. Epidemiologi
Distribusi pitiriasis rosea tersebar di seluruh dunia dan ditemukan terjadi pada
berbagai ras. Pada studi yang dilakukan oleh beberapa negara, insidensi pitiriasis rosea
berkisar antara 0,75% - 1,17%. Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan di dunia,
mendapati insidensi kasus pitiriasis rosea terjadi dalam 0,64 per 100 pasien penyakit
kulit.3 Pitiriasis rosea sendiri dapat terjadi pada semua kalangan usia dan ditemukan
paling banyak pada rentang usia 15-40 tahun. Rasio kejadian pada jenis kelamin
perempuan dan laki-laki adalah sebesar 1,5 : 1.2

2.3. Etiologi
Penyebab pitiriasis rosea belum diketahui secara pasti. Namun, diduga
penyebabnya berhubungan dengan infeksi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan/atau
HHV-6, baik itu infeksi primer, reaktivasi, atau keduanya.1,2,3 Hipotesis infeksi yang
disebabkan oleh reaktivasi virus HHV-6 dan HHV-7 ditegakkan dengan penemuan
deoxyribonucleic acid (DNA) HHV-6 dan HHV-7 di saliva individu terinfeksi sebagai
sumber reservoir virus, dan rute penyebaran virus tersebut.4 Sedangkan, penemuan
profil antibodi yang ditemukan oleh penelitian Vag menunjukkan penyebabnya
merupakan infeksi primer.5

17
Gejala infeksi saluran pernafasan atas yang mendahului erupsi kulit pitiriasis
rosea disebabkan oleh Streptococcus. Penyebab lainnya yang dapat memberikan
gambaran penyakit menyerupai pitiriasis rosea, yaitu setelah vaksinasi Bacillus
Calmette-Guerin (BCG), influenza, H1N1, difteri, varisela, hepatitis B, dan
Pneumococcus.1 Obat-obatan yang dapat menyebabkan erupsi kulit serupa dengan
pitiriasis rosea yaitu kaptopril, barbiturat, D-penicillamine, bismut, arsenik,
metoksipromazin, klonidin, interferon, ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor
tirosin kinase. Selain itu, pemberian agen biologik adalimumab dilaporkan
menyebabkan kelainan kulit serupa pitiriasis rosea. Namun, tidak ada bukti yang jelas
bahwa pitiriasis rosea dapat disebabkan oleh obat.1,2
Pada populasi umum yang sehat, dapat ditemukan prevalensi HHV yang tinggi.
Prevalensi serologi yang reaktif terhadap HHV-6 dan HHV-7 pada populasi sehat
sebesar 80-100%, dan >85%. Dari analisa tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa
HHV-7 dapat mempengaruhi, dan menyebabkan reaktivasi dari HHV-6 yang laten,
yang kemudian diikuti dengan hilangnya kemampuan HHV-7 untuk ber replikasi.
Akibatnya, persentase HHV-7 dan HHV-6 bervariasi.3

2.4. Patogenesis
Patogenesis pitiriasis rosea belum diketahui secara pasti, akibat etiologi
pitiriasis rosea yang masih diragukan.3 Jika HHV-7 dan HHV-6 merupakan penyebab
pitiriasis rosea, mekanisme mengenai bagaimana cara virus tersebut menimbulkan
gejala klinis tidak diketahui.3 Namun, terdapat perubahan aspek imunologi yang terjadi
pada pitiriasis rosea, yaitu mekanisme imunitas yang dimediasi oleh sel yang
didominasi sel T, kurangnya aktivitas sel natural killer (NK), dan sel B, dengan
peningkatan rasio CD-4 dibandingkan dengan CD-8, serta peningkatan proporsi sel
Langerhans terutama di dermis yang berperan penting dalam patogenesis pitiriasis
rosea.1,2,3 Ciri imunologis tersebut tidak spesifik dimiliki oleh pitiriasis rosea, dan dapat
terjadi pada penyakit inflamasi kulit yang disebabkan oleh imunitas yang dimediasi
sel.3 Tetapi, peristiwa imunologis tersebut menunjukkan respon tubuh dalam

18
memproses, dan mempresentasikan antigen viral.1,3 Serta temuan anti-immunoglobulin
M (Ig M)pada pasien pitiriasis rosea diasosiasikan dengan tahap eksantem dari infkesi
virus.1
Profil sitokin pada pitiriasis rosea, terjadi peningkatan interleukin-17,
interferon-ɣ, vaskular endothelial growth factor, dan interferon-inducible protein-10
(CLCX10). Peningkatan interleukin-17, dan interferon-ɣ, tidak spesifik terjadi pada
pitiriasis rosea, namun peningkatan ini konsisten dengan etiologi pitiriasis rosea yang
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus.3

