Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Umur : 34 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Unaaha, Kendari

Suku : Tolaki

Pekerjaan : PNS

Tanggal masuk : 11 September 2018

No. Rekam Medik :

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama Sesak nafas

2. Riwayat penyakit sekarang : PBM rujukan RS Setia Bunda Unaaha dengan

G2P1A0 datang dengan keluhan sesak nafas sejak ±4 hari yang lalu yang

dirasa semakin memberat. Keluhan ini baru dialami saat hamil. Sesak nafas

disertai dengan nyeri kepala (+), pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu

hati (-). Pelepasan berupa lender (+), darah (-), dan air - air (-). Hipertensi (-),

Diabetes mellitus (-), Asma (-), Alergi (-). Riwayat haid : Pasien haid tiap

bulan dengan interval waktu 28 – 30 hari dengan lama 4 – 5 hari. Riwayat


ANC : Pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di posyandu. HPHT

23 November 2018 dengan Taksiran persalinan 30 Agustus 2018.

3. Riwayat obstetrik

a. I/2016/Aterm/Bidan/Spontan/Perempuan/3600 gr/Sehat

b. II/2018/Kehamilan sekarang

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Sakit berat, Composmentis
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
180/110 mmHg 120 x/Menit 44 x/Menit 37,2 0C

Status Generalis
Kepala Normosefal, deformitas (-)
Mata Konjuntiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher Pembesaran KGB, JVP dalam batas normal
Thoraks Inspeksi
Simetris kiri = kanan. Deformitas (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler, Rhonki +/+, Wheezing -/-
Jantung Inspeksi
Iktus kordis tidak tampak, deformitas (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kesan normal
Auskultasi
Bising jantung (-)
Abdomen Inspeksi
Cembung, ikut gerak nafas
Auskultasi
Peristaltik usus meningkat
Palpasi
Nyeri tekan (-), defans muskular (-), massa (-)
Perkusi
Pekak hepar (-)
Ekstremitas Edema +/+

Status obstetric
Pemeriksaan luar Leopold 1
TFU 4 jari dibawah processus xipoideus
Leopold 2
Punggung janin terletak disebelah kanan
Leopold 3
Bagian terbawah janin adalah kepala
Leopold 4
Bagian terbawah janin belum masuk PAP
Pemeriksaan dalam vagina “ Tidak dilakukan pemeriksaan “
(PDV)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah rutin (11/092018)


Parameter Hasil Rujukan
WBC 11,22 4,00 – 10,00
RBC 5,44 4,00 – 6,00
HGB 12,8 12,00 – 16,00
HCT 39,2 37,0 – 48,0
PLT 3,20 150 – 400

2. Kimia darah (11/09/2018)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
GDS 114 70 – 180
Ureum 46 15 – 40
Creatinin 0,5 0,5 – 1,0
SGOT 21 <31
SGPT 12 <31
3. Urinalisis (11/09/2018)
Parameter Hasil Rujukan
Protein +3 Negatif
Eritrosit +2 0-2

4. USG

5. EKG

E. RESUME

Pasien Ny. N, 34 tahun rujukan RS Setia Bunda Unaaha dengan G2P1A0

datang dengan keluhan sesak nafas sejak ±4 hari yang lalu yang dirasa semakin

memberat. Keluhan ini baru dialami saat hamil. Sesak nafas disertai dengan nyeri

kepala (+), pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-). Pelepasan berupa

lender (+), darah (-), dan air - air (-). Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-), Asma (-

), Alergi (-). Riwayat haid : Pasien haid tiap bulan dengan interval waktu 28 – 30

hari dengan lama 4 – 5 hari. Riwayat ANC : Pasien rutin melakukan pemeriksaan

kehamilan di posyandu. HPHT 23 November 2018 dengan Taksiran persalinan 30

Agustus 2018.

Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan : Sakit berat composmentis

dengan TD 180/110 mmHg, Nadi 120 x/Menit, Pernafasan 44 x/Menit, dan Suhu

37,20C. Kepala, jantung, abdomen dalam batas normal. Thoraks ditemukan bunyi
nafas vesikuler (+/+), dengan bunyi tambahan Rhonki (+/+), ekstremitas

ditemukan edema (+/+).

Pada pemeriksaan obstetric didapatkan Leopold 1 TFU 4 jari dibawah

processus xipoideus Leopold 2 Punggung janin terletak disebelah kanan Leopold

3 Bagian terbawah janin adalah kepala Leopold 4 Bagian terbawah janin belum

masuk PAP.

Pemeriksaan dalam vagina tidak dilakukan.

