Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN E.C CEDERA OTAK


TRAUMATIK

Oleh :
Radianti Frederika, S.Ked
FAB 118 094

Pembimbing :
dr. Tagor Sibarani
dr. C. Yuniardi Alriyanto

Disusun Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Dalam Mengikuti


Program Pendidikan Profesi Bagian Rehabilitasi Medik dan
Emergency Medicine
Fakultas Kedokteran UPR/RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangkaraya
2020
1
BAB I
PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar,


tidak terjaga, tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respon yang normal terhadap stimulus. Hal ini dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor di dalam tubuh.1
Prevalensi penurunan kesadaran berdasarkan laporan rawat inap di
Inggris tahun 2002-2003 melaporkan bahwa 0,2% dari seluruh rumah
sakit di Inggris memiliki pasien yang masuk ruang gawat darurat
dengan penurunan kesadaran. Hasil lain dilaporkan oleh dua rumah
sakit daerah Boston, Amerika Serikat, dimana penurunan kesadaran
diperkirakan menyebabkan hampir 3% dari seluruh diagnosis masuk
rumah sakit. Penyebab yang paling banyak dari laporan tersebut
adalah alkoholisme, trauma serebri dan stroke.1
Cedera otak masih merupakan masalah kesehatan utama dengan
konsekuensi sosial ekonomi yang serius. Di negara berkembang
seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan
dampak insidensi cedera otak cenderung semakin meningkat.1
Cedera kepala traumatik adalah salah satu masalah kesehatan utama
dan masalah sosialekonomi yang menjadi penyebab kematian pada
dewasa maupun anak-anak, serta kecacatan di dunia. Di Amerika
Serikat, lebih dari 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap
2
tahunnya dan sekitar 290 ribu orang menjalani perawatan, 51.000
kasus kematian serta 80.000 orang mengalami cacat permanen. Di
Uni Eropa menyebabkan sekitar 1 juta orang menjalani perawatan
serta 50 ribu kematian dan sekitar 10 ribu orang menjadi cacat.2
Cedera kepala diklasifikasikan menurut derajatnya dengan skor
Glasgow Coma Scale pasca resusitasi, yaitu cedera kepala ringan
(GCS 13–15), cedera kepala sedang (GCS 9–12), dan cedera berat
(GCS <8). Patofisiologi dari cedera kepala meliputi cedera kepala
primer dan sekunder.Cedera kepala primer adalah kerusakan yang
disebabkan trauma mekanis terhadap tulang kepala dan jaringan otak,
sedangkan cedera sekunder merupakan proses komplek yang
mengikuti dan memperberat cedera primer yang terjadi dalam
beberapa jam dan beberapa hari.
Penyebab cedera sekunder bisa intrakranial bisa ekstrakranial atau
sistemik. Penyebab intrakranial misalnya epidural, subdural,
intraserebral hematoma, edema serebral, peningkatan ICP. Penyebab
sistemik seperti hipoksemi, hiperkapni, hipotensi, anemi, hipertensi,
hipoglikemi, hipertermi, sepsis. Penatalaksanaan cedera kepala
difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder.2
Secara global di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 100.000
penderita mengalami berbagai derajat kecacatan akibat cedera otak
setiap tahun nya. Dalam suatu penelitian dilaporkan tingkat kematian
mencapai 23,9% pada penderita dengan cedera difus dan 40,4% pada
penderita dengan cedera fokal 1–3 Diantara pasien yang koma
3
setelah kecelakaan,baik akibat efek awal cedera maupun akibat
komplikasinya, kurang lebih sepertiga diantaranya akan meninggal,
sepertiga lagi mengalami kecacatan dan sepertiga sisanya hidup
dengan bergantung pada orang lain. Nilai ini akan bertambah setiap
tahunnya, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,produksi
kendaraan dan mobilitas serta aktifitas penduduk. Pengurangan
mortalitas dan morbiditas dalam jumlah kecil pun akan mempunyai
dampak yang nyata dan berarti dalam bidang kesehatan, sosial dan
ekonomi.3
Cedera otak menjadi penyebab utama terjadinya morbiditas dan
mortalitas disemua usia manusia. Sekarang ini, tidak ada pengobatan
yang efektif untuk mengintervensi efek dari cedera otak primer,
tetapi terapi ditujukan untuk meminimalisir dari cedera otak sekunder
sebagai ikutan dari cedera otak primernya yang diakibatkan oleh efek
dari iskemia, hipoksia, dan peningkatan tekanan intrakranial.3

