Anda di halaman 1dari 26

Case Report

TINEA KORPORIS

Disusun Oleh:
Muhammad Imam Nur, S.Ked (H1AP14040)

Pembimbing:
dr. Bernadya Yogatri Anjuwita Saputri, M.Ked Klin, Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD DR. M. YUNUS PROVINSI BENGKULU
PROGRAM STUDI PROFESI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama &NPM : Muhammad Imam Nur (H1AP14040)


Fakultas : Kedokteran
Judul : Tinea Korporis
Bagian : Ilmu Kulit dan Kelamin
Pembimbing : dr. Bernadya Yogatri Anjuwita Saputri, Sp.DV

Bengkulu, 9 November 2020


Pembimbing

dr. Bernadya Yogatri Anjuwita Saputri, M.ked Klin, Sp.DV

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M.
Yunus, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Bernadya Yogatri Anjuwita Saputri, M.Ked Klin, Sp.DV sebagai pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan kasus ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus
ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, 9 November 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

BAB II. LAPORAN KASUS ............................................................................... 2

2.1 Identitas Pasien ........................................................................................... 2

2.2 Anamnesis .................................................................................................. 2

2.2.1 Keluhan Utama .................................................................................... 2

2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit ................................................................ 2

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu ..................................................................... 3

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga .................................................................. 3

2.2.5 Riwayat Pengobatan ............................................................................. 3

2.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 3

2.3.1 Status Generalis ................................................................................... 3

2.3.2 Status Dermatologis ............................................................................. 5

2.4 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 6

2.5 Diagnosis Kerja .......................................................................................... 7

2.6 Diagnosa Banding ...................................................................................... 7

2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................... 7

2.8 Edukasi....................................................................................................... 7

2.9 Prognosis .................................................................................................... 8

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9

iv
3.1 Definisi....................................................................................................... 9

3.2 Etiologi dan Faktor Risiko .......................................................................... 9

3.3 Epidemiologi .............................................................................................. 9

3.4 Patofisiologi ............................................................................................. 10

3.5 Gejala klinis ............................................................................................. 12

3.6 Cara Penularan dan Pencegahan ............................................................... 12

3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding ............................................................. 13

3.8 Penatalaksanaan........................................................................................ 14

3.9 Komplikasi ............................................................................................... 14

3.10 Prognosis ................................................................................................ 14

BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................. 15

BAB V. KESIMPULAN .................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 20

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Klinis Pasien ..................................................................................... 6

Gambar 3.1 Patofisiologi epidermomikosis (epidermal dermatofitosis) .............. 11

vi
BAB I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu
dan kelembaban tinggi hingga menjadi keadaan yang baik bagi pertumbuhan
jamur, oleh sebab itu jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat. Infeksi
jamur pada permukaan kulit atau mikosis superfisialis diklasifikasikan menjadi
dermatofitosis dan nondermatofitosis. 1
Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki sifat
mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Penularan terjadi melalui kontak
langsung dengan agen penyebab. Sumber penularan dapat berasal dari manusia
(jamur antropofilik), binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik). 1,2
Pembagian dermatofitosis yang banyak dianut adalah berdasarkan lokasi,
yaitu tinea kapitis (dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala), tinea barbe
(dermatofitosis pada dagu dan jenggot), tinea kruris (dermatofitosis pada daerah
genitokrural, sekitar anus, bokong, kadang sampai perut bagian bawah), tenia
pedis et manum (dermatofitosis pada kaki dan tangan), tinea unguium
(dermatofitosis pada kuku jari dan kaki), dan tinea korporis (dermatofitosis pada
bagian lain yang tidak termasuk bentuk dari 5 tinea yang telah disebutkan). 2,3
Tinea kkorporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, kurap, herpes sircine trichophytique, merupakan penyakit
kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang
daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai. 3
Insiden tinea korporis dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering
menyerang orang dewasa dan dapat menyerang pria dan wanita. Insiden
meningkat pada kelembapan udara yang tinggi. Penyakit ini tersebar diseluruh
dunia, terutama pada daerah tropis.2,4
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk lebih memahami
tentang tinea korporis yang sering ditemukan sehingga dapat melakukan diagnose
dan penatalaksaan dengan tepat.

