Anda di halaman 1dari 148

CSL 6 | 2019

DAFTAR JUDUL KETERAMPILAN CSL 6

N JUDUL JUMLAH JUMLAH


BLOK PENUGASAN
O KETERAMPILAN MINGGU PERTEMUAN
Anamnesis Penyakit
1 1 2 Kali -
Gatrointestinal
GASTRO Pemeriksan Fisik
2 1 2 Kali -
INTESTINAL Abdomen Lanjut
Pemasangan NGT
3 1 2 Kali -
dan bilas lambung
3 Konseling 1 2 Kali -
Membuat materi &
IKAKOM media penyuluhan
4 Penyuluhan Massal 1 2 Kali
dgn topik yg
ditentukan
7 Pemeriksaan 1 2 Kali -
Neurologis 1
8 Pemeriksaan 1 2 Kali -
NEURO
Neurologis 2
PSIKIATRI
9 MMSE 1 2 Kali -
Anamnesis & 1 2 Kali Mencari Kasus
Pemeriksaan Psikiatri Psikiatri

1
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
ANAMNESIS PENYAKIT GASTROINTESTINAL
dr. Dina Tri Amalia, MKK; dr. Iswandi Darwis, M.Sc, Sp.PD

A. TEMA :
Keterampilan Komunikasi Anamnesis Penyakit Gastrointestinal

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan instruksional umum
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis penyakit gastrointestinal
dengan baik dan benar
2. Tujuan instruksional khusus
a. Mahasiswa dapat mengawali dan mengakhiri anamnesis secara
urut
b. Mahasiswa mengucapkan salam pembuka di awal dan penutup
di akhir
c. Mahasiswa dapat menggali informasi dengan detail, namun
relevan dengan permasalahan terutama masalah penyakit
gastrointestinal
d. Mahasiswa dapat menunjukkan penampilan yang baik
e. Mahasiswa dapat menjaga suasana proses anamnesis yang baik
f. Mahasiswa dapat memahami dan menggunakan
bahasa yang dipahami responden
g. Mahasiswa dapat menghindari sikap interogasi
h. Mahasiswa dapat melakukan cross check
i. Mahasiswa dapat bersikap netral
j. Mahasiswa dapat melaksanakan umpan balik
k. Mahasiswa dapat mencatat hasil anamnesis dengan
jelas serta menyimpulkan hasil anamnesis.

C. ALAT DAN BAHAN


 Pasien Simulasi
 Meja dan kursi periksa

D. SKENARIO
Seorang pasien laki-laki berumur 25 tahun, datang ke praktek anda
dengan keluhan BAB cair lebih dari 3x dalam sehari, disertai badan
lemas dan lesu sejak 2 hari yang lalu. Lakukan anamnesis pada pasien
tersebut.
2
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
E. DASAR TEORI
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
wawancara. Anamnesis dapat dilakukan langsung kepada pasien,
yang disebut sebagai autoanamnesis, atau dilakukan terhadap
orangtua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain,
yang disebut sebagai alloanamnesis. Termasuk di dalam
alloanamnesis adalah semua keterangan dari dokter yang merujuk,
catatan rekaman medik, dan semua keterangan yang diperoleh
selain dari pasiennya sendiri.
Anamnesis biasanya dilakukan dengan wawancara secara tatap
muka, dan keberhasilannya untuk sebagian besar tergantung pada
kepribadian, pengalaman dan kebijakan pemeriksa. Dalam
melakukan anamnesis, diperlukan teknik komunikasi dengan rasa
empati yang tinggi dan teknik komunikasi itu terdiri atas
komunikasi verbal dan non verbal yang harus diperhatikan.
Kemudian rahasia harus dipegang kuat karena pasien datang
dengan rasa kepercayaan. Bila anamnesis dilakukan dengan baik
maka lebih kurang 70% diagnosis penyakit sudah dapat ditegakkan.
Pada penyakit gastrointestinal keluhan yang dirasakan pasien
dapat berkaitan dengan gangguan lokal/ intralumen saluran cerna
(misalnya adanya ulkus duodeni, gastritis dan sebagainya) atau
dapat pula disebabkan oleh penyakit sistemik (misalnya diabetes
melitus), sehingga diperlukan anamnesis yang teliti, akurat dan
bertahap untuk memformulasikan gangguan yang terjadi sehingga
bila dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik, kita dapat
merencanakan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Terdapat beberapa gejala/kumpulan gejala/
keluhan yang karakteristik untuk penyakit gastrointestinal yang
dikemukakan oleh pasien dan perlu diperoleh persepsi yang sama
oleh dokter yang memeriksanya. Untuk itu diperlukan teknik
anamnesis yang baik. Sakit perut yang dikeluhkan oleh pasien
harus dijabarkan dan diinterpretasikan dengan baik agar diperoleh
data apakah sakit perut tersebut merupakan nyeri epigastrik, kolik
bilier, kolik usus atau suatu nyeri akibat rangsang peritoneal. Tidak
jarang pula suatu keluhan tertentu diekspresikan secara berbeda,
terutama dalam istilah, tergantung pada latar belakang pendidikan,
sosial, budaya pasien.
Berikut akan kita bahas beberapa keluhan yang
disebabkan oleh penyakit GI dan perkiraan penyakit yang
mendasarinya, sehingga diharapkan dengan teknik anamnesis yang
3
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
baik dapat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit
tersebut:

1. Dispepsia
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu
sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati, kembung, mual,muntah,sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu
semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun
keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis
keluhan maupun kualitasnya.
Etiologi dispepsia:
 Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak
gaster/ duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter
pylori.
 Obat- obatan : OAINS, aspirin, beberapa jenis antibiotik
dsb.
 Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier: hepatitis,
pankreatitis, kolesistitis kronik.
 Penyakit sistemik: diabetes melitus, penyakit tiroid,
penyakit jantung koroner.
 Bersifat fungsional: yaitu dispepsia yang terdapat pada
kasus yang tidak terbukti adanya kelainan/gangguan
organik/ struktural biokimia. Dikenal sebagai dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus.

2. Disfagia
Disfagia adalah sensasi gangguan pasase makanan dari mulut ke
lambung. Pasien mengeluh sulit menelan atau makanan terasa
mengganjal di leher/ dada atau makanan terasa tidak turun ke
lambung. Harus dibedakan dengan odinofagia (rasa sakit waktu
menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada
masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan
fase esofageal. Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa
keluhan adanya regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha
menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia
fase esofageal, pasien mampu menelan tapi terasa bahwa yang
ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering
disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama

4
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif
kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan bahwa
penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural.
Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan
penyebabnya adalah gangguan neuromuskular. Bila keluhan
bersifat progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya
proses keganasan.

Etiologi disfagia:
 Fase orofaringeal: penyakit serebrovaskular, miastenia
gravis, kelainan muskular, tumor, divertikulum Zenker,
gangguan motilitas/sfingter esofagus atas.
 Fase esofageal: inflamasi, striktur esofagus, tumor,
ring/web, penekanan dari luar esofagus, akalasia,
spasme esofagus difus, skleroderma.

3. Mual dan muntah


Pada umumnya keluhan ini merupakan bagian dari sindrom
dispepsia.
Etiologi:
 Obat-obatan: OAINS, digoksin, eritromisin,dsb
 Gangguan susunan saraf pusat: tumor, perdarahan intra
kranial, infeksi, motion sickness, gangguan psikiatrik,
gangguan labirin.
 Gangguan GI dan peritoneal: gastric outlet obstruction,
obstruksi usus halus, gastroparesis, pankreatitis, hepatitis
akut, kolesistitis
 Gangguan metabolik endokrin: uremia, ketoasidosis
diabetik, penyakit tiroid.

Setiap kasus muntah harus dinilai keadaan sistemik yang


menyertainya serta adanya keluhan neurologi seperti nyari
kepala hebat, vertigo, rasa lemas yang mencolok dan
sebagainya. Muntah yang disertai nyeri perut hebat harus
diwaspadai adanya rangsang peritoneum, obstruksi intestinal
akut, atau penyakit pankreatobilier.

5
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
4. Perdarahan saluran cerna
Manifestasi klinis perdarahan saluran cerna dapat timbul
mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar
sampai keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis adalah
muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti
kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran
cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz.
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari
duodenum dapat juga bermanifes dalam bentuk keluarnya
darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena
(feses berwarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan
SCBA, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal
kolon dapat juga bermanifes dalam bentuk melena.
Hematoskezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon
stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari
perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal).

Etiologi:
 Saluran cerna bagian atas (SCBA): pecahnya varises
esofagus, perdarahan tukak peptik, gastritis erosif
(terutama akibat OAINS), gastropati hipertensi porta,
esofagitis, tumor,dsb.
 Saluran cerna bagian bawah (SCBB): kolitis (infeksi,
radiasi, iskemik), tumor, divertikulosis, inflammatory
bowel disease (IBD), hemoroid.

5. Diare
Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari
tiga kali sehari dan konsistensi feses menjadi cair. Diare dapat
digolongkan menjadi diare akut atau bila berlangsung lebih dari
dua minggu dikategorikan sebagai diare kronik.

Diare akut
Etiologi: virus, protozoa (Giardia lamblia, Entamoeba
hystolitica), bakteri: yang memproduksi enterotoksin (S.aureus,
C.perfringens, E.coli, V.cholera, C.difficile) dan yang
menimbulkan inflamasi mukosa usus (Shigella, Salmonella sp,
Yersinia), iskemia intestinal, kolitis radiasi, IBD.

6
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Untuk diare akut perlu ditanyakan adanya riwayat makan
makanan tertentu (terutama makanan siap santap) dan adanya
keadaan yang sama pada orang lain, sangat mungkin merupakan
keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin bakteri.
Adanya riwayat pemakaian antibiotik yang lama, harus
dipikirkan kemungkinan diare karena C.difficile. Diare yang
terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (non inflamatorik) dan
disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E.coli), biasanya
mempunyai gejala feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri
perut terutama daerah umbilikus, kembung, mual dan muntah.
Bila muntahnya sangat mencolok, biasanya disebabkan oleh
virus atau S.aureus dalam bentuk keracunan makanan. Bila
diare dalam bentuk bercampur darah, lendir dan demam,
biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa usus akibat invasi
shigella, salmonella atau amoeba.

Diare Kronis
 Diare osmotik: disebabkan osmolaritas intralumen usus
lebih tinggi daripada osmolaritas serum, misalnya pada
intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium
sulfat), obat (antasid)
 Diare sekretorik: sekresi intestinal berlebih dan
berkurangnya absorbsi menimbulkan diare yang cair dan
banyak, misalnya akibat tumor endokrin, malabsorbsi garam
empedu, laksatif katartik
 Diare karena gangguan motilitas: disebabkan oleh transit
usus yang cepat atau justru karena stasis yang menimbulkan
perkembangan berlebih bakteri intralumen usus, misalnya
pada irritabel bowel syndrome.
 Diare inflamatorik: akibat faktor inflamasi seperti IBD
 Malabsorpsi: akibat penyakit usus halus, reseksi sebagian
usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas,
pertumbuhan bakteri berlebih.
 Infeksi kronik: G.lamblia, E. hystolitica, nematoda usus

6. Konstipasi
Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa
berkurangnya frekuensi BAB, sensasi tidak puas/lampias BAB,
terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses keras.
7
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Frekuensi BAB normal adalah 3 kali dalam sehari sampai 3 hari
sekali.

Etiologi:
 Pola hidup : diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan
BAB tidak teratur, kurang olahraga.
 Obat-obatan : antikolinergik, penyekat kalsium,
alumunium hidroksida, suplemen besi dan kalsium, opiat
(kodein , morfin).
 Kelainan struktur kolon : tumor, striktur, hemoroid, abses
perineum, megakolon
 Penyakit sistemik : hipotiroidisme, gagal ginjal kronik,
diabetes melitus
 Penyakit neurologik: hirschprung, lesi medula spinalis,
neuropati otonom
 Disfungsi otot dinding dasar pelvis
 Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi
kronik
 Irritable bowel syndrome tipe konstipasi

7. Nyeri perut
Dapat berasal dari nyeri viseral abdomen akibat rangsang
mekanik (seperti regangan, spasme) atau kimiawi (seperti
inflamasi, iskemik). Nyeri visceral bersifat tumpul, rasa
terbakar dan samar batas lokasinya. Sedangkan nyeri
peritoneum parietal lebih bersifat tajam dan lokasinya lebih
jelas. Ujung saraf nyeri pada organ seperti hati dan ginjal
terbatas pada kapsulanya, jadi rasa nyeri timbul bila ada
regangan karena pembesaran organ. Referred pain dapat
dijelaskan pada keadaan dimana serat nyeri visceral dan serat
somatik berada pada satu tingkat di susunan saraf spinal.

Etiologi:
 Inflamasi peritoneum parietal: perforasi, peritonitis,
appendisitis, pankreatitis, dsb
 Kelainan mukosa visceral : tukak peptik, esofagitis, dsb
 Obstruksi visceral : ileus obstruksi, kolik bilier, dsb
 Regangan kapsul organ: hepatitis, pielonefritis, dsb
8
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Gangguan vaskular: iskemia atau infark intestinal
 Gangguan motilitas: irritable bowel disease, dispepsia
fungsional
 Ekstra abdominal: herpes, trauma muskuloskeletal, dsb
Lokasi nyeri:
 Daerah epigastrium: kemungkinan dugaan sumber
nyeri pada organ gaster, pankreas dan duodenum.
 Periumbilikus: kemungkinan sumber nyeri
pada usus halus/duodenum.
 Kuadran kanan atas: kemungkinan sumber nyeri pada
hati,duodenum, atau kandung empedu.
 Kuadran kiri atas: kemungkinan sumber nyeri di
pankreas, limpa, gaster,kolon atau ginjal.

Kualitas nyeri: pada dasarnya harus dibedakan rasa nyeri kolik


seperti pada obstruksi intestinal dan bilier, rasa nyeri yang
bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas
pada kolesistitis, rasa panas seperti pada esofagitis, dan
appendisitis tidak jarang menimbulkan rasa nyeri tumpul dan
menetap.

Intensitas nyeri: pada keadaan akut, intensitas nyeri dapat diurut


berdasarkan intensitas nyeri yang paling hebat sampai ke relatif
ringan yaitu: perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal,
ileus obstruksi, kolesistitis, appendisitis, tukak peptik,
gastroenteritis dan esofagitis. Sedangkan nyeri kronik lebih sulit
menentukannya karena banyak faktor psikologis yang berperan.

Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri: bila nyeri


dapat diringankan dengan minum antasid maka kemungkinan
menderita tukak peptik (terutama tukak duodenum). Pada
penyakit kolon, rasa nyeri berkurang setelah buang air besar.
Nyeri pada penyakit pankreas dan juga iskemia intestinal sering
terjadi setelah makan.

9
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
F. PROSEDUR

Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama,


riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, anamnesis sistem,
riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat pribadi.

1. Identitas Pasien
Identitas pasien merupakan bagian yang paling penting
dalam anamnesis. Kesalahan identifikasi pasien dapat berakibat
fatal, baik secara medis, etika, maupun hukum. Identitas
diperlukan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah
memang benar pasien yang dimaksud, selain itu juga diperlukan
untuk data penelitian , asuransi, dan lain sebagainya.

Identitas meliputi:
 Nama lengkap pasien
 Umur atau tanggal lahir
 Jenis kelamin
 Alamat
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Suku bangsa
 Agama.

2. Keluhan Utama
Keluhan utama yaitu keluhan atau gejala yang dirasakan
pasien yang membawanya pergi ke dokter untuk berobat.
Keluhan utama sangat dibutuhkan dalam mengumpulan informasi
masalah. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan
indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.
Contoh: buang air besar encer seperti cucian beras sejak 3 jam
lalu. Perlu diketahui bahwa keluhan utama tidak selalu keluhan
yang pertama disampaikan oleh pasien. Pasien sering
mengeluhkan hal-hal yang sebenarnya bukan masalah pokok atau
keluhan utama pasien tersebut, misalnya mengeluh lemas dan
tidak nafsu makan sejak beberapa hari lalu, tetapi sesungguhnya
ia menderita demam yang tidak diceritakan segera pada waktu
ditanyakan dokter.

10
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang
kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien
sejak sebelum keluhan utama, sampai pasien datang berobat.
Pasien diminta menceritakan gejala-gejala yang muncul dengan
kata-katanya sendiri. Informasi tambahan tentang keluhan pasien
dapat diperoleh dengan mengajukan pertanyaan yang spesifik.
Riwayat perjalanan penyakit disusun dalam bahasa Indonesia yang
baik sesuai dengan apa yang diceritakan pasien, tidak boleh
menggunakan bahasa kedokteran, apalagi melakukan interpretasi
dari apa yang dikatakan oleh pasien. Dalam mewawancarai pasien
gunakanlah kalimat terbuka (kata tanya apa, mengapa,
bagaimana, bilamana), bukan kalimat tertutup/ kata tanya yang
mendesak sehingga pasien hanya dapat ya dan tidak, kecuali bila
akan memperjelas sesuatu yang kurang jelas.

Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan mendapatkan data-


data sebagai berikut:
1. Waktu dan lama keluhan berlangsung
2. Sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak, perlahan-
lahan, terus- menerus, hilang timbul, cenderung bertambah
berat atau berkurang.
3. Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, atau
berpindah-pindah.
4. Hubungan dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit daripada
siang dan sore, atau terus-menerus tidak mengenal waktu
5. Hubungannya dengan aktifitas, misalnya bertambah berat jika
melakukan aktifitas, atau bertambah ringan jika beristirahat.
6. Keluhan-keluhan lain yang menyertai serangan, misalnya
keluhan yang mendahului serangan, atau keluahan lain yang
bersamaan dengan serangan
7. Apakah keluhan pertama kali atau sudah berulang
8. Faktor risiko dan pencetus serangan , termasuk faktor-faktor
yang memperberat atau meringankan serangan.
9. Apakah ada saudara sedarah , atau teman-teman dekat yang
menderita keluhan yang sama
10. Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi
komplikasi atau gejala sisa
11. Upaya yang sudah dilakukan untuk mengurangi keluhan dan
bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum oleh
11
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
pasien, juga tidakan medis yang dilakukan (riwayat
pengobatan kuratif maupun preventif)
Setelah semua data terkumpul, usahakan untuk membuat
diagnosis sementara dan diagnosis diferensial.

4. Riwayat penyakit dahulu


Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan
adanya hubungan penyakit yang pernah diderita dengan penyakit
sekarang. Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami
kecelakaan, operasi, riwayat alergi obat dan makanan. Obat -obatan
yang pernah diminum oleh pasien juga harus ditanyakan, termasuk
pengobatan dengan steroid, pengobatan antibiotik, OAINS,
kontrasepsi, transfusi, kemoterapi, dan riwayat imunisasi. Bila
pasien pernah melakukan berbagai pemeriksaan medis, maka harus
dicatat dengan seksama, termasuk hasilnya.

5. Riwayat penyakit dalam keluarga


Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial , atau penyakit infeksi. Pada penyakit kongenital perlu
ditanya juga riwayat kehamilan dan kelahiran.

6. Riwayat pribadi
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kebiasaan. Perlu juga ditanyakan apakah pasien
mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah
keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang juga
harus ditanyakan adalah kebiasaan berolahraga, riwayat merokok,
minuman alkohol, kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dalam
jangka panjang (misalnya: OAINS, steroid, antibiotik) dan
penyalahgunaan obat-obat terlarang ( Narkoba). Bila ada indikasi,
riwayat perkawinan dan kebiasaan seksualnya harus ditanyakan.
Anamnesis juga mengenai lingkungan tempat tinggal
pasien, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum,
ventilasi, jamban, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.
Anamnesis mengenai pola diet/ kebiasaan makan dan minum
sehari-hari pasien juga penting ditanyakan. Misalnya, kebiasaan
memakan makanan kurang serat, bersantan dan berminyak,
makanan siap saji, ataupun kurang minum air putih. Perlu juga
ditanyakan riwayat bepergian, mengingat adanya kejadian diare
pada wisatawan (travellers diarrhea).
12
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
G. DAFTAR PUSTAKA
 Anonim. 2001. Buku Panduan Skill Lab FK UGM.
Yogyakarta
 Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta

H. CEK LIST LATIHAN : ANAMNESIS PENYAKIT GASTROINTESTINAL

No Prosedur/ Aspek Latihan Feedback


ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN
1 Mengucapkan salam pada awal wawancara
2 Mempersilakan duduk berhadapan
3 Memperkenalkan diri
Informed
4  menjelaskan kepentingan penggalian informasi yang benar
tentang sakit pasien
Consent
5  Meminta waktu & ijin untuk melakukan alloanamnesis
jika diperlukan
ITEM PROSEDURAL
Menanyakan identitas pasien :
Nama , Umur , jenis kelamin (dicatat saja tidak perlu ditanyakan),
6 alamat lengkap, pekerjaan, agama dan suku bangsa.
Pastikan menggali identitas tidak terkesan interogasi,tidak harus
berurutan, boleh diselang-seling saat anamnesis berlangsung
Menanyakan Riwayat Penyakit Sekarang
7 a. Menanyakan keluhan utama
Cross cek, dan Pastikan Keluhan Utama

8 b. Menanyakan keluhan lain/ tambahan

c. Menggali informasi tentang riwayat penyakit sekarang


 waktu dan lama
 sifat
9
 lokalisasi dan penyebaran
 hubungan dengan waktu dan aktifitas
 keluhan yang mendahului dan menyertai serangan
 keluhan muncul pertama kali/ sudah berulang
 faktor resiko dan pencetus serangan
 riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

13
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 perkembangan penyakit
 upaya pengobatan & hasilnya
10 Menanyakan riwayat penyakit dahulu (menanyakan riwayat
penyakit yang pernah diderita sebelumnya, adanya riwayat operasi,
riwayat alergi obat dan makanan, riwayat obat - obatan yang
pernah diminum, riwayat transfusi, riwyat imunisasi, dan riwayat
pemeriksaan medis yang pernah dilakukan sebelumnya).
11 Menanyakan riwayat penyakit dalam keluarga
(riwayat penyakit herediter, familial, atau penyakit infeksi dalam
keluarga)

Menggali informasi tentang riwayat Pribadi (kebiasaan


berolahraga, riwayat merokok, minuman alkohol, kebiasaan
mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka panjang (misalnya:
12 OAINS, steroid, antibiotik) dan penyalahgunaan obat-obat
terlarang, pola diet/ kebiasaan makan dan minum, anamnesis
mengenai lingkungan tempat tinggal pasien, perlu juga ditanyakan
riwayat bepergian)
ITEM PENALARAN KLINIS
13 Melakukan cross check (paraphrase atau pengulangan terhadap
apa yang dikatakan pasien)
14 Melakukan umpan balik (menanyakan hal-hal yang kurang
jelas, atau pertanyaan yang kurang jelas).
15 Mencatat semua hasil anamnesis
16 Menyimpulkan dan menginterpretasikan hasil anamnesis
ITEM PROFESIONALISME
17 Percaya diri, bersikap empati, tidak menginterogasi
18 Mengakhiri anamnesis dengan sikap yang baik

14
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN LANJUT
dr. Hanna Mutiara, M. Kes.; dr. Iswandi Darwis, M.Sc, Sp.PD

A. TEMA
Keterampilan Klinis Pemeriksaan Fisik Abdomen (Lanjut)

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Tujuan Pembelajaran Umum:


 Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan abdomen secara
keseluruhan.
2. Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa mampu untuk:
 Melakukan auskultasi pembuluh darah tertentu pada area abdomen.
 Melakukan pemeriksaan organ yang terdapat
dalam abdomen (hepar, spleen, ginjal).
 Melakukan palpasi dinding abdomen, kolon, hepar, limpa, aorta, dan
rigiditas.
 Melakukan pemeriksaan asites.
C. LEVEL KOMPETENSI

No. Jenis Kompetensi Level


Kompetensi
1. Inspection 1 2 3 4
2. Auscultation (bowel, sounds, bruits) 1 2 3 4
3. Percussion (especially liver, Traube’s area, bladder 1 2 3 4
dullness)
4. Palpation (abdominal wall, colon, liver,spleen, aorta, 1 2 3 4
rigidity)
5. Eliciting abdominal tenderness and rebound 1 2 3 4
tenderness
6. Eliciting shifting dullness 1 2 3 4
7. Eliciting a fluid thrill 1 2 3 4
8. Eliciting renal tenderness 1 2 3 4

Catatan: dasar dan beberapa prosedur telah dipelajari pada CSL


dengan tema pemeriksaan abdomen dasar. Harap mahasiswa mempelajari
kembali.

D. ALAT DAN BAHAN


1. Bed pemeriksaan
2. Meja dokter
3. Kursi dokter dan pasien
4. Stetoskop
5. Alkohol 70%
15
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
6. Penggaris

E. SKENARIO
Anda seorang dokter muda yang tengah jaga malam di UGD RS.
Datang seorang pasien dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan. Nyeri
dirasakan bertambah jika pasien bergerak atau berjalan sehingga pasien lebih
nyaman berbaring dengan posisi kaki kanan menekuk. Setelah melakukan
anamnesis dan pemeriksaan tanda vital, Anda melakukan pemeriksaan
abdomen. Lakukanlah!

F. DASAR TEORI
Pada CSL abdomen dasar telah dipelajari mengenai tahap
pemeriksaan abdomen yang mencakup inspeksi, auskultasi, perkusi, dan
palpasi. Pelajari kembali dasar pemeriksaan abdomen tersebut dan lanjutkan
dengan pemeriksaan abdomen lanjut ini.
Pada pemeriksaan dengan auskultasi dapat ditemukan beberapa
informasi yang penting tentang bowel motility. Lakukanlah auskultasi sebelum
melakukan perkusi ataupun palpasi. Lakukanlah latihan auskultasi sesering
mungkin sehingga Anda terbiasa dengan variasi normal dari suara pergerakan
usus dan dapat mendeteksi jika terdapat kecurigaan obstruksi atau inflamasi.
Pada keadaan obstruksi, dapat terdengar metalic sound. Pada auskultasi juga
dapat terdengar bruits (desah sistolik) yang merupakan suara turbulensi aliran
darah. Titik untuk mendengarkan bruits pembuluh darah diilustrasikan pada
gambar berikut.

aorta

a. renalis

a. illiaca

a. femoralis
Gambar 1. Titik-titik untuk mendengarkan bruits pembuluh darah.

PENILAIAN INFLAMASI PERITONEAL


Nyeri perut dan tegang, terutama berhubungan dengan spasme muskular,
menandakan kecurigaan inflamasi pada peritoneum parietal. Tentukan lokasi nyeri tersebut
seakurat mungkin. Sebelum palpasi, mintalah pasien untuk batuk dan tentukanlah apakah batuk
tersebut menyebabkan nyeri bertambah. Lalu palpasi secara gentle dengan menggunakan satu
jari pada area yang tegang.
Kemudian perhatikan ‘rebound tenderness’. Tekan jari Anda secara perlahan
kemudian lepaskan tekanan tersebut dengan cepat. Perhatikan reaksi pasien. Tanyakan pasien
16
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
apakah nyeri terasa lebih hebat saat penekanan dilakukan atau saat penekanan tersebut
dilepaskan. Kemudian minta pasien untuk menunjukkan di mana nyeri tersebut terasa. Nyeri
yang terjadi atau meningkat saat penekanan dilepaskan dengan cepat disebut ‘rebound
tenderness’ yang merupakan hasil dari pergerakan cepat dari peritoneum yang meradang.

PEMERIKSAAN HEPAR

Oleh karena sebagian besar hepar terletak di bawah costa, maka penilaiannya lebih sulit.
Ukuran dan bentuknya dapat diperkirakan dengan perkusi dan palpasi. Palpasi dapat pula
menilai permukaan, konsistensi, dan ketegangannya

Perkusi
Batas atas hepar dapat ditentukan dengan menemukan pekak hepar dengan melakukan perkusi
pada garis midclavicula kanan, pada saat terdapat perbedaan suara timpani menuju pekak (telah
dipelajari pada CSL abdomen dasar). Batas atas hepar penting untuk ditentukan terutama pada
pasien dengan kecurigaan hepatomegali untuk menyingkirkan kemungkinan hepatoptosis.
Batas bawah hepar dapat ditentukan dengan melakukan perkusi pada garis midclavicula kanan,
dimulai dari sejajar atas umbilikus (timpani), menuju atas sampai terdengar pekak hepar.

Gambar 2. Arah perkusi untuk menentukan batas pekak hepar.

Kemudian lakukan penilaian jarak vertikal batas hepar tersebut dalam centimeter. Umumnya,
hepar pria lebih besar dari pada wanita dan hepar orang berpostur tinggi lebih besar
dibandingkan orang berpostur pendek.

Normalnya ukuran hepar terdapat pada gambar berikut

17
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

4 – 8 cm di bawah processus
xiphoideus (pada garis midsternal)

6 – 12 cm pada garis midclavicula


kanan

Gambar 3. Ukuran hepar normal.

Palpasi
Tempatkan tangan kiri Anda di belakang pasien sejajar dan menyangga costa 11 dan 12 kanan.
Minta pasien untuk rileks. Tekan menuju depan untuk memudahkan tangan kanan Anda meraba
hepar.

Tempatkan tangan kanan Anda pada abdomen kanan bawah pasien, lateral dari m. rectus dan
sejajar umbilicus. Minta pasien untuk bernafas dalam, lakukan palpasi ringan dan dengan
menggunakan ujung jari Anda, rasakan batas bawah hepar pasien. Ulangi pemeriksaan dengan
menaikkan tangan kanan Anda menuju arcus costarum. Jika telah teraba, kurangi tekanan Anda
dan lakukan palpasi ringan sehingga Anda dapat merasakan permukaan anterior hepar.
Normalnya hepar lembut, regular, permukaan halus dan berbatas tajam. Pada saat pasien
inspirasi, hepar dapat teraba 3 cm di bawah arcus costarum kanan pada garis midclavicula.

Gambar 4. Teknik melakukan palpasi hepar.

Pada pasien tertentu, misalnya pasien obesitas, pemeriksaan tersebut dapat dilakukan dengan
―teknik hooking‟. Anda berdiri sejajar dengan dada kanan pasien, tempatkan kedua tangan di
atas abdomen, di bawah batas bawah pekak hepar. Tekan dengan jari-jari Anda dengan arah
menuju arcus costarum, minta pasien untuk bernafas dalam dan Anda dapat melakukan
pemeriksaan hepar.

18
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar 5. Palpasi hepar dengan teknik hooking.

PEMERIKSAAN SPLEEN

Jika lien membesar akan ekspansi ke arah anterior, bawah, dan medial sehingga seringkali
mengubah suara timpani pada abdomen dan kolon dengan suara pekak dari organ padat. Lien
dapat teraba di bawah arcus costarum kiri. Perkusi tidak dapat memastikan terdapat pembesaran
lien, namun dapat mendukung kecurigaan. Palpasi dapat memastikan pembesaran organ
tersebut.

Perkusi
Terdapat 2 cara dalam mendeteksi splenomegali yakni:
1. Perkusi bagian bawah dinding dada anterior kiri pada garis aksila anterior menuju garis
mid aksila pada ICS 9 (disebut Traube’s space). Umumnya akan terdengar suara
timpani. Jika terdapat pembesaran lien akan terdengar perubahan suara berupa timpani
berkurang atau pekak.

Anterior axillary line


Midaxillary line

Normal
spleen
2. Periksa splenic percussion sign dengan melakukan perkusi pada ICS kiri terbawah
pada garis aksila anterior (normalnya timpani). Kemudian minta pasien untuk
bernafas dalam dan perkusi kembali (normalnya tetap timpani)

19
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Titik perkusi

Normal spleen x

Negative spleenic percussion sign Positive spleenic percussion sign


Palpasi

Tempatkan tangan kiri Anda di belakang pasien sejajar costa kiri bawah dan tekan ke arah
depan. Tempatkan tangan kanan Anda di bawah arcus costarum kiri dan tekan ke arah dalam
untuk menemukan lien. Minta pasien untuk bernafas dalam dan ulangi pemeriksaan. Perhatikan
kontur lien dan ukur jarak antara batas bawah lien dengan arcus costarum kiri. Normalnya, pada
beberapa persen orang dewasa lien batas lien tersebut dapat teraba.

Gambar 8. Teknik palpasi spleen

Ulangi pemeriksaan dengan pasien berbaring pada sisi sebelah kanan dengan tungkai bawah
fleksi pada sendi pinggul dan lutut. Pada posisi demikian, gravitasi akan memudahkan palpasi
lien.

20
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar 9. Teknik palpasi spleen

Pembesaran lien dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit thalasemia, sirosis hepar,
malaria, thypoid dan sebagainya. Jika terdapat pembesaran lien, dapat menggunakan cara
schuffner atau hekat untuk mendeskripsikan pembesaran tersebut. Garis schuffner merupakan
garis imajiner yang ditarik dari arcus costarum kiri melalui umbilicus menuju SIAS kanan.
Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian dengan umbilicus sebagai titik tengah. Garis hekat
merupakan garis imajiner yang ditarik dari arcus costarum kiri menuju SIAS kiri. Garis tersebut
dibagi menjadi 4 bagian dan seringkali digunakan untuk mendeskripsikan pembesaran lien ke
arah vertikal.

Gambar 10. Garis imajiner Schuffner

PEMERIKSAAN GINJAL

Walaupun seringkali ginjal tidak dapat diraba, Anda dapat mempelajari dan berlatih tekniknya.

Palpasi Ginjal Kiri


Tempatkan tangan kanan Anda di belakang pasien sejajar dengan costa 12 kiri. Dengan ujung
21
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
jari Anda, raihlah sudut costovertebra (costovertebral angel). Usahakan menekan ginjal ke arah
depan. Tempatkan tangan kiri Anda pada kuadran kiri atas, lateral dan sejajar dari m. rectus.
Minta pasien untuk bernafas dalam dan saat puncak inspirasi, usahakan untuk merasakan
ballotement ginjal pasien dengan menggunakan kedua tangan Anda. Kemudian minta pasien
untuk menghembuskan nafas dan tahan sesaat, secara perlahan Anda melepaskan tekanan
tangan kiri Anda dan usahakan meraba ginjal pada posisi ekspirasi. Jika ginjal teraba,
deskripsikan ukuran dan konturnya.
Teknik lain, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeriksaan lien
(posisi pasien berbaring).

Palpasi Ginjal Kanan


Untuk memeriksa ginjal kanan, pemeriksaan berada di sebelah kanan pasien. Gunakan tangan
kiri Anda untuk menyangga pasien dari belakang dan tangan kanan Anda ditempatkan pada
kuadran kanan atas. Prosedur selanjutnya sama dengan palpasi ginjal kiri. Ginjal kanan
normalnya dapat teraba, terutama pada wanita berpostur kurus karena ginjal kanan terletak
lebih anterior.