BAB II
4
LAPORAN KASUS

2.1 PRIMARY SURVEY


Tn. M, 58 tahun
Vital Sign :
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 65 x/menit, cepat dan lemah
Suhu : 36,5 0C
Pernapasan : 28 x/menit, pernapasan thorakal-
abdominal
Airway : ada secret/sputum dan darah
Breathing : spontan, 28 x/menit, pernapasan thorakal-
abdominal, pergerakan thoraks simetris kanan
& kiri
Circulation : nadi 65 x/menit, lemah. CRT <2 detik
Disability : GCS 9 (E2M5V2), pupil anisokor 3mm-
2mm
Evaluasi masalah : Kasus ini merupakan kasus yang termasuk
dalam emergency karena pasien datang diantar ambulans dan
keluarga dalam kondisi tidak sadarkan diri dan berdasarkan
penilaian tanda vital, pernapasan pasien 28x/menit sehingga
pasien masuk dalam salah satu trias emergency. Pasien kemudian
ditempatkan di ruang non bedah dan diberi label warna merah.

5
Tatalaksana awal : Tata laksana awal pada pasien ini adalah
memposisikan pasien, elevasi kepala 15o, diberikan O2 4 NRM 10
Lpm

2.2 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M
Usia : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : JL. Danau Indah
Tanggal pemeriksaan : 06 Januari 2020

2.3 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap istri dan
anak pasien pada tanggal 06 Januari 2020 di ruang IGD
RSUD dr. Doris Sylvanus.
1. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Pasien merupakan rujukan dari RS Awal Bros
 Pasien dengan penurunan kesadaran post KLL
motor vs motor kurang lebih 30 Menit SMRS.
Pasien lalu dibawa ke rumah sakit Awal Bros dan
mendapat perawatan selama 9 jam dan akhirnya
dirujuk ke RSUD dr. Doris Sylvanus.
6
 Mekanisme Kejadian KLL tidak diketahui karena
pasien dan lawan masih sama-sama tidak sadarkan
diri, muntah (+) 2 kali setelah kejadian isi air dan
makanan, lendir (+), darah (-). Kejang (-)
 Menurut istri, pasien menggunakan helm standar
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Menurut istri, pasien mempunyai riwayat tekanan
darah tinggi, tetapi pasien tidak pernah kontrol
dan minum obat.
 Riwayat DM dan Jantung tidak diketahui. Riwayat
stroke (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi pada keluarga dan riwayat diabetes
mellitus dan jantung disangkal.

2.4 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : Tampak Sakit Berat
b. Kesadaran : GCS 9 (E2M5V2)

B. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 160/90 mmHg
b. Nadi : 65 x/menit, cepat dan lemah
c. Suhu : 36,5 0C (suhu aksila)
7
d. Pernapasan : 28 x/menit, pernapasan
thorakal-abdominal
e. SpO2 : 98%
C. Kepala : hematom di ocipital dextra sebesar 5-6 cm,
luka robek (-)
D. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
pupil anisokor 3mm/2mm, refleks cahaya (+),
E. Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-),
nafas cuping hidung (-).
F. Mulut : sputum (+)
G. Leher : terpasang colar neck, jejas (-)
H. Thorax
a. Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea
midclavicula sinistra
Auskultasi: SI-SII tunggal reguler, Murmur (-),
Gallop (-).
b. Pulmo :
Inspeksi : Simetris +/+, Massa (-), Retraksi (-),
jejas (-)
Palpasi : Massa (-), Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+) dikedua lapang paru

8
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki (+/+),
Wheezing (-/-)
I. Abdomen
Inspeksi : datar, Massa (-), Jejas (-),
Auskultasi : Bising Usus (+)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
J. Ekstermitas : Akral dingin, CRT >2 detik
Pitting Oedem (-/-)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Interpretasi
rujukan
Hemoglobin 15,8 g/dl 11-16 g/dl Normal
Leukosit 30.180/uL 4000- Meningkat
10.000/uL
Trombosit 293.000/uL 150000- Normal
450000/uL
Hematokrit 44,9 % 37-54% Normal
Gula darah 211 mg/dL <200 mg/dL Normal
sewaktu
Creatinine 0,75 mg/Dl 0,17-1,50 Normal
mg/dL

9
CT 400 4-10 menit Normal
BT 200 1-3 menit Normal
Elektrolit
-Natrium 134 135-148 Normal
-Kalium 4,3 mmol/L Normal
-Calcium 1,01 3,5-5,3 Normal
mmol/L
0,98-1,2
mmol/L

B. Radiologi

C. CT Scan :

10
pada pasien telah dilakukan CT Scan Kepala dengan hasil
SDH bilateral+SAH+ICH+Edema cerebri+fr. Linear os
ocipitale.