1
BAB II. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. DN
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 5 tahun
Alamat : Manna
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Suku : Melayu
Pendidikan : Belum sekolah
Tanggal Berobat : 2 November 2020
No RM : 691058

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan
bapak pasien pada tanggal 2 November 2020.

2.2.1 Keluhan Utama


Bercak keputihan di kedua kaki, tangan, perut dan punggung disertai rasa
gatal sejak ± 6 bulan yang lalu.

2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit


Awalnya muncul bercak berwarna keputihan berukuran sebesar koin di
kedua kaki pasien di daerah bawah lutut sejak 6 bulan yang lalu. bercak yang
timbul disertai dengan rasa gatal sehingga pasien sering menggaruknya, rasa gatal
makin bertambah apabila pasien berkeringat dan saat cuaca panas. Kemudian
bercak tersebut semakin bertambah luas menjadi sebesar telus ayam dan rasa gatal
makin bertambah. ± 1 bulan yang lalu kembali timbul keluhan bercak keputihan
yang sama menyebar di punggung, perut dan kedua tangan pasien.

2
Orang tua pasien menyangkal adanya riwayat luka keluhan kulit lain
sebelumnya di area tempat timbulnya bercak keputihan, dan riwayat keluhan
sistemik seperti demam juga disangkal,
Pasien tidak pernah berobat ke dokter sebelumnya dan hanya membeli
obat salep sendiri (namun pasien lupa namanya), pasien memakai salep tersebut
apabila terasa gatal. Walaupun rasa gatal berkurang tetapi bercak keputihan
bertambah lebar.
Riwayat mandi dan ganti pakaian 2 kali sehari, handuk dipakai sendirian.
Karena gatal yang tidak berkurang dan bercak semakin melebar, akhirnya pasien
memutuskan untuk berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD M.Yunus pada
tanggal 2 November 2020.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit kulit lain, asma, rhinitis, alergi terhadap makanan dan obat-obatan
disangkal. Selain itu, Pasien belum pernah dirawat inap maupun menjalani
tindakan operasi sebelumnya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
seperti pasien. Riwayat penyakit kulit, asma, rhinitis alergi, alergi makanan dan
obat-obatan dalam keluarga disangkal.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Saat ini pasien sedang tidak mengonsumsi obat-obatan apapun.

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 2 November 2020)


2.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88x/menit

3
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : Afebris
Berat Badan : 15 kg

Kepala : Normocephali, jejas (-), rambut tidak mudah rontok dan berwarna
hitam tersebar merata, kelainan kulit (-)
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), pupil bulat isokor (+/+), refleks pupil langsung (+
/+), refleks pupil tidak langsung (+/+), mata cekung (-/-)
Hidung : Deformitas septum nasi (-),nafas cuping hidung (-), deviasi (-),
sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan (-/-)
Telinga : Otore (-/-), serumen (+/+), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan
mastoid (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), pucat (-), lidah kotor (-
), gusi berdarah (-), caries gigi (-), stomatitis angularis (-), Tonsil
T1-T1, faring hiperemis (-), nyeri saat menelan (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel. tiroid (-), trakea teraba
ditengah, kelainan kulit (-)
Thorax I: Pergerakan dinding dada simetris saat pernapasan statis-
Anterior dinamis, retraksi dinding dada (-), deformitas (-), sela iga
melebar (-), spider nevi (-), pemakaian otot bantu napas (-
), kelainan kulit (-)
P: Stem fremitus pada kanan dan kiri sama, ekspansi dinding
dada simetris, nyeri tekan (-)
P: Sonor pada seluruh lapang paru (+/+)

A: Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-).


Posterior I: Pergerakan dinding dada simetris saat pernapasan statis
dan dinamis, retraksi dinding dada (-), deformitas (-), sela
iga melebar (-), spider nevi (-), pemakaian otot bantu
napas (-), kelainan tulang belakang (-),terdapat kelainan

4
kulit (lihat status dermatologis)

P: Stem fremitus kanan sama dengan kiri sama


P: Sonor pada seluruh lapang paru (+/+)
A: Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-).
Cor I: Iktus kordis tidak terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba
P: Batas jantung sulit dinilai
A: Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-), irama
reguler
Abdomen I: Perut datar, simetris, striae (-), luka bekas operasi(-), caput
medusa (-), skar (-), terdapat kelainan kulit (lihat status
dermatologis)
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotment ginjal (-)
P: Timpani
A: Bising usus (+) normal