Pemeriksaan laboratorium ditemukan : Darah rutin : WBC 11,22 µL, HGB

12,8 g/dL, dan HCT 39,2 %. Kimia darah : GDS 114 mg/dL, Ureum 46 mg/dL,

Creatinin 0,5 U/L, SGOT 21 U/L, SGPT 12 U/L. Urinalisis : Protein +3, Eritrosit

+2. Imunoserologi : FT4 3,42 pmol/L.

F. DIAGNOSA KERJA

G2P1A0 + Gravid Aterm + Belum Inpartu + Janin Tunggal Hidup + Persentase

Kepala + Panggul Kesan Cukup + KU Ibu Jelek + KU Janin Baik + Preeklampsia

Berat + Edema Paru

G. TATALAKSANA

- Informed concent untuk terminasi kehamilan


- Instruksi post op
Awasi TTV
IVFD RL + Oxy 2 Amp/8jam
Ranitidin 1 Amp/8Jam
Ketorolac 1 Amp/8 Jam
Drips MgSO4 40% dalam RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gr/12 Jam
- Rawat ICU

H. FOLLOW UP

Hari Follow Up Instruksi


Tanggal
Selasa S : Sesak nafas P : Terminasi kehamilan
11 September 2018 O : TD 180/110 mmHg Instruksi post op
N 120 x/Menit - Awasi TTV
P 44 x/Menit - IVFD RL + Oxy
S 37,2 0C 2 Amp/8jam
- Ranitidin 1
Pemeriksaan luar Amp/8Jam
L1 TFU 4 jari dibawah PX - Ketorolac 1
L2 Punggung kanan Amp/8 Jam
L3 Kepala - Drips MgSO4
L4 Masuk PAP 40% dalam RL 20
tpm
Pemeriksaan dalam vagina - Inj. Cefotaxim 1
“Tidak dilakukan” gr/12 Jam

Laboratorium Terapi anastesi


- Darah rutin - O2 on ventilator
WBC 11,22 µL - Morfin 2
HGB 12,8 g/dL cc/IV/SP
- Kimia darah
GDS 114 mg/dL
Ur 46 mg/dL
Cr 0,5 U/L
SGOT 21 U/L
SGPT 12 U/L.
- Urinalisis
Protein +3
Eritrosit +2
A : G2P1A0 + Gravid Aterm +
Belum Inpartu + Janin Tunggal
Hidup + Persentase Kepala +
Panggul Kesan Cukup + KU
Ibu Jelek + KU Janin Baik +
Preeklampsia Berat + Edema
Paru
Rabu S : Tidak sadar P : - RL + Oxy 2 A/8J
12 September 2018 O : T 162/70 mmHg - Ranitidin 1
N 87 x/Menit Amp/8Jam
P 28 x/Menit - Ketorolac 1
0
S 36,5 C Amp/8 Jam
- Drips MgSO4
Mamma Bengkak -/- 40% dalam RL 20
ASI -/- tpm
TFU Setinggi pusat - Inj. Cefotaxim 1
Lokia Minimal gr/12 Jam
BAK 500 cc/12 Jam - Cek lab
BAB –
A : POH1 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru
Kamis S : Tidak sadar P : Ikut terapi anastesi
13 September 2018 O : T 168/96 mmHg
N 162 x/Menit
P 28 x/Menit
S 39,50C

Laboratorium
WBC 19,00
HGB 11,4
PLT 335
GDS 124
Ur/Cr 124/0,9
GOT/GPT 15/14

Elektrolit
Na 131,2
K 4,63
Cl 105,1

Mamma Bengkak -/-


ASI -/-
TFU Setinggi pusat
Lokia Minimal
BAK 100 cc/4 Jam
BAB –
A : POH2 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru
Jumat S : Tidak sadar P : Ikut terapi anastesi
14 September 2018 O : T 200/100 mmHg GV
N 175 x/Menit
P 19 x/Menit
S 360C

Mamma Bengkak -/-


ASI -/-
TFU 1 jari dibawah pusat
Lokia Minimal
BAK 100 cc/4 Jam
BAB –
A : POH3 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru
Sabtu S : Tidak sadar P : Ikut terapi anastesi
15 September 2018 O : T 210/110 mmHg Konsul jantung
N 210 x/Menit Irreguler Ceftriaxon 1 gr/12 J
P 20 x/Menit Metronidazol 500
0
S 39,5 C mg/8J
Drips sanmol 1 Fl/8J
Laboratorium
FT4 3,42

Mamma Bengkak -/-


ASI -/-
TFU 1 jari dibawah pusat
Lokia Minimal
BAK 700 cc
BAB –
A : POH4 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru + Susp.
Hipertiroid + Atrial Fibrilasi
Minggu S : Tidak sadar P : Ikut terapi anastesi
16 September 2018 O : T 195/90 mmHg
N 170 x/Menit Irreguler
P 18 x/Menit
S 370C
Mamma Bengkak -/-
ASI -/-
TFU 1 jari dibawah pusat
Lokia Minimal
BAK 700 cc
BAB –
A : POH5 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru + Susp.
Hipertiroid + Atrial Fibrilasi
Senin S : Tidak sadar P : Pasien meninggal
17 September 2018 O : T 195/90 mmHg
N 170 x/Menit Irreguler
P 18 x/Menit
S 370C

Mamma Bengkak -/-


ASI -/-
TFU 3 jari dibawah pusat
Lokia Minimal
BAK 1200 cc/10 Jam
BAB –
A : POH6 + P2A0 + SC ec
PEB + Edema paru + Susp.
Hipertiroid + Atrial Fibrilasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSI BERAT

1. PENDAHULUAN

Preeklampsia berat adalah kelainan selama kehamilan yang ditandai

peningkatan tekanan darah dan proteinuria signifikan setelah 20 minggu masa

gestasi. Preeklampsi berat dan eklampsi memiliki banyak dampak pada

maternal, fetus, dan neonatus khususnya di negara berkembang. Hipertensi

dalam kehamilan merupakan urutan ketiga penyebab kematian maternal di

Sub Saharan Afrika.1

2. EPIDEMIOLOGI

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu masalah utama di

dunia yang menyebabkan meningkatnya risiko mortalitas perinatal dan

maternal. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan bervariasi menurut geografi

dan berkisar antara 1,5% di Swedia sampai 7,5% di Brazil.menurut beberapa

studi, frekuensi hipertensi dalam kehamilan berkisar 7,8%. Variasi tergantung

ras, sosial ekonomi, dan beberapa parameter lain seperti paritas dan umur.

Di India, insidensi preeklampsi dilaporkan 8-10% dari semua

kehamilan. Kami juga mengobservasi preeklampsi pada 5,4% populasi, dan

ditemukan sekitar 0,71 eklampsi.


Umur berpengaruh penting pada hipertensi dalam kehamilan.

Primigravida dibawah 20 tahun, dan pasien di atas 30 tahun meningkatkan

risiko hipertensi.2

3. PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Mekanisme preeklampsi dan eklampsi

Beberapa bukti mendukung hipotesis tentang keterlibatan sistem imun

ibu dalam penyakit ini. Jika terdapat masalah adaptasi imunologis pada
tropoblas, akan menyebabkan masalah pada perfusi trofoblas, dengan

konsekuensi hipoksia. Perubahan ini akan memicu terjadinya hipoksia lokal,

dan reoksigenasi akan memperberat efek tersebut, termasuk terbentuknya

oksigen reaktif, aktivasi sistem inflamasi ibu, percepatan proses apoptosis sel

yang akan menghambat pembentukan placenta normal dan ketidakseimbangan

antara faktor proangiogenic, termasuk vaskular endotelial growth faktor

(VEGF) dan placental growth faktor (PGF), dan soluble antiangiogenic faktor

seperti soluble fms like tyrosine kinase 1 (sFLT-1) dengan dominasi

selanjutnya menyebabkan aktifasi menyeluruh dari sistem inflamasi maternal,

disfungsi endotel menyeluruh, dan terbatasnya vaskulrisasi placenta.3

Spasme arteriol seluruhnya disebabkan aktivasi endotelial

menghasilkan proses berbahaya dan progresif, yang berujung pada

insufisiensi multipel organ. Preeklampsi diartikan sebagai penyakit kronis

yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ multiple yang progresif.

Aktivasi endotel ditentukan vasokonstriksi dan peningkatan resistensi perifer,

perubahan permeabilitas kapiler, yang menyebabkan edema dan aktifasi

sistem koagulasi.3

Kelainan anatomopathologik ginjal (glomerular endoteliosis dan fokal

sklerosis), dengan proteinuria dan kerusakan filtrasi glomerulus. Di hati,

terjadi iskemik dengan intensitas bervariasi, menyebabkan disfungsi dengan

peningkatan jumlah transaminase. Edema fokal atau konfluent dan/atau


hemoragik yang menganggu kapsul, menghasilkan ruptur hepatik dengan

perdarahan massif.3

Vasospasme menghambat aliran darah ke uteroplasenta dengan

intensitas bervariasi, tergantung pada proses dan adanya cedera sebelumnya.

Koagulasi, aktifasi dan konsumsi progresif platelet menyebabkan DIC. Otak

dapat terkena iskemia yang disebabkan edema difus, mennyebabkan kejang

(eklampsi) atau strok. Pasien dengan kondisi parah, terutama eklampsi harus

menerima perawatan yang berbeda, mengingat keterbatasan multiple organ.3

4. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik preeklampsi dapat berbahaya atau fluminan.

Beberapa wanita mungkin asimptomatik saat ditemukan hipertensi dan

proteinuria, dan beberapa orang lainnya datang dengan gejala preeklampsi

berat, termasuk gangguan penglihatan, nyeri kepala hebat, nyeri perut bagian

atas. 4 dari 14% wanita dengan preeklampsi datang dengan HELLP sindrom

supperimposed. HELLP sindrom merupakan salah satu jenis preeklampsi atau

bisa merupakan entitas terpisah, dengan outcome buruk karena dapat

menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada 25% wanita yang terkena.4

Preeklampsi dapat terbentuk sebelum, selama, atau setelah kelahiran.

40% kejang eklampsi terjadi sebelum kelahiran, kira – kira 18% terjadi lebih

dari 48 jam setelah kehamilan. Kematian berhubungan dengan preeklampsi –


eklampsi kemungkinan menyebabkan gangguan serebrovaskular, kegagalan

ginjal atau hati, HELLP sindrom, atau komplikasi lain dari hipertensi.4

5. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis preeklampsi termasuk peningkatan tekanan darah

dan proteinuria setelah 20 minggu gestasi. Gejalanya termasuk edema, dan

peningkatan tekanan darah. Preeklampsi berat diindikasikan dengan

peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Gejala lain dari preeklampsi berat

termasuk oligouri, serebral atau kelainan penglihatan, dan edema pulmonum,

sianosis.4

Tabel 1. Kriteria diagnostik preeklampsia


Preeklampsia
- Tekanan darah : tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih, tekanan diastolik
90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya tekanan darah normal
- Proteinuria : protein 0,3 gr atau lebih pada hitung urin 24 jam (biasanya
sesuai dengan +1 atau lebih pada tes dipstik)
Preeklampsi berat
- Tekanan darah : tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, tekanan diastolik
110 mmHg atau lebih pada dua kali pengukuran dengan jarak 6 jam pada
wanita dengan bed rest
- Proteinuria : protein 5 gr atau lebih pada hitung urin 24 jam, +3 atau lebih
pada urin dipstik dengan pengukuran dua kali dengan jarak 4 jam
- Manifestasi lain : oligouri (kurang dari 500 mL dalam 24 jam), kelainan
serebral atau penglihatan, edema pulmonum atau sianosis, nyeri ulu hati,
kelainan fungsi hati, trombositopenia, pertumbuhan janin terhambat.
Gambar 2. Algoritma untuk membedakan hipetensi pada ibu hamil

6. MANAGEMENT

Salah satu terapi pencegahan yang cukup efektif untuk saat ini dikenal

adalah aspirin dosis rendah. Beberapa literature, termasuk WHO melaporkan

bahwa, dari 12 minggu kehamilan sampai kelahiran, 75 – 100 mg aspirin harus

diberikan. Namun, beberapa penelitian juga mengatakan bahwa pencegahan ini

hanya dilakukan pada wanita dengan risiko tinggi, dimana aspirin mengurangi

risiko preeklampsi preterm dan preeklampsi berat.

Salah satu literature di Portugal juga mengatakan bahwa aspirin juga dapat

diberikan pada wanita yang memiliki lebih dari satu risiko. Langkah pencegahan

lainnya termasuk pemberian magnesium, minyak ikan, vitamin C, D, dan E telah

diusulkan namun gagal menunjukkan keuntungan. Kalsium berhubungan dengan


berkurangnya risiko preeklampsi dan kehamilan preterm. Ini efektif pada populasi

dengan konsumsi kalsium rendah (<600 mg/hari), pada kasus ini WHO

merekomendasikan 2 gr kalsium perhari. Mengenai intervensi gaya hidup,

beberapa penelitian tidak menemukan keuntungan tentang pembatasan natrium,

diet, dan aktifitas fisik.

Diagnosis dan klasifikasi penyakit harus sesuai, karena pengobatan

preeklampsi ringan dan berat berbeda. Manajemen preeklampsi ringan

dimaksudkan untuk mencegah menjadi preeklampsi berat, menetapkan waktu

kelahiran, dan mengevaluasi perkembangan paru. Pada preeklampsi berat,

mencegah eklampsi (kejang), control tekanan darah, merencanakan kelahiran.

Beberapa penelitian terbaru gagal membuktikan manfaat terapi antihipertensi

pada wanita hamil dengan preeklampsi ringan dimana tekanan darah antara

140/90 sampai 150/100 mmHg, pengawasan medis merupakan salah satu yang

direkomendasikan. Beberapa literature, termasuk yang digunakan di Portugal

antihipertensi harus diberikan jika SBP >150 – 160 mmHg, atau jika DBP >100 -

110 mmHg.

Perlu diingat bahwa Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

dan Angiotensin Receptors Antagonist (ARA) harus dihindari selama kehamilan

karena memberikan efek teratogenik. Juga penting untuk menghindari obat –

obatan yang diberikan sublingual, karena menyebabkan antihipertensi bekerja

cepat dan menyebabkan hipoperfusi organ maternal dan menganggu aliran darah

uteroplacenta.
1. Preeklampsi ringan

Pertama, penting membedakan terapi lini pertama dan lini kedua.

Alpha methyldopa oral 250 mg (2 – 3 tablet/hari) atau nifedipin oral 30 – 60

mg dalam bentuk slow release (1x/hari) dianggap sebagai pengobatan lini

pertama. Nifedipin merupakan golongan calcium channel bloker aman,

efektif, dan nonteratogenik. Alpha methyldopa merupakan golongan

αadregenic reseptor agonist juga efektif dan aman pada ibu hamil. NICE

(National Institute for Health and Care Excellence) and NHS (National Health

Services) merekomendasikan labetolol untuk preeklampsi ringan, karena

merupakan satu – satunya obat antihipertensi yang disetujui di Inggris untuk

ibu hamil. Beberapa literature merekomendasikan labetolol hanya digunakan

pada preeklampsi berat.

Table 5. Farmakoterapi untuk preeklampsi ringan


Preeklampsi ringan
Tekanan darah <150/100 Tekanan darah >150/100 dan >160/110
mmHg mmHg
Ibu hamil harus melakukan : 1st line 2nd line
1. Kontrol tekanan darah Nifedipine per os 1. Methyldopa per os
ketat slow relase 30 – 60 250 – 500 mg, 2 – 3
2. Bed rest mg/hari (sarapan x/hari (max 2 – 3 gr/
3. Evaluasi kebutuhan pagi) max 120 hari)
untuk perawatan RS mg/hari 2. Atenolol per os 50 –
100 mg/hari

2. Preeclampsia berat

Karena risiko meningkat pada wanita hamil, maka direkomendasikan

perawatan rumah sakit dan monitoring lebih lanjut. Terapi antihipertensi harus
mulai diberikan, dan dokter harus segera memeriksa tanda – tanda eklampsi

yang akan terjadi (jika dibutuhkan harus dimulai terapi anti konvulsan).

Rekomendasi terapi awal, yang disepakati oleh literature nasional dan

internasional adalah labetolol intravena. Dimulai dengan 20 mg bolus dalam 2

menit, diikuti dosis antara 20 – 80 mg setiap 10 menit (max 300 mg) sampai

tekanan darah <150/100 mmHg. Dosis maintenance 6 – 8 mL/jam. Labetolol

adalah adrenergic antagonist α1 dan β1, aman digunakan selama hamil pada

hipertensi berat. Obat tidak digunakan pada pasien asma, alternative adalah

nifedipine oral 10 – 20 mg dalam bentuk immediate relase form. Intravenous

hydralazine dapat digunakan jika refrakter baik pada penggunaan labetolol

maupun nifedipin.

Table 6. Farmakoterapi pada preeklampsi berat


Preeklampsi berat
st
1 line 2nd line
Labetolol Nifedipine Hydralazine
- Bolus awal 20 mg IV (2 10 – 20 mg - Bolus 5 mg IV (2
Min) immediate relase Min)
- Ulangi dosis 20 – 80 form (jangan pernah - Ulangi dosis setiap
mg setiap 10 menit gunakan sublingual) 20 menit, sampai
(max 300 mg) total 20 mg
- Dosis maintenance 6 – - Dosis maintenance
8 mL/jam 2 mg/jam

3. Eklampsi

Terapi antikonvulsi adalah terapi penting untuk eklampsi. Obat yang

direkomendasikan adalah magnesium sulfat intravena. Infuse harus dimulai

dengan bolus 4 – 6 gr dalam 20 menit, diikuti dengan maintenance dose 2 – 3


gr. Terapi harus dipertahankan 24 jam setelah kejang, atau post partum.

Selama penambahan obat, penting untuk mengontrol jumlah magnesium

sistemik untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan

hipermagnesia (kasus ekstrim, dapat menyebabkan paralisis otot dan

cardiomiopati arrest), dokter harus memonitor frekuensi nafas, dieresis, dan

reflex patella. Meski tidak diterima secara universal, diazepam dapat

digunakan sebagai alternative. Obat ini memiliki mortalitas lebih besar pada

janin dan ibu sehingga digunakan bila magnesium tidak mempan. Di Portugal,

beberapa rumah sakit memberikan diazepam hanya bila magnesium konta

indikasi.

Table 7. Farmakoterapi untuk eklampsi

Eklampsi
Magnesium Sulfat
Loading Dose Maintenantce Dose “Booster Dose”
(Jika perlu)
- 4-6 gr IV, infuse - 2-3 gr IV - 2 gr IV infuse
lambat (20 menit) - 8 dari 10 mL ampul (50 lambat
- 2-3 dari 10 mL mg/mL) dalam 1000 mL - 1 dari 10 mL
ampul (20 mg/mL) larutan fisiologis atau ampul (20
dalam 100 mL glukosa mg/mL) jika
larutan fisiologis - Perfusi 50 – 75 mL/Jam, kejang
- Perfusi 200 – 300 pertahankan selama 24 berulang
mL/Jam jam setelah kelahiran atau
kejang terakhir

Disamping pemberian antikonvulsan, terapi antihipertensi juga wajib

diberikan.
4. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid penting untuk memperbaiki outcome

kehamilan, membantu pembentukan paru fetus dan neuroprotektif untuk fetus

preterm. Terapi ini khusus digunakan dan penting pada bayi premature,

mengurangi kelainan pernafasan dan insufisiensi pada bayi memperbaiki

outcome fetus. Corticoterapi direkomendasikan pada ibu hamil antara 24 – 36

minggu kehamilan, untuk kelahiran yang mungkin atau direncanakan pada 7

hari berikutnya. Kortikosteroid lebih sering digunakan intramuscular (IM)

betametasone dan intravena (IV) deksametasone. Dua obat ini memiliki

keamanan dan efektifitas indeks yang sama.

Tabel 8. Farmakoterapi untuk maturasi paru – paru fetus


Kortikosteroid untuk Maturasi Paru Fetus
Terapi kortikoterapi hanya dapat direkomendasikan jika :
Usia kehamilan 24 sampai 36 minggu
Kelahiran direncanakan atau sepertinya terjadinya dalam 7 hari
Betametasone Deksametasone
12 gr IM, 2 dosis dengan 24 jam 10 mg IV, dosis dengan 24 jam
interval interval

7. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi akut dari preeklampsi

1. Eklampsi

Eklampsi adalah terjadinya satu atau lebih kejang tonik klonik

dan/atau koma yang sebelumnya mengalami preeklampsi dan tidak ada


kelainan neurologis lainnya. Sebelumnya diperkirakan eklampsi merupakan

hasil akhir dari preeklampsi

2. HELLP Sindrom

HELLP Sindrom (Hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet)

komplikasi serius dari preeklampsi yang pertamakali digambarkan Pritchard

pada tahun 1954. Wanita dengan preeklampsi, 6% akan mengalami HELLP

Sindrom(biasanya peningkatan enzim hati atau penurunan platelet), 12% akan

berkembang menhadi 2 kelainan dan 10% akan bermanifestasi menjadi tiga

kelainan.HELLP Sindrom akan bermanifestasi selama kehamilan dan masa

nifas (seperti preeklampsi) jarang umur kehamilan kurang dari 20 minggu.

3. Liver rupture

Rupture hati merupakan salah satu konsekuensi dari preeklampsi

berat/HELLP Sindrom, dengan kematian ibu >30%. Umumnya terjadi pada

multipara umur lanjut. Sampai sekarang penyebabnya tidak diketahui.

Beberapa teori mengatakan disfungsi endothelial dengan deposit intravascular

fibrin dan obstruksi sinusoid hepatic menyebabkan kongesti vascular hepatic,

peningkatan intrahepatik pressure, dan distensi dari kapsul Glisson, dan

akhirnya trebentuk hematoma subkapsular hepatic dan rupture hati.

4. Edema paru

Edema paru adalah akumulasi cairan berlebihan pada ruang interstitial

dan alveolar paru. Berkomplikasi sekitar 0,05% pada kehamilan risiko rendah

namun dapat terbentuk sampai 2,9% pada kehamilan dengan preeklampsi.


EDEMA PARU

A. PENDAHULUAN

Edema paru adalah penumpukan cairan di paru – paru terutama di bagian

alveoli yang dapat menganggu pertukaran gas didalam paru – paru yang berujung

pada gagal nafas.

Edema paru akut merupakan penyebab signifikan kenaikan morbiditas dan

mortalitas pada kehamilan. Edema paru akut ditandai dengan sesak nafas tiba –

tiba yang disertai dengan agitasi dan manifestasi klinis serius lainnya.

B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyebab edema paru lebih sering multifaktorial. Menurut hukum

Starling, ada beberapa factor yang menyebabkan berkurangnya tekanan osmotic

koloid, meningkatnya permeabilitas kapiler, atau menigkatnya tekanan hidrostatik

intravascular akan menyebabkan ekstravasasi cairan dari vascular dan memicu

terbentuknya edema paru.

Perubahan fisiologis dasar pada system kardiovaskular ibu hamil

mempengaruhi perkembangan edema paru. Termasuk peningkatan volume darah

plasma, kardiak output, nadi, dan permeabilitas kapiler dan penurunan tekanan

osmotic koloid plasma. Perubahan ini sering didasarkan pada preeklampsi,

menyebabkan peningkatan insidensi edema paru. Selain itu, pada kehamilan

normal, penurunan tekanan osmotic plasma berkisar 22 mmHg saat aterm dan 16

mmHg saat kelahiran (18 mmHg aterm dan 14 mmHg post partum berkomplikasi
pada preeklampsi). Berkurangnya tekanan koloid setelah kelahiran dapat

disebabkan karena kehilangan darah berlebihan, perpindahan cairan untuk

meningkatkan permeabilitas kapiler (khususnya pada preeklampsi), infuse

kristaloid berlebihan. Hal ini dapat menjelaskan sekitar 70-80% kasus edema paru

terjadi setelah kelahiran. Factor pemberat lainnya adalah magnesium sulfat, yang

sering ditambahkan pada preeklampsi sebagai profilaksis kejang.

Pada hipertensi kronis dengan preeklampsi superimposed, tahanan

vascular perifer dan tekanan pengisian jantung kiri meningkat. Menyebabkan

penurunan kardiak output dan meningkatkan tekanan hidrostatik vascular paru,

yang akan menyebabkan terbentuknya edema paru. Keadaan lain yang

menyebabkan terbentuknya edema paru pada preeklampsi adalah peningkatan

kebocoran kapiler dan ekstravasasi cairan akibat kerusakan edotel vascular.

C. DIAGNOSIS

Klinikal diagnosis edema paru ditandai dispnea memberat dan orthopnea

dengan tanda respirasi kompromais (takipnea, kreakels dan rales, hipoksemia,.

Analisa gas darah dan foto thorax dapat membantu diagnosis. Pada pasien

tertentu, elektrokardiografi, ekokardiografi, CT Spiral, atau arteriografi pulmonal

mungkin perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyebab kardiopulmonary

kompromais. Termasuk emboli paru, kardiomiopati, dan pneumonia.


D. PENATALAKSANAAN

Diagnosis dan penatalaksanaan harus segera dilakukan. Tujuan

penatalaksanaannya adalah menstabilkan ibu, mempercepat perbaikan edema

paru, dan membuat keputusan tentang kelahiran. Penatalaksanaan edema paru

akut dapat disingkat dengan LMNOP

1. Lasix (furosemide) ditambahkan intravena single dose 20 – 40 mg selama 2

menit untuk memulai dieresis. Jika respon tidak terlihat dalam 30 – 50 menit,

dosis harus ditingkatkan 40 – 60 mg ditambahkan dengan intravena maksimal

120 mg dalam 1 jam. Elektrolit (khususnya potassium) harus diberikan jika

perlu.

2. Morfin sulfat harus diberikan intravena dosis 2 – 5 mg bertujuan untuk

mengurangi stimulus vasokonstriksi adrenergic pada arteri dan vena pulmonal

3. Natrium (sodium) dan pembatasan cairan, monitor output dan input

4. Suplementasi oksigen menggunakan masker nonrebreathing 8 – 10 L/Min

dengan monitoring saturasi oksigen menggunakan pulse oksimetri

5. Posisi (elevasi) kepala ibu dan dada untuk memperbaiki ventilaasi dengan

mengurangi tekanan kapiler paru.

Selain pengkuran standar, pasien juga dilakukan pemeriksaan tekanan

darah, elektrokardiogram, denyut jantung janin. Afterload dikurangi dengan

vasodilator (hydralazine, calcium channel blocker, atau ACE inhibitor hanya

digunakan setelah kelahiran) terutama pada pasien hipertensi kronis dan

superimposed preeklampsi. Karena kebanyakan pasien obstetric memiliki fungsi


sistolok ventrikel kiri normal, inotropik jarang diperlukan. Menurut ACOG,

preeklampsi berat dengan edema paru merupakan indikasi untuk kateterisasi arteri

pulmonal invasive, meskipun kebanyakan pasien ditangani tanpa monitoring

hemodinamik invasive. Jika edema paru refrakter pada pengobatan awal atau jika

disertai oligouri, insersi kateter arteri pulmonal dan rawat intensif harus

dipertimbangkan. Pada pasien edema paru berat, ventilasi mekanis mungkin lebih

baik.
DISKUSI KASUS

Hipertensi (preeklampsi, eklampsi, hipertensi gestasional, dan hipertensi

kronik) umumnya sebagai komplikasi dari kehamilan. Diketahui wanita dengan

hipertensi kronik lebih sering terbentuk superimposed preeklampsi dan termasuk

wanita memiliki resiko tinggi terhadap outcome maternal dan fetus.

Pasien Ny. N, 34 tahun rujukan RS Setia Bunda Unaaha dengan G2P1A0

datang dengan keluhan sesak nafas sejak ±4 hari yang lalu yang dirasa semakin

memberat. Keluhan ini baru dialami saat hamil. Sesak nafas disertai dengan nyeri

kepala (+), pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-). Pelepasan berupa lender

(+), darah (-), dan air - air (-). Hipertensi (+) pasien kontrol teratur, Diabetes mellitus

(-), Asma (-), Alergi (-). Riwayat haid : Pasien haid tiap bulan dengan interval waktu

28 – 30 hari dengan lama 4 – 5 hari. Riwayat ANC : Pasien rutin melakukan

pemeriksaan kehamilan di posyandu. HPHT 23 November 2018 dengan Taksiran

persalinan 30 Agustus 2018.

Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan : Sakit berat composmentis

dengan TD 180/110 mmHg, Nadi 120 x/Menit, Pernafasan 44 x/Menit, dan Suhu

37,20C. Kepala, jantung, abdomen dalam batas normal. Thoraks ditemukan bunyi

nafas vesikuler (+/+), dengan bunyi tambahan Rhonki (+/+), ekstremitas

ditemukan edema (+/+).

Pada pemeriksaan obstetric didapatkan Leopold 1 TFU 4 jari dibawah

processus xipoideus Leopold 2 Punggung janin terletak disebelah kanan Leopold


3 Bagian terbawah janin adalah kepala Leopold 4 Bagian terbawah janin belum

masuk PAP.

Pemeriksaan dalam vagina tidak dilakukan.

Pemeriksaan laboratorium ditemukan : Darah rutin : WBC 11,22 µL, HGB

12,8 g/dL, dan HCT 39,2 %. Kimia darah : GDS 114 mg/dL, Ureum 46 mg/dL,

Creatinin 0,5 U/L, SGOT 21 U/L, SGPT 12 U/L. Urinalisis : Protein +3, Eritrosit

+2. Imunoserologi : FT4 3,42 pmol/L.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ngwenya S. 2017. Severe preeclampsia and eclampsia: incidence, complications,


and perinatal outcomes at a low-resource setting, Mpilo Central Hospital,
Bulawayo, Zimbabwe. Int J Womens Health. Vol 9 hal 353-357

2. Sajith M. 2014. Incidence of Pregnancy Induced Hypertension and Prescription


Pattern of Antihypertensive Drug in Pregnancy. IJPSR. Vol 5(4) hal 163-170

3. Ramos J, Sass N, and Costa S. 2017. Preeclampsia. Rev Bras Ginecol Obstet. Vol
39(9) hal 496-512

4. Wagner L. 2004. Diagnosis and Management of Preeclampsia. AFP. Vol 70(12)


hal 2317-2342

5. Peres G, Mariana M, and Cairrao E. 2018. Pre eclampsia and Eclampsia : An


Update on the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. J Cardiovasc Dev
Dis. Vol 5(3) hal 1-13

6. Norwitz E, Hsu C, Repke J. 2002. Acute Complications of Preeclampsia. Clinical


Obstetric and Gynecologic. Vol 45(2). Hal 308 – 329

Anda mungkin juga menyukai