2.6 DIAGNOSIS

11
Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran
Diagnosis Anatomi : SDH bilateral+SAH+ICH+Edema
cerebri+fr. Linear os ocipitale
Diagnosis Etiologi: cedera otak traumatik
Diagnosis Kerja : Penurunan kesadaran ec cedera otak
traumatik

2.7 PENATALAKSANAAN IGD


 O2 NRM 10 liter/menit
 Suction berkala
 Elevasi kepala 15o
 IVFD NaCl 0,9% : 1500/24 jam
 Inf. Manitol 20% 4x125 cc (selanjutnya)
Injeksi. :
 Cefotaxime 3x1
 Omeprazole 2x40mg
 Antrain 3x1 gr
 Ondancentron 2x8 mg
 Phenytoin 3x100mg
Konsul bedah saraf dan anastesi untuk pro Operasi cito
treparasi evaluasi SDH
Observasi :

12
 GCS  jika GCS
menurun segera
laporkan
 Tanda vital : Tekanan
darah, nadi, suhu dan respirasi

Prognosis :
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia

Quo ad sanationam : dubia

13
BAB III
PEMBAHASAN
Dilaporkan pria dengan umur 58 tahun Rujukan RS Awal Bros
datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus. Dilakukan pemeriksaan
dan didiagnosa Penurunan kesadaran e.c Cedera Otak Traumatik.
Pada kesempatan kali ini, akan dibahas mengenai penegakan
diagnosis dan tatalaksana.
Kesadaran adalah suatu keadaan di mana seorang individu
sepenuhnya sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan
sekitar. Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang
berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending reticular activating
system (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik
melibatkan sistem anatomi maupun fungsional, maka akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita
tidak sadar, tidak terjaga, tidak terbangun secara utuh sehingga tidak
mampu memberikan respon yang normal terhadap stimulus. Hal ini
dapat diakibatkan oleh berbagai faktor di dalam tubuh.1
Prevalensi penurunan kesadaran berdasarkan laporan rawat
inap di Inggris tahun 2002-2003 melaporkan bahwa 0,2% dari
14
seluruh rumah sakit di Inggris memiliki pasien yang masuk ruang
gawat darurat dengan penurunan kesadaran. Hasil lain dilaporkan
oleh dua rumah sakit daerah Boston, Amerika Serikat, dimana
penurunan kesadaran diperkirakan menyebabkan hampir 3% dari
seluruh diagnosis masuk rumah sakit. Penyebab yang paling banyak
dari laporan tersebut adalah alkoholisme, trauma serebri dan stroke. 1
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit pendidikan
dr. Pirngadi, Medan, memperkirakan bahwa terdapat 3% kasus
dengan penurunan kesadaran yang masuk ke ruang gawat darurat.
Etiologi penurunan kesadaran dapat bermacam-macam seperti:
a. Sirkulasi : Stroke perdarahan, stroke iskemik
b. Infeksi : Ensefalitis
c. Metabolic : Hiperglikemia, hipoglikemia, sindrom
uremia
d. Gangguan elektrolit : Muntah, Diare
e. Neoplasma atau tumor
f. Intoksikasi : alkohol, obat-obatan
g. Trauma : perdarahan epidural, subdural, fraktur basis
crani

Penilaian kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale:


Jenis respon Kriteria Arti Skor
Pembukaan Spontan Dapat membuka mata 4
mata sendiri

15
Terhadap Membuka mata bila 3
perintah dipanggil
Terhadap Membuka mata bila 2
rangsang nyeri dirangsang nyeri
Tidak ada Tidak membuka mata 1
dengan rangsang apapun
Verbal Orientasi Keadaan sadar dengan 5
penuh orientasi orang, waktu dan
tempat yang utuh
Bicara kacau Dapat diajak berbicara, 4
tetapi jawabannya kacau
Kata tanpa arti Mengeluarkan kata-kata 3
yang tidak mengandung
arti
Suara tanpa Mengeluarkan suara 2
arti seperti mengerang atau
merintih
Tidak ada Tidak ada suara sama 1
respon sekali
Motorik Menurut Dapat melakukan gerakan 6
perintah sesuai perintah
Lokalisasi Dapat melokalisasi rasa 5
nyeri nyeri
Menghindari Dapat menghindari 4
nyeri rangsang nyeri yang
diberikan
Fleksi Fleksi lengan disertai 3
abnormal abduksi bahu
(dekortikasi)
Ekstensi Ekstensi lengan disertai 2
abnormal abduksi bahu dan pronasi
lengan bawah
Tidak ada Tidak ada gerakan dengan 1
respon / rangsangan cukup kuat