Extremitas Sianosis (-), edema -/-, akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, terdapat
Superior kelainan kulit (lihat status dermatologis)

Extremitas Sianosis (-), edema -/-, akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, terdapat
inferior kelainan kulit (lihat status dermatologis)

2.3.2 Status Dermatologis


Lokasi : Kedua kaki bagian bawah, kedua lengan bawah, perut dan
punggung.
Distribusi : Generalisata
Efloresensi : Tampak multiple makula hipopigmentasi berbentuk bulat dan
lonjong dengan ukuran terkecil 2x1cm dan terbesar 6x8cm,
batas tegas, tepi lebih aktif dan meninggi berbentuk polisiklik
papul di tepi, serta gambaran yang tenang di bagian tengahnya.

5
Gambar 2.1 Klinis Pasien

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan sarana.
Namun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini adalah kerokan kulit dengan
Kalium Hidroksida (KOH) 20%. Hasilnya : ditemukan adanya hifa
panjang bersekat maupun spora yang berderet (antrospora).

2. Pemeriksaan Lampu Wood


Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan dengan pitiriasis versikolor
yang akan menunjukkan floresensi kulit berwarna kuning keemasan
sedangkan pada tinea korporis berwarna hijau kekuningan.

3. Pembiakan

6
Pembiakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur, dengan
menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud yang dapat ditambahkan
antibiotik kloramfenikol untuk mencegah pertumbuhan bakteri.

2.5 Diagnosa Kerja


Tinea Korporis

2.6 Diagnosa Banding


1. Pitiriasis Versikolor
2. Pitiriasis Rosea
3. Pitiriasis Alba
4. Psoriasis Vulgaris
5. Morbus Hansen tipe PB

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea korporis yaitu dengan memberikan farmakologi,
berupa:
 Terapi Causal :
 Topikal
Terbinafin cream 2 kali sehari, dioleskan tipis–tipis pada lesi selama
2 minggu.
 Sistemik:
Griseofulvin pulv 2x125mg selama 2 minggu.

 Terapi Simptomatik :
CTM pulv 1x2,5mg.

2.8 Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan cara penularannya.
 Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan
lingkungan tempat tinggal
 Menganjurkan untuk menjaga daerah lesi tetap kering.

7
 Menganjurkan untuk mandi dua kali sehari.
 Menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat,
menggunakan pakaian yang menyerap keringat seperti katun, tidak ketat
dan diganti setiap hari.
 Menghindari pemakaian handuk dan baju secara bersama – sama.
 Menghindari garukan apabila gatal, karena garukan dapat beresiko
menimbulkan luka dan menyebabkan infeksi.

2.9 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberi prognosis yang baik
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

8
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, herpes
sircine trichophytique) atau yang dikenal dengan kurap adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit
tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai. 1,2,3

3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Terdapat 3 etiologi tinea korporis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Ketiga jamur ini disebut dengan dermatofit. Trichophyton
rubrum dan Trichophyton interdigitale merupakan etiologi tersering pada tinea
korporis. Microsporum canis merupakan penyebab tinea yang dapat menyebar ke
anak-anak dari hewan domestik. Spesies microsporum lainnya yang dapat
ditemukan dari tanah maupun hewan adalah Microsporum gypseum.2
Faktor risiko berperan penting dalam kejadian tinea korporis. Infeksi
jamur, tidak seperti infeksi bakteri dan virus yang mudah menyebar dan
menyebabkan penyakit, tidak dapat berkembang tanpa lingkungan yang memadai
serta kontak langsung terhadap etiologi. Berikut merupakan faktor risiko pada
tinea korporis: 4,5
 Lingkungan yang hangat dan lembab

 Kontak dengan manusia dan hewan yang terjangkit dermatofit

 Paparan tanah yang terkontaminasi dan fomit (benda yang dapat membawa

infeksi seperti baju, sprei, tikar atletik, dan furniture)


 Paparan rekreasional dan okupasional, misal pada gulat

 Gangguan sistem imun, misal pada diabetes melitus, limfoma, dan pasien usia

tua.

3.3 Epidemiologi
Secara epidemiologi dapat menyerang seluruh umur tetapi lebih sering
pada dewasa yang menyerang wanita dan pria, bentuk dengan tanda radang lebih

9
nyata, sering dijumpai pada anak – anak daripada orang dewasa karena umumnya
mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Insiden penyakit ini meningkat pada
kelembapan udara yang tinggi dan dipegaruhi juga oleh kebersihan badan dan
lingkungan.1
Penyakit ini masih banyak terdapat di Indonesia dan masih merupakan
salah satu penyakit rakyat. Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati urutan
kedua setelah dermatitis. Di daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Menado, keadaanya kurang lebih sama, yakni menempati urutan
kedua sampai keempat terbanyak dibandingkan golongan penyakit lainnya. 1

3.4 Patofisiologi
Penempelan dermatofit pada kulit mengawali patofisiologi tinea korporis.
Setelah manusia terkena paparan dari dermatofit, dermatofit harus melewati
berbagai pertahan kulit terlebih dahulu, seperti sebum dan koloni bakteri, sebelum
hifanya berkembang di jaringan keratin. Proses masuknya jamur ke dalam kulit
dibagi menjadi 3 fase, yaitu penempelan, invasi, dan respon tubuh.6
a) Fase Penempelan
Diawali dengan spora aseksual jatuh ke kulit dan menghasilkan enzim,
seperti protease dan lipase, fase penempelan dimulai. Enzim yang dihasilkan
dapat mempererat penempelan dan invasi ke dalam kulit. Setelah berhasil
menempel, spora mulai berkembang untuk invasi. 6

b) Fase Invasi
Pada fase invasi, adanya trauma dan pengikisan kulit dapat
mempermudah masuknya dermatofit ke dalam kulit. Invasi dilakukan dengan
sekreasi protease dan lipase oleh jamur. Selain menghancurkan keratin, keratin
juga digunakan oleh dermatofit sebagai sumber nutrisi. 6

c) Fase Respon
Setelah terjadinya invasi, tubuh manusia sebagai host berespon dengan
menghasilkan asam lemak fungistatik, meningkatnya proliferasi epidermis, dan
menghasilkan mediator inflamasi. Keratinosit merupakan barrier pertama tubuh

10
pada infeksi dermatofit, dimana keratinosit meningkatkan proliferasi agar
mempercepat pengikisan kulit, serta menghasilkan peptida mikrobial dan
sitokin. Respon inflamasi yang terjadi menghasilkan lesi yang gatal, merah,
dan bengkak.2,6

enzim keratolitik kolonisasi hifa

dermatofita

sel
inflamasi

Gambar 3.1 Patofisiologi epidermomikosis (epidermal dermatofitosis)

Untuk bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk


tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara: 2,5,7
 penyamaran dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehingga jamur dapat bertahan terhadap
fagositosis.
 pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu, yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
 penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease, yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur. Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam
stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas
dan meninggi.

11
3.5 Gejala klinis
Mula-mula timbul lesi kulit berupa bercak eritematosa yang gatal,
terutama bila berkeringat. Olah karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas,
terutama pada daerah kulit yang lembab. Kelainan yang dilihat dalam klinik
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih
tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula tetlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polikistik, karena
beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih
nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Tinea korporis yang
menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak menunjukkan tanda-tanda
radang yang akut. Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, dapat
menyebar luas dan kadang berbentuk lingkaran yang dapat diasumsikan sebagai
penampakan granulomatosa.1

3.6 Cara Penularan dan Pencegahan


Penularan tinea didapatkan dengan cara bersentuhan dengan kulit pasien
yang terinfeksi ataupun bintang peliharaan, dapat juga dengan cara menyentuh
permukaan benda yang telah digunakan penderita seperti pakaian, handuk, tempat
tidur, sprei dan sisir.8
Adapun cara untuk mencegah penularan tersebut dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:8
 Menjaga kebersihan
 Biasakan mencuci tangan
 Jangan menggunakan pakaian yang lembab atau basah dalam waktu yang
lama
 Periksakan selalu hewan peliharaan yang dimiliki agar terhindar dari
penularan lewat binatang peliharaan
 Hindari kebiasaan meminjam atau meminjamkan barang pribadi.

12
3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan berdasarkan penampakan gejala
klinis dan lokalisasinya. Pemeriksaan KOH atau kultur dapat dilakukan ketika
penampakan gejala klinik tersebut tidak atipikal. Pada pemeriksaan KOH akan
tampak dermatofit yang memiliki septa dan percabangan hifa. Sedangkan pada
pemeriksaan kultur untuk menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis. 1,9
Adapun diagnosis banding dari tinea korporis antara lain: 9

Diagnosis banding Yang membedakan


Psoriasis Sisik abu-abu atau perak; pitting kuku; 70% anak
yang terkena memiliki riwayat keluarga psoriasis.
Dermatitis atopi Riwayat pribadi atau keluarga atopi; kecil
kemungkinannya untuk memiliki perbatasan aktif
dengan pembukaan pusat; lesi lichenifikasi

Eritema multiforme Target lesion; onset akut; tidak memiliki sisik;


memiliki lesi oral
Fixed drug eruption Agak hitam; eritematosa; biasanya lesi tunggal,
tidak bersisik; paling sering dipicu oleh
penggunaan sulfa, acetaminophen, ibuprofen, atau
antibiotik

Granuloma annulare Tidak memiliki sisik, vesikel, atau pustula; titik


gatal; halus; umumnya pada dorsum tangan atau
kaki
Nummular eczema Sisik yang lebih rapat; memiliki central clearing
Pityriasis rosea herald patch Biasanya remaja dengan lesi tunggal di leher,
badan, atau ekstremitas proksimal; pruritus dari
herald patch; berkembang menjadi ruam umum
dalam satu hingga tiga minggu
Dermatitis seboroik Sisik berminyak pada dasar eritematosa dengan

13
distribusi khas yang melibatkan lipatan nasolabial,
garis rambut, alis, lipatan postauricular, dada; lesi
annular lebih jarang terjadi

3.8 Penatalaksanaan
Terapi dari dermatofitosis dapat diberikan terapi topikal maupun terapi
oral. Terapi korporis lokal biasanya merespon terpai topikal yang diberikan sekali
atau dua kali sehari selama dua minggu atau tiga minggu.9 Adapun pilihan terapi
topikal yang dapat diberikan adalah berupa golongan alilamin (krim terbinafin,
butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.1 Terapi antifungal dan terapi oral
dapat diindikasi pada penyakit yang luas, pengobatan topikal yang gagal, dan
pasien imunokompromais.9 Berikut terapi antifungal yang disarankan berupa krim
mikanozol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. Sedangkan
terapi oral dapat diberikan terbinafin 1x250 mg/hari selama 2 minggu atau
diberikan ketakonazol 200 mg/hari.1

3.9 Komplikasi
Komplikasi pada infeksi jamur jarang terjadi. Majocchi granuloma
merupakan komplikasi infeksi jamur yang langka dimana dermatofit menyerang
melalui folikel dan masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan. Lesi
melibatkan folikel rambut dan muncul sebagai nodul eritematosa atau papula. 10

3.10 Prognosis
Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh,
kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. 1

Quo ad vitam : bonam


Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam

14
BAB IV. PEMBAHASAN

Pada kasus ini ditegakkan diagnosa tinea korporis bedasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologik meskipun tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang karena keterbatasan alat. Dari anamnesis diketahui An.
DN (5 tahun) diantar bapaknya berobat dengan keluhan muncul bercak berwarna
keputihan berukuran sebesar koin di kedua kaki pasien di daerah bawah lutut
sejak 6 bulan yang lalu, bercak yang timbul disertai dengan rasa gatal sehingga
pasien sering menggaruknya, rasa gatal makin bertambah apabila pasien
berkeringat dan saat cuaca panas. Kemudian bercak tersebut semakin bertambah
luas menjadi sebesar telus ayam dan rasa gatal makin bertambah. ± 1 bulan yang
lalu kembali timbul keluhan bercak keputihan yang sama menyebar di punggung,
perut dan kedua tangan pasien. Pasien tidak pernah berobat ke dokter sebelumnya
dan hanya membeli obat salep sendiri (namun pasien lupa namanya), pasien
memakai salep tersebut apabila terasa gatal. Walaupun rasa gatal berkurang tetapi
bercak keputihan bertambah lebar.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan multipel makula hipopigmentasi
berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran terkecil 2x1cm dan terbesar 6x8cm,
batas tegas, tepi lebih aktif dan meninggi berbentuk polisiklik papul di tepi, serta
gambaran yang tenang di bagian tengahnya. Lesi tersebar generalisata di daerah
kedua kaki bagian bawah, kedua tangan bawah, punggung dan perut.
Dari keluhan yang disampaikan oleh pasien, merupakan gejala klinis dari
dermatofitosis yaitu gejala subjektif berupa rasa gatal terutama jika berkeringat
dan gejala objektif yaitu makula dengan tepi yang lebih aktif meskipunpada
umumnya berupa lesi hiperpigmentasi dibanding hipopigmentasi. Oleh karena
gatal dan digaruk, lesi akan meluas terutama pada daerah yang lembab.
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi lesi yang timbul, pada pasien ini
yaitu di perut kiri bawah digolongkan sebagai tinea korporis, karena tempat
predileksi tinea ini menyerang daerah kulit tak berambut pada tungkai bawah,
lengan bawah, punggung dan perut. Perlu dipertimbangkan juga riwayat

15
penggunaan salep yang dibeli di warung kemungkinan merupakan kortikosteroid
yang dapat memperberat keadaan lesi dan mengaburkan tanda khas dari tinea.
Timbulnya kelainan pada kulit disebabkan oleh dermatofita yang
melepaskan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis menimbulkan
peradangan. Respon terhadap inflamasi dapat berupa eritema, papulasi, dan
kadang vesikulasi. Karena pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam
stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan
meninggi.
Untuk lebih memastikan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan kerokan
kulit dengan KOH 20% yang akan ditemukan adanya hifa panjang bersekat
maupun spora yang berderet (antrospora). Bahan pemeriksaan mikologik diambil
dan dikumpulkan sebagai berikut:
 tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70%.
 untuk kulit tidak berambut (glabrous skin), dari bagian tepi kelainan sampai
dengan bagian sedikit iluar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau
tumpul steril.
 sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan kalium hidroksida untuk kulit dan kuku 20%,
rambut 10%.
 setelah sediaan tercampur dengan larutan kalium hidroksida sediaan ditungu
selama 15 – 20 menit.
 untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan
basah diatas api kecil. Pada saat keluar mulai keluar uap dari sediaan,
pemanasan sudah cukup.
 pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula –
mula pembesaran 10x10, kemudian 10x45.

Hifa adalah elemen terkecil dari jamur berupa benang–benang filamen


yang terdiri dari sel–sel yang mempunyai dinding, protoplasma, inti dan biasanya
mempunyi sekat. Hifa yang tidak mempunyai sekat disebut hifa sunositik. Hifa
berkembang biak dan tumbuh menurut arah panjangnya dengan membentuk

16
spora. Pada sediaan kulit, hifa terlihat sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat
dan bercabang, maupun spora berderat pada kelainan kulit lama atau sudah
diobati.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
sinar Wood dan pembiakan. Pemeriksaan sinar Wood adalah sinar ultraviolet yang
setelah melewati suatu “saringan wood”, sinar yang tadinya polikromatis menjadi
monokromatis dengan panjang gelombang 3600 A. Sinar ini tidak dapat dilihat.
Bila sinar ini diarahkan ke kulit atau rambut yang mengalami infeksi oleh jamur–
jamur tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat, dengan memberi
warna kehijauan atau fluoresensi. Apabila pemeriksaan dengan cara ini memberi
flouresensi, pemeriksaan sinar wood disebut positif dan negatif jika flouresensi
tidak ada. Jamur–jamur yang dapat memberikan flouresensi adalah Microsporum
lanosum, Microsporum audouinii, M. canis dan Malassezia furfur (penyebab tenia
versikolor). Pada tinea akan tampak floresensi kulit berwarna hijau kekuningan.
Pembiakan dilakukan untuk menyokong diagnosis pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Medium yang digunakan
adalah dekstrosa Sabouraud, pada agar ini ditambahkan antibiotik kloramfenikol
untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.
Penatalaksanaan pada pasien meliputi umum dan khusus, pada
pentalalaksanaan umum adalah memberikan edukasi pada pasien untuk meningkat
kebersihan badan karena penyakit ini juga dipengaruhi oleh kebersihan
lingkungan dan kelembapan.
Penatalaksanaan tinea korporis secara khusus meliputi pemberian obat
sistemik berupa terbinafin 1x250mg selama 2 minggu sebagai obat pilihan
pertama. Obat alternatif yang dapat digunakan adalah itrakonazol 2x100mg
selama 2 minggu, griseofulvin 500mg atau 10-25mg/kgBB selama 2-4 minggu,
dan ketokonazol 200mg. terbinafin dan griseofulvin hanya boleh diberikan pada
anak diatas 4 tahun. Pasien pada kasus ini anak berusia 5 tahun dengan berat
badan 15 kg diberi griseofulvin 2x125mg selama 2 minggu. Griseofulvin
merupakan antifungal yang bersifat fungistatik. Griseofulvin kurang baik

17
diabsorbsi dan terkonsentrasi dalam stratum korneum, dimana akan menghambat
pertumbuhan hifa. Didalam jamur, griseofulvin akan berinteraksi dengan
mikrotubulus dan mematahkan gelondong mikotik yang menyebabkan
penghambatan pertumbuhan jamur. Hanya hifa yang bertumbuh dengan aktif yang
terpengaruh.
Pemberian obat topikal pilihan pertama yaitu anti jamur golongan alilamin
(krim terbinafin) sekali sehari selama 1-2 minggu. Obat antijamur topikal
alternatif yang dapat diberikan adalah golongan azol misalnya krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari sealma 4-6 minggu. Obat topical yang
diberikan kepada pasien dalam kasus ini adalah krim terbinafin 1% dipakai 2 kali
sehari. Terbinafin adalah suatu obat alilamin yang memblokir sistesis ergosterol
melalui penghambatan epoxide squalen. Mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat squalene ekposidase, enzim yang diperlukan untuk mengonversi
squalen menjadi squalen epoksid. Terbinafin sangat aktif terhadap dermatofita
dengan aktivitas lebih baik daripada itrakonazol.
Pada pasien juga diberikan chlorpheniramine maleate atau CTM 1x2,5mg
yang merupakan antihistamin generasi pertama untuk mengatasi rasa gatal.

18
BAB V. KESIMPULAN

Tinea Korporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, kurap, herpes sircine trichophytique, merupakan penyakit
kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang
daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Manifestasi
klinis mula-mula timbul lesi kulit berupa bercak eritematosa yang gatal, terutama
bila berkeringat. lesi berbentuk makula/ plak yang merah/ hiperpigmentasi dengan
tepi aktif dan penyembuhan sentral, skuama. Pada tepi lesi di jumpai papula–
papula atau vesikel yang merupakan tanda peradangan. Kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi–lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak
terpisah satu dengan yang lainnya. Gambaran lesi dapat polisiklik, anular atau
geografis. Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak
menunjukkan tanda-tanda radang yang akut.
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
yaitu pemeriksaan dengan lampu Wood akan tampak floresensi kulit berwarna
hijau kekuningan , pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 20% yang
akan ditemukan adanya hifa panjang bersekat maupun spora yang berderet
(antrospora) serta pembiakan dengan media agar dekstrosa Sabouraud yang
ditambahkan antbiotik kloramfenikol.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, S., Sri A. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2003
2. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller AS, Leffell D. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York: McGraw-Hill,
2011.
3. Braun CA. Anderson CM. Phatophysiology Functional Alterations in Human
Health. United Stated: Lipincott Wiliams and Wilkins: 2007.p.114-119.
4. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone Ma. Diagnosis and management of tinea
infections. American family physician. 2014 Nov 15;90(10).
5. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea korporis, tinea cruris, and tinea
pedis: A comprehensive review. Indian dermatology online journal. 2016
Mar;7(2):77.
6. Nenoff P, Krüger C, Ginter‐Hanselmayer G, Tietz HJ. Mycology–an update.
Part 1: dermatomycoses: causative agents, epidemiology and pathogenesis.
JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft. 2014 Mar
1;12(3):188-210.
7. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone Ma. Diagnosis and management of tinea
infections. American family physician. 2014 Nov 15;90(10).
8. Kurniati, Cita Rosita. Eritopatogenesis Dermatofitosis. Dept./SMF Ilmu Kulit
dan Kelamin. FK UNAIR. RSUD Dr. Soetomo. 2008
9. John W, ELY, dkk. Diagnosis and Management of Tinea Infections.
University of Lowa Carver Collage of Medicine, Jowa City, Jowa. 2014
10. Garrett Yee; Ahmad M. Al Aboud. Tinea Korporis. Starpeals. NCBI
Bookshelf. 2020

20

Anda mungkin juga menyukai