2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi awal yang ditimbulkan dari pitiriasis rosea berupa tampak adanya
lesi awal yang dinamakan sebagai herald patch pada 50-90% kasus, terutama di bagian
torso (bagian yang tertutup baju) namun dapat juga terlihat di leher, atau ekstremitas
proksimal (paha atas atau lengan atas). Lesi herald patch digambarkan sebagai makula
eritematosa berbentuk oval dan anular dengan pinggiran berskuama serta memiliki
diameter 3 cm atau lebih.1,3
Pitiriasis rosea terkadang didahului dengan gejala prodromal seperti demam,
malese, mual, nyeri kepala, atralgia, masalah gastrointestinal, sakit tenggorokan dan
masalah pada saluran napas atas. Setelah itu, saat lesi timbul beberapa penderita juga
mengeluhkan adanya gatal ringan hingga sedang pada 25% kasus.1,3,6
Kemudian, akan timbul erupsi sekunder 4-10 hari setelah lesi pertama, Pada
beberapa kasus, lesi sekunder dapat timbul bersamaan dengan lesi primer.7 Lesi ini
biasanya terdapat di bagian torso di sepanjang Langer’s line dan membentuk gambaran
christmas tree di bagian punggung. Durasi rata-rata dari lesi ini selama 45 hari sampai
12 minggu. Selain ciri-ciri di atas, terdapat pula sekumpulan kriteria gambaran pitiriasis
rosea yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI), yaitu:2,6
1) Seringkali timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat berusia 10-35 tahun
serta lebih sering terjadi pada wanita.6

19
2) Kelainan kulit diawali dengan lesi primer berupa makula/ plak dengan warna
menyerupai warna kulit/ merah muda/ salmon-colored/ hiperpigmentasi yang
memiliki batas tegas berdiameter 2-4 cm, berbentuk lonjong atau bulat.
3) Lesi primer biasanya ditemukan di daerah yang tertutup baju dan jarang
ditemukan di wajah, penis, dan kulit berambut.6
4) Lesi sekunder timbul dalam jarak 2 hari-2 bulan semenjak lesi primer,
umumnya dalam 2 minggu. Lesi sekunder berupa makula, plak, atau papul
berwarna merah muda, multipel, dan memiliki ukuran lebih kecil dari lesi
primer. Tampak gambaran christmas tree pattern dari kumpulan lesi primer
yang mengikuti Langer’s line.1,6
5) Dapat ditemukan adanya demam, kelemahan pada tubuh, dan perbesaran dari
kelenjar getah bening.6

Gambar 2.1. Langer’s line.7

20
2.6. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosa pitiriasis rosea, dapat dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Tanda klasik berupa herald patch biasanya berupa plak eritematosa
berbentuk anular dengan bagian inti tertekan disertai koleret di perifer lesi.1,6 Pitiriasis
rosea umumnya terjadi di bagian dada, yaitu sebanyak 50% kasus. Kriteria diagnosis
untuk membantu penegakan diagnosis pitiriasis rosea, yaitu dari ketiga kriteria
dibawah, setidaknya terdapat satu kriteria untuk menyimpulkan bahwa seseorang
mengalami pitiriasis rosea:6
1) Makula eritematosa berbentuk sirkuler atau oval
2) Skuama di sebagian besar lesi
3) Koleret (bekas bula yang pecah) di bagian tepi lesi dengan bagian tengah bersih
pada setidaknya 2 buah lesi.
Kriteria opsional dari pitiriasis rosea, termasuk adanya distribusi lesi di daerah
torso dan ekstremitas atas bagian proksimal. Selain itu, terdapat distribusi lesi kurang
dari 10% di bagian lengan tengah sampai distal dan tungkai tengah. Distribusi dari lesi
biasanya di sepanjang tulang iga disertai dengan tampilan herald patch setidaknya 2
hari sebelum erupsi. Dalam melakukan eksklusi pitiriasis rosea, terdapat pula 3 kriteria.
Kriteria tersebut berupa beberapa vesikel berukuran kecil di bagian tengah dari dua
atau lebih lesi, lesi yang terdapat pada permukaan telapak tangan maupun kaki, dan
bukti klinis serta serologi dari sifilis sekunder.3

2.7. Diagnosis Banding


2.7.1. Tinea Korporis
Tinea korporis ialah dermatofitosis yang terdapat pada glabrous skin (kulit yang
tidak berambut), kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan pangkal paha.3 Tinea
korporis seringkali disebabkan karena dermatofit T. rubrum, E. floccosum, T.
interdigitale, M. canis, dan T. tonsurans. Pada tinea korporis, akan tampak lesi
berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas terdiri dari eritema, skuama, serta
vesikel dan papul di bagian tepi. Lesi pada tinea korporis memiliki diameter 1-5 cm

21
atau bisa lebih dan akan tampak bagian tepi aktif disertai dengan bagian tengah yang
lebih tenang (central healing). Tinea korporis juga memiliki gambaran tegas berupa
ringworm-like atau plak serpiginosa dengan skuama di tepi eritema.2,8 Pasien juga akan
mengeluhkan gatal, terutama ketika berkeringat. Untuk memastikan diagnosis dari
tinea korporis, dapat dilakukan pemeriksaan kerokan dengan menggunakan KOH.
Pemeriksaan KOH dilakukan dengan menetesi kerokan kulit dengan KOH 10%, dan
dapat ditemukan hifa panjang bersepta jika pasien terinfeksi jamur.6

22
Gambar 2.2. Tinea korporis. (A) Anular, tinea korporis dengan gambaran klasik anular
“ringworm” like dan pinggiran bersisik. (B) Polisiklik, gambaran plak eritematosa
berbentuk polisiklik multipel dan peninggian di bagian tepi. (C) Psoriasiform,
menyerupai psoriasis.3