16
flaksid

Pada pasien ini didapatkan dari anamesis etiologik penurunan


kesadaran akibat trauma kecelakaan lalu lintas, Pada pemeriksaan
Fisik didapatkan GCS 9 dimana pasien hanya membuka mata saat
dirangsang nyeri yaitu Eye 2, tidak dapat bicara dan hanya terdengar
merintih yaitu verbal 2, dan motorik 5 dimana pasien dapat
menlokalisasi rangsang nyeri yang diberikan.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala;
benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup,
beban impulsive memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak
fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi
kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya
mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang
tengkorak. Kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera
fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan
cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung
mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse
Axona lInjury (DAI). Cedera rotasi secara khusus menyebabkan
cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam.
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan
rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia.
Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering
mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang
17
belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan). Cedera
lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang
mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti
membutuhkan intervensi pembedahan.
Ada 3 mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu:
akselerasi, deselerasi, dan deformitas.
a. Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala
diam, misalnya orang yang diam kemudian di pukul atau
terlempar batu.
b. Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda
yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian
tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur
kepala, kompresi, ketegangan ataupemotonganpada
jaringan otak.
Pada saat deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga
dapat menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan (kup) dan
kerusakan pada daerah yang berlawanan dengan benturan (kontra
kup).

Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury) adalah suatu proses


patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif maupun
kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar (trauma),

18
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik dan psikososial yang
sifatnya menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau
berubahnya tingkat kesadaran. Penyebab cedera otak traumatik yaitu
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, cedera olah raga, cedera
pada rekreasi (misalnya parachute jumping), luka tembak,
kriminalitas, penyalahgunaan anak (child abuse). Cedera otak primer
akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak
saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan
perdarahan). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan
otak lokal, multi fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan
pembuluh darah. Temuan radiologis pada CT Scan otak yaitu
perdarahan epidural, perdarahan sub dural, perdarahan intra serebral,
bercak perdarahan kontusio, cedera difus dan sebagainya.
Cedera otak sekunder adalah akibat lanjutan dari cedera otak primer
terdiri dari faktor-faktor lokal (intra kranial) dan sistemik (ekstra
kranial). Suatu hal penting dalam memahami cedera kepala murni
(isolated) dengan atau tanpa disertai cedera struktur anatomi dibawah
leher (polytrauma). Cedera ganda (polytrauma, multitrauma)
memiliki kontribusi besar pada kejadian insult cedera otak sekunder.2
Mekanisme Cedera Kepala Gennarelli dan Thibault membedakan 2
mekanisme, yaitu Mekanisme Kontak, yaitu kepala mendapatkan
pukulan tanpa melihat apakah kepala bergerak atau tidak. Lesi
kontak terjadi bersama dengan lesi akselerasi. Lesi kontak murni
adalah lesi yang terjadi daerah dekat impak ataupun jauh dari tempat
19
impak. Mekanisme Akselerasi tranlasi bila pusat gravitasi otak
bergerak sesuai garis lurus, Akselerasi rotasi yaitu gerakan disekitar
pusat tanpa menggerakkan pusat gravitasinya. Akselerasi angulasi
merupakan kombinasi diatas. Trauma akselerasi mengakibatkan.
a. Cedera kepala pada permukaan seperti SDH, Memar kontra
bentur.
b. Cedera pada bagian dalam seperti Concussion DAI. Konkusio
serebri hanya terjadi pada akselerasi angulasi dan rotasi.
Memar kortikal, PIS & SDH karena translasi.
Kerusakan otak primer, akibat benturan atau proses mekanik yang
mengakibatkan fraktur tengkorak atau otak, robekan atau regangan
serabut saraf, cedera otak fokal atau difus serta kematian langsung
neuron daerah yang terkena.
- Laserasi kulit kepala.
- Fraktur tulang tengkorak.
- Cedera otak fokal. EDH atau SDH
- Memar dan Laserasi. Terutama pada kutub frontal dan temporal
serta permukaan inferior lobus frontalis dan lobus temporalis,
karena kontak dengan protuberansia pada basis tulang tengkorak.
- Beberapa tipe kerusakan primer lainnya. Nervi kraniales,
terutama n.olfactorius, n.optikus dan n.vestibularis dapat
mengalami kontusi atau robek pada saat terjadinya cedera.
- Cedera otak difus.