\
Gambar 11. Teknik pemeriksaan ginjal kanan

Nyeri Ketok Ginjal


Pemeriksaan dapat dilakukan ketika memeriksa abdomen pada tiap sudut
costovertebra.kepalan. Kepalkan tangan Anda dan pukulkan daerah sudut costovertebra dengan
permukaan ulnaris kepalan Anda. Pukulan dengan kekuatan yang cukup dan tidak menyakitkan
pada orang dalam keadaan normal. Pemeriksaan dilakukan dari belakang pasien. Jika Anda
melakukan pemeriksaan yang dicurigai mengalami kelainan pada ginjal, periksalah terlebih
dahulu ginjal yang tidak sakit.

22
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar 12. Teknik pemeriksaan nyeri ketok ginjal

PEMERIKSAAN KANDUNG KEMIH (BLADDER)


Normalnya kandung kemih tidak dapat diraba terkecuali jika terdapat distensi diatas simfisis
pubis. Kandung kemih teraba halus dan bulat. Lakukan perkusi untuk memeriksa pekak dan
menentukan berapa tinggi kandung kemih berada di atas simfisis pubis. Jika ditemukan
kandung kemih bulging maka mintalah dahulu pasien untuk miksi untuk menghindari
overdiagnosis karena kandung kemih yang penuh dengan urine. Jika masih teraba, pikirkan
kemungkinan pembesaran prostat pada pasien pria atau gravida pada pasien wanita.
PEMERIKSAAN AORTA
Tekan dalam dari atas abdomen pada sebelah kiri garis tengah (sedikit lateral kiri dari
umbilicus) dan identifikasi pulsasi aorta. Pada orang berusia di atas 50 tahun, usahakan untuk
menilai lebar aorta tersebut dengan menekan abdomen dengan satu tangan pada tiap sisi aorta
(lihat gambar). Normalnya diameter aorta tidak lebih dari 3 cm (rata-rata 2,5 cm).

Gambar 13. Teknik pemeriksaan aorta

23
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
PEMERIKSAAN ASCITES
Abdomen yang menonjol menimbulkan kecurigaan asites. Oleh karena cairan mempunyai
karakteristik mengikuti gravitasi, maka udara akan terdorong ke atas. Akan terdapat perubahan
suara perkusi timpani dan dull (pekak).

Gambar 14. Perkusi pada asites


Teknik Pemeriksaan Asites
1) Test for Shifting Dullness
Dalam keadaan pasien berbaring, tentukan batas timpani dan pekak kemudian minta pasien
untuk berbaring ke salah satu sisi. Lakukan perkusi kembali dan beri tanda kembali batas
timpani-pekak. Pada pasien tidak asites, batas ini relatif tetap.

Gambar 15. Pemeriksaan asites dengan shifting dullness.


2) Test for a Fluid Wave
Dalam keadaan pasien berbaring terlentang, minta pasien atau asisten untuk meletakan
kedua tangannya pada pertengahan abdomen dan memberikan tekanan. Tekanan ini akan
menghentikan transmisi gelombang melalui lemak (gelombang perut). Letakkan kedua
tangan Anda pada kedua sis abdomen pasien. Ketika Anda menepuk salah satu sisi
abdomen pasien dengan ujung jari Anda, rasakan transmisi impuls cairan (gelombang
cairan) pada sisi yang berlawanan.

24
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar 16. Pemeriksaan


asites dengan Fluid Wave Test

PEMERIKSAAN KEMUNGKINAN APPENDISITIS


1. Minta pasien untuk menunjukkan lokasi nyeri berawal.
2. Minta pasien untuk batuk dan tanyakan bagaimana dan di mana nyeri yang
dirasakan.
3. Cari dan periksa ketegangan setempat (local tenderness).
4. Periksa muskular rigiditas.
5. Lakukan pemeriksaan rektal dan pada wanita, pemeriksaan panggul. Teknik ini
tidak terlalu membantu Anda dalam membedakan appendiks yang normal dan
meradang, namun dapat dapat membantu dalam mengidentifikasi peradangan
appendiks atipikal yang berlokasi dalam rongga panggul. Hal ini juga dapat
menyebabkan nyeri perut.
6. Beberapa pemeriksaan yang dapat membantu

Gambar 16. Teknik pemeriksaan pada peradangan appendiks

25
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
a) Periksa daerah yang tegang dan lakukan pemeriksaan rebound
tenderness.
b) Lakukan pemeriksaan Rovsing’s sign dan referred rebound tenderness.
Tekan dalam pada kuadran kiri bawah kemudian lepaskan dengan cepat.
c) Pemeriksaan psoas sign. Letakkan tangan Anda di atas lutut kanan
pasien dan minta pasien untuk mengangkat kakinya melawan tangan
Anda. Atau minta pasien untuk berbaring ke sisi kiri lalu luruskan
tungkai bawah kanan pasien pada sendi pinggul dan fleksikan sendi
pinggul tersebut untuk membuat m. psoas kontraksi.
d) Pemeriksaan obturator sign. Fleksikan pinggul kanan pasien dengan
lutut menekuk dan putar ke arah dalam.
e) Pemeriksaan cutaneous hyperesthesia. Cubitlah kulit abdomen pasien
dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk Anda. Normalnya akan
menimbulkan rasa nyeri.

G. PROSEDUR

1. Interpersonal
2. Inspeksi Abdomen
3. Auskultasi Bising Usus (Gerak Peristaltik)
Letakkanlah diafragma stetoskop pada abdomen pada kuadran kanan bawah.
Dengarkan suara pergerakan usus (peristaltik), perhatikan karakter dan frekuensinya.
Normalnya akan terdengar suara „klik‟ atau „gurgles‟ dengan frekuensi 5 s.d. 12
kali per menit.
4. Auskultasi Bruits

aorta

a. renalis

a. illiaca

a. femoralis

5. Pemeriksaan Hepar
 Perkusi batas atas hepar
- Perkusi pada garis midcavicula kanan mulai ICS 1 ke bawah,
tentukan perubahan suara timpani – pekak
- Lakukan tes peranjakan hati dengan meminta pasien bernafas
dalam dan perkusi kembali batas tadi (pekak timpani)
 Perkusi batas bawah hepar

26
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
- Perkusi garis midclavicula kanan, dimulai dari sejajar atas
umbilikus (timpani), menuju atas sampai terdengar pekak hepar.
 Palpasi hepar
- Tempatkan tangan kiri Anda dibelakang pasien sejajar costa 11
dan 12 kanan, minta pasien untuk rileks.
- Tempatkan tangan kanan Anda pada abdomen kanan pasien,
lateral dari m. rectus sejajar umbilicus.
- Tekan tangan kiri Anda menuju depan untuk memudahkan
tangan kanan Anda meraba hepar.
- Minta pasien untuk bernafas dalam, dengan menggunakan ujung
jari Anda, rasakan batas bawah hepar pasien.
- Ulangi pemeriksaan seraya menaikkan palpasi Anda menuju
menuju arcus costarum.
- Jika telah teraba, kurangi tekanan Anda dan lakukan palpasi
ringan sehingga Anda dapat merasakan permukaan anterior
hepar. Normalnya hepar lembut, regular, permukaan halus, dan
berbatas tajam. Pada saat pasien inspirasi, hepar dapat teraba 3
cm di bawah arcus costarum kanan pada garis midclavicula.
6. Pemeriksaan Spleen
 Perkusi
- Perkusi bagian bawah dinding dada anterior kiri pada garis
aksila anterior menuju garis mid aksila pada ICS 9 (disebut
Traube’s space). Umumnya akan terdengar suara timpani. Jika
terdapat pembesaran lien akan terdengar perubahan suara
berupa timpani berkurang atau pekak.
- Splenic percussion sign dengan melakukan perkusi pada ICS
kiri terbawah pada garis aksila anterior (normalnya timpani).
- Minta pasien untuk bernafas dalam dan perkusi kembali
(normalnya tetap timpani).
 Palpasi
- Tempatkan tangan kiri Anda di belakang pasien sejajar costa
kiri bawah dan tekan ke arah depan.
- Tempatkan tangan kanan Anda di bawah arcus costarum kiri
dan tekan ke arah dalam untuk menemukan lien.
-

27
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
- Minta pasien untuk bernafas dalam dan ulangi pemeriksaan.
Perhatikan kontur lien dan ukur jarak antara batas bawah lien
dengan arcus costarum kiri.
- Pemeriksaan dapat pula dilakukan dengan meminta pasien
berbaring pada sisi sebelah kanan dengan tungkai bawah fleksi
pada sendi pinggul dan lutut.
- Ulangi pemeriksaan.

7. Pemeriksaan Ginjal
 Palpasi Ginjal Kiri
- Tempatkan tangan kanan Anda di belakang pasien sejajar
dengan costa 12 kiri.
- Dengan ujung jari, raihlah sudut costovertebra dan usahakan
menekan ginjal ke arah depan.
- Tempatkan tangan kiri Anda pada kuadran kiri atas, lateral dan
sejajar dari m. rectus.
- Minta pasien untuk bernafas dalam dan saat puncak inspirasi,
usahakan untuk merasakan ballotement ginjal pasien dengan
menggunakan kedua tangan Anda.
- Minta pasien untuk menghembuskan nafas dan tahan sesaat,
secara perlahan lepaskan tekanan tangan kiri Anda dan
usahakan meraba ginjal pada posisi ekspirasi.
- Deskripsikan ukuran dan konturnya.
 Palpasi Ginjal Kanan
- Pemeriksaan berada di sebelah kanan pasien.
- Gunakan tangan kiri Anda untuk menyangga pasien dari
belakang dan tangan kanan Anda ditempatkan pada kuadran
kanan atas.
- Prosedur selanjutnya sama dengan palpasi ginjal kiri.

28
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

 Nyeri Ketok Ginjal


- Pemeriksaan dilakukan dari belakang pasien.
- Kepalkan tangan Anda.
- Pukulkan daerah sudut costovertebra dengan permukaan ulnaris
kepalan Anda.
- Pukulan dengan kekuatan yang cukup dan tidak menyakitkan
pada orang dalam keadaan normal.

8. Pemeriksaan Aorta
 Tekan dalam dari atas abdomen pada sebelah kiri garis tengah
(sedikit lateral kiri umbilicus) dan identifikasi pulsasi aorta.
 Pada orang berusia di atas 50 tahun, usahakan untuk menilai lebar
aorta tersebut dengan menekan abdomen dengan satu tangan pada
tiap sisi aorta (lihat gambar).
 Normalnya diameter aorta tidak lebih dari 3 cm (rata-rata 2,5 cm).

29
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

9. Pemeriksaan Khusus
a. Pemeriksaan Kemungkinan Appendisitis
 Minta pasien untuk menunjukkan lokasi nyeri berawal.
 Minta pasien untuk batuk dan tanyakan bagaimana dan dimana
nyeri yang dirasakan
 periksa ketegangan setempat (local tenderness).
 Periksa muskular rigiditas.
 Lakukan pemeriksaan rektal dan pada wanita pemeriksaan
panggul (tidak perlu dilakukan pada CSL saat ini).
b. Pemeriksaan Inflamasi Peritoneal
i. Mintalah pasien untuk batuk dan tentukanlah apakah batuk
tersebut menyebabkan nyeri bertambah.
ii. Palpasi secara gentle dengan menggunakan satu jari pada area
yang tegang.
iii. Perhatikan apakah terdapat ‘rebound tenderness’:
a. Tekan jari Anda secara perlahan kemudian lepaskan
tekanan tersebut dengan cepat seraya memperhatikan
reaksi pasien.
b. Tanyakan apakah nyeri terasa lebih hebat saat
penekanan dilakukan atau saat penekanan tersebut
dilepaskan.
c. Minta pasien untuk menunjukkan di mana nyeri
tersebut terasa.
c. Pemeriksaan Asites
1) Test for Shifting Dullness
- Minta pasien berbaring terlentang.
- Perkusi abdomen dan tentukan batas timpani dan pekak.
- Minta pasien untuk berbaring ke salah satu sisi.
- Lakukan perkusi kembali dan beri tanda kembali batas
timpani-pekak (pada pasien tidak asites, batas ini relatif
tetap).
2) Test for a Fluid Wave
- Minta pasien berbaring terlentang.
- Minta pasien atau asisten untuk meletakan kedua tangannya
pada pertengahan abdomen dan memberikan tekanan.

30
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
- Letakkan kedua tangan Anda pada kedua sisi abdomen
pasien.
- Tepuk salah satu sisi abdomen pasien dengan ujung jari Anda
dan rasakan transmisi impuls cairan (gelombang cairan)
pada sisi yang berlawanan.

DAFTAR PUSTAKA

1) Bate‟s Barbara. Guide to physical examination. Lippincot; 2007. Chapter 9.


2) Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta; 2006.
3) Epstein O, Perkin GD. Pocket guide to clinical examination. 3rd edition. Mosby; 2004.
Chapter 7.
4) Koliium Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Klinis Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: 2017

CEKLIST LATIHAN

Feedback
No. Aspek
I. Interpersonal
1. Sambung rasa dan informed consent
II. Prosedur
2. Inspeksi Abdomen
Melihat bentuk abdomen (apakah simetri, membuncit atau tidak),
dinding perut (kulit, vena, umbilicus, inguinal), pergerakan peristaltik
abdomen dan pulsasi.
Auskultasi Bising Usus (Gerak Peristaltik)
3. Letakkanlah diafragma stetoskop pada abdomen pada kuadran kanan
bawah.
4. Dengarkan suara pergerakan usus (peristaltik), perhatikan karakter dan
frekuensinya. Menghitung frekuensi bising usus (2 menit).
Auskultasi Bruits
5. Aorta
6. a. renalis dextra et sinistra
7. a. iliaca dextra et sinistra
Pemeriksaan Hepar
Perkusi:
8. Tentukan batas atas hepar dengan perkusi pada garis midclavicula
kanan mulai ICS 1 kebawah sampai terdapat tentukan perubahan suara
timpani ke pekak.
9. Lakukan tes peranjakan hati dengan meminta pasien bernafas dalam
dan perkusi kembali batas tadi (pekak ke timpani).

31
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
10. Tentukan batas bawah hepar pada garis midclavicula kanan, dimulai
dari sejajar atas umbilikus menuju atas sampai terdengar pekak hepar.
Palpasi:
11. Tempatkan tangan kiri Anda dibelakang pasien sejajar costa 11
dan 12
kanan, tekan menuju depan dan minta pasien untuk rileks.
12. Tempatkan tangan kanan Anda pada abdomen kanan pasien,
lateral dari m.rectus sejajar umbilicus.
13. Minta pasien untuk bernafas dalam, dengan menggunakan ujung
jari Anda, rasakan batas bawah hepar pasien.
Ulangi pemeriksaan seraya menaikkan palpasi Anda menuju
menuju arcus costarum.
14. Jika telah teraba, kurangi tekanan Anda dan lakukan palpasi
ringan sehingga Anda dapat merasakan permukaan anterior
hepar.
Pemeriksaan Spleen
15 Meminta pasien melipat kedua tungkai.
16. Melakukan penekanan pada perut dengan menggunakan sisi pa
17. Palpasi dilakukan dengan menekan dinding abdomen ke bawah
dengan arah dorsal pada saat pasien ekspirasi maksimal, kemudian
pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik.
18. Palpasi dimulai dari SIAS kanan, melewati umbilicus menuju arkus
costae kiri
19. Mendeskripsikan ukuran pembesaran limpa dengan
skala schuffner.
Perkusi:
15. Perkusi ruang Traube yakni pada garis aksila anterior menuju garis
mid aksila pada ICS 9 kiri.
16. Lakukan splenic percussion sign pada ICS kiri terbawah pada garis
aksila anterior.
17. Minta pasien untuk bernafas dalam dan perkusi kembali.
Palpasi :
18. Tempatkan tangan kiri Anda dibelakang pasien sejajar costa kiri
bawah dan tekan ke arah depan.
19. Tempatkan tangan kanan Anda dibawah arcus costarum kiri dan tekan
ke arah dalam untuk menemukan lien.
20. Minta pasien untuk bernafas dalam dan ulangi pemeriksaan.
Perhatikan kontur lien dan ukur jarak antara batas bawah lien dgn
arcus costarum kiri.
Pemeriksaan Ginjal
Palpasi Ginjal Kiri

32
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
21. (Pemeriksa berada disebelah kiri pasien)
Tempatkan tangan kanan Anda dibelakang pasien sejajar costa 12
kiri dan dengan ujung jari raihlah sudut costovertebra, usahakan
menekan ginjal ke arah depan.
22. Tempatkan tangan kiri Anda pada kuadran kiri atas, lateral dan sejajar
dari m. rectus.
23. Minta pasien untuk bernafas dalam dan saat puncak inspirasi,
usahakan untuk merasakan ballotement ginjal pasien dengan
menggunakan kedua tangan Anda.
24. Minta pasien untuk menghembuskan nafas dan tahan sesaat, secara
perlahan lepaskan tekanan tangan kiri Anda dan usahakan meraba
ginjal pada posisi ekspirasi.
Palpasi Ginjal Kanan
25. (Pemeriksaan kembali berada di sebelah kanan pasien)
Gunakan tangan kiri Anda untuk menyangga pasien dari belakang dan
tangan kanan Anda ditempatkan pada kuadran kanan atas.
26. Lakukan prosedur yang sama dengan palpasi ginjal kiri.
Nyeri Ketok Ginjal pada CVA
27. (Pemeriksaan dilakukan dari belakang pasien)
Kepalkan tangan Anda dan pukulkan permukaan ulnaris pada daerah
sudut costovertebra (kekuatan yang cukup dan tidak menyakitkan
pada orang dalam keadaan normal).
Pemeriksaan Aorta
28. Tekan dalam dari atas abdomen pada sebelah kiri garis tengah (sedikit
lateral kiri umbilicus) dan identifikasi pulsasi aorta dengan
menggunakan kedua tangan Anda.
Pemeriksaan Kemungkinan Appendisitis dan Inflamasi Peritoneal
29. Minta pasien untuk menunjukkan lokasi nyeri berawal.
30. Minta pasien untuk batuk dan tanyakan bagaimana dan di mana nyeri
yang dirasakan.
31. Cari dan periksa ketengangan setempat (local tenderness).
32. Periksa apakah terdapat, rebound tenderness’ dengan menekan jari
Anda secara perlahan kemudian lepaskan tekanan tersebut dengan
cepat, perhatikan reaksi pasien.
Tanyakan apakah nyeri terasa lebih hebat saat penekanan dilakukan
atau saat penekanan tersebut dilepaskan
33. Periksa muskular rigiditas.
34. Periksa daerah yang tegang dan lakukan pemeriksaan rebound
tenderness.
35. Lakukan pemeriksaan Rovsing’s sign.
36. Lakukan pemeriksaan psoas sign.

33
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
37. Lakukan pemeriksaan obturator sign.
Pemeriksaan Asites
Test for Shifting Dullness
38. (Pasien berbaring terlentang)
Perkusi abdomen dan tentukan batas timpani dan pekak, beri tanda.
39. Minta pasien untuk berbaring ke salah satu sisi dan lakukan perkusi
kembali dan beri tanda kembali batas timpani-pekak.
Test for a Fluid Wave
40. (Pasien berbaring terlentang)
Minta pasien/asisten untuk meletakan kedua tangannya pada
pertengahan abdomen dan memberikan tekanan.
41. Letakkan kedua tangan Anda pada kedua sisi abdomen pasien.
42. Tepuk salah satu sisi abdomen pasien dengan ujung jari Anda dan
rasakan transmisi impuls cairan (gelombang cairan) pada sisi yang
berlawanan.
III. Profesionalisme
43. Melakukan dengan percaya diri.
44. Melakukan dengan kesalahan minimal.

34
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

PEMASANGAN NGT & BILAS LAMBUNG


dr. Hanna Mutiara, M.Kes, dr. Dwita Oktaria, M.Pd.Ked

A. TEMA
Prosedur Pemasangan Nasogastric Tube (NGT).

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mampu melakukan persiapan pemasangan nasogastric tube.
2. Mampu melakukan pemasangan nasogastric tube.
3. Mampu menjelaskan tujuan dan indikasi pemasangan nasogastric tube.

C. LEVEL KOMPETENSI

No. Jenis Kompetensi Level Kompetensi

1. Nasogastric tube 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

a. Spatula
b. Model NGT
c. NGT/selang sump Levin atau Salem
d. Segelas es
e. Pelumas larut air
f. Tabung suntik 50 ml ujung kateter
g. Segelas air dengan sedotan
h. Stetoskop
Gambar 17. Stomach tube (Levin type),
i. Bengkok 18 Fr × 48 in (121 cm)
j. Plester dan gunting
k. Handschoen
l. Sarung tangan
m. NaCl 0,9% 2-3 L atau air besih sebagai irigan
n. Gelas ukur

E. SKENARIO

Anda seorang dokter jaga di UGD RS XXX. Kemudian datang seorang pasien yang tampak
tidak sadar. Keluarga pasien mengatakan ia baru saja melakukan percobaan bunuh diri dengan
meminum puluhan tablet obat flu. Anda memutuskan untuk melakukan bilas lambung melalui
NGT. Lakukanlah pemasangan NGT terlebih dahulu

35
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
F. DASAR TEORI

a. Pemasangan Nasogastric Tube (NGT)


Pemasangan nasogastric tube (NGT) merupakan tindakan pemasangan slang
plastik lunak melalui nasofaring pasien ke dalam lambung. Slang mempunyai lumen
berongga yang memungkinkan untuk pembuangan sekret gastrik dan pemasukan
cairan ke dalam lambung.

Gambar 18. Pemasangan NGT

Bagi anak-anak, kebutuhan akan NGT disebabkan oleh beberapa


kondisi seperti anomali anatomi jalan makanan; oesophagus atau alat
eliminasi, kelemahan reflek menelan, distress pernafasan atau tidak sadarkan
diri.

Indikasi dan Kontraindikasi Pemasangan NGT


Indikasi:
a. Diagnostik
- Evaluasi perdarahan saluran cerna bagian atas
- Pemeriksaan analisis getah lambung
- Identifikasi esofagus dan lambung pada rontgen thorax
- Pemberian kontras radiografik ke saluran cerna
b. Terapeutik
- Dekompresi lambung
- Bilas lambung
- Pemberian obat secara langsung
- Pemberian nutrisi enteral
- Pasien koma
36
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Kontra Indikasi
a. Dugaan fraktur basis kranii
b. Atresia koana
c. Kelainan esofagus (atresia, striktur, luka bakar atau perforasi)
d. Pascaesofagoplasti

Nasogastrik tube berdiameter besar, kurang fleksibel, lebih kaku,


digunakan untuk pemberian obat, dekompresi/pengurangan tekanan udara di
lambung, dan untuk pemberian makan jangka pendek (biasanya kurang dari 1
minggu).
Penggunaan NGT ukuran kecil sebagai tindakan profilaksis untuk
pencegahan gastro-oesofageal reflux dan mikro-aspirasi isi lambung ke dalam
jalan napas bagian bawah masih kontroversial sebagaimana yang lain
menunjukkan tak ada hubungan antara ukuran NGT dan komplikasi-
komplikasi ini.
Displacement dapat terjadi pada ukuran besar maupun kecil, namun
ukuran kecil lebih mudah dislokasi, sering ke dalam jalan napas dan tanpa
tanda-tanda yang dapat terlihat dari luar, serta mudah terjadi kemacetan dan
melilit.

b. Bilas Lambung (Gastric Lavage)


Tujuan prosedur bilas lambung:
1. Membilas lambung dan mengeliminasi zat-zat yang tercerna
2. Mengosongkan lambung sebelum pemeriksaan endoskopi

PROSEDUR
1. Pemasangan NGT
1) Informed consent
2) Persiapkan alat.
3) Atur posisi pasien.
4) Pasang perlak atau pengalas pada daerah dada pasien.
5) Cuci tangan dan memakai sarung tangan.
6) Tentukan seberapa panjang selang NGT yang akan dimasukkan dengan
mengukur panjang dari nares ke cuping telinga ipsilateral lanjutkan
menuju prosesus xiphoideus (lebih kurang 40 – 45 cm pada pasien
dewasa).
7) Masukan ujung selang ke dalam segelas es untuk mengeraskannya.
8) Olesi selang NGT dengan aqua jelly (sepanjang 15 cm dari ujung
NGT).
9) Memasukkan NGT malalui lubang hidung dan meminta pasien untuk
menelan (jika pasien tidak sadar tekan lidah pasien dengan spatula).
10) Minta pasien untuk menekukan leher dan dengan perlahan masukan
selang ke dalam lubang hidung pasien dengan arah paralel dasar hidung
dan arah distall sedikit menekuk (mengikuti bentuk alami rongga
hidung).

37
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
11) Dorong selang ke dalam faring mengarah ke posterior, minta pasien
untuk menelan (apabila memungkinkan).
12) Setelah selang tertelan, pastikan bahwa pasien dapat berbicara dengan
jelas dan bernapas, tanpa kesulitan dan dengan lembut dorong selang
sampai panjang yang telah diperkirakan. Apabila pasien mampu dan
sadar, dapat pula dilakukan teknik meminta pasien minum melalui
sedotan, sementara pasien menelan, Anda mendorong selang dengan
lembut.
13) Pastikan pemasangan NGT telah benar dengan posisi NGT di dalam
lambung. Terdapat beberapa cara untuk memastikan hal tersebut, yakni
(cukup lakukan salah satu):
a. Aspirasi cairan lambung dengan spuit 10 cc  jika terdapat cairan
bercampur isi lambung berarti sudah masuk ke lambung.
b. Masukan ujung NGT ke dalam air dalam kom  apabila ada
gelembung berarti NGT berada dalam paru-paru.
c. Suntikkan kira-kira 20 ml udara dengan menggunakan spuit melalui
ujung selang NGT sambil melakukan auskultasi pada daerah
epigastrium. Apabila terdengar suara udara tersebut, maka NGT
berada di lambung.
14) Dengan menggunakan peniti atau plester, selang direkatkan ke baju
pasien.
15) Merapikan kembali pasien sehingga pasien berada dalam posisi nyaman
dan aman.
16) Rapikan kembali alat-alat.
17) Lepaskan sarung tangan, simpan pada tempat sampah yang telah
disiapkan.
18) Cuci tangan
19) Catat dan tempelkan pada selang NGT kapan dan oleh siapa
pemasangan NGT dilakukan.
20) Pada kasus tertentu diperlukan irigasi selang tiap 4 jam dengan salin 15
ml. Selang sump salem juga memerlukan penyuntikan 15 ml udara
melalui saluran sump (biru) setiap 4 jam agar selang tetap berfungsi
baik. Pantau pH lambung setiap 4 – 6 jam dan perbaiki dengan
pemberian antasid apabila pH < 4,5.
21) Lakukan pemantauan residu apabila selang NGT digunakan untuk
pemberian makan secara enteral. (Lakukan foto thorax untuk
memastikan letak selang yang benar sebelum menggunakan selang
untuk menyalurkan makanan).

ii. Bilas Lambung

1. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan


2. Siapkan alat dan bahan
3. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
4. Lakukan pemasangan NGT
5. Pasang spuit 50mL pada ujung NGT
38
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
6. Mulai bilaslambung dengan memasukkan 250mL irigan untuk
mengecek toleransi pasien dan mencegah muntah
7. Aspirasi irigan dengan spuit dan tampung di gelas ukur
8. Urut abdomen di bagian lambung untuk membantu aliran keluar irigan
9. Ulangi siklus ini hingga cairan yang keluar tampak jernih
10. Periksa tanda vital pasien, output urin, dan tingkat kesadaran setiap 15
menit
11. Lepaskan NGT sesuai indikasi

B. DAFTAR PUSTAKA

1) Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia.


Jakarta; 2006.
2) Fakultas Kedokteran UI. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi Ke-3.
Jakarta: Media Aesculapius; 2000.

C. EVALUASI

CEKLIST LATIHAN PEMASANGAN NGT


Feedback
No. Aspek
I. Interpersonal
1. Senyum, salam, sapa
2. Informed consent
II. Prosedur
3. Siapkan alat-alat untuk pemasangan NGT.
4. Persiapkan pasien duduk atau berbaring telentang.
5. Cuci tangan WHO (prosedural scrubbing).
6. Gunakan handschoen.
7. Pasang pengalas pada daerah dada pasien.
8. Tentukan seberapa panjang selang NGT yang akan dimasukkan
dengan mengukur panjang dari nares ke cuping telinga ipsilateral
lanjutkan menuju prosesus xiphoideus.
9. Masukan ujung selang ke dalam segelas es untuk mengeraskannya.
10. Oleskan pelumas pada selang.
11. Minta pasien untuk menekukan leher dan dengan perlahan masukan
selang ke dalam lubang hidung pasien dengan arah paralel dasar
hidung dan arah distal sedikit menekuk (mengikuti bentuk alami
rongga hidung).
12. Dorong selang ke dalam faring mengarah ke posterior, minta pasien
untuk menelan (apabila memungkinkan).
13. Setelah selang tertelan, pastikan bahwa pasien dapat berbicara

39
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
dengan jelas dan bernapas, tanpa kesulitan dan dengan lembut
dorong selang sampai panjang yang telah diperkirakan.
14. Pastikan pemasangan NGT telah benar dengan menyuntikan kira-kira
20 ml udara dengan menggunakan spuit melalui ujung selang sambil
melakukan auskultasi daerah epigastrium.
15. Plester selang ke hidung pasien dengan memastikan bahwa tidak ada
tekanan yang ditimbulkan oleh selang ke lubang hidung.
16. Dengan menggunakan peniti atau plester, selangt direkatkan ke baju
pasien.
17. Rapikan kembali pasien.
18. Rapikan alat.
19. Lepaskan handscoen dan cuci tangan.
20. Catat dan tempelkan pada selang NGT kapan dan oleh siapa
pemasangan NGT dilakukan.
III. Clinical Reasoning & Profesionalisme
21. Mampu menjelaskan tujuan pemasangan NGT.
22. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi pemasangan NGT.
23. Menunjukan sikap percaya diri.
24. Melakukan dengan kesalahan minimal.

CEKLIS BILAS LAMBUNG


Feedback
No. Aspek
I. Interpersonal
1. Senyum, salam, sapa
2. Informed consent
II. Prosedur
3. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
4. Lakukan pemasangan NGT
5. Pasang spuit 50mL pada ujung NGT
6. Mulai bilaslambung dengan memasukkan 250mL irigan untuk
mengecek toleransi pasien dan mencegah muntah
7. Aspirasi irigan dengan spuit dan tampung di gelas ukur
8. Urut abdomen di bagian lambung untuk membantu aliran keluar
irigan
9. Ulangi siklus ini hingga cairan yang keluar tampak jernih
10. Periksa tanda vital pasien, output urin, dan tingkat kesadaran setiap
15 menit
11. Lepaskan NGT sesuai indikasi

40
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

KONSELING
dr. Azelia Nusadewiarti, MPH; dr. Muhammad Aditya, M. Epid

A. TEMA
Keterampilan komunikasi konseling dan menginformasikan kepada
pasien tentang penyakit, diagnosis, rencana pemeriksaan penunjang,
tindakan dan terapi, maupun rehabilitasi.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa mampu memperagakan komunikasi interpersonal
khusus dalam simulasi kelompok, terutama tentang konseling.

2. Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa diharapkan memiliki keterampilan untuk:
• Mampu menginformasikan kepada pasien informasi secara
umum tentang penyakit, rencana pemeriksaan penunjang,
tindakan dan terapi, maupun rehabilitasi dengan baik dan benar.
• Mampu menciptakan suasana yang nyaman, aman dan
menimbulkan rasa percaya pasien/keluarganya.
• Mampu menyampaikan informasi secara jelas dengan bahasa
yang mudah dimengerti
• Mampu mendengar secara aktif
• Mampu bertanya secara efektif
• Mampu menilai kebutuhan dan perasaan pasien/keluarganya
• Mampu merangsang pasien untuk berbicara, bertanya atau
mengemukakan masalah atau pendapatnya
• Mampu berbicara dengan bahasa pasien/keluarganya
• Mampu menyampaikan pendidikan kesehatan/edukasi.

C. ALAT DAN BAHAN


• Pasien simulasi
• Meja dan kursi periksa

41
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
• Kelengkapan periksa (lembar rekam medis, lembar laboratorium,
dll yg diperlukan)
• Media edukasi (jika diperlukan)

D. SKENARIO
Laki-laki, usia 25 tahun dengan masalah kelebihan berat badan
datang ke klinik. Keluhan yang dirasakan kini adalah gampang sekali
terengah-engah terutama bila melakukan aktivitas fisik. Selain itu, tubuhnya
gampang sekali banjir keringat yang membuatnya tidak percaya diri.
Hasil pemeriksaan tanda vital TD 110/90 mmHg Nadi 80x/mnt, RR
20x/m, suhu 36,8oC. Dari hasil pemeriksaan antropometri didapatkan BMI
30. Lingkar perut 102 cm. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
gula darah puasa terganggu dengan dislipidemia.
Riwayat dalam keluarganya ayah memiliki riwayat obesitas dan
darah tinggi, ibu memiliki riwayat diabetes mellitus. Pasien memiliki
kebiasaan tidak pernah berolahraga, senang makan makanan instan.

E. DASAR TEORI

Konseling adalah tidakan untuk menolong seseorang untuk


mengidentifikasi masalah, menjelaskan permasalahan, dan menemukan
alternatif pemecahan masalah, sehingga orang tersebut mampu untuk
memutuskan perkara masalah tersebut. Dengan kata lain, konseling adalah
menolong orang untuk dapat menolong dirinya sendiri.
Konseling medik merupakan konseling yang dilakukan oleh petugas
kesehatan, pada umumnya adalah dokter, yang bertujuan agar pasien dan
atau keluarganya dapat mengambil keputusan akan tindakan yang akan
dijalaninya, sehubungan dengan masalah kesehatan yang dihadapinya.

Tujuan Konseling
Menolong pasien dan atau keluarganya agar mereka dapat:
1. Mengembangkan hubungan sedemikian rupa sehingga mereka merasa
dimengerti untuk selanjutnya dapat secara jujur dan terbuka
mendiskusikan persoalannya.
2. Mendapatkan pengertian yang mendalam akan masalah yang mereka
42
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
hadapi.
3. Mendiskusikan alternatif pemecahan masalah dan menentukan
keputusan
4. Merencanakan dan melaksanakan tindakan yang spesifik
5. Merasakan perasaan yang berbeda yang membuat mereka lebih tenang
dan bahagia

Peranan Konselor
1. Menyediakan dukungan dan dorongan.
2. Di tahap pengakhiran proses konseling, setelah pasien dan atau
keluarganya dibantu memahami masalahnya baik masalah medik
maupun masalah psikososial yang berkaitan dengan masalah kesehatan
tersebut, tindakan selanjutnya adalah memberikan tawaran
pemecahan masalah yang biasanya dalam keadaan biasa ada 2
atau 3 opsi yang mempunyai keuntungan dan kelemahan yang
hampir sama, sehingga nantinya akan terjadi pengambilan keputusan
yang tepat oleh pasien dan atau keluarganya.

Karakter Konselor yang baik dalam konseling medik:


1. Mempunyai minat yang sungguh-sungguh terhadap orang lain, artinya
mau bekerjasama dan membantu pasien/keluarganya
2. Menghargai hak dan kemampuan pasien/keluarganya untuk membuat
keputusannya sendiri
3. Dapat menerima nilai yang dianut dan sikap pasien/keluarganya yang
berbeda dengan nilai dan sikapnya sendiri
4. Mempunyai daya observasi yang tajam
5. Terbuka untuk pendapat orang lain
6. Mampu mengadakan empati, mendukung pasien/keluarganya, dan
sensitif
7. Mampu mengidentifikasi kendala psikologik, sosial dan cultural
pasien/keluarganya
8. Menghargai dan menghormati pasien dan keluarganya
9. Dapat dipercaya dan memegang rahasia pasien/keluarganya

43
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Keterampilan Komunikasi Konselor:
1. Kemampuan menciptakan suasana yang nyaman, aman dan
menimbulkan rasa percaya pasien/keluarganya kepada konselor
2. Mampu menyampaikan informasi secara jelas dengan bahasa yang
mudah dimengerti
3. Mampu mendengar secara aktif
4. Mampu bertanya secara efektif
5. Memiliki kemampuan menilai kebutuhan dan perasaan
pasien/keluarganya
6. Mampu merangsang pasien untuk berbicara, bertanya atau
mengemukakan masalah atau pendapatnya
7. Mampu berbicara dengan bahasa pasien/keluarganya

Selain karakter dan keterampilan konselor yang baik, syarat konselor


medik yang baik adalalah pengetahuan konselor, antara lain:
1. Pengetahuan terkini yang berkaitan dengan topik yang dibicarakan
dengan pasien dan atau keluarganya, misalnya tentang pengobatan
kanker usus atau kanker lambung dsbnya, termasuk di mana dapat
dilakukan serta berapa biayanya.
2. Pengetahuan tentang prognosis dari penyakit yang dibicarakan dengan
pasien dan atau keluarganya.
3. Pengetahuan tentang rujukan, termasuk di mana dapat dilakukan
pengobatan penyakit tersebut serta berapa biayanya.

Tempat Konseling
1. Tempat dimana konseling dilakukan tentunya harus memenuhi syarat,
yakni adanya privasi dan suasana yang tenang.
2. Ruangan konseling sebaiknya merupakan kamar yang terpisah dari
kegiatan pemeriksaan pasien.
3. Pasien dan atau keluarganya hendaknya duduk dalam ruangan yang
nyaman. Dokter dan pasien serta keluarganya dapat berbincang dengan
bebas, serta tidak ada petugas yang keluar dan masuk ruangan tersebut.

44
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Penatalaksanaan Penyakit dengan pendekatan keluarga
(5 level prevention)
← Periode Prepatogenesis → ← Periode Patogenesis →
Interaksi antara ; intrinsik faktor, Masa Masa Penyakit Masa
penyebab penyakit & faktor penyakit Terkendali Lanjut
ekstrinsik dini
↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Peningkatan Perlindungan Deteksi Pengobatan/ Pemulihan/
Kesehatan Khusus Dini Tindakan Rehabilitasi

Preventif Primer Preventif Sekunder Preventif


Tertier

Peningkatan Kesehatan (Health Promotion)


• Dilakukan pada orang yang sehat/netral
• Edukasi, nutrisi, olahraga, rumah sehat, konseling, genetik, MCU,
perhatian pada perkembangan kepribadian
Perlindungan Khusus (Specific Protection)
• Dilakukan pada orang yang berisiko
• Imunisasi, personal higiene, sanitasi, perlindungan kerja,
perlindungan kecelakaan, penggunaan bahan gizi tertentu,
perlindungan terhadap karsinogenik, menghindari alergen
Deteksi Dini (Early Diagnosis & Prompt Treatment)
• Penemuan kasus (perorangan / kelompok)
• Survei skrining
• Pemeriksaan selektif dengan tujuan pencegahan penyakit berlanjut,
pencegahan menjalarnya penyakit menular, dan pencegahan
komplikasi
• Pengobatan awal
Pengobatan dan Tindakan (Disability Limitation)
• Pengobatan lanjut dan lengkap
• Penyediaan fasilitas untuk membatasi atau memperpendek masa
ketidak mampuan (perawatan RS dan perawatan di rumah)
• Konsultasi dan rujukan

45
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
• Pelayanan spesialis
• Mencegah kematian
Pemulihan (Rehabilitation)
• Penyediaan fasilitas pelatihan di RS dan masyarakat agar
kemampuan yang tersisa dapat dimanfaatkan secara maksimum
• Edukasi masyarakat dan industri agar menerima mereka yang telah
direhabilitasi
• Sedapat mungkin diusahakan supaya semua dapat bekerja
• Kualitas hidup yang baik dan bermanfaat

Konseling dan edukasi pada pasien tergantung kasusnya pada


tingkat/level pencegahan yang ditemukan.

F. PROSEDUR KONSELING

Langkah Konseling Medis yang baik dapat dilakukan dengan metode 5A


1. ASK
Menggali informasi terkait masalah medis pasien. Hal ini dapat dilakukan
dengan melakukan anamnesis yang sistematis dan baik, informasi terkait
masalah pasien meliputi karakteristik/identitas individu, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga,
riwayat sosial/kebiasaan.

2. ADVICE
Nasihat/saran terkait penyakit, faktor risiko, penyakit yang mungkin timbul
dari penyakit tersebut, gaya hidup, nutrisi, perilaku, dll. Saran/nasihat
disampaikan dengan jelas, dan tegas bila diperlukan, disesuaikan dengan
situasi individu. Dalam memberikan nasihat dapat dibantu dengan media
seperti leaflet, poster, atau media lainnya.

Misalnya pada konseling pasien obesitas:


―Sangat penting bagi anda untuk mengubah gaya hidup, lebih cepat lebih
baik. Dan saya bisa membantu anda‖

―Hanya dengan berolahraga ringan akan sangat membantu anda untuk


46
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
membentuk kebiasaan yang lebih baik‖

―Saya menyadari bahwa menurunkan berat badan itu tidak mudah. Tapi ini
adalah hal yang paling penting untuk kesehatan anda saat ini dan nantinya.
Saya bisa membantu anda merencanakan program untuk masalah anda.‖

3. ASSESS
Konselor menilai kesiapan pasien/keluarganya untuk memecahkan
masalahnya. Konselor dapat menggali potensi dan kendala/tantangan yang
ada pada pasien/keluarganya untuk membantu pasien memecahkan
masalahnya.

Sebagian orang umumnya tidak siap dengan perubahan. Perubahan


membutuhkan proses, bukan sekedar langkah tunggal, sehingga memerlukan
usaha berkali-kali sebelum berhasil.

4. ASSIST
Mendampingi pasien atau keluarga untuk mendiskusikan permasalahan,
serta menyusun solusi bersama.

Bila pasien tidak siap


Tanyakan ―apakah anda pernah mempertimbangkan untuk melakukan
perubahan terkait masalah kesehatannya?‖. Jika iya, tanyakan ―menurut
anda apa keuntungan untuk melakukan perubahan sekarang, dibanding
nanti?‖. Jika pasien menjawab ―melakukan sekarang lebih baik
dibandingkan nanti‖, lanjutkan dengan bertanya ―apa yang membuat anda
memutuskan untuk melakukan perubahan lebih cepat?‖. Nilai respon pasien,
respon pasien dapat menunjukkan kendala yang dihadapinya.

Intervensi motivasional yang dapat dilakukan bila pasien belum siap atau
belum berfikir untuk melakukan perubahan terkait masalah kesehatannya
dapat menggunakan metode 5R.

Relevance: Tanyakan pasien mengapa perlu melakukan perubahan. Dampak


akan lebih besar bila revelan terhadap keluarganya, situasi sosial, keadaan
47
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
kesehatan, usia, ataupun karakteristik pasien lainnya.
Risk: Tanyakan/ajak pasien berpikir tentang dampak potensial negatif dari
masalah kesehatannya saat ini, baik dampak jangka pendek maupun
panjang.
Rewards: Tanyakan/ajak pasien berpikir tentang keuntungan/dampak positif
dari melakukan perubahan terkait masalah kesehatannya. Sorot yang paling
relevan dengan keadaan pasien.
Roadblock: Tanyakan/ajak pasien berpikir tentang halangan/tantangan
dalam melakukan perubahan. Halangan yang umum biasanya oleh karena
takut gagal, kurang dukungan, depresi. Catat halangan/tantangan yang
mungkin akan dihadapi paisen dan pikirkan pada saat penatalaksanaan pada
pasien (misalnya problem solving, farmakoterapi)
Repetition: ulangi intervensi motivasional setiap pasien yang kurang
termotivasi berkunjung. Sebagian orang umumnya tidak siap dengan
perubahan. Bila gagal pada percobaan awal, beri penjelasan bahwa
perubahan membutuhkan proses, bukan sekedar langkah tunggal, sehingga
memerlukan usaha berkali-kali sebelum berhasil.

Intervensi motivasional tidak hanya dapat dilakukan bila pasien belum siap,
setelah tujuan tercapai pun motivasi dapat terus diberikan pada fase
maintenance. Memberikan selamat dan mendorong untuk tetap melakukan
program penting dilakukan.

Bila pasien siap


Disain program yang dibutuhkan pasien/keluarganya untuk memecahkan
masalah kesehatannya.

Bila dalam proses


Cegah putus program/relaps.

5. ARRANGE FOLLOW UP

Mendiskusikan waktu pertemuan kembali dan target yang diharapkan sudah


dipenuhi oleh pasien. Berikan bantuan selama usaha pasien/keluarganya.

48
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Strategi Konseling
Strategi konseling yang dapat dilakukan:
1. Nasihat/saran yang tegas bila diperlukan
2. Berikan informasi yang jelas dengan menggunakan media
3. Bertanya tapi tidak menginterogasi
4. Ciptakan perhatian pasien tentang kesehatannya, ajak pasien berpikir
masalah kesehatannya, tanyakan apakan pasien pernah
mempertimbangkan untuk melakukan perubahan terkait masalah
kesehatannya.
5. Tunjukkan empati, ajak berkomunikasi
6. Keputusan ada pada pasien

Yang sebaiknya tidak dilakukan pada saat konseling:


1. Membujuk
2. Mengajak bercanda terkait masalah kesehatan yang sensitif (misalnya
HIV/AIDS, pasien terminal, dll)
3. Bersikap sinis terhadap masalah kesehatan pasien

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar Azrul, Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan
Penerbit IDI, Jakata;1996
2. Gan, Goh Lee, at all, A primer On Family Medicine Practice,
Sirqutanto. Keterampilan komunikasi interpersonal khusus
[slide perkuliahan]. Jakarta: FKUI.
3. Fiore MC, Jaen CR, Baker TB, et al. Treating Tobacco Use
and Dependence: 2008 Update. Clinical Practice Guideline.
Rockville: U.S. Department of Health and Human Services;
Public Health Service; 2008.
4. ngapore International Foundation, Singapore, 2004
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Komunikasi Efektif Dokter-
Pasien. Jakarta: KKI. 2006
6. Mc Whinney, A Text Book of family Medicine, Oxford
University, New York; 1989
7. Poernomo, Ieda SS. Pengertian KIE dan Konseling. Jakarta:
Makalah Perinasia. 2004
49
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
8. Herqutanto. Keterampilan komunikasi interpersonal khusus
[slide perkuliahan]. Jakarta: FKUI.
9. Fiore MC, Jaen CR, Baker TB, et al. Treating Tobacco Use
and Dependence: 2008 Update. Clinical Practice Guideline.
Rockville: U.S. Department of Health and Human Services;
Public Health Service; 2008.

H. CEKLIST
Feed Back
No Aspek
INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa
CONTENT
2 Mempersiapkan kondisi dan suasana ruangan
yang nyaman
3 ASK
4 ADVICE
5 ASSESS
6 ASSIST
7 ARRANGE for Follow up
8 Ingatkan informasi-informasi yang penting serta
resume dari penjelasan
9 Memberikan informasi tepat sasaran, waktu,
tempat serta cakupan dan dapat diterima pasien
dengan baik
10 Memegang kendali selama komunikasi dan
menutup komunikasi pada waktu yang tepat
PROFESSIONALISM
11 Melakukan dengan penuh percaya diri, empathy
dan kesalahan minimal
12 Menyampaikan semua informasi sesuai dengan
konteksnya (clinical reasoning)

50
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Contoh Skenario Kasus untuk Latihan

1. Kasus Penyakit Hati Menahun


Seorang laki-laki, 56 tahun, tukang cukur di kecamatan Kampung
Baru Bandar Lampung, datang periksa RS Pendidikan Unila dengan keluhan
perut terasa membesar dan terasa penuh. Keluhan dirasakan sejak 2 tahun
terakhir. Nafsu makan tidak ada, badan lemas, kulit terasa lebih kuning
semenjak sakit. Batuk tidak ada, nafas biasa. Riwayat imunisasi Hepatitis
belum pernah. Riwayat muntah darah tidak ada.
Sepuluh tahun yang lalu pernah menderita sakit kuning bersama istri
dan dirawat di Rumah Sakit. Istri berusia 50 tahun dengan 4 orang anak,
bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah RS swasta di Bandar
Lampung. Pasien mempunyai sebidang tanah di dekat rumah, namun sudah
dijual selama menjalani pengobatan terdahulu. Semenjak sakit terdahulu
pasien sering merasa mual, tidak nafsu makan dan perut terasa membesar
serta badan seringkali menjadi kuning. Pasien juga mempunyai kebiasaan
minum-minuman keras.
Dari pemantauan dokter, penyakit yang diderita pasien akan
berlangsung kronis dan menahun. Berikan Konseling dan edukasi terhadap
pasien dan keluarga!

2. Kasus Penyakit Tuberkulosis


Laki-laki, tukang becak, 46 tahun, tinggal di daerah Rajabasa, batuk-
batuk sejak 6 bulan ini. Batuk produktif disertai dengan dahak kental dan
hijau. 1 bulan terakhir, batuk disertai dengan dahak dan flek-flek darah.
Selama sakit, pasien merasa nafsu makan berkurang dan badan lebih kurus,
meriang, kadang disertai keringat malam.
Lima tahun yang lalu pernah menderita gejala serupa dan berobat di
Puskesmas. Setelah di rontgent dan diperiksa lab darah dan dahaknya,
pasien menjalani terapi rutin melalui suntikan dan minum pil selama hampir
1 tahun. Pasien kemudian menghentikan pengobatan setela merasa badan
sudah agak lebih enak. Selama pengobatan biaya gratis, pasien hanya
mengeluarkan biaya untuk datang periksa ke puskesmas namun selama sakit
pasien tidak kuat lagi untuk bekerja sehingga istrinya yang mencari nafkah
sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Pasien mempunyai anak 2 orang
51
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
yang keduanya sekolah SD dan SMP. Penghasilan keluarga pasien pas-
pasan bahkan kadang kekurangan.
Pasien sedikit agak khawatir untuk berobat kembali karena takut
dimarahi oleh dokternya. Selain itu pasien merasa dokter puskesmasnya
sekarang agak lebih bertele-tele dalam melakukan pengobatan. Istri pasien
juga takut kalau penyakit ini dinyatakan menular dia akan diberhentikan dari
tempatnya bekerja. Lakukan Konseling dan edukasi terkait penyakit dan
permasalahan pasien!

52
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

PENYULUHAN MASSAL
dr. Reni Zuraida, M.Si

A. TEMA

Pada pertemuan pertama mahasiswa belajar secara konsep dan teori tentang
komunikasi massal serta mencoba berlatih dengan instruktur. Sebelum
pertemuan kedua diberikan penugasan ke mahasiswa untuk mempersiapkan
materi serta media penyuluhan yang akan di presentasikan di pertemuan
kedua. Judul topik penyuluhan berupa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS), Penyuluhan tentang Merokok, Penyuluhan tentang Kontrasepsi
serta penyuluhan tentang penyakit menular seperti TBC, Demam Berdarah
dan Malaria. Pembagian topik ini diberikan oleh instruktur di akhir
pertemuan pertama.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN :
a. Tujuan instruksional umum
Mampu melakukan komunikasi massal (penyuluhan kesehatan)
b. Tujuan instruksional khusus
1. Mampu melakukan komunikasi massal dalam lingkup penyuluhan
kesehatan pada masyarakat
2. Mampu memilih metode yang tepat dalam melaksanakan
komunikasi massal
3. Mampu membina hubungan yg terjadi antara dokter dengan pasien
karena adanya tanggung jawab & kewajiban profesi dokter
terhadap pasien

C. ALAT DAN BAHAN


1. Kursi
2. Meja
3. Media penyuluhan (slide power point, poster, lembar balik/
flipchart, leaflet alat peraga, dsb)

53
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
D. SKENARIO
Seorang mahasiswa kedokteran sedang menjalani Blok IKKOM
mendapatkan tugas untuk melakukan penyuluhan di sebuah desa binaan
kampus. Sang mahasiswa sudah mempunyai topik untuk penyuluhan sesuai
dengan kondisi lingkungan di desa tersebut namun dia bingung bagaismana
cara penyampaiannya dan seperti apa format penyuluhan yang cocok untuk
dia lakukan.

E. DASAR TEORI
Komunikasi massal merupakan komunikasi yang menggunakan
saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara
massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat
heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. (Ardianto, 2004).
Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari komunikasi massal,
penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan
cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat
tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan
suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan.
Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan
kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu
keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa
yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan
meminta pertolongan (Effendy, 1998).
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri
seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu
dan masyarakat.

Tujuan pendidikan kesehatan adalah:


1. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat
dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat dan
lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal.
2. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik,
54
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian.
3. Menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah
perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang
kesehatan.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan
penyuluhan kesehatan adalah:
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap
informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang
menerima informasi yang didapatnya.
2. Tingkat Sosial Ekonomi
Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin mudah
pula dalam menerima informasi baru.
3. Adat Istiadat
Pengaruh dari adat istiadat dalam menerima informasi baru
merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, karena masyarakat kita
masih sangat menghargai dan menganggap sesuatu yang tidak
boleh diabaikan.
4. Kepercayaan Masyarakat
Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh
orang–orang yang sudah mereka kenal, karena sudah timbul
kepercayaan masyarakat dengan penyampai informasi.
5. Ketersediaan Waktu di Masyarakat
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat
aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat
dalam penyuluhan.
Metode yang dapat dipergunakan dalam memberikan penyuluhan kesehatan
adalah (Notoatmodjo, 2002):
1. Metode Ceramah
Adalah suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu
ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok
sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan.
2. Metode Diskusi Kelompok
55
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Adalah pembicaraan yang direncanakan dan telah dipersiapkan
tentang suatu topik pembicaraan diantara 5–20 peserta
(sasaran) dengan seorang pemimpin diskusi yang telah
ditunjuk.
3. Metode Curah Pendapat
Adalah suatu bentuk pemecahan masalah di mana setiap
anggota mengusulkan semua kemungkinan pemecahan
masalah yang terpikirkan oleh masing – masing peserta, dan
evaluasi atas pendapat – pendapat tadi dilakukan kemudian.
4. Metode Panel
Adalah pembicaraan yang telah direncanakan di depan
pengunjung atau peserta tentang sebuah topik, diperlukan 3
orang atau lebih panelis dengan seorang pemimpin.
5. Metode Bermain peran
Adalah memerankan sebuah situasi dalam kehidupan manusia
dengan tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atu
lebih untuk dipakai sebagai bahan pemikiran oleh kelompok.
6. Metode Demonstrasi
Adalah suatu cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan
prosedur tentang sesuatu hal yang telah dipersiapkan dengan
teliti untuk memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan
suatu tindakan, adegan dengan menggunakan alat peraga.
Metode ini digunakan terhadap kelompok yang tidak terlalu
besar jumlahnya.
7. Metode Simposium
Adalah serangkaian ceramah yang diberikan oleh 2 sampai 5
orang dengan topik yang berbeda tetapi saling berhubungan
erat.
8. Metode Seminar
Adalah suatu cara di mana sekelompok orang berkumpul untuk
membahas suatu masalah dibawah bimbingan seorang ahli
yang menguasai bidangnya.

56
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
F. PROSEDUR
Langkah-langkah dalam penyuluhan kesehatan masyarakat:
1. Mengkaji kebutuhan kesehatan masyarakat.
2. Menetapkan masalah kesehatan masyarakat.
3. Memprioritaskan masalah yang terlebih dahulu ditangani melalui
penyuluhan kesehatan masyarakat.
4. Menyusun perencanaan penyuluhan
5. Menetapkan tujuan
6. Penentuan sasaran
7. Menyusun materi/isi penyuluhan
8. Memilih metoda yang tepat
9. Menentukan jenis alat peraga yang akan digunakan
10. Penentuan kriteria evaluasi.
11. Pelaksanaan penyuluhan
12. Penilaian hasil penyuluhan
13. Tindak lanjut dari penyuluhan

G. DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar. Promosi kesehatan. graha ilmu : Yogyakarta; 2010


2. Fitriani. Jurnal penyuluhan dan sasaran kesehatan masyrakat.
Jakarta; 2011
3. Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman
Pengelolaan Promosi Kesehatan, Dalam Pencapaian PHBS, Jakarta
2008

57
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
H. CEKLIST PENYULUHAN MASSAL

FEED
NO ASPEK
BACK
INTERPERSONAL
1 Membina rapport (ramah, salam, sikap terbuka)
2 Memperkenalkan diri (nama, asal instansi)
3 Wajah ramah, senyum, posisi tubuh baik, kontak mata,
berpakaian rapi dan sesuai
CONTENT
4 Pendahuluan
- Menjelaskan tujuan penyuluhan
-Menjelaskan definisi ( bila tentang penyakit)
5 Isi
-Menjelaskan latar belakang
-Menjelaskan isi
-Menjelaskan dengan bahasa yang sesuai dengan
audiens (tingkat pendidikan, suku, sosial ekonomi)
-Menggunakan media (alat bantu peraga, media audio
visual, dll)
-Menyampaikan informasi dengan lengkap
-Memberikan kesempatan pada audiens untuk bertanya
6 Penutup
-Menyampaikan resume (ringkasan, take home
message, persuasif)
-Menutup komunikasi dengan tepat
PROFESSIONALISM
7 Melakukan dengan penuh percaya diri dan kesalahan
minimal
8 Memegang kendali selama penyuluhan

58
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS 1
dr. AJ Wulan, M.Sc.; dr. Rizki Hanriko, Sp.PA;
dr.Fidha Rahmayani, M.Sc, Sp.S

Pemeriksaan neurologis merupakan jenis pemeriksaan yang digunakan dalam rangka


penegakan diagnosis penyakit-penyakit di bidang ilmu penyakit saraf (Neurology).
Pemeriksaan ini terdiri dari beberapa jenis pemeriksaan seperti halnya pemeriksaan tingkat
kesadaran, pemeriksaan saraf kranial, pemeriksaan sistem motorik dan sensoris, pemeriksaan
reflex fisiologis, pemeriksaan reflex patologis, tanda rangsang meningeal dan tes koordinasi.
Tidak semua pemeriksaan tersebut dilakukan secara rutin untuk setiap pasien neurologi tetapi
dilakukan sesuai dengan tanda maupun gejala penyakit pada pasien untuk merumuskan sebuah
diagnosis klinis dan menyingkirkan diagnosis banding.
Pada CSL sesi ini akan dibahas beberapa pemeriksaan neurologis antara lain berupa
pemeriksaan tingkat kesadaran dengan metode Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan saraf
kranialis dan pemeriksaan tanda rangsang meningeal.

A. TEMA
1. Keterampilan Prosedural Penilaian Tingkat Kesadaran
2. Keterampilan Pemeriksaan Saraf Kranial
3. Keterampilan Pemeriksaan Sistem Sensoris.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
 Mahasiswa mampu melakukan penilaian tingkat kesadaran
 Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan Saraf Kranial
 Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan tanda rangsang meningeal

C. ALAT DAN BAHAN


Penilaian Tingkat Pemeriksaan Saraf Kranial Pemeriksaan Tanda
Kesadaran Rangsang Meningeal
- 1. Meja dan kursi tempat
pemeriksaan
2. Kapas
3. Snellen chart
4. Garpu tala 512 Hz
5. Pin/jarum
6. Palu reflek
7. Pipet
8. Pen light
9. Cairan gula, garam,
cuka, dan kina/kopi
10. Kopi, teh, dan
tembakau
11. Ofthalmoskop

D. SKENARIO
Tuan A berusia 28 tahun datang ke IGD RS Pendidikan Unila dengan keluhan penurunan
kesadaran disertai demam tinggi. Menurut keterangan istrinya pasien mengalami demam sejak

59
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri kepala hebat, mual dan muntah serta tidak
nafsu makan. Pasien baru kembali dari dinas luar kota ke daerah pesisir pantai. Satu hari
sebelum masuk rumah sakit didapatkan pasien lebih sering tidur dan beberapa kali muntah. Istri
pasien juga menceritakan bahwa anggota gerak sebelah kanan nampak lebih kurang aktif
dibandingkan sebelah kiri.
Hari masuk rumah sakit pasien semakin sulit dibangunkan. Anda sebagai seorang dokter
muda yang sedang beretugas di IGD tersebut melakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan
tanda dan gejala deficit neurologis yang terkait kasus pasien tersebut.

E. DASAR TEORI
1. PENILAIAN TINGKAT KESADARAN
Kesadaran adalah produk neurofisiologik dimana seorang individu mampu
berorientasi secara wajar terhadap diri sendiri dan lingkungan. Sedangkan definisi yang lain
yaitu keadaan yang mencerminkan pengintegrasian rangsang aferen dan eferen. Koma adalah
suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi
dengan kuat.
Pemeriksaan tingkat kesadaran berbeda dengan isi kesadaran. Penilaian tingkat
kesadaran (level of consciousness) berhubungan dengan jaras kesadaran yang melibatkan
sistem Ascending Reticular Activating System (ARAS) , sedangkan isi kesadaran berkaitan
dengan fungsi korteks seperti fungsi membaca, menulis, berhitung, bahasa, daya
ingat,kecerdasan dsb. Penilaian tingkat kesadaran dapat dilakukan secara kualitatif (tabel 1),
maupun kuantitatif (tabel 2).

Penilaian Kesadaran secara Kuantitatif menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)


Penilaian kesadaran kuantitatif menggunakan suatu metode yang disebut Glasgow Coma
Scale (GCS). Pengukuran GCS sebagai skala yang paling banyak digunakan dalam penilaian
kesadaran penderita dan reaksinya. Cara kuantitatif dengan menggunakan GCS dipandang lebih
baik karena beberapa hal, antara lain sangat teliti dan tidak terdapat banyak perbedaan antara
dua penilai (obyektif). GCS merupakan skala sederhana sebagai standar penilaian
gangguan kesadaran atau sering disebut sebagai standar skoring (pola evaluasi) untuk
menggambarkan situasi kesadaran.
Disusun oleh Teasdale dan Jennett in Glasgow pada tahun 1974 di Scotlandia.
Skala ini menilai tingkatan kesadaran pasien dalam tiga kategori yaitu; membuka mata, respons
verbal, dan respons motorik. Nilai maksimum (normal) adalah E (eye) = 4, M (motorik) =6, dan
V (verbal) =5, sehingga E4M 6V5 totalnya adalah 15. Sedangkan nilai minimum adalah E1M1V1
= 3. Jika nilai GCS yang diperoleh adalah 3 berarti pasien dalam keadaan koma.
Pada kasus cedera kegawatdaruratan, jenis cedera kepala dapat diklasifikasikan
menggunakan metode GCS:
 Cedera kepala ringan, bila GCS 13 - 15
 Cedera kepala sedang, bila GCS 9 - 12
 Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8
Dalam penilaian dengan GCS harus hati-hati jika terdapat disfasia (gangguan bicara)
maupun kelumpuhan motorik karena sulit untuk menilai verbal maupun reaksi motorik.
Penilaian GCS untuk anak-anak yang berusia < 5 tahun, berbeda nilainya dari dewasa,
terutama untuk penilaian verbal dan motorik, mengingat maturitas fungsi otak belum
maksimum.

Tabel 1. Penilaian tingkat kesadaran kualitatif

60
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Compos mentis Keadaan sistem sensorik utuh, ada waktu tidur dan sadar penuh serta
aktivitas yang teratur
Somnolen Keadaan mengantuk dan dapat disebut juga sebagai: letargi.
Dapat bangun spontan pada waktunya atau sesudah dirangsang dengan
ringan, tapi kembali tidur setelah stimulasi dihilangkan.
Pasien mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Stupor Kantuk yang dalam.
Pasien terlihat tertidur tapi dapat dibangunkan dengan rangsang verbal
yang kverbal yang kuat, dapat spontan hanya waktu singkat, sistem
sensorik berkabut, dapat mengikuti beberapa perintah sederhana.
Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien.
Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Semikoma/ Pasien tidak ada respon dengan rangsang verbal, dengan rangsang nyeri
Soporokomatus masih ada gerakan, reflek‐reflek (cornea, pupil dll) masih baik dan nafas
masih adekuat.

Koma Gerakan spontan negatif, reflek‐reflek negatif, fungsi nafas terganggu atau
negatif.
Tidak ada respon sama sekali terhadap rangsang nyeri yang apapun

Tabel 2. Penilaian tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale pada dewasa dan anak

ASPEK YANG DINILAI NILAI

Membuka mata Spontan 4


Atas perintah 3
Dengan stimulus nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal Orientasi baik 5
Gelisah (confused)/ jawaban kacau 4
Kata-kata tidak jelas (inappropriate) 3
Suara yang tidak jelas artinya 2
(unintelligible‐sounds)/merintih/mengerang
Tidak ada suara 1
Respon motorik Mengikuti perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Reaksi fleksi 3
Reaksi ekstensi 2
Tidak ada reaksi 1

61
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Tabel 3. Penilaian tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale pada bayi

ASPEK YANG DINILAI NILAI

Membuka mata Spontan 4


Atas perintah 3
Dengan stimulus nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal Berceloteh (coos dan babbles) 5
Menangis iritabel 4
Menangis terhadap nyeri 3
Mengerang terhadap nyeri 2
Tidak ada suara 1
Respon motorik Gerak spontan 6
Menghindar terhadap sentuhan 5
Menghindari nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal terhadap nyeri 3
(dekortikasi)
Reaksi ekstensi abnormal terhadap nyeri 2
(deserebrasi)
Tidak ada reaksi 1

2. PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL


Pemeriksaan saraf kranial sebagian besar merupakan kompetensi dokter umum
sebagaimana tercantum dalam SKDI (2012) berikut ini :
Level
No Jenis Kompetensi
Kompetensi
1 Pemeriksaan indra penciuman 4A
2 Inspeksi lebar celah palpebra 4A
3 Inspeksi pupil (ukuran dan bentuk) 4A
4 Reaksi pupil terhadap cahaya 4A
5 Reaksi pupil terhadap obyek dekat 4A
6 Penilaian gerakan bola mata 4A
7 Penilaian diplopia 4A
8 Penilaian nistagmus 4A
9 Refleks kornea 4A
10 Pemeriksaan funduskopi 4A
11 Penilaian kesimetrisan wajah 4A
12 Penilaian kekuatan otot temporal dan masseter 4A
13 Penilaian sensasi wajah 4A
14 Penilaian pergerakan wajah 4A
15 Penilaian indra pengecapan 4A
Penilaian indra pendengaran (lateralisasi, konduksi udara dan 4A
16
tulang)
17 Penilaian kemampuan menelan 4A
18 Inspeksi palatum 4A

62
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
19 Pemeriksaan refleks Gag 3
20 Penilaian otot sternomastoid dan trapezius 4A
21 Lidah, inspeksi saat istirahat 4A
Lidah, inspeksi dan penilaian sistem motorik (misalnya 4A
22
dengan dijulurkan keluar)
(Sumber : Standar Kompetensi Dokter (SKDI), 2012)

Secara anatomi sistem saraf pada manusia terbagi dua, yaitu sistem saraf pusat dan
sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medulla spinalis, sedangkan sistem
saraf perifer terdiri dari saraf kranial dan saraf perifer. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan fungsi intelektual yang lebih tinggi (termasuk tingkat kesadaran), saraf-saraf
kranial, refleks, fungsi motorik, fungsi sensoris, dan fungsi serebelum.

Penilaian Fungsi Saraf Kranial (Saraf Otak)


Saraf kranial merupakan saraf khusus yang keluar dari tengkorak (cranium), dan
terdiri dari 12 pasang. Beberapa saraf kranial memiliki fungsi sensoris dan motoris umum,
sementara yang lain memiliki fungsi khusus seperti untuk penciuman, penglihatan maupun
pendengaran. Lokasi dan fungsi dari saraf-saraf kranial tersebut dapat dilihat pada gambar dan
tabel di bawah ini:

63
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Tabel 1. Saraf-saraf kranial dan fungsinya
NO NAMA FUNGSI
I Olfaktorius Penciuman
II Optikus Penglihatan
III Okulomotorius Konstriksi pupil, membuka mata, pergerakan sebagian besar
otot ekstraokuler
IV Trokhlearis Pergerakan bola mata ke medial bawah
V Trigeminus Motorik: Pergerakan otot temporal dan masseter, dan
pergerakan rahang ke lateral
Sensoris: Sensasi wajah, (1) N. Ophtalmikus, (2) N. Maksilaris,
(3) N. Mandibularis
VI Abdusens Deviasi lateral mata
VII Fasialis Motorik: pergerakan wajah (ekspresi, menutup mata, menutup
mulut)
Sensoris: Sensasi rasa asin, manis, asam, pahit)
VIII Akustikus Mendengar (bagian koklea), keseimbangan (bagian vestibularis)
(vestibulokoklearis)
IX Glossofaringeus Motorik: Faring
Sensoris: bagian posterior dari membran timfani dan kanalis
auditorius, faring, dan posterior dari lidah, termasuk sensasi
rasa.
X Vagus Motorik: palatum, faring dan laring
Sensoris: faring, laring
XI Assesorius Motorik: Sternocleidomastoid dan bagian atas dari trapezius
XII Hipoglossus Motorik: lidah

Saraf-saraf kranial tidak diperiksa secara rutin kecuali kalau ada dugaan kuat bahwa
pasien menderita gangguan sistem saraf. Untuk mengetahui gangguan pada suatu saraf kranial
(sesuai urutan), dapat dilakukan beberapa pemeriksaan sebagai berikut:

Tabel 2. Saraf-saraf kranial dan pemeriksaannya


SARAF KRANIAL PEMERIKSAAN
I Penciuman
II - Ketajaman penglihatan (kartu Snellen)
- Lapangan pandang
- Fundus okuli
III, IV, VI - Reaksi pupil (langsung dan tidak langsung)
- Pergerakan otot ekstraokuler
V - Sensasi wajah di 3 daerah sensoris
- Menggigit dan menggerakkan rahang ke sisi berlawanan,
palpasi otot masseter dan temporal
- Reflek Sentakan Rahang
- Refleks kornea
VII - Pergerakan wajah (mengerutkan dahi, tersenyum,
memperlihatkan gigi, mengangkat alis)

64
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
- Sensoris lidah 2/3 anterior
VIII - Tes Weber dan Rinne
IX Sensoris lidah 1/3 posterior
X Pemeriksaan reflek muntah (gag refleks) dan arkus faring
V, VII, X, XII Suara dan ucapan
XI Otot sternokleidomastoid
Otot Trapezius
XII Gerakan lidah

3. PEMERIKSAAN TANDA RANGSANG MENINGEAL

Meningen atau selaput otak yang mengalami rangsangan atau iritasi baik karena
infeksi (meningitis) maupun peregangan ruang arachnoid (benda asing, tumor,
perdarahan subarachnoid) dapat menimbulkan tanda rangsang meningeal. Gejala
subjektif yang dapat timbul bisa berupa sakit kepala, nyeri kuduk, fotofobia dan
hiperakusis. Sedangkan gejala objektif berupa fleksi kedua tungkai dan opistotonus
(kepala mendongak dan punggung melengkung ke belakang dalam keadaan ekstensi
akibat rangsangan otot-otot ekstensor kuduk dan punggung). Bayi dan anak dengan
meningitis lebih sering mengalami opistotonus (misalnya meningitis TB). Tanda
rangsang meningeal yang dapat muncul antara lain kaku kuduk, Tanda Kernig,
Brudzinski I, Brudzinski II, Brudzinski III

F. PROSEDUR
1. PENILAIAN TINGKAT KESADARAN
Jika terdapat tanda-tanda penurunan kesadaran maka lakukan penilaian kesadaran
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
1. Menilai respon mata (E)
 Perhatikan apakah pasien membuka mata secara spontan.
 Jika pasien tidak membuka mata minta ia untuk membuka matanya.
 Jika pasien tetap tidak membuka mata dengan perintah, berikan rangsang
nyeri dengan menekan sternum atau menekan saraf di sulkus supra orbita
atau kuku pasien menggunakan kuku ibu jari anda. Perhatikan apakah
pasien membuka mata atau tidak.
 Tentukan/ simpulkan nilai GCS untuk respon mata.
2. Menilai respon verbal (V)
 Berikan beberapa pertanyaan pada pasien (misal: namanya, tempat dia
berada, hari, bulan dan tahun).
 Perhatikan apakah pasien memberikan jawaban dengan benar, jawaban
ngawur/dapat menjawab dalam kalimat namun ada disorientasi waktu dan
tempat, jawaban berupa kata-kata tapi tidak dimengerti (bukan dalam
bentuk kalimat), mengerang/ merintih, atau tidak bersuara.
 Tentukan/ simpulkan nilai GCS untuk respon verbal.
3. Menilai respon motorik (M)
 Berikan perintah pada pasien untuk melakukan suatu gerakan (misal:
mengangkat tangan). Perhatikan apakah pasien dapat melakukannya.
 Jika pasien tidak bisa mengikuti perintah, berikan rangsang nyeri dengan
menekan sternum atau menekan saraf di sulkus supra orbita menggunakan
65
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
ibu jari anda. Jika pasien mengangkat tangan sampai melewati dagu untuk
menepis rangsang nyeri tersebut berarti pasien dapat mengetahui lokasi
nyeri (M = 5), jika tidak dapat melewati dagu berarti pasien dapat
menghindari nyeri (M = 4).
 Jika pasien tidak bereaksi berikan kembali rangsang nyeri dengan menekan
kuku pada salah satu jari tangan pasien tersebut dengan benda keras (misal:
kuku ibu jari pemeriksa, pena). Perhatikan apakah pasien menarik
tangannya (menghindari rangsang nyeri) dengan memfleksikan kedua siku
atau mengekstensikan kedua siku yang diikuti dengan fleksi pergelangan
tangan atau bahkan sama sekali tidak merespon.
 Tentukan/ simpulkan nilai GCS untuk respon motorik.
4. Melakukan penilaian kesadaran secara kualitatif
5. Menyimpulkan hasil penilaian

2. PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL


1. Interpersonal
a. Membina sambung rasa (salam, senyum, sapa memperkenalkan diri)
b. Menjelaskan tujuan pemeriksaan
c. Memberikan instruksi penderita untuk duduk tegak pandangan lurus kedepan.
d. Cuci Tangan WHO
2. Inspeksi
Perhatikan kesan umum dari penderita.
3. Pemeriksaan Saraf Kranial
i. Nervus I. Olfaktorius
Uji Indra penciuman pada masing-masing sisi.
1. Sebelum melakukan pemeriksaan indera penciuman, pertama-tama
pemeriksa harus memastikan dulu bahwa tidak ada obstruksi intranasal
seperti sekret akibat rhinitis, sinusitis atau penyebab lain
2. Pemeriksaan nervus olfaktorius harus dilakukan dengan menggunakan
substansi yang tidak bersifat iritatif.
3. Lakukan pemeriksaan masing-masing nostril secara bergantian dengan
menutup sisi lainnya.
4. Mintalah pasien untuk menutup mata, lalu dengan keadaan salah satu
nostril ditutup, dekatkan substansi yang akan diujikan ke nostril yang
terbuka, minta lah pasien untuk mencium dan mengidentifikasinya,
lakukan pada sisi nostril lainnya dan bandingkan
5. Sisi yang dicurigai abnormal sebaiknya diperiksa terlebih dahulu.
6. Penilaian terhadap kemampuan pasien dalam mempersepsikan bau lebih
penting dibandingkan ketepatan identifikasi karena sudah cukup untuk
menandakan adanya keutuhan dari traktus olfaktorius.

66
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
ii. Nervus II. Optikus
I. Kaji Tajam Penglihatan

Gambar. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (sumber: http://www.osceskills.com)

1. Posisikan pasien pada jarak 20 kaki (6 meter) dari Snellen chart. (Jika
pasien memakai kacamata sebagai alat bantu penglihatan, maka pasien
dapat memakai kacamatanya)
2. Periksa dilakukan pada mata kanan terlebih dahulu, mata kiri ditutup
dengan penutup mata (alternatif: pasien diminta untuk menutup mata
dengan tangannya)
3. Minta pasien untuk membacakan baris huruf hingga baris huruf terkecil
yang masih bisa dibaca.
4. Catat hasil pengukuran tajam pengelihatan dalam bentuk pecahan.
(Misalnya 20/60, dimana pembilang (20 kaki) adalah jarak
pemeriksaan yang dipakai dalam pemeriksaan, dan penyebut (60
kaki) adalah angka besaran huruf yang tertera pada baris huruf
Snellen chart.)
5. Ulangi prosedur untuk pemeriksaan mata kiri.
Jika pasien tidak dapat melihat huruf terbesar pada Snellen chart, maka
lakukan prosedur pemeriksaan visus bedside :
1. Pemeriksa mengangkat satu tangannya dan ekstensikan dua atau lebih
jari, minta pasien untuk menghitung jari pemeriksa. Apabila pasien tidak
dapat menghitung jari pemeriksa, maka pemeriksa mendekatkan diri ke
arah pasien dan kembali meminta pasien untuk menghitung jari
pemeriksa. Catat pada jarak berapa pasien dapat menghitung jari
pemeriksa.
Normalnya menghitung jari (jari dapat dilihat secara terpisah) dapat
dilakukan dengan baik hingga jarak 60 meter.
2. Jika pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa pada jarak 1 meter dari
pasien, periksa apakah pasien dapat melihat gerakan/lambaian dan dapat
menentukan arah gerakan/lambaian.
Normalnya lambaian/gerakan tangan dapat dilihat secara baik hingga
jarak 300 meter.
3. Jika pasien tidak dapat melihat gerakan tangan, gunakan pen-light untuk
memeriksa apakah pasien dapat melihat cahaya. Catat respon pasien
terhadap cahaya: persepsi cahaya, persepsi arah cahaya, persepsi tanpa
cahaya. Jika pasien tidak dapat melihat cahaya maka visus pasien adalah
0 atau No Light Perception (NLP).

67
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
II. Lapang Pandang (Konfrontasi)

1. Mintalah pasien duduk di hadapan petugas pada jarak jangkauan tangan (30 –
50 cm)
2. Minta pasien untuk menutup mata kiri dengan tangan kirinya.
3. Pemeriksa menutup mata di sisi yang sama dengan mata pasien yang ditutup.
4. Minta pasien untuk menatap tepat pada mata pemeriksa (fiksasi).
5. Mintalah pasien agar memberi respon bila melihat objek yang digerakkan
petugas di mana mata tetap terfiksasi dengan mata pemeriksa.
6. Gerakkan objek (dapat berupa jari pemeriksa atau pena) dari perifer ke tengah
di mulai dari arah superior, superior temporal, temporal, temporal inferior,
inferior, inferior nasal, superior nasal.
7. Bandingkan dengan lapang pandang pemeriksa.
8. Ulangi langkah tersebut pada pemeriksaan mata kiri.

Gambar. Pemeriksaan Lapang Pandang (De Myer Neurology Examination)

III. Funduskopi

Gambar. Pemeriksaan Funduskopi (sumber: http://www.osceskills.com)

68
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pemeriksaan funduskopi di bidang neurologi bertujuan untuk menilai keadaan fundus
okuli terutama retina dan papil nervus optikus. Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang
temaran dan pasien diberikan midriatikum sebelumnya.
1. Pemeriksa memegang oftalmoskop dengan tangan kanan untuk memeriksa mata kiri
pasien (untuk memeriksa mata kanan pasien dengan memegang oftalmoskop pada
tangan kiri), pemeriksa memposisikan jari telunjuk pada pengatur lensa.
2. Menyalakan oftalmoskop, memegang dengan menempel pada mata. Lalu perlahan
bergerak maju mendekati pasien dengan oftalmoskop diposisikan pada sisi temporal
pasien hingga gambaran fundus terlihat.
3. Jari telunjuk yang terletak pada pengatur lensa mengatur besarnya dioptri yang
diperlukan untk menyesuaikan focus sehingga detail fundus dapat terlihat jelas (bila
diperlukan).
4. Amati gambaran fundus yang terlihat.

Disc a/v retina macula

Gambar. Fundus Normal

hemoragik

neovaskularisasi

Gambar. Fundus Retinopati Diabetikum

69
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
iii. Nervus III. Okulomotorius, Nervus IV. Troklearis, Nervus VI. Abdusen

Gambar. Pemeriksaan N.III, N.IV, N.VI (sumber: http://www.osceskills.com)

1. Lakukan inspeksi terlebih dahulu apakah terdapat eksoftalmus


maupun endoftalmus
2. Lakukan pemeriksaan kelopak mata apakah terdapat ptosis atau
tidak
3. Lakukan pemeriksaan pupil meliputi ukuran, bentuk, kesamaan
antara kanan dan kiri, posisis, dan reaktivitas terhadap cahaya
(refleks pupil) baik secara direk ataupun indirek :
 Refleks pupik direk: menyinari mata dengan senter kemudian
perhatikan reaksi pupil pada mata yang disinari
 Refleks pupil indirek: menyinari mata dengan senter
kemudian perhatikan reaksi pupil pada mata yang tidak
disinari
4. Pemeriksaan refleks akomodasi dengan cara meminta pasien untuk
fokus pada sebuah objek lalu objek tersebut didekatkan pada pasien
sehingga menyebabkan penebalan pada lensa dan menimbulkan
konvergensi dari bola mata dan diikuti miosis pada pupil
5. Lakukan pemeriksaan gerakan bola mata dengan cara :
 Pemeriksa duduk dengan level/tinggi yang sama di depan
pasien dengan jarak kurang lebih 1 lengan
 Meminta pasien melihat ke depan
 Dengan jarak kurang lebih 60 cm, lakukan penyinaran
terhadap mata dan amati refleksi sinar dari kornea
 Meminta pasien untuk mengikuti pergerakan ujung pensil
atau jari pemeriksa dengan melirik, bukan dengan perubahan
posisi kepala
 Gerakkan jari atau pensil pemeriksa membentuk huruf
“H” dengan arah ke kanan, kanan atas, kanan bawah,
kiri, kiri atas, dan kiri bawah
 Lakukan ―pause‖ sejenak saat memeriksa gerakan ke atas dan
lateral
 Inspeksi posisi kedua bola mata saat melirik

70
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar. Pemeriksaan Reflek Pupil (sumber: http://www.osceskills.com)

iv. Nervus V. Trigeminus


1. Pemeriksaan nervus trigeminus meliputi fungsi motorik dan sensorik
2. Pemeriksaan motorik :
 Pemeriksaan fungsi motorik dari nervus trigeminal adalah dengan
memeriksa fungsi mastikasi dengan melakukan palpasi pada musculus
masseter dan pterygoid saat pasien mengatupkan rahangnya
 Meminta pasien untuk membuka mulut, bila terdapat abnormalitas, maka
akan terdapat deviasi rahang ke arah lesi
 Meminta pasien untuk melakukan gerakan protrusi dan retraksi pada
rahang untuk melihat apakah ada kelemahan atau deviasi
3. Pemeriksaan sensorik :
 Lakukan pemeriksaan sensorik terutama komponen protopatik pada
wajah sesuai area distribusi cabang oftalmika, maxilla dan mandibula.
 Tanyakan pada pasien apakah pasien merasakan sensasi yang sama pada
kedua sisi

Gambar. Pemeriksaan Sensoris Wajah (sumber: http://www.osceskills.com)

71
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
4. Pemeriksaan Reflek Masseter :
 Letakkan jari telunjuk/jempol di tengah dagu pasien
 Meminta pasien untuk membuka mulut dan merilekskan rahang pasien
 Lakukan ketukan pada jari pemeriksa dengan menggunakan palu refleks
 Amati respon berupa gerakan mengatup pada rahang. (upward jerk).
 Pada orang normal, refleks ini sangat minimal atau bahkan tidak
ditemukan

Gambar pemeriksaan reflek masseter


5. Reflek Kornea
 Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa nervus oftalmikus
 Lakukan sapuan secara lembut pada limbus kornea dengan kapas basah
dengan arah yang dimulai dari lateral
 Tindakan pemeriksaan lebih baik dilakukan pada kornea bagian atas
agar tidak terinterferensi dengan distribusi area nervus maxillaries
 Amati respon berupa kedipan mata pada mata yang distimulasi (efek
direk) dan mata yang tidak distimulasi (efek indirek)

Gambar pemeriksaan reflek kornea

72
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
v. Nervus VII. Fasialis
1. Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan fungsi motorik pada nervus facialis berpusat pada pemeriksaan
otot-otot yang berfungsi untuk ekspresi wajah
 Amati tonus otot wajah, adakah tanda-tanda atrofi atau fasikulasi
 Amati lipatan nasolabial baik kedalamannya maupun simetrisitasnya,
amati apabila ada asimetri pada lipatan nasolabial tersebut
 Meminta pasien untuk meringis, tersenyum, dan mengernyitkan dahi,
mencembungkan pipi
 Meminta pasien untuk menutup mata sekuat-kuatnya, amati kekuatan otot
orbicularis oculi dan simetrisitas kanan dan kiri
 Lakukan tarikan pada kelopak mata untuk membandingkan kekuatan otot
kanan dan kiri
 Parese fungsi motorik N. VII dapat terjadi pada bagian sentral ataupun
perifer. Lesi pada bagian sentral jika terdapat kelumpuhan pada bagian
bawah wajah, sedangkan lesi pada bagian perifer jika terdapat
kelumpuhan pada bagian atas dan bawah 1 sisi wajah.
2. Pemeriksaan sensoris
 Test dilakukan dengan menggunakan 4 substansi rasa : manis (gula), asin
(garam), pahit (kina/kopi), asam (cuka). Semua subtansi disediakan
dalam bentuk cairan.
 Pasien diminta untuk menjulurkan lidahnya.
 Pemeriksa meneteskan sampel pada lidah pasien dengan menggunakan
pipet.
 Lidah tidak diperbolehkan retraksi ke belakang
 Pasien memberikan respon rasa sesuai dengan respon rasa yang dirasakan
pasien dengan menunjuk pada tulisan yang telah disediakan

Gambar pemeriksaan motorik nervus fasialis

vi. Nervus VIII. Akustikus

Pemeriksaan fungsi pendengaran sederhana dapat dilakukan dengan cara berbisik


dan membandingkan ketajaman pendengaran telinga kanan dan kiri dengan syarat

73
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
saat dilakukan pengetesan salah satu sisi telinga, sisi telinga yang lain ditutup
dengan menggunakan kapas atau dengan melakukan penekanan pada tragus

Gambar. Pemeriksaan Rinne dan Webber (sumber: http://www.osceskills.com)

I. Uji Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran
tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
1. Pemeriksa menggunakan garpu tala 512 Hz.
2. Pemeriksa membunyikan garpu tala secara lunak lalu menempatkan
tangkainya tegak lurus pada planum mastoid kanan pasien (belakang
meatus akustikus eksternus).
3. Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan di depan meatus akustikus eksternus kanan pasien.
4. Lakukan hal yang sama pada telinga kiri.
5. Tes Rinne positif jika Air Conduction (AC) > Bone Conduction (BC).
Sebaliknya tes rinne negatif jika BC > AC. Tes Rinne + pd normal dan
SNHL.

II. Uji Weber


Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang
antara kedua telinga pasien.
1. Pemeriksa menggunakan garpu tala 256 Hz.
2. Pemeriksa membunyikan garpu tala secara lunak, lalu tangkainya kita
letakkan tegak lurus pada dahi tepat di garis tengah.
3. Minta pasien merespon adakah telinga yang mendengar lebih, ataukah sama
keras.
4. Jika telinga pasien mendengar lebih keras pada satu telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak
mendengar atau sama-sama mendengar berarti tidak ada lateralisasi.

III. Uji Schwabach


Tujuannya adalah untuk membandingkan antara telinga pasien dengan telinga
pemeriksa baik dengan memeriksa hantaran udara maupun hantaran tulang
1. Pemeriksa menggunakan garpu tala 256 Hz
2. Setelah menggetarkan garpu tala kemudian didekatkan dengan telinga
pasien hingga pasien tidak mendengar lagi
3. Lalu dekatkan garpu tala dengan telinga pemeriksa apakah masih
terdengar

74
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
vii. Nervus IX. Glossopharingeal dan X. Vagus
1. Pemeriksaan fungsi sensorik yang dimiliki nervus glossopharyngeus dapat
dilakukan dengan uji sensibilitas pada 1/3 posterior lidah seperti uji sensibilitas
2/3 anterior lidah (Lihat pemeriksaan Nervus fasialis)
2. Lakukan pemeriksaan arkus pharyng dengan meminta pasien membuka mulut
dan berkata ―aaa‖ dan amati apakah ada deviasi uvula atau tidak
3. Lakukan pemeriksaan refleks muntah dengan menggunakan spatula lidah yang
disentuhkan ke area pharynx dan palatum
4. Lakukan uji menelan dengan menggunakan ―water swallowing test‖ dengan
meminta pasien meminum air putih dengan menggunakan cangkir atau sendok,
tidak boleh pakai sedotan, dan amati apakah pasien tersedak atau tidak

Gambar pemeriksaan arcus faring (De Myer)

viii. Nervus XI. Accessorius


I. Pemeriksaan Otot Sternocleidomastoideus
1. Pemeriksa meletakkan tangan pada pipi pasien.
2. Minta pasien untuk menoleh ke kanan dan ke kiri melawan tahanan
tangan pemeriksa
II. Pemeriksaan Otot Trapezius
1. Pemeriksa berhadapan dengan pasien.
2. Pemeriksa meletakkan kedua tangan pada bahupasien.
3. Minta pasien untuk mengangkat kedua bahu melawan tahanan
tangan pasien.
4. Pemeriksa menilai kesimetrisan kontraksi kedua otot trapezius

75
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
ix. Nervus. XII. Hypoglossal
Pasien diminta untuk membuka mulut dan lidah tetap berada pada dasar mulut.
1. Pemeriksa memeriksa lidah pasien adakah fasikulasi dan atau atropi.
2. Pasien diminta untuk menjulurkan lidah.
3. Periksa adakah deviasi lidah. Paralisis lidah akan menyebabkan deviasi pada
sisi yang terkena (sisi yangsakit).

Gambar pemeriksaan nervus hipoglosus (De Myer)

4. Item Profesionalisme
1. Percaya diri, minimal error.
2. Penalaran klinik baik dan bersesuaian dengan kasus.
3. Memperhatikan aspek kerahasiaan & etika pemeriksaan kpd pasien.
4. Cuci tangan WHO

3. PEMERIKSAAN TANDA RANGSANG MENINGEAL


1. Pemeriksaan Kernig
a. Meminta pasien untuk rileks dan memposisikan diri dalam posisi
berbaring/supinasi
b. Lakukan fleksi pada sendi panggul dan fleksi pada sendi lutut dengan
membentuk sudut 90 derajat
c. Lakukan ekstensi perlahan pada sendi lutut dan rasakan apakah ada spasme dan
resistensi pada otot hamstring atau pasien mengeluhkan rasa nyeri menandakan
hasil positif pada pemeriksaan ini
d. Lakukan pada sisi kontralateralnya

76
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
2. Pemeriksaan kaku kuduk
1. Pertama-tama posisikan pasien dalam posisi terlentang dan tidak
menggunakan bantal.
2. Pastikan tidak ada kekakuan leher dengan menggerakkan leher ke kanan
dan kekiri.
3. Dengan salah satu tangan pemeriksa diletakkan di belakang leher pasien
dan tangan lainnya menahan pada dada pasien, lakukan gerakan menekuk
leher mendekatkan dagu pasien ke dada. Hasil positif didapatkan bila
terdapat kekakuan pada manuver ini.
4. Angkat bahu pasien untuk memastikan leher pasien bisa melakukan
posisi hiperekstensi yang menandakan positinya pemeriksaan kaku kuduk
karena iritasi meningeal bukan karena kelainan lainnya.

3. Pemeriksaan Brudzinski I (Contralateral leg)


1. Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
2. Lakukan gerakan fleksi pasif pada sendi panggul dengan sendi lutut
dalam posisi ekstensi
3. Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi sendi lutut kontralateral

4. Pemeriksaan Brudzinski II (Neck sign)


1. Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
2. Lakukan fleksi pasif pada leher pasien
3. Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi pada sendi lutut

5. Pemeriksaan Brudzinski III (Cheek Sign)


1. Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
2. Lakukan penekanan pada pipi pasien atau di bawah zygoma
3. Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi pada sendi siku dengan
―upward jerking‖ pada lengan

6. Pemeriksaan Brudzinski IV (Symphisis Sign)


1. Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
2. Lakukan penekanan pada simpisis pubis
3. Hasil positif ditandai dengan munculnya fleksi pada sendi lutut bilateral

DAFTAR PUSTAKA 
1. Adam,R.D., Victor,M and Ropper,A.H,2005. Principles of Neurology. McGraw-
Hill.New York
2. Biller, J,. DeMyer‘s The Neurologic Examination : A Programmed Text,Seventh
Edition. McGraw-Hill.New York
3. Burnside-Mc Glynn: Adams Diagnosis Fisik. Edisi 17. EGC. Jakarta:1995
4. Snell, Richard S, 2006, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6, EGC.
Jakarta

77
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
CEKLIST LATIHAN
1. PENILAIAN TINGKAT KESADARAN
No Aspek Feedback

INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa (salam, perkenalan diri, sikap
terbuka,ramah dan kontak mata)
CONTENT
2 Menilai respon mata
3 Menilai respon verbal
4 Menilai respon motorik
5 Menilai tingkat kesadaran secara kualitatif
6 Menyimpulkan hasil penilaian
PROFESSIONALISM
7 Melakukan dengan penuh percaya diri
8 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL

2. PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL


No Aspek Feedback

INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa
Salam, senyum, sapa memperkenalkan diri
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan
3 Memberikan instruksi penderita untuk duduk tegak
4 Cuci tangan WHO
CONTENT
Inspeksi
5 General assessment (laporkan hasil Inspeksi)
Pemeriksaan Saraf Kranialis
N. I. Olfaktorius
6 Sebelum melakukan pemeriksaan indera penciuman, pertama-
tama pemeriksa harus memastikan dulu bahwa tidak ada
obstruksi intranasal seperti sekret akibat rhinitis, sinusitis atau
penyebab lain
7 Pemeriksaan nervus olfaktorius harus dilakukan dengan
menggunakan substansi yang tidak bersifat iritatif.
8 Lakukan pemeriksaan masing-masing nostril secara bergantian
dengan menutup sisi lainnya
Mintalah pasien untuk menutup mata, lalu dengan keadaan
salah satu nostril ditutup, dekatkan substansi yang akan diujikan
ke nostril yang terbuka, mintalah pasien untuk mencium dan
mengidentifikasinya, lakukan pada sisi nostril lainnya dan
bandingkan
9 Sisi yang dicurigai abnormal sebaiknya diperiksa terlebih
dahulu.

78
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
10 Penilaian terhadap kemampuan pasien dalam mempersepsikan
bau lebih penting dibandingkan ketepatan identifikasi karena
sudah cukup untuk menandakan adanya keutuhan dari traktus
olfaktorius
N. II. Optikus
A. Kaji Tajam Penglihatan
11 Posisikan pasien pada jarak 20 kaki (6 meter) dari Snellen chart
(Jika pasien memakai kacamata sebagai alat bantu
pengelihatan, maka pasien dapat memakai kacamatanya).
12 Periksa dilakukan pada mata kanan terlebih dahulu, mata kiri
ditutup dengan penutup mata (alternatif: pasien diminta untuk
menutup mata dengan tangannya).
13 Minta pasien untuk membacakan baris huruf hingga baris huruf
terkecil yang masih bisa dibaca.
14 Catat hasil pengukuran tajam pengelihatan dalam bentuk
pecahan (misal : 20/20).
15 Ulangi prosedur untuk pemeriksaan mata kiri.
Jika pasien tidak dapat melihat huruf terbesar pada Snellen chart, maka lakukan
prosedur pemeriksaan visus bedside:
16 Jika pasien tidak dapat melihat huruf terbesar pada Snellen
chart, maka pemeriksa mengangkat satu tangannya dan
ekstensikan dua atau lebih jari, minta pasien untuk menghitung
jari pemeriksa. Catat pada jarak berapa pasien dapat
menghitung jari pemeriksa.
17 Apabila pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa, maka
pemeriksa mendekatkan diri ke arah pasien dan kembali
meminta pasien untuk menghitung jari pemeriksa. Catat pada
jarak berapa pasien dapat menghitung jari pemeriksa.
18 Jika pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa pada jarak 1
meter dari pasien, periksa apakah pasien dapat melihat
gerakan/lambaian dan dapat menentukan arah gerakan/lambaian.
19 Jika pasien tidak dapat melihat gerakan tangan, gunakan pen-
light untuk memeriksa apakah pasien dapat melihat cahaya.
Catat respon pasien terhadap cahaya : persepsi cahaya, persepsi
arah cahaya, persepsi tanpa cahaya.
B. Lapang Pandang (Konfrontasi)
20 Mintalah pasien duduk dihadapan petugas pada jarak jangkauan
tangan ( 30 – 50 cm ).
21 Minta pasien untuk menutup mata kiri dengan tangan kirinya.
22 Pemeriksa menutup mata di sisi yang sama dengan mata pasien
yang ditutup
23 Minta pasien untuk menatap tepat pada mata pemeriksa
(fiksasi).
24 Mintalah pasien agar memberi respon bila melihat objek yang
digerakkan petugas di mana mata tetap terfiksasi dengan mata
pemeriksa.
25 Gerakkan obyek (dapat berupa jari pemeriksa atau pena) dari
perifer ke tengah di mulai dari arah superior, superior temporal,

79
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
temporal, temporal inferior, inferior, inferior nasal, superior
nasal.
26 Ulangi langkah tersebut pada pemeriksaan mata kanan
C. Funduskopi
27 Pemeriksa memegang oftalmoskop dengan tangan kanan untuk
memeriksa mata kiri pasien dan tangan kiri dengan, pemeriksa
memposisikan jari telunjuk pada pengatur lensa.
28 Menyalakan oftalmoskop, memegang dengan menempel pada
mata pasien. Lalu perlahan bergerak maju mendekati pasien
dengan oftalmoskop diposisikan pada sisi temporal pasien
hingga gambaran fundus terlihat.
29 Jari telunjuk yang terletak pada pengatur lensa mengatur
besarnya dioptri yang diperlukan untk menyesuaikan focus
sehingga detail fundus dapat terlihat jelas (bila diperlukan).
30 Amati gambaran fundus yang terlihat
N.III. Okulomotorius, N.IV. Troklearis, N.VI. Abdusen
31 Lakukan inspeksi terlebih dahulu apakah terdapat eksoftalmus
maupun endoftalmus
32 Lakukan pemeriksaan kelopak mata apakah terdapat ptosis atau
tidak
33 Lakukan pemeriksaan pupil meliputi ukuran, bentuk, kesamaan
antara kanan dan kiri, posisis, dan reaktivitas terhadap cahaya
(refleks pupil) baik secara direk ataupun indirek :
 Refleks pupik direk : menyinari mata dengan senter
kemudian perhatikan reaksi pupil pada mata yang
disinari
 Refleks pupil indirek : menyinari mata dengan senter
kemudian perhatikan reaksi pupil pada mata yang tidak
disinari
34 Pemeriksaan refleks akomodasi dengan cara meminta pasien
untuk fokus pada sebuah objek lalu objek tersebut didekatkan
pada pasien sehingga menyebabkan penebalan pada lensa dan
menimbulkan konvergensi dari bola mata dan diikuti miosis
pada pupil
35 Lakukan pemeriksaan gerakan bola mata dengan cara :
 Pemeriksa duduk dengan level/tinggi yang sama di depan
pasien dengan jarak kurang lebih 1 lengan
 Meminta pasien melihat ke depan
 Dengan jarak kurang lebih 60 cm, lakukan penyinaran
terhadap mata dan amati refleksi sinar dari kornea
 Meminta pasien untuk mengikuti pergerakan ujung pensil
atau jari pemeriksa dengan melirik, bukan dengan
perubahan posisi kepala
 Gerakkan jari atau pensil pemeriksa membentuk
huruf “H” dengan arah ke kanan, kanan atas, kanan
bawah, kiri, kiri atas, dan kiri bawah
 Lakukan ―pause‖ sejenak saat memeriksa gerakan ke atas
dan lateral
 Inspeksi posisi kedua bola mata saat melirik

80
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
N. V. Trigeminus
36 Pemeriksaan motorik :
 Pemeriksaan fungsi motorik dari nervus trigeminal adalah
dengan memeriksa fungsi mastikasi dengan melakukan
palpasi pada musculus masseter dan pterygoid saat pasien
mengatupkan rahangnya
 Meminta pasien untuk membuka mulut, bila terdapat
abnormalitas, maka akan terdapat deviasi rahang ke arah lesi
 Meminta pasien untuk melakukan gerakan protrusi dan
retraksi pada rahang untuk melihat apakah ada kelemahan
atau deviasi
37 Pemeriksaan sensorik (sentuhan raba halus, nyeri, suhu)
 Lakukan pemeriksaan sensorik terutama komponen
protopatik pada wajah sesuai area distribusi cabang
oftalmika, maxilla dan mandibula.
Tanyakan pada pasien apakah pasien merasakan sensasi yang
sama pada kedua sisi
38 Pemeriksaan Reflek Masseter :
 Letakkan jari telunjuk/jempol di tengah dagu pasien
 Meminta pasien untuk membuka mulut dan merilekskan
rahang pasien
 Lakukan ketukan pada jari pemeriksa dengan menggunakan
palu refleks
 Amati respon berupa gerakan mengatup pada rahang.
(upward jerk).
 Pada orang normal, refleks ini sangat minimal atau bahkan
tidak ditemukan
39 Reflek Kornea
 Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa nervus
oftalmikus
 Lakukan sapuan secara lembut pada limbus kornea
dengan kapas basah dengan arah yang dimulai dari lateral
 Tindakan pemeriksaan lebih baik dilakukan pada
kornea bagian atas agar tidak terinterferensi dengan
distribusi area nervus maxillaries
 Amati respon berupa kedipan mata pada mata yang
distimulasi (efek direk) dan mata yang tidak distimulasi
(efek indirek)
N.VII. Fasialis
Pemeriksaan motorik: ekspresi wajah
40 Amati tonus otot wajah, adakah tanda-tanda atrofi atau fasikulasi
41 Amati lipatan nasolabial baik kedalamannya maupun
simetrisitasnya, amati apabila ada asimetri pada lipatan
nasolabial tersebut
42 Meminta pasien untuk meringis, tersenyum, dan mengernyitkan
dahi, mencembungkan pipi
43 Meminta pasien untuk menutup mata sekuat-kuatnya, amati
kekuatan otot orbicularis oculi dan simetrisitas kanan dan kiri
44 Lakukan tarikan pada kelopak mata untuk membandingkan

81
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
kekuatan otot kanan dan kiri
Pemeriksaan sensoris: Tes Pengecap 2/3 anterior lidah
45 Test dilakukan dengan menggunakan 4 substansi rasa : manis
(gula), asin (garam), pahit (kina), asam (cuka). Semua subtansi
disediakan dalam bentuk cairan.
46 Pasien diminta untuk menjulurkan lidahnya.
47 Pemeriksa meneteskan sampel pada lidah pasien dengan
menggunakan pipet.
48 Lidah tidak diperbolehkan retraksi ke belakang
49 Pasien memberikan respon rasa sesuai dengan respon rasa yang
dirasakan pasien dengan menunjuk pada tulisan yang telah
disediakan
N.VIII. Akustikus
A. Tes Rinne
50 Pemeriksa menggunakan garpu tala 256 Hz.
51 Pemeriksa membunyikan garpu tala secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid
kanan pasien (belakang meatus akustikus eksternus).
52 Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala
kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus kanan
pasien.
53 Lakukan hal yang sama pada telinga kiri.
B. Tes Weber
54 Pemeriksa menggunakan garpu tala 256 Hz
55 Pemeriksa membunyikan garpu tala secara lunak, lalu
tangkainya kita letakkan tegak lurus pada dahi tepat di garis
tengah.
56 Minta pasien merespon adakah telinga yang mendengar lebih,
ataukah sama keras.
C.Tes Schwabach
57 Pemeriksa menggunakan garpu tala 256 Hz
58 Setelah menggetarkan garpu tala kemudian didekatkan dengan
telinga pasien hingga pasien tidak mendengar lagi
59 Lalu dekatkan garpu tala dengan telinga pemeriksa apakah
masih terdengar atau tidak
N. IX. Glossopharingeal dan N. X Vagus
60 Pemeriksaan fungsi sensorik yang dimiliki nervus
glossopharyngeus dapat dilakukan dengan uji sensibilitas pada
1/3 posterior lidah seperti uji sensibilitas 2/3 anterior lidah
(Lihat pemeriksaan Nervus fasialis