2.7.2. Sifilis Sekunder


Sifilis sekunder (S II) merupakan suatu infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh Treponema pallidum. Lesi dari S II biasanya akan mulai timbul 6-8
minggu setelah S I,2 atau dapat timbul berbarengan dengan kemunculan chancre.3
Adapun pada S II, lesi yang timbul berupa lesi kulit polimorfik, tidak terasa gatal, lesi
berada di mukosa, seringkali disertai dengan limfadenopati.7 Lesi S II dapat disebut
sebagai syphilids dan syphiloderms apabila menyerang kulit.3
Manifestasi yang menyertai S II biasanya berupa atralgia, malese, nyeri kepala,
penurunan berat badan, anoreksia, demam yang rendah, faringitis dan nyeri pada sendi.
Sifilis sekunder dapat dibedakan menjadi S II dini dan lanjut. Pada S II dini, kelainan
kulit bersifat generalisata, simetrik, dan cenderung akan hilang lebih cepat. Pada S II
lanjut, lesi hanya berada di beberapa tempat, tidak simetrik, dan lebih lama menetap.2,9

23
Dalam membedakan diagnosis dari sifilis sekunder dengan penyakit kulit lain,
gejala yang timbul pada sifilis sekunder umumnya tidak disertai dengan rasa gatal,
sering disertai dengan limfadenitis generalisata, dan pada S II dini terdapat kelainan
yang terjadi pada bagian telapak tangan dan kaki. Pada pasien yang disuspek, dapat
dilakukan pemeriksaan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Tes akan
positif dalam rentang 3 minggu dari pembentukan chancre primer, sehingga pada
pasien dengan infeksi awal dapat ditemui hasil negatif.9

Gambar 2.3. Sifilis sekunder. Makula eritematosa di regio abdomen karena sifilis
sekunder (kiri).10 Bercak eritematosa tanpa skuama berbentuk oval (kanan).3

2.7.3. Dermatitis Numularis


Dermatitis numularis merupakan pruritus eksematosa yang dikarakteristikan
dengan lesi multipel yang membentuk seperti koin. Awalnya, lesi dapat tampak sebagai
papul atau vesikel atau dapat berupa plak yang lama-kelamaan distribusi akan simetris

24
dengan batas tegas, membentuk koin, eritematosa, dan plak eksematosa berukuran 1
hingga 10 cm. Lesi diasosiasikan dengan pruritus ringan hingga berat, keluhan pruritus
berat umumnya dialami pada fase akut. Pada fase kronis, dapat ditemukan gambaran
kulit kering bersisik, dan likenifikasi. Lokasi predileksi lesi yaitu pada ekstremitas
bawah (pria), ekstremitas atas termasuk punggung tangan (wanita), dan torso.6,10
Lesi ini dapat timbul sebagai manifestasi penyakit dermatitis atopik, eksim
asteatotik, atau dermatitis stasis. Penyebab dermatitis numularis masih tidak diketahui,
namun diduga serosis, alergi kontak sensitisasi, reaktifitas terhadap aeroalergen
lingkungan, kolonisasi Staphylococcus, penggunaan sabun yang mengiritasi dan
mengeringkan kulit, sering madi dengan air panas, kelembaban udara yang rendah,
trauma kulit (fenomena Koebner), paparan terhadap kain pakaian tertentu, implantasi
payudara, dan obat-obatan tertentu (antiviral, interferon, isotretinoin, retinoid,
ribavirin, dan logam emas) merupakan faktor pencetus terjadinya dermatitis numularis.
Pada ekstrimitas bawah, stasis vena kronis merupakan faktor risiko. Serta, pada
sebagian kecil pasien memiliki riwayat penyakit dermatitis atopik.10
Diagnosis dari penyakit dermatitis numularis didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis usia perlu diperhatikan, karena dermatitis numularis
menyerang terutama pada orang dewasa (50-65 tahun), jarang terjadi pada bayi dan
anak-anak, dengan puncak onset pada anak usia 5 tahun. Sebagian dermatitis atopi
dikaitkan dengan insidensi atopi yang tinggi. Pencetus penyakit ini yaitu, kulit kering,
fokus infeksi pada gigi, saluran napas atas atau bawah. Alergen yang dapat
mencetuskan dermatitis numularis berupa tungau debu rumah, dan Candida albicans.
Hal yang dapat memperberat penyakit yaitu stres emosional, disfungsi liver, konsumsi
alkohol berlebihan.6
Pada pemeriksaan fisik pada fase akut dapat ditemukan vesikel, erosi, dan
eksudasi, dengan lesi yang basah, beserta krusta pada dasar eritema. Pada fase kronis,
dapat ditemukan lesi plak kering, ber skuama, dan likenifikasi. Kelainan kulit dapat
meluas ke badan, wajah, leher, hingga dapat menjadi generalisata. Komplikasi yang

25
dapat timbul yaitu infeksi bakteri sekunder. Kemudian lesi menyembuh dari bagian
tengah membentuk gambaran anuler.6