20
Kerusakan otak sekunder yaitu proses komplikasi, kelanjutan dari
kerusakan otak primer misalnya meluasnya perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berlanjut dan iskemik fokal atau global. Proses ini
terjadi oleh karena kerusakan sawar darah otak, gangguan
metabolisme otak, pengeluaran neurotransmitter dan radikal bebas.
1. Hematom Intrakranial Ekstra aksial : EDH, SDH, PSA dan
Intra aksial : PIS, PIV
2. Edema serebri
3. Herniasi tentorial / tonsiler
4. Iskhemia serebral fokal / global
5. Infeksi
6. Hydrocephalus
Derajat cedera kepala
• Cedera Kepala Minimal (GCS 15)
• Cedera Kepala Ringan (GCS 13 – 15)
• Cedera Kepala Sedang (GCS 9 – 12)
• Cedera Kepala Berat (GCS 3 – 8)4
Tatalaksana awal
- Primary Survey yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure
- Secondary survey yaitu Dilakukan pemeriksaan menyeluruh
mulai dari kepala sampai akral
Penanganan
Perdarahan Subdural
21
SDH dengan tebal perdarahan lebih dari 10 mm/ midline shift lebih
dari 5 mm harus dilakukan tindakan operatif , Pasien dengan Akut
SDH dan GCS kurang dari 9 harus dilakukan pemantauan tekanan
ICP
SDH dengan tebal perdarahan kurang dari 10 mm atau midline shift
kurang dari 5 mm dapat dilakukan tindakan operatif bila GCS
berkurang 2 poin atau lebih dibandingkan saat pasien masuk,
terdapat reflex pupil yang abnormal atau ICP lebih dari 20 mmHg
Perdarahan Intracerebri
Lesi parenkim dengan gangguan neurologik yang reversibel,
hipertensi intracranial yang refrakter terhadap pengobatan
medikamentosa dan adanya efek massa pada CT scan perlu
dilakukan tindakan operatif. Pasien dengan GCS 6-8 dengan lesi
frontal atau temporal lebih dari 20 cc dengan midline shift lebih dari
5 mm atau kompresi cisternal, atau lesi dimanapun dengan volume
lebih dari 50 cc perlu dilakukan tindakan operatif. Lesi parenkim
tanpa gangguan neurologik, tidak ada tandatanda penekanan yag
disebabkan oleh efek massa dengan ICP yang terkontrol dapat
ditangani dengan tindakan non operatif.5
Pada pasien ini, diketahui dari anamesis Pasien dengan penurunan
kesadaran post KLL motor vs motor kurang lebih 30 Menit SMRS.
Pasien lalu dibawa ke rumah sakit Awal Bros dan mendapat
perawatan selama 9 jam dan akhirnya dirujuk ke RSUD dr. Doris
Sylvanus, muntah (+) 2 kali setelah kejadian isi air dan makanan,
22
lendir (+), darah (-). Kejang (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
GCS 9, terdapat hematom pada occipital dan adanya produksi
sputum. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan SDH bilateral, SAH,
ICH, edema serebri dan fraktur linier os ocipitale. Dari anamesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui pasien mengalami
penurunan kesadaran akibat trauma, derajat cedera kepala sedang
dengan kerusakan otak primer dan sekunder.

23
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien atas nama Tn. M, 58 tahun


yang datang diantar keluarga dengan penurunan kesadaran.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang, diagnosis pasien mengarah ke
penurunan kesadaran ec Cedera otak traumatik.
Penatalaksanaan awal yang diberikan pada pasien adalah
memposisikan pasien dengan elevasi kepala 15o dan oksigen
NRM 10 lpm. Pasien masuk resusitasi dan diberi label warna
merah. Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian bedah saraf
dan anastesi untuk Operasi cito treparasi evaluasi SDH.
Observasi pasien meliputi kesadaran dan tanda vital tekanan
darah, nadi, suhu dan respirasi serta GCS.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Steven S. Pendekatan diagnostic dan tatalaksana penurunan


kesadaran. FKUI: 2009.
2. Rohadi, Bambang Priyanto, dkk. Hubungan Tingkat
Keparahan Cedera Otak dengan Petanda Inflamasi pada
Pasien Cedera Otak Traumatik di RSUD Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Kedokteran Unram 2017, 6 (2): 1-4
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154
3. Basuki surnato,. Dkk. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing. JNI 2015
4. Carney N, dkk. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury 4th Edition. Braintaruma. 2016

25

Anda mungkin juga menyukai