Anda di halaman 1dari 47

Case Report Session

Anestesi Umum pada Craniotomy ai Epidural Hematoma

Oleh

Annisa Dania Juliana

1840312448

Preseptor:

dr. Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, KIC, M.Kes

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP DR M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

General Anesthesia (GA) atau anestesi umum adalah tindakan anestesi


yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Pada anestesi
umum, beberapa hal harus dipenuhi, yaitu hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot
yang diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan
mempermudah tindakan pembedahan dan stabilisasi otonom.1
Kraniotomi adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang
tengkorak untuk memberikan akses secara langsung ke otak.1 Kraniotomi dapat
dilakukan pada tumor otak, perdarahan otak seperti subdural hematoma, epidural
hematoma, aneurisma serebri, malformasi arteriovenous, infeksi otak seperti abses
serebri serta trauma otak.2
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera/kerusakan otak yang
dihasilkan oleh kekuatan eksternal sebagai akibat dari benturan langsung,
akselerasi-deselerasi cepat, objek yang menembus atau gelombang ledakan. Lebih
dari sepuluh juta orang di dunia mengalami TBI setiap tahunnya. Prevalensi TBI
di Amerika serikat mencapai 103/100.000 penduduk, sedangkan di Eropa
mencapai 235/100.000 penduduk dan sekitar 180.000 orang meninggal akibat TBI
di dunia. Arus urbanisasi dan peningkatan pengguna sepeda motor meningkatkan
prevalensi penyakit ini.3,4,5
TBI secara garis besar dibagi menjadi cedera otak difus dan fokal. TBI
difus terdiri dari konkusio serebral, diffuse axional injury, perdarahan
subarachnoid post-traumatik, dan perdarahan intraventrikuler. Sedangkan cedera
otak fokal terdiri dari kontusio otak dan hematoma. Epidural hematoma (EDH)
merupakan hematoma traumatik pada otak yang paling banyak terjadi pada pasien
usia dibawah 50 tahun dan terjadi pada 5-10% cedera otak berat. EDH terjadi
akibat akumulasi darah dari pecahnya arteri meningen media pada ruang potensial
antara lapisan luar duramater dengan lapisan dalam tulang tengkorak. Adanya
lucid interval atau pemulihan kesadaraan sempurna sementara setelah kehilangan
kesadaran merupakan tanda khas pada EDH dan seringkali membuat diagnosis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


EDH terlambat. Meskipun prognosis EDH biasanya baik setelah dilakukan
operasi evakuasi hematoma, keterlambatan diagnosis EDH seringkali
menyebabkan kematian.4,5
Oleh karena uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai anestesi
umum pada craniotomy ai EDH sebagai bahan pembelajaran di bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP M. Djamil Padang.

1.2. Batasan Masalah


Case report ini membahas tentang Anestesi Umum pada Craniotomy ai
Epidural Hematoma.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan case report ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
Anestesi Umum pada Craniotomy ai Epidural Hematoma.

1.4. Metode Penulisan


Metode penulisan case report ini adalah dengan membandingkan teori yang
didapatkan dari berbagai literatur dengan pasien yang di-anestesi umum untuk
kraniotomi atas indikasi epidural hematoma dan kemudian dirawat di Intensive
Care Unit (ICU) RSUP DR M Djamil Padang.

BAB 2
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.MN

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


Tanggal Lahir/Usia : 17-11-2001/17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 50 kg
Alamat : Punggung Kasiak Kp. Tangah Lubuk Alung
Masuk Rumah Sakit : 3 Maret 2019
Tanggal Operasi : 3 Maret 2019
Waktu Operasi : 17.26–20.00 WIB

B. ANAMNESIS (alloanamnesis tante Ny. M)


Keluhan utama
Penurunan kesadaran post KLL sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk IGD Rumah Sakit RSUP M. Djamil pada tanggal 3 Maret
2019 dengan penurunan kesadaran, keluhan:
- Pasien post KLL motor dengan motor lain
- Penurunan KLL posy KLL 3 jam sebelum masuk rumah sakit
- Mekanisme trauma tidak jelas
- Muntah (-), kejang (+)
- Keluar darah dari hidung (+), mulut (+), telinga (+)
- Trauma di tempat lain (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Anamnesis Penyulit Anestesi
 Asma (-)
 Riwayat nyeri dada iskemik (-)
 Hipertensi (-)
 Alergi (-)
 Penyakit hati (-)

 Penyakit ginjal (-)

 Diabetes mellitus (-)

 Kejang (+) post KLL

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


 Batuk (-)

 Pilek (-)

 Demam (-)

 Kelainan kardiovaskular lainnya (-)

Riwayat Obat yang sedang dikonsumsi : tidak ada


Riwayat Operasi Sebelumnya: tidak ada
Riwayat Anestesi Sebelumnya: tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK (Assesment IGD)


Keadaan Umum : Berat, penurunan kesadaran
GCS : E3M5V4 (somnolen)
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 170 cm
Vital Sign
 Tekanan darah : 140/70 mmHg
 Nadi : 60 x/menit
 Suhu : 36,5C
 Pernafasan : 20 x/menit
 Saturasi oksigen : 99% dengan oksigen

Penilaian ABCD (Primary Survey)


 Airway
Patensi jalan nafas baik. Tidak ada gangguan pada jalan napas.
 Breathing
Pasien tidak sesak dengan frekuensi nafas 20 kali per menit. Pasien
nafas spontan dengan dipasangkan oksigen 2 liter/menit dengan
saturasi oksigen 99%. Tidak terdengar wheezing, rhonki, maupun
stridor.
 Circulation

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Tekanan darah 140/70 mmHg, frekuensi nadi 60 x/menit, reguler
lemah, CRT (capillary refill time) < 2 cm, akral pasien hangat, bunyi
jantung 1-2 reguler, bising (-), murmur (-), gallop (-).
 Disability
GCS 12 (E3M5V4), pasien mengalami penuruan kesadaran dengan
adanya fraktur basis cranii.

Secondary Survey

1. B1 (Breath)

 Respiratory Rate (RR) : 20 kali/menit

 Tidak terdapat rhonki atau wheezing

 Tidak terdapat stridor inspirasi dan ekspirasi

 Tidak tampak retraksi epigastrium, suprasternal, infraklavikula dan


intercosta

2. B2 (Blood)

 Akral hangat

 Nadi 60 kali per menit

 CRT < 2 detik


 Tekanan darah : 140/70 mmHg

 Konjungtiva anemis (-/-)

 Sklera ikterik (-/-)

3. B3 (Brain)

 Kesadaran somnolen dengan GCS 12

 Pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


 Kekuatan motorik baik

4. B4 (Bladder)
Buang air kecil tidak ada kelainan.
5. B5 (Bowel)
Buang air besar tidak ada kelainan. Mual (+) dan muntah (+).
6. B6 (Bone)

 Fraktur (+) basis cranii terlihat dari pemeriksaan radiologis

 Fraktur dan trauma di tempat lain (-)

 Muskuloskeletal dalam batas normal

PEMERIKSAAN FISIK LENGKAP

Kepala/leher : normocephal, simetris, rambut hitam tidak mudah dicabut, JVP


5+2 cmH2O, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor. Keluar
darah dari mulut, hidung, dan telinga.
Thoraks : retraksi dinding dada (-), S1 S2 reguler, bising (-), murmur (-),
gallop (-), rhonki (-), wheezing (-), stridor inspirasi dan ekspirasi (-).
Abdomen : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas : tidak ada fraktur atau edema, akral hangat, CRT < 2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium (3 Maret 2019)


- Hb/Ht : 13,2 gr/dl / 41%
- Leukosit/trombosit : 22.970/243.000
- Ureum/kreatinin : 30/0,8
- PT/APTT : 13,7/40,2
- Na/K/Cl : 137/3,1/106
- GDS : 210
- SGOT/SGPT : 30/14
- AGD : pH/pCO2/pO2/SO2/Ht : 7,384/31,5/257,8/99,4/36

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Kesan : leukositosis, PT dan APTT melebihi nilai rujukan, GDS
meningkat, hipokalemia

 CT scan kepala : epidural hematoma, subdural hematoma, kontusio serebri

E. DIAGNOSIS KERJA
Epidural hematoma + Subdural hematoma + fraktur basis cranii + kontusio
serebri

F. DIAGNOSIS ANESTESI
Penggolongan status fisik pasien menurut ASA :
Status fisik ASA III + Emergency

G. RENCANA OPERASI
Craniotomy

H. RENCANA ANESTESI
General Anesthesia

I. KESIMPULAN
Pasien seorang laki-laki, usia 17 Tahun, status fisik ASA III + emergency
dengan diagnosis Epidural hematoma + Subdural hematoma + fraktur
basis cranii + kontusio serebri. Rencana kraniotomi dalam anestesi umum.

J. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : dubia
 Quo ad Functionam : dubia
 Quo ad Sanactionam : dubia

K. LAPORAN ANESTESI
Diagnosa Pre Operatif : Epidural hematoma + Subdural hematoma
+ fraktur basis cranii + kontusio serebri
Diagnosa Post Operatif : epidural hematoma + kontusio serebri +
fraktur basis cranii + laserasi sinus venosus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Persiapan Pre-operasi :
- Oksigen 2 liter per menit
- Pro craniotomy dalam GA
- Injeksi ceftriaxone IV 1 g
- Persiapan PRC 1 pack (210cc)
- Terakhir makan : pagi ± pukul 08.00
- Konsul bagian forensik, pada pasien ditemukan:
- luka lecet pada bahu kanan
- lubang hidung mengeluarkan darah
- tellinga kanan mengeluarkan darah
- CT scan kepala dengan hasil perdarahan di basal selaput otak
Dianjurkan untuk pembuatan VER setelah ada surat permintaan
dari penyidik
- Pemeriksaan penunjang (darah rutin, kimia klinik ro. Pelvis, thorak,
cervical).
Penilaian Pra Induksi (pukul 16.30 WIB)
- Kesadaran : GCS 12
- Suhu : 36,5ºC
- TD : 145/63 mm/Hg
- Nadi : 51 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Saturasi O2 :100%
Penatalaksanaan Anestesi
 Jenis Operasi : Craniotomy
 Jenis Anestesi : General Anesthesia
 Teknik Anestesi :General Anesthesia dengan ETT
 Premedikasi : Fentanyl 200 mcg, miloz 5 mg
 Induksi : Propofol 180 mg
 Maintanance : O2, N2O, Isoflurane 1,5 V%
 Posisi : Supine dengan kepala hiperekstensi
 Monitoring : EKG lead, SpO2, NIBP, Stetoskop, Kateter urine
Tahapan Anestesi dan Operasi
 Pasien diberikan premedikasi yaitu midazolam 5 mg iv dan fentanyl 200
mcg iv
 Pasien dibaringkan terlentang dan diinduksi dengan propofol 50 mg iv
 Diberikan Roculax 40 mg

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


 Kepala diekstensikan, dipasang face mask dan diberikan aliran Oksigen 2
lpm. Sesudah tenang, dilakukan intubasi dengan ETT no. 7. Untuk
maintenance digunakan isoflurane 1,5V%
 Dilakukan kraniotomi oleh bagian bedah
 Pada pasien sempat terjadi arrest saat dilakukan penjahitan, kemudian
dilakukan RJP dan pasien ROSC

Penatalakasanaan Post-operasi
 Morfin 1 mg (iv)  paracetamol 2x2
 Sedacum 1 mg (iv)
 Ranitidin 3x1
 Metoclopramide 3x1
 Ceftriaxone 2x1 gram

BAB 3

PEMBAHASAN

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 17 tahun dengan
diagnosis epidural hematoma + subdural hematoma + fraktur basis cranii +
kontusio serebri. Pada pasien dilakukan tindakan craniotomy dalam anestesi
umum. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama penurunan
kesadaran sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Tidak terdapat penyakit
penyulit pada pasien ini, penggunaan obat rutin tidak ada. Pada pemeriksaan fisik
pre-operatif didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran somnolen,
tekanan darah 140/70 mmHg, heart rate 60x/menit, pernafasan 20x/menit.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil Hb 13,2 gr/dl, leukosit
22.970/mm3 , trombosit 243.000/mm3 , hematokrit 41%, PT 13,7 detik, APTT
40,2 detik, natrium 137 Mmol/L, kalium 3,1 Mmol/L, klorida 106 Mmol/L, GDS
210 mg/dl. Berdasarkan pemeriksaan labor darah didapatkan kesan leukositosis,
PT dan APTT yang melebihi nilai rujukan, GDS meningkat, serta hipokalemia.
Dengan demikian, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien digolongkan ke dalam ASA III. ASA (The American Society of
Anesthesologist) merupakan kategorisasi sederhana penilaian kebugaran fisik
dalam memprediksi risiko anestesi, karena efek samping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Risiko kematian pasien paska operasi kraniotomi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain diagnosis penyakit atau cedera yang menjadi indikasi
dilakukannya kraniotomi, faktor usia, skor Glasgow Coma Scale, komplikasi
pasca operasi dan beberapa faktor medis lainnya.6 Terdapat beberapa studi
mengenai angka kematian pasien kraniotomi dengan indikasi, lokasi, dan waktu
yang bervariasi. Pada suatu studi yang dilakukan Lawrence terhadap 276 pasien
cedera kepala tertutup yang telah menjalani kraniotomi, terdapat angka kematian
yang mencapai 39%,5 Menurut Neuro-Oncology: The Essentials, faktor usia
lanjut memiliki pengaruh signifikan terhadap prognosis pasien kraniotomi. Dalam
beberapa penelitian didapatkan sebagian besar kematian paska kraniotomi berasal
dari komplikasi sistemik yang berupa syok sepsis (33,3%). Data ini berbeda
dengan data dari penelitian pada buku teks Neuro-oncology: The Essentials yang
menyebutkan mayoritas kematian paska kraniotomi merupakan akibat dari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


komplikasi neurologis seperti hematoma, herniasi, progresi tumor (lokal atau
leptomeningeal).6
Total body water adalah 60% dari berat badan pasien laki-laki sesuai dengan
berat badan pasien yaitu 60% dari 50 kg adalah 30 liter. Estimated Blood Volume
pasien tersebut adalah 70 ml x 50 kg adalah 3500 cc (sekitar 3,5 liter). Resusitasi
cairan sesuai kebutuhan basal (rumatan) sesuai dengan berat badan pasien 50 kg,
berdasarkan Rumus Holliday Segard 4:2:1 yaitu 90 cc. Pemberian maintenance
cairan sesuai dengan berat badan pasien 50 kg, yakni 30 cc/kgBB/jam, sehingga
kebutuhan per jam dari penderita adalah 1500 cc/jam. Idealnya, sebelum
dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah
terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang
diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x
maintenance, sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini
adalah 12.000 cc/8 jam.

Dilakukan pemasangan NIBP dan pulse oxymetry (pukul 16.30 WIB)


dengan kesadaran somnolen (GCS 12), TD 145/63 mmHg; Nadi 51x/menit, dan
SpO2 100%. Pasien dalam posisi terlentang dengan IV Catheter di dorsum manus
kiri dan dorsum pedis kanan. Jenis anestesi yang dipilih untuk pasien ini adalah
anestesi umum. Sebelum dilakukan anestesi pasien diberikan premedikasi.
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi yang
bertujuan untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah
obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung serta mengurangi refleks yang membahayakan.
Obat-obat yang biasa digunakan adalah analgetik, sedatif dan antiemetik. Pada
pasien ini diberikan fentanyl 200 mcg secara intravena. Fentanyl diberikan dengan
dosis 2-50 mcg/kg. Jumlah obat yang diberikan pada pasien ini sesuai dengan
dosis pada literatur. Selain itu pada pasien juga diberikan midazolam 5 mg secara
intravena. Pada pasien dewasa biasanya diberikan midazolam secara intravena
dengan dosis 2 – 5 mg. Kemudian diberikan obat induksi berupa propofol

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


sebanyak 180 mg iv. Pasien juga diberikan roculax 40 mg sebagai muscle
relaxant.
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
ventilasi mekanik melalui pemasangan endotracheal tube (ETT) No. 7,0.
Pemilihan pemakaian endotrakeal tube dikarenakan endotracheal tubes
memberikan pengamanan total terhadap jalan nafas dan juga memberikan
kemudahan dalam mengisap sekret. Namun, kekurangan dari ETT adalah bersifat
invasif dan traumatik bagi pasien dengan jalan nafas yang hiperreaktif. Selain itu,
penempatan yang terlalu dalam dapat menyebabkan atelektasis salah satu paru.
Komplikasi dari pemakaian ETT adalah laringospasme akibat ransangan
nosiseptif pada ujung saraf jalan nafas terutama sekitar laring terutama sekitar
laring akibat anestesi tidak adekuat. Komplikasi lainnya adalah bradikardia akibat
saraf eferen vagus yang berujung di jantung.
Setelah pasien dipasangkan ETT, maka dialirkan isofluran 1,5vol%, oksigen
sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging
dengan laju napas 20 x/ menit, dengan ventilasi kendali. Sesaat setelah operasi
selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan
dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan
nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.

Monitoring tanda-tanda vital pasien intra operatif yakni TD 90/40 mmHg


(pukul 17.00), TD 80/35 mmHg (pukul 17.30), 80/50 mmHg (18.00), 112/70
mmHg (pukul 18.30), 120/100 mmHg (pukul 19.00), 120/100 mmHg (pukul
19.15). Pasien sempat mengalami arrest saat dilakukan penjahitan setelah operasi.
Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada pasien. Setelah pasien
ROSC (return of spontaneous circulation), penjahitan dilanjutkan, dan operasi
selesai.

Setelah operasi selesai, mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien


dapat melakukan nafas spontan. Gas isofluran dihentikan bila pasien sudah
bernafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi ETT bila pasien
sudah bernafas spontan secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Sebelum selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik post operasi,
pada pasien ini dilakukan pemberian injeksi morfin 1 mg diindikasikan untuk
penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah
prosedur operasi serta sedacum 1 mg iv untuk sedatif. Operasi selesai dilakukan,
pasien kemudian dibawa langsung ke ICU untuk rawatan intensif.
Pasien dirawat di ICU dengan keadaan umum yang masih buruk dan tidak
ada perbaikan yang berarti hingga tanggal 6 Maret 2019, kemudian pasien
dinyatakan meninggal pada pukul 23.05 WIB setelah sempat dilakukan RJP pada
pasien oleh dokter jaga ruangan ICU.

3.1. Anestesi Umum


3.1.1 Definisi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Anestesi umum atau general anesthesia (GA) merupakan suatu kondisi
yang bersifat reversibel dimana seseorang mengalami kondisi-kondisi spesifik
berupa tidak sadar, amnesia, analgesia dan akinesia yang diinduksi obat, dengan
stabilitas sistem otonom, kardiovaskular, respirasi dan termoregulasi secara
bersamaan. Namun demikian, mekanisme bagaimana suatu anestesi umum dapat
mencegah kesadaran seseorang masih belum diketahui secara pasti, karena
mekanisme fisiologis otak yang menyebabkan suatu kesadaran juga belum begitu
dapat diterangkan.7

3.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi anestesi umum, yaitu:8
1) Pasien yang menjalani operasi yang membutuhkan relaksasi dalam dalam
periode waktu yang lama
2) Lokasi insisi diatas umbilikus
3) Tindakan bedah yang tidak dapat secara adekuat dilakukan dengan
anestesi lokal atau regional
4) Tindakan bedah yang kemungkinan menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan atau terganggungnya sistem pernapasan
5) Pasien yang tidak kooperatif, bahkan untuk suatu tindakan yang kecil
6) Keinginan pasien

b. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk dilakukannya tindakan anestesi
umum. Namun, beberapa kontraindikasi relatif dilakukannya anestesi umum yaitu
gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik
>110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis.8

3.1.3 Jenis Anestesi


a. Anestesi intravena

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Bentuk anestesi umum dimana pasien ditidurkan dengan induksi dan
dijaga dengan memberikan obat anestetik intravena, opioid dan pelumpuh otot.
Bentuk ini juga dikenal dengan istilah total intraveneous anesthesia (TIVA) karena
sama sekali tidak menggunakan obat inhalasi.7
b. Anestesi inhalasi
Anestesi umum yang diberikan melalui obat-obat anestesi yang di inhalasi,
baik obat itu sendiri ataupun kombinasi dengan nitrous oksida. Pada saat sekarang
ini, jenis ini jarang digunakan, hanya pada beberapa kasus seperti operasi pada
anak dan operasi yang kurang invasif.8
c. Kombinasi
Suatu bentuk yang mengombinasikan kedua obat anestesia yaitu intravena
dan inhalasi. Sejauh ini merupakan bentuk yang paling banyak digunakan. Pada
awalnya pasien akan diinduksi menggunakan anestesi intravena kemudian dijaga
atau dirumat menggunakan anestesi inhalasi dan opioid intravena.8
3.1.4 Fase Anestesi Umum
Anestesi umum terdiri dari empat fase yaitu induksi, rumatan, emergence
dan pemulihan.
a. Induksi
Tujuan dari fase ini adalah menginduksi kondisi tidak sadar dengan cara
yang nyaman, cepat dan tetap menjaga stabilitas hemodinamik. Dalam tujuannya
untuk menjaga jalan napas dan ventilasi maka fase induksi juga bekerja untuk
mendapatkan relaksasi otot dalam memudahkan intubasi endotrakeal. Induksi
dalam anestesi dapat dilakukan dengan cara menyuruh pasien untuk menghirup
gas melalui masker wajah yang dipasang, cara ini terbilang lambat dan kurang
nyaman untuk pasien. Saat sekarang ini kebanyakan anestesi diinduksi dengan
menggunakan obat-obat intravena kerja cepat atau short-acting seperti propofol,
ketamin, tiopental atau etomidate, kemudian diikuti dengan pelumpuh otot.10
b. Rumatan atau maintenance
Ketika pasien telah selesai diinduksi jika tidak ada lagi obat-obat anestesi
yang diberikan maka pasien akan terbangun dalam hitungan menit. Maka dari itu,
rumatan dari anestesi adalah memberikan obat-obatan anestesia dengan tujuan
mendapatkan trias anestesi yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi serta tercapainya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


stabilitas hemodinamik selama prosedur pembedahan. Fase rumatan melibatkan
penggunaan obat-obat inhalasi, opioid, dan pelumpuh otot non-depolarizingatau
NDMR.10
c. Emergence
Selama fase ini, pasien mulai kembali ke kondisi kesadaran pre-operatif.
Pada banyak kasus ahli anestesi akan berusaha membangunkan pasien sebelum
transfer ke ruangan post-anestesi. Idelanya pasien harus cukup sadar untuk
mengikuti perintah dan mampu menunjang jalan napasnya sendiri. Setidak-
setidaknya pasien harus mampu ventilasi spontan secara adekuat walaupun
membutuhkan bantuan minimal untuk menjaga patensi jalan napas.10
d. Pemulihan atau recovery
Pada akhir prosedur pembedahan, perawatan dan pemantauan kondisi
pasien dipindah tangankan oleh ahli anestesi pada perawat saat pasien memasuki
fase pemulihan ini. Kebanyakan pasien fase ini dilewati di ruang pemulihan atau
suatu unit perawatan post-anestesi. Namun beberapa pasien membutuhkan
ventilasi postoperasi yang lebih lama atau butuh pemantauan hemodinamik yang
ketat, biasanya akan langsung ditransfer ke ruang rawat intensif. Saat tiba di ruang
pemulihan, patensi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi dinilai secara cepat.
Suplementasi oksigen diberikan serta monitor rutin dipasang.10

3.1.5 Obat-obat Anestesi Umum


3.1.5.1 Obat-obat Inhalasi
a. Isofluran
Dikenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan merupakan obat
anestesi poten dengan banyak kesamaannya dengan enfluran yaitu poten, tidak
mudah terbakar dan kelarutan sedang dalam darah. Isofluran memiliki efek
kardiovaskular yang lebih sedikit dibandingkan dengan enfluran dan dapat
digunakan secara aman dengan epinefrin. Isofluran memiliki bau yang tajam
sehingga dapat menyebabkan iritasi pada tenggorokan dan traktur repiratorius
yang memicu batuk sampai laringospasme. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya
isofluran disuplementasi dengan obat-obat intravena. Kurang dari 0,2% dosis
yang diberikan dimetabolisasi menjadi bentuk flourid dan asam trifluoroasetil.9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


b. Desfluran
Mulai digunakan pada tahun 1992 merupakan obat inhalasi berbau
menyengat dengan sifat tidak mudah terbakar dan non korosif. Namun memiliki
kelarutan dalam darah yang sangat rendah, sama halnya dengan N2O desfluran
secara cepat menginduksi anestesia. Pemulihan pada pasien juga cepat,
diperkirakan sebanyak dua kali lebih cepat dibandingkan isofluran. Karena
memiliki sifat yang cepat dalam induksi dan pemulihan maka desfluran sering
dipilih terutama untuk pasien rawat jalan. Desfluran jarang diasosiasikan dengan
hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas.11
c. Sevofluran
Sevofluran merupakan obat anestesi yang mudah menguap, tidak mudah
terbakar, tidak iritatif dan berbau kurang menyengat. Sama dengan desfluran pada
banyak aksi farmakologis nya kecuali sevofluran memiliki kelarutan darah yang
lebih baik dari desfluran serta lebih poten dan tidak iritatif pada pernapasan.
Induksi dan pemulihan juga terjadi cepat. 11

3.1.5.2 Obat-obat Intravena


a. Propofol
Propofol atau diprivan merupakan anestetik parenteral yang paling sering
dipakai di Amerika Serikat. Propofol bekerja dengan cara meningkatkan
neurotransmiter GABAergik didalam sistem saraf pusat. Karena memiliki sifat
yang hampir tidak larut air, propofol diformulasikan dalam emulsi 1% atau 2%
dengan minyak kedelai, lesitin pada telur dan gliserol. Pemberian intavena dengan
dosis 2 – 2,5 mg/kgBB keadaan hipnosis dapat dicapai dalam 30 sampai 60 detik
dan bertahan selama 5 sampai 10 menit. Keadaan anestetik yang lebih lama dapat
dicapai dengan penambahan dosis propofol atau rumatan dengan obat anestesi
inhalasi. Sekitar 98% terikat pada protein plasma.11
b. Ketamin
Ketamin merupakan obat anestesi injeksi yang bekerja cepat dan sangat
poten. Sama halnya dengan propofol durasi aktivitas anestetik nya cepat yaitu
sekitar 10 sampai 25 menit. Ketamin tidak mampu merelaksasi otot sehingga
hanya bisa digunakan secara tunggal pada prsedur yang cepat tanpa membutuhkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


pelumpuh otot. Pemulihan dari anestesia dapat diikuti dengan kondisi emergence
delirium yang ditandai dengan ilusi visual atau auditorial. Mimpi ataupun
halusinasi yang mengganggu dapat terjadi sampai 24 jam setelah pemberian.11\
c. Tiopental
Merupakan golongan barbiturat ultrashort-acting yang digunakan secara
intravena. Digunakan biasanya untuk induksi, induksi yang dihasilkan bersifat
sangat cepat dan nyaman untuk pasien.11

3.1.5.3 Non-depolarizing Muscle Relaxants (NDMR)


Pilihan untuk menggunakan obat-obat pelumpuh otot bergantung baik
kepada jenis prosedur pembedahan ataupun jenis anestesi. Beberapa prosedur
memerlukan relaksasi otot untuk memfasilitasi tindakan (mis. operasi
intraabdominal). Dalam kasus lain,relaksasi otot diperlukan karena gerakan pasien
akan mengganggu (mis. bedah saraf, operasi mata). Dalam teknik kombinasi,
penggunaan relaksan otot mengurangi kebutuhan obat lain dan memfasilitasi
ventilasi mekanis. Pemilihan obat bergantung pada kecepatan onset, durasi aksi,
eliminasi obat dan efek samping obat.10

3.1.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang berkaitan dengan anestesi umum dikelompokan
menjadi empat kelompok besar yaitu:9
a. Post-operative nausea and vomiting
b. Komplikasi pulmonologi
c. Komplikasi sirkulasi
d. Komplikasi neurologis

3.2 Anatomi Otak


a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
sebasea (keringat).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


 Connective tissue atau jaringan penyambung merupakan jaringan lemak
yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas
galea.Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat,
berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior),
m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini
dipersarafi oleh N. VII.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Lapisan ini
mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika
terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke
intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang
terjadi pada lapisan ini disebut subgaleal hematom, merupakan hematoma
yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
 Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum
akan langsung berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang
longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada
anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala

b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis cranii.Tulang
tengkorak terbagi atas beberapa bagian tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital.Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun bagian ini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior tempat
lobusfrontalis,fossa media tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi
bagian bawah batang otak dan serebelum.12,13
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:12,13

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm.Duramater terletak
paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung
melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan
meningeal).Duramater merupakan selaput yang kerasterdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.Karena tidak
melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.Diperdarahi oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior.Masing-
masing merupakan cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri
carotis eksterna untuk yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis.12,13

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm.Arakhnoid terletak
tepat dibawah duramater.Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan
nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki
banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari
pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Piamater
Piamater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya
pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan piaglia (dalam).Lapisan ini melekat erat
pada permukaan korteks serebri.Pia mater adalah membrana vaskular yang
dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang
paling dalam.Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.12,13

d. Otak

Gambar 3. Bagian Otak


Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa
sekitar 14 kg.Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
yang terdiri atas serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah), dan
rhombensefalon (otak belakang) yang terdiri atas pons,medula oblongata dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


serebellum.Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab atas
fungsi koordinasi dan keseimbangan.13

e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dariventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menujuventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata
pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.13

Gambar 4. Aliran Cairan Serebrospinal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).14

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi.Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut
keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.13

Gambar 5. Vaskularisasi kepala

3.3 Epidural Hematoma

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


3.3.1 Definisi

Epidural hematoma adalah perdarahan di dalam rongga epidural yang


disebabkan karena trauma.3 Epidural hematoma merupakan salah satu jenis
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.
Otak ditutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga dikelilingi
oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya
untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna. 3

3.3.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan


hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. Sekitar enam puluh persen penderita
hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.15

Tipe- tipe : 16

1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri, berlangsung selama


3 hari dan hasil CT-scan hiperdens

2. Subacute hematoma ( 31 % ), berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Hasil


CT-scan bisa hiperdens atau hipodens

3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena, berlangsung selama lebih


dari 7 hari dan hasil CT-scan hipodens.

3.3.4 Etiologi

Epidural hematoma dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.15

3.3.5 Patofisiologi

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan


dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.17

Gambar 6. Epidural Hematoma

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen


spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.17

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada


lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Seiring dengan makin membesarnya hematoma, seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial
meningkat. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan, deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital, dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom.17

Sumber perdarahan :17

1. Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )

2. Sinus duramati

3. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica


dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf


karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi
trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang
mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus
segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.17

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


3.3.6 Gambaran Klinis

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.


Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala
yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :17

1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

2. Bingung

3. Penglihatan kabur

4. Susah bicara

5. Nyeri kepala yang hebat

6. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

7. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

8. Mual

9. Pusing

10. Berkeringat

11. Pucat

12. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak.

Jika epidural hematom disertai cedera otak seperti memar otak, interval
bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.17

3.3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan
radiologis. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang diagnosis
seperti adanya anemia akibat perdarahan, namun pada kasus epidural hematom
murni seringkali ditemukan keadaan Hb normal, pemeriksaan elektrolit, fungsi
ginjal dan fungsi hati tergantung pada kasus yang ditemukan. Pemeriksaan
radiologis sangat menentukan penyebab dan jenis trauma kepala.

3.3.7.1 Foto Polos Kepala


Pada pemeriksaan foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti

sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral

dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur

tulang yang memotong sulcus arteria meningea media. Sebaiknya foto ini hanya

dilakukan pada cedera kepala ringan yang disertai dengan:

a. Riwayat pingsan atau amnesia


b. Adanya gejala neurologis seperti diplopia, vertigo, muntah, atau sakit
kepala
c. Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis
d. Adanya otorrhea atau rhinorrhea
e. Adanya kecurigaan luka tembus kepala
f. Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alcohol

3.3.7.2 Computed Tomography (CT-Scan)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek dan

potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja

(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,

paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen

(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula

garis fraktur pada areaepidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang

akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan ditemukan gambaran sebagai berikut:

a. Hiperdens ellips bikonveks dengan batas tegas


b. Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif
c. Hematoma tidak menyebrangi garis sutura kecuali jika terjadi fraktur

sutura yang diastatik


d. Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma

merupakan satu-satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat

memberikan gambaran seperti ini.


e. Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan

berhubungan dengan edema.


f. Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih bervariasi.

Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Gambar 7. CT-scan kepala tanpa kontras kasus epidural hematoma

CT-scan kepala tanpa kontras diindikasikan dengan kriteria :

Gambar 8. Indikasi CT-scan TBI

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


Gambar 9. Indikasi CT-scan pada TBI ringan

3.3.7.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

3.3.8 Diagnosis Banding


a. Hematoma subdural

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater

dan arachnoid.Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan

hematoma epidural yang berkembang lambat.Bisa di sebabkan oleh trauma hebat

pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai

tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan

jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan

cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


Gambar 10. Subdural hematoma

b. Hematoma Subarachnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah

didalamnya.

Gambar 11. Subarakhnoid hematoma

3.3.9 Tatalaksana

1. Primary survey dan resusitasi


a. Airway

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau

darah.Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat

mengakibatkan gangguan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus segera

dilakukan pada penderita koma.

b. Breathing

Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.Tindakan

hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat

yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

c. Circulation

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali

pada stadium terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami

gangguan.Perdarahan intrakranial tidak dapat menimbulkan syok

hemoragik.Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah yang cukup berat,

walaupun tidak selalu tampak jelas.

2. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status

kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex

cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan

merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita.

3. Secondary survey

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus

selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi

lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap

cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab

abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.

Setelah kondisi stabil,maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

c. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang

dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa

naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk

membuka jalur intravena, gunakan cairan NaCl 0,9% atau dextrose in saline.

d. Mengurangi edema serebri

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita

tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah

berbahaya. Namun harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang

berlebihan. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk

pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah

larutan garam fisiologis atau atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus

dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas,

dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi

hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.

b. Hiperventilasi

Bertujuan untuk menurunkan PCO2darah sehingga mencegah vasodilatasi

pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan

metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila

dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2diantara 25-30

mmHg.

c. Cairan hiperosmoler

Umumnya digunakan cairan manitol 20% per infus untuk "menarik" air

dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan

melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus

diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-

1 gram/kg BB dalam 10-30 menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada

kasus-kasus yangmenunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan

kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang)

setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

d. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa

waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa

kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis

parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba

dengan dosis awal 10 mg sampai 100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg

tiap 6 jam. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd

15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

e. Barbiturat

Digunakan untuk ”membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat

ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;

karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan

kerusakan akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif

terhadap otak dari anoksia dan iskemik ). Cara ini hanya dapat digunakan dengan

pengawasan yang ketat.

Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang

meninggi. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam

30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1

mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.

f. Fenitoin

Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin

(24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk

penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.

g. Cara lain

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000

ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan

bahwa posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan

tekanan intrakranial dan meningkatkan drainase vena.

Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama adalah:

- kepala dan leher diangkat 30°


- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°
- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat:18

a. Volume hematoma > 25 ml


b. Keadaan pasien memburuk
c. Pendorongan garis tengah > 3 mm

Penanganan darurat dengan cara:18

a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).


b. Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak

ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume:

a. > 25 cc  desak ruang supra tentorial


b. > 10 cc desak ruang infratentorial

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


c. > 5 cc  desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

a. Penurunan klinis
b. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif


c. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif

3.3.10 Komplikasi

1. Koagulopati

Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala

sudahdiketahui dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma

kepala, menunjukkan hasil bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal

dan 32% nya mengalami sindrom disseminated intravascular coagulation and

fibrinolysis (DICF).

2. Tromboemboli

Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous

thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE). Berdasarka penelitian,

didapatkan 4.3% pasien dengan trauma kepala didiagnosa DVT.

3.3.11 Prognosis

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,

karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada

pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

3.4 Kraniotomi
Kraniotomi adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang

tengkorak untuk memberikan akses secara langsung ke otak. Kraniotomi dapat

dilakukan pada tumor otak, perdarahan otak seperti subdural hematoma, epidural

hematoma, aneurisma serebri, malformasi arteriovenous, infeksi otak seperti abses

serebri serta trauma otak.6

3.4.1 Manajemen Preoperatif


Evaluasi pra operasi untuk pasien yang menjalani kraniotomi harus
dilakukan untuk menentukan ada atau tidaknya hipertensi intrakranial.
Pemindaian kepala (CTscan) dan magnetic resonance imaging (MRI) harus
dievaluasi dan ditinjau untuk membuktikan adanya edema otak, pergeseran garis
tengah yang lebih besar dari 0,5 cm, atau perpindahan maupun kompresi
ventrikel. Diagnostik pencitraan biasanya dilakukan sebelum pasien mendapat
terapi deksametason, sehingga efek massa mungkin kurang akut dibandingkan
pasien yang telah menerima deksametason saat berada di ruang operasi.
Pemeriksaan neurologis harus mendokumentasikan status mental, defisit sensorik
atau motorik apa pun pada pasien. Obat-obatan harus diperhatikan terkhusus
untuk terapi kortikosteroid, diuretik, dan antikonvulsan.4 Evaluasi laboratorium
harus menyingkirakn adanya hiperglikemia yang diinduksi kortikosteroid,
gangguan elektrolit akibat diuretik, atau sekresi antidiuretic akibat abnormalitas
hormonal. Konsentrasi antikonvulsan dalam darah dapat diukur, khususnya ketika
kejang tidak terkontrol dengan baik.

3.4.2 Premedikasi
Premedikasi dengan obat penenang atau opioid sebaiknya dihindari,
terutama ketika diduga terjadi hipertensi intrakranial. Hiperkapnia sekunder akibat
depresi pernapasan akan meningkatkan ICP. Kortikosteroid dan terapi
antikonvulsan harus dilanjutkan hingga waktu operasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


3.4.3 Manajemen Intraoperatif
3.4.3.1 Pemantauan
Selain monitor standar, pemantauan tekanan intraarterial langsung dan
kateterisasi kandung kemih dilakukan terhadap sebagian besar pasien yang
menjalani kraniotomi. Perubahan tekanan darah yang cepat selama prosedur
anestesi, posisi, dan manipulasi selama operasi sebaiknya dilakukan dengan
memeperhatikan monitoring tekanan darah invasif. Selain itu, analisis gas darah
arteri juga diperlukan untuk mengatur PaCO2 dengan cermat. Akses vena sentral
dan pemantauan tekanan dapat dipertimbangkan untuk pasien yang membutuhkan
obat vasoaktif. Penggunaan vena jugularis interna untuk akses intravena secara
teori dipermasalahkan karena adanya kekhawatiran bahwa kateter dapat
mengganggu drainase vena dari otak.Vena jugularis eksterna, subklavia, atau vena
perifer lainnya mungkin merupakan tempat insersi yang cocok untuk kateter vena
sentral. Kateterisasi kandung kemih diperlukan karena adanya penggunaan
diuretik, durasi panjang sebagian besar prosedur bedah saraf, kegunaan
kateterisasi kandung kemih sebagai patokan terapi cairan dan mengukur suhu inti
tubuh. Fungsi neuromuskuler harus dipantau pada sisi tubuh pasien yang tidak
hemiparesis karena respon kedutan seringkali tidak normal pada sisi yang terkena.
Pemantauan visual evoked potential dapat bermanfaat dalam mencegah kerusakan
saraf optik selama reseksi tumor hipofisis besar. Manajemen pasien dengan
hipertensi intrakranial dapat dilakukan dengan memantau ICP perioperatif.
Berbagai peralatan yang dimasukkan secara intraventrikel, intraparenchymal, dan
subdural dapat dilakukan oleh ahli bedah saraf untuk mengukur ICP. Kateter
ventrikulostomi memberikan keuntungan tambahan dengan memungkinkan
pembuangan CSF untuk mengurangi ICP.19

3.4.3.2 Induksi
Induksi anestesi dan intubasi trakea adalah periode kritis bagi pasien
dengan gangguan tekanan intrakranial terkait perubahan volume, terutama jika
terdapat peningkatan ICP. Elastansi intrakranial dapat ditingkatkan dengan
diuresisosmotik atau pembuangan CSF dalam volume kecil melalui drain
ventrikulostomi. Tujuan dari teknik tersebut adalah untuk kelancaran induksi
anestesi dan intubasi trakea tanpa meningkatkan ICP atau mengganggu CBF.
Hipertensi arteri selama induksi akan meningkatkan CBV dan menyebabkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


edema serebral. Hipertensi berkelanjutan dapat menyebabkan peningkatan ICP
yang bermakna, penurunan CPP dan risiko herniasi. Penurunan tekanan darah
arteri yang berlebihan bisa sama merugikannya dengan gangguan CPP. Teknik
induksi yang paling umum adalah menggunakan propofol bersama hiperventilasi
sedang untuk mengurangi ICP dan menumpulkan efek berbahaya dari
laringoskopi dan intubasi. Semua pasien mendapatkan ventilasi yang terkontrol
saat propofol telah disuntikkan. Blocker neuromuskuler (NMB) diberikan untuk
memfasilitasi terjadinya ventilasi dan mencegah regangan atau batuk, yang
keduanya bisa secara tiba-tiba meningkatkan ICP. Opioid intravena yang
diberikan bersamaan dengan propofol akan menumpulkan respon simpatik,
terutama pada pasien muda.19 Esmolol (0,5-1,0 mcg / kg) efektif dalam mencegah
takikardia akibat intubasi pada pasien yang dibius secara ringan. Teknik induksi
sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan respon individu masing-masing pasien
dan penyakit penyertanya. Suksinilkolin secara teori dapat meningkatkan ICP,
terutama jika intubasi dicoba sebelum anestesi dalam dilakukan. Namun,
suksinilkolin tetap menjadi agen pilihan untuk induksi cepat (rapid sequence
induction) atau ketika ada kekhawatiran mengenai akses jalan napas yang
berpotensi sulit, dimana efek hipoksemia dan hiperkarbia jauh lebih merugikan
daripada efek apa pun dari suksinilkolin pada pasien dengan hipertensi
intrakranial. Hipertensi selama induksi dapat diobati dengan β1-blocker atau
dengan memperdalam anestesi dengan propofol tambahan. Konsentrasi sedang
agen volatile 17 (misalnya, sevoflurane) juga dapat digunakan, asalkan
hiperventilasi juga dilakukan.5 Sevoflurane merupakan agen yang paling baik
dalam mempertahankan autoregulasi CBF dan menghasilkan vasodilatasi yang
terbatas; ini mungkin agen volatile yang paling disukai pada pasien dengan
peningkatan ICP. Karena efeknya berpotensi merusak CBV dan ICP, obat
vasodilator (mis. Nicardipine, nitroprusside, nitrogliserin, dan hydralazine) harus
dihindari sampai dura dibuka. Hipotensi pada umumnya diobati dengan dosis
tambahan vasopresor (misalnya, fenilefrin).19

3.4.3.3 Penentuan posisi


Craniotomi frontal, temporal, dan parietooccipital dilakukan dalam posisi
terlentang. Posisi kepala dinaikkan 15 ° hingga 30 ° untuk memfasilitasi drainase

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


vena dan CSF. Kepala juga dapat diputar ke samping untuk memudahkan
pemaparan. Fleksi berlebihan atau rotasi leher dapat menghambat drainase vena
jugularis dan dapat meningkatkan ICP. Sebelum dan setelah penentuan posisi,
ETT harus diamankan dan semua koneksi sirkuit pernapasan diperiksa. Risiko
diskoneksi tanpa disadari dapat meningkat karena jalan napas pasien tidak dapat
dinilai dengan mudah setelah tirai bedah dinaikkan; apalagi, meja operasi
biasanya diputar 90 ° atau 180 ° dari tenaga anestesi. 2.3.4 Pemeliharaan Anestesi
Anestesi dapat dipertahankan dengan agen anestesi inhalasi, teknik anestesi total
intravena (TIVA), atau kombinasi opioid dan intravena hipnosis (paling sering
propofol) dengan agen inhalasi dosis rendah. Meskipun periode stimulasi sedikit,
blockade neuromuskuler direkomendasikan—kecuali pemantauan neurofisiologis
bertentangan dengan penggunaannya — untuk mencegah mengejan, bucking, atau
gerakan lainnya. Kebutuhan anestesi yang meningkat terjadi pada periode yang
paling merangsang: laringoskopi-intubasi, sayatan kulit, pembukaan dural,
manipulasi periosteal, termasuk penempatan pin Mayfield. TIVA dengan
remifentanil dan propofol memfasilitasi kemunculan efek yang cepat dan
penilaian neurologis segera. Demikian juga, α2-agonis dexmedetomidine dapat
digunakan selama kraniotomi baik pada kondisi pasien tertidur dan terjaga dengan
efek yang sama.19 Hiperventilasi harus dilanjutkan secara intraoperatif untuk
mempertahankan PaCO2 kira-kira 30 hingga 35 mm Hg. Tekanan PaCO2 yang
lebih rendah hanya memberikan sedikit manfaat tambahan dan mungkin
berhubungan dengan iskemia serebral dan disosiasi oksigen dari hemoglobin yang
terganggu. Pola ventilasi yang dihasilkan dari tekanan jalan nafas rata-rata yang
tinggi (laju yang rendah dengan volume tidal besar) harus dihindari karena
berefek buruk pada ICP dengan meningkatkan tekanan vena sentral dan berpotensi
mencederai paru-paru. Pasien hipoksia mungkin memerlukan tekanan ekspirasi
akhir yang positif (PEEP) dan peningkatan tekanan jalan nafas rata-rata; pada
pasien tersebut, efek PEEP pada ICP bervariasi. Penggantian cairan intravena
harus dibatasi pada cairan isotonik yang bebas glukosa. Hiperglikemia sering
terjadi pada pasien bedah saraf dan berdampak dalam meningkatkan cedera otak
iskemik. Hiperglikemia harus dikoreksi sebelum operasi. Hipotensi dan hipertensi
harus segera diperbaiki.19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


3.4.5 Emergensi
Sebagian besar pasien yang menjalani kraniotomi elektif dapat diekstubasi
pada akhir prosedur operasi. Pasien yang akan tetap diintubasi harus dibius untuk
mencegah terjadinya agitasi. Ekstubasi di ruang operasi membutuhkan
penanganan khusus. Mengejan atau "mengetuk" tabung trakea bisa mencetuskan
perdarahan intrakranial atau memperburuk edema serebral. Saat kulit sedang
ditutup, pasien dapat bernapas secara spontan. Sebaiknya kepala pasien
diamankan dalam apparatus pin Mayfield, perawatan harus diambil untuk
menghindari gerakan pasien (mis.,bucking di tuba), yang bisa menyebabkan
cedera leher atau tengkorak.Setelah pembalut kepala diterapkan dan akses penuh
ke pasien diperoleh kembali meja dikembalikan ke posisi semula saat induksi),
agen anestesi dihentikan dan blokade neuromuskuler dibalik. Kesadaran yang
kembali secara cepat memfasilitasi penilaian neurologis segera. Peningkatan
kesadaran yang lambat dapat terjadi setelah overdosis opioid atau sedatif , yaitu
ketika konsentrasi end-tidal dari agen volatile lebih besar dari 0,2 konsentrasi
alveolar minimum (MAC), atau ketika ada gangguan metabolisme atau cedera
neurologis perioperatif. Pasien mungkin perlu diangkut ke pemindai kepala
langsung dari ruang operasi untuk evaluasi ketika mereka tidak merespons seperti
yang diperkirakan. Eksplorasi ulang segera mungkin diperlukan. Sebagian besar
pasien kemudian dirawat di ICU untuk mendapatkan pemantauan ketat fungsi
neurologis.19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,


FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
2. Garrett MP, Spetzler RF. Craniotomy. In: Encyclopedia of Neurological
Science (2nd ed). USA: Elsevier, 2014.

3. Farhan AM, Justin FF. Traumatic Brain Injury dalam Ferri’s Clinical Advisor
2018. Philladelphia. Elsevier. 2018; pp: 1297-1299.e1.

4. Michael G, Ivan JS dan Kevin A. Neurologic Evaluation and Management


dalam Oral and Maxillofacial Trauma. Edisi 4. Elsevier. 2013; pp: (8)142-166.

5. Alice T, Valery F, Florence CM, Andrew IR. Epidemiology of Traumatic Brain


Injury. Edisi 7. Elsevier. 2017; pp: 336, 2748-2754.

6. Global Burden of Diseases Neurological Disorders Collaborator Group.


Global, regional, and national burden of neurological disorders during 1990-
2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015.
Lancet Neurol. 2017;16:877–897.
7. Yaacoub S. General anesthesia: a literature review – induction, mechanism,
agents, and effects. Eastern Michigan University, MI. 2015;1.
8. Smith G, Goldman J. General anesthesia for surgeons. 2018 [diakses
07/03/2019]; diunduh dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/
9. Paavolainen L, Wallstedt J. Post-operative complications of general
anesthesia. JAMK University of Applied Sciences, Jyvaskyla. 2016;5-15.
10. Raymer K, Kolesar R. Understanding anesthesia – a learner’s handbook.
McMaster University, Hamilton. 2012;56-9.
11. Maher TJ. Anesthetic agents: general and local anesthetics. Dalam: Lemke TL,
Williams DA, Roche VF, Zito SW, penyunting. Foye’s principal of medical
chemistry. Ed 7. Baltimore: Lippincott; 2013.h.518-22
12. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
13. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


14. Smeltzer, S & Bare, 2002, Keperawatan Medical Bedah edisi 8, alih bahasa,
Kuncara H, Hartono A, Ester M & Asih Y; Editor Bahasa Indonesia, Jakarta :
EGC
15. Brain Trauma Foundation, American Association of Neurological Surgeons,
Congress of Neurological Surgeons. Guidelines for the management of severe
traumatic brain injury. J Neurotraum. 2007;24:S1-106
16. Rocchi G, Caroli E, Raco A, et al: Traumatic epidural hematoma in children. J
Child Neurol 2005; 20: pp. 569-571
17. Carney N, Totten AM, O'Reilly C, Ullman JS, Hawryluk GW, Bell MJ,
Bratton SL. Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury.
Edisi ke-5. Neurosurgery: 2017; pp: 80(1):6-15
18. Young HJ, Ji WO, Sungmin C. Clinical Outcome of Acute Epidural
Hematoma in Korea: Preliminary Report of 285 Cases Registered in the
Korean Trauma Data Bank System. Korean J Neurotrauma. 2016; pp: 12(2):
47–54
19. Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC.
Graw Hill;. ClinicalTrials.gov. Anesthesia for Neurosurgery. 2018;Ch.27

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46

Anda mungkin juga menyukai