Gambar 2.4. Lesi dermatitis numularis pada ekstrimitas bawah.10

2.7.4. Psoriasis Gutata


Psoriasis merupakan suatu kelainan peradangan kulit kronis yang didasari oleh
kelainan genetik dengan karakteristik gangguan pertumbuhan serta diferensiasi
epidermis. Psoriasis sendiri merupakan suatu penyakit seumur hidup dan seringkali
dijumpai pada rentang usia 15-30 tahun. Pada psoriasis tipe gutata, tampak lesi berupa
papul eruptif berdiameter 0,5 - 1,5 cm berwarna merah salmon. Gambaran lesi
berbentuk seperti tetesan air mata dan biasanya terdapat pada bagian badan atas,
ekstremitas atas, dan kepala.2, 3 ,6 Psoriasis tipe ini umum menyerang dewasa muda dan
memiliki asosiasi kuat dengan infeksi saluran pernapasan atas ataupun infeksi
streptokokus beta hemolitikus. Gejala infeksi streptokokus beta hemolitikus yang
biasanya tampak berupa faringitis, laringitis, maupun tonsilitis.2,11

26
Gambar 2.5. Psoriasis gutata pada area punggung (kiri) dan paha (kanan).11

2.7.6. Dermatitis Seboroik


Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa yang
seringkali ditemukan di area kulit dengan banyak kelenjar sebasea (wajah, kulit kepala,
telinga, tubuh bagian atas, dan fleksura). Dermatitis seboroik biasanya terjadi pada
remaja dan dewasa muda karena peningkatan aktivitas dari kelenjar sebasea yang
disebabkan karena hormon. Kelainan kulit ini umumnya akan bertambah parah di
daerah yang memiliki cuaca kering dan dingin serta ketika seseorang mengalami stres.
Adapun gambaran lesi dari dermatitis seboroik berupa lesi eritematosa disertai dengan
skuama berminyak di daerah yang kaya akan sebasea.3,6
Dermatitis seboroik yang terjadi pada bayi seringkali disebut sebagai cradle cap
dan terjadi pada 3 bulan pertama usia bayi. Gambaran berupa sisik tebal berwarna putih
kekuningan yang mengandung banyak minyak dan biasanya tidak gatal. Skuama
tersebut memiliki batas tegas dan seringkali ditemukan di daerah belakang telinga dan

27
alis. Sedangkan pada remaja dan dewasa, dermatitis seboroik tampak sebagai lesi
eritematosa berminyak, mudah terkelupas yang sering ditemui di kulit kepala, lipatan
nasolabial, telinga, alis, dan dada. Lesi dermatitis seboroik yang terdapat di dada dapat
menunjukkan gambaran petaloid atau pitiriasiformis.6,12 Lesi petaloid yang berupa
folikel eritematosa dan papul perifolikuler dengan skuama berminyak yang membentuk
gambaran kelopak bunga. Pada lesi pitiriasiform akan tampak makula berbentuk oval
berdiameter 5-15 cm yang terdistribusi di Langer’s line.13

Gambar 2.6. Dermatitis seboroik pada dada dan punggung belakang.3

28
2.7.7. Erupsi Obat Menyerupai Pitiriasis Rosea
Erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea merupakan erupsi kulit dengan
gambaran klinis menyerupai pitiriasis rosea klasik, tetapi lebih sering memiliki
gambaran yang atipikal, dan umumnya terjadi pada individu usia lanjut. Lesi umumnya
nampak lebih besar, dapat menjadi hiperpigmentasi, yang akhirnya berubah menjadi
dermatitis likenoid.2,14
Beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan erupsi kulit menyerupai pitiriasis
rosea, beberapa diantaranya yaitu kaptopril(Angiotensin Converting Enzyme/ACE
inhibitor), barbiturate, D-penicillamine, bismut, arsenik, metoksipromazin, klonidin,
interferon, ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin kinase, reaksi terhadap
logam emas.1,2,14
Manifestasi klinis dari erupsi obat golongan tertentu tersebut sangat mirip
dengan pitiriasis rosea dengan penyebab yang idiopatik. Namun, terdapat beberapa
perbedaan yang dapat ditemukan pada erupsi obat yang menyerupai pitiriasis rosea jika
dibandingkan dengan pitiriasis rosea, yaitu:14
1) Absans dari tanda patognomonik lesi awal pitiriasis rosea, yaitu Herald patch
2) Lesi kulit nampak lebih inflamasi, berwarna merah terang hingga keunguan
3) Gatal dirasakan lebih dominan, dan tidak adanya respon antihistamin
4) Peningkatan eosinofil pada darah, dan infiltrat kulit
Diagnosis banding erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea dapat disingkirkan
jika lesi mengalami perbaikan ketika obat tersebut dihentikan, dan dapat dilakukan
pemeriksaan riwayat penggunaan obat.2,14

29
Gambar 2.7. Lesi makula eritematosa tersebar di sepanjang garis Langer/Langer’s line
torso dan ekstremitas, disertai skuama disebabkan oleh imatinib mesylate.15

30
Gambar 2.8. Lesi kulit papul eritematosa tersebar di sepanjang langer’s line
disebabkan oleh nimesulide.14

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Dalam menegakkan diagnosis pitiriasis rosea, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan dermatoskop
mampu membantu membedakan pitiriasis rosea dengan kelainan kulit lain. Pada
pemeriksaan pitiriasis rosea menggunakan dermatoskop, akan tampak warna
kekuningan, dengan susunan skuama di bagian perifer, dan titik-titik pembuluh yang
terdistribusi secara meluas.1
Pada pemeriksaan histopatologi, akan tampak dermatitis perivaskular
superfisial. Selain itu, pada bagian epidermis akan tampak parakeratosis fokal,
hiperplasia, dan spongiosis fokal. Gambaran epidermis juga akan menunjukkan
eksositosis dari limfosit, spongiosis variabel, akantosis sedang, dan penipisan lapisan

31
granular. Pada area dermis, akan tampak ekstravasasi dari sel darah merah diikuti
dengan infiltrat perivaskular dari limfosit.1
Pemeriksaan darah rutin tidak terlalu dianjurkan pada penderita pitiriasis rosea
karena biasanya ditemukan hasil normal. Terkadang, pada pemeriksaan darah ini, akan
ditemui leukositosis dan peningkatan laju endap darah.3

2.9. Komplikasi
Pada umumnya pitiriasis rosea tidak menyebabkan komplikasi pada individu
yang sehat, dan jika terjadi gejala sistemik pada pitiriasis rosea biasanya hanya terjadi
secara transien. Namun, karena etiologi pitiriasis rosea tidak diketahui secara pasti,
lamanya penyembuhan penyakit, dan ketakutan pasien akan progresifitas penyakit,
maka pada 30% pasien dapat mengalami gangguan kecemasan, dan depresi, serta
menurunkan kualitas hidup.3
Pada wanita hamil, dapat terjadi komplikasi berupa abortus spontan pada 10%
populasi umum. Pada beberapa wanita hamil lainnya yang terinfeksi pitiriasis rosea
selama trimester pertama, dapat menyebabkan bayi lahir prematur, tetapi tidak ada bayi
yang lahir cacat. Karena itu, pitiriasis rosea yang timbul pada wanita hamil trimester
pertama, perlu dipantau ketat.3

2.10. Tatalaksana
Pitiriasis rosea merupakan suatu penyakit yang dapat sembuh dengan
sendirinya.1,2,3,6 Pengobatan medikamentosa dilakukan umumnya untuk meringankan
gejala pasien, yang terbagi menjadi topikal dan sistemik.6 Pengobatan topikal diberikan
untuk meringankan gejala gatal yang mengganggu, yaitu berupa: larutan anti pruritus
(calamine lotion), atau kortikosteroid topikal, atau bedak asam salisilat dengan
bubuhan menthol 0,5-1%.2 Pengobatan sistemik dapat yang diberikan berupa:2,6
1) Antihistamin, seperti setirizin 1 x1 0 mg per hari
2) Kortikosteroid sistemik
3) Eritromisin oral 4 x 250 mg per hari selama 14 hari

32
4) Asiklovir, 3 x 400 mg/hari per oral selama 7 hari, atau dapat diberikan dengan
dosis 5 x 800 mg/hari selama 7 hari. Dengan indikasi terapi pada awal
perjalanan penyakit yang disertai flu-like symptoms, atau keterlibatan kulit yang
luas
5) Fototerapi, menggunakan narrowband ultraviolet B (NB-UVB) dengan dosis
tetap 250 mj/cm2, 3 kali seminggu, selama 4 minggu
Konsumsi asiklovir dapat meningkatkan persentase kesembuhan secara tuntas
sebesar 78,6%. Serta, fototerapi UVB dalam 4 minggu mampu membantu mengurangi
derajat keparahan pitiriasis rosea. Edukasi yang perlu diberikan kepada pasien yaitu
kelainan kulit dapat sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu, dan pengobatan
bertujuan untuk mengurangi gejala.1,2,3,6

2.11. Prognosis
Pitiriasis rosea memiliki prognosis baik dan dapat sembuh dalam rentang waktu
3-8 minggu. Pada beberapa kasus dapat menetap sampai 5 bulan. Setelah sembuh,
beberapa orang dapat mengalami hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi pasca
inflamasi sementara dan biasanya dapat hilang dengan sendirinya.2 Kasus kekambuhan
dari pitiriasis rosea adalah sebesar 2% dan apabila terjadi kekambuhan, biasanya hanya
akan terjadi sekali saja.3

33
BAB III
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada kasus ini, diketahui bahwa pasien
datang dengan keluhan bercak kemerahan di punggung dan di badan depan sejak 7 hari
yang lalu. Pada awalnya, bercak timbul secara mendadak dimulai dari punggung kanan.
Bercak kemudian meluas di sekitar bercak pertama dan mulai muncul di sekitar dada.
Hal ini menunjukkan awal mulai terjadinya lesi pertama atau biasa disebut herald patch
yang kemudian diikuti dengan lesi-lesi yang timbul beberapa hari setelah lesi pertama.
Sesuai dengan manifestasi klinis pitiriasis rosea yang mengalami gatal ringan, pasien
juga mengeluhkan adanya rasa gatal di bagian yang mengalami bercak kemerahan.
Pada pemeriksaan fisik kulit, di skapularis dextra tampak plak eritema berbatas
tegas, soliter, berbentuk oval dengan ukuran numuler disertai dengan hipopigmentasi
di bagian sentral, yang merupakan herald patch, tanda patognomonik lesi awal
pitiriasis rosea. Pada regio torakalis anterior dan posterior serta deltoidalis ditemukan
makula eritematosa berbatas tegas, soliter, berbentuk oval hingga anular, berukuran
lentikuler hingga numuler, disertai skuama koleret di bagian perifer pada beberapa lesi.
Makula tersebar menurut Langer’s line, membentuk “christmas tree pattern”. Lesi
makula pada pasien sesuai dengan teori penemuan kulit pitiriasis rosea, yaitu lesi
sekunder yang timbul setelah lesi awal herald patch, dan penyebaran lesi pada pasien
ini khas pitiriasis rosea yang menyerupai “christmas tree pattern”. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan mendukung tegaknya diagnosis pitriasis rosea.
Diagnosis pitriasis rosea dapat ditegakkan pada pasien ini, karena anamnesis
dan pemeriksaan fisik pasien mendukung tegaknya diagnosis pitriasis rosea. Sesuai
dengan kriteria diagnosis pitriasis rosea, yaitu ditemukan lesi herald patch, terdapat
lesi sekunder berupa makula eritematosa berbentuk sirkuler hingga oval, dan terdapat
skuama koleret pada lesi. Lesi ditemukan di daerah predileksi yaitu, di bagian toraks
anterior dan posterior, dan di deltoid. Distribusi yang tampak khas menyerupai
“christmas tree”. Serta, pasien tidak memenuhi kriteria eksklusi pitiriasis rosea, yaitu

34
pasien tidak memiliki vesikel kecil di tengah tubuh, tidak terdapat lesi lain di luar
daerah predileksi, dan tidak pernah melakukan hubungan seksual.
Pasien mengaku pernah memiliki riwayat mengalami penyakit kulit karena
jamur 2 bulan yang lalu. Namun, ibu pasien mengaku bahwa mereka cukup menjaga
kebersihan rumah dan tubuh. Selain itu, saat ini pasien kesehariannya hanya melakukan
aktivitas ringan berupa sekolah online di ruangan yang memiliki pendingin ruangan,
sehingga keseharian pasien tidak mendukung terjadinya tinea korporis yang
memerlukan udara yang lembab. Keseharian pasien yang les pelajaran setelah sekolah,
dan di hari libur diduga dapat mencetuskan stres, sehingga daya tahan tubuh pasien
dapat menurun dan merupakan peluang untuk terjadinya pitiriasis rosea.
Diagnosis banding tinea korporis dapat disingkirkan pada pasien ini, karena
pada anamnesis pasien hanya mengeluhkan gatal ringan, sedangkan pada tinea
korporis, gatal dirasakan lebih hebat. Pada pemeriksaan fisik, meskipun lesi pasien
mirip dengan tinea korporis berupa lesi lonjong berskuama, tetapi skuama di lesi pasien
hanya tipis, tidak seperti tinea korporis yang mengalami lesi dengan skuama yang lebih
kasar, bercak pasien tidak terlihat terpisah maupun tidak tersusun lesi pinggir tersusun
polisiklik yang terdapat pada tinea korporis. Terlebih, tanda tepi aktif (meradang), dan
central healing (terdapat bagian tenang, terlihat sebagian kulit normal di lesi) yang
merupakan ciri kas tinea korporis tidak ditemukan pada pasien ini. Selain itu, ketika
dilakukan penyinaran pada lesi pasien dengan menggunakan wood’s lamps, tidak
ditemukan adanya warna kuning keemasan yang menandakan adanya infeksi jamur.
Pasien juga telah mencoba menggunakan klotrimazol 1%, tetapi tidak terjadi perubahan
pada lesi yang mendukung disingkirkannya diagnosis banding tinea korporis. Meski
demikian, untuk menyingkirkan kemungkinan pasien terinfeksi tinea korporis secara
pasti, dapat dilakukan kerokan kulit yang ditetesi KOH 10%, dan dapat ditemukan hifa
panjang bersepta jika pasien terinfeksi jamur. Tetapi, karena lesi yang disinari tidak
sugestif tinea korporis, dan sangat mengarah pada pitiriasis rosea karena itu kerok kulit
tidak dilakukan.

35
Diagnosis banding sifilis sekunder dapat disingkirkan pada pasien ini, karena
pasien belum pernah melakukan hubungan seksual, serta tidak memiliki riwayat lesi
sifilis primer berupa chancre yang mendahului, maupun sifilis primer yang terjadi
bersamaan dengan lesi sekunder (bercak selain di genital), yaitu pasien menyangkal
adanya riwayat bercak serupa pada kemaluan, dan pasien tidak mengeluhkan adanya
bercak serupa pada kemaluan saat ini. Selain itu, dari pemeriksaan fisik, daerah
penyebaran lesi tidak mencakup ekstremitas atas maupun bawah, dan pasien tidak
mengalami pembesaran kelenjar getah bening, sehingga penyingkiran diagnosis
banding sifilis sekunder semakin diperkuat.
Diagnosis banding dermatitis numularis dapat disingkirkan, karena pada
dermatitis numularis lesi khas berbentuk sirkular seperti koin yang terbentuk dari
kumpulan lesi yang berbentuk papul, vesikel, krusta, hingga likenifikasi, sedangkan
lesi pada pasien berbentuk anular hingga oval yang berupa makula hingga plak. Lesi
dermatitis numularis memiliki lokasi predileksi pada daerah tungkai bawah dan
ekstremitas atas seperti punggung tangan yang merupakan manifestasi dari dermatitis
atopi, atau dermatitis stasis, atau disebabkan oleh bahan yang iritatif, sedangkan pada
anamnesis pasien menyangkal adanya alergi makanan, menyangkal alergi debu,
menyangkal asma, dan di keluaga pasien tidak ada yang memiliki asma, serta pada
pemeriksaan fisik lesi di daerah selain regio toraks dan deltoid tidak ditemukan. Selain
itu, usia kejadian dermatitis numularis yang pada umumnya terjadi di usia lanjut tidak
sesuai pada pasien.
Diagnosis banding psoriasis gutata dapat disingkirkan, karena pada anamnesis
pasien tidak menyebutkan mengenai infeksi saluran pernafasan atas (faringitis,
laringitis, tonsilitis) mendahului gejala kulit. Dari pemeriksaan fisik, lesi psoriasis
gutata berukuran lebih kecil (0,5-1,5 cm) daripada lesi yang dialami pasien (1-3 cm),
dan lesi pasien tersusun sesuai lipatan kulit (Langer’s line), sedangkan psoriasis gutata
tersusun secara sentipetal. Selain itu, pada psoriasis gutata, skuama nya lebih tebal,
sedangkan lesi pasien berskuama halus. Namun, untuk memastikan kembali, dapat
dilakukan pemeriksaan biopsi untuk menyingkirkan diagnosis psoriasis gutata.

36
Diagnosis banding dermatitis seboroik dapat disingkirkan berdasarkan
efloresensi kulit yang timbul pada pasien. Pada dermatitis seboroik, tidak ditemukan
adanya herald patch seperti lesi yang timbul pada pasien. Lesi dermatitis seboroik
ditemukan di tubuh bagian atas, leher, kulit kepala, daerah yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, sedangkan pasien tidak mengalami lesi pada daerah presileksi
dermatitis seboroik. Skuama yang terdapat pada lesi pasien hanya tipis di pinggir lesi,
sedangkan dermatitis seboroik memiliki skuama yang lebih tebal dan berminyak.
Diagnosis banding erupsi obat menyerupai pitiriasis rosea dapat disingkirkan
karena dari anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi obat yang dapat
memicu erupsi kulit yang menyerupai pitiriasis rosea. Pemeriksaan fisik pasien
menunjukkan herald patch yang tidak terdapat pada erupsi obat menyerupai pitiriasis
rosea, lesi kulit pasien tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi, pasien tidak
mengeluhkan gatal yang hebat, yang mendukung tersingkirkannya gejala erupsi obat
menyerupai pitiriasis rosea.
Tatalaksana non-medikamentosa yang diberikan kepada pasien berupa edukasi
mengenai penyakit, anjuran beristirahat cukup, mengonsumsi makanan sehat bergizi
tinggi, serta berjemur di bawah matahari selama beberapa menit setiap harinya.
Istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan bergizi membantu meningkatkan
daya tahan tubuh, agar pitiriasis rosea yang merupakan suatu penyakit self-limiting
dapat pulih dengan cepat, dan berjemur di bawah matahari akan membantu
penyembuhan pasien, karena sinar matahari mengandung sinar UV-B sesuai dengan
tatalaksana yang dianjurkan untuk pitiriasis rosea.
Tatalaksana medikamentosa yang diberikan kepada pasien adalah krim
Mometasone furoate untuk dioleskan pagi dan sore jika bercak terasa gatal. Krim
Mometasone furoate merupakan golongan kortikosteroid yang berfungsi untuk
mengurangi inflamasi, rasa gatal, dan kemerahan. Namun dalam kasus pitiriasis rosea,
kortikosteroid topikal fungsinya hanya sebatas untuk meredakan gatal, terutama gatal
yang berat saja dan merupakan golongan obat opsional.16

37
Selain itu, pasien diberikan Echinacea purpurea 1 x 1 tablet, selama 10 hari
untuk meningkatkan imunitas dari pasien. Echinacea purpurea dapat diberikan pada
pasien karena mengandung asam kafeat, alkylamides, polisakarida, dan glikoprotein
yang berperan sebagai bahan aktif. Echinace purpurea juga dapat mempengaruhi
sistem imun non-spesifik dengan cara meningkatkan produksi interleukin (IL-1, IL-6,
IL-10) dan tumor necrosing factor (TNF-α) sehingga terjadi aktivasi imun. Fungsi dari
Echinacea purpurea mengatasi pityriasis rosea sesuai dengan natur penyakit yang
disebabkan oleh virus dan dapat sembuh dengan sendirinya.17,18
Jika pasien merasa gatal di malam hari, dapat pula diberikan Desloratadine 5
mg 1x 1 hari per oral selama 8 hari. Desloratadine yang merupakan antihistamin H1
generasi kedua dan memiliki waktu kerja lebih panjang atau long acting. Obat ini dapat
diserap lebih cepat dan dapat mencapai puncak dalam waktu 1-2 jam untuk mengurangi
pruritus yang dialami pasien.
Terakhir, pasien diberikan Acyclovir tablet 400 mg 3 x 1 tablet per oral, selama
7 hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Drago et al., dengan Acyclovir dosis 5 x
800mg per hari, pitiriasis rosea mengalami regresi lesi sebesar 79% pada hari ke 14.16
Penelitian yang dilakukan oleh Ganguly et al. pasien yang diberikan Acyclovir dengan
dosis 5 x 800mg per hari, mengalami resolusi dari lesi sebesar 86,6% pada hari ke 14.19
Penelitian yang dilakukan oleh Rassai et al. dengan pasien yang diberikan Acyclovir
dosis rendah 5 x 400mg per hari, pasien mengalami resolusi lesi sebesar 78,5% pada
hari ke 14.20 Penelitian yang dilakukan oleh Das et al. pasien yang diberikan Acyclovir
3 x 400 mg, cetirizine, dan calamin memiliki lesi yang lebih sedikit (p = 0,046), dan
respon komplit pada seluruh pasien dibandingkan dengan pasien yang hanya diberikan
cetirizine, dan calamin dengan respon komplit 83%.21 Jika dibandingkan pasien yang
diberikan Acyclovir dosis tinggi, pasien yang diberikan Acyclovir dosis rendah
memiliki resolusi lesi yang tidak jauh berbeda, dan dengan dosis obat yang lebih rendah
efek samping Acyclovir seperti malese, mual, muntah, sindrom Steven-Johnson bisa
dihindari, oleh karena itu terapi Acyclovir pada pasien ini diberikan dosis rendah (3 x

38
400mg/ hari).22 Serta, Acyclovir berperan sebagai antiviral bagi virus HHV-6 dan 7
yang dicurigai memiliki korelasi dengan terjadinya pitiriasis rosea.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Litchman G, Nair PA, Le JK. Pityriasis Rosea. In: Crane J, Verma S, Oakley A,
editors. StatPearls. Treasure Island, Florida: StatPearls Publishing; 2020.
2. Djuanda A. Pitiriasis Rosea. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2019.
3. Clark M, Gudjonsson JE. Pityriasis Rosea. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors. Fitzpatrick's Dermatology. 9
ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2019.
4. Watanabe T, Kawamura T, Aquilino EA, Blauvelt A, Jacob SE, Orenstein JM,
Black JB. Pityriasis rosea is associated with systemic active infection with both
human herpesvirus-7 and human herpesvirus-6. Journal of investigative
dermatology. 2002 Oct 1;119(4):793-7.
5. Vág T, Sonkoly E, Kárpáti S, Kemény B, Ongrádi J. Avidity of antibodies to
human herpesvirus 7 suggests primary infection in young adults with pityriasis
rosea. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology. 2004
Nov;18(6):738-40.
6. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi Danang
D. Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI. 2017.
7. Paul SP. Biodynamic excisional skin tension lines for surgical excisions:
untangling the science. The Annals of The Royal College of Surgeons of England.
2018 Mar;100(4):330-7.
8. Ely JW, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis and Management of Tinea Infections.
American Family Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10.
9. Mattei PL, Beachkofsky TM, Gilson RT, Wisco OJ. Syphilis: a reemerging
infection. American family physician. 2012 Sep 1;86(5):433-40.

40
10. Hardin CA, Love LW, Farci F. Nummular Dermatitis. In : StatPearls. StatPearls
Publishing, Treasure Island, Florida; 2020.
11. Raychaudhuri SK, Maverakis E, Raychaudhuri SP. Diagnosis and classification of
psoriasis. Autoimmunity reviews. 2014 Apr 1;13(4-5):490-5.
12. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic
dermatitis. American family physician. 2015 Feb 1;91(3):185-90.
13. Borda LJ, Wikramanayake TC. Seborrheic dermatitis and dandruff: a
comprehensive review. Journal of clinical and investigative dermatology. 2015
Dec;3(2).
14. Panda M, Patro N, Jena M, Dash M, Mishra S. Pityriasis rosea like drug rash–a
need to identify the disease in childhood. Journal of clinical and diagnostic
research: JCDR. 2014 Aug;8(8):YD01.
15. Cho AY, Kim DH, Im M, Lee Y, Seo YJ, Lee JH. Pityriasis rosea-like drug
eruption induced by imatinib mesylate (Gleevec (TM)). Ann Dermatol. 2011 Dec
1;23(Suppl 3):S360-3.
16. Mahajan K, Relhan V, Relhan AK, Garg VK. Pityriasis rosea: An update on
etiopathogenesis and management of difficult aspects. Indian journal of
dermatology. 2016 Jul;61(4):375.
17. Tabassum N, Hamdani M. Plants used to treat skin diseases. Pharmacognosy
reviews. 2014 Jan;8(15):52.
18. Wulan IG, Agusni I. Penggunaan Imunomodulator Untuk Berbagai Infeksi Virus
Pada Kulit (Immunomodulators for a Variety of Viral Infections of The Skin).
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (Periodical of Dermatology and
Venerology). 2015;27(1):63-9
19. Ganguly S. A randomized, double-blind, placebo-controlled study of efficacy of
oral acyclovir in the treatment of pityriasis rosea. Journal of clinical and diagnostic
research: JCDR. 2014 May;8(5):YC01.
20. Rassai S, Feily A, Sina N, Abtahian SA. Low dose of acyclovir may be an effective
treatment against pityriasis rosea: a random investigator‐blind clinical trial on 64

41
patients. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology.
2011 Jan;25(1):24-6.
21. Das A, Sil A, Das NK, Roy K, Das AK, Bandyopadhyay D. Acyclovir in pityriasis
rosea: An observer-blind, randomized controlled trial of effectiveness, safety and
tolerability. Indian dermatology online journal. 2015 May;6(3):181.
22. Taylor M, Gerriets V. Acyclovir. StatPearls. Treasure Island, Florida: StatPearls
Publishing;2021.

42

Anda mungkin juga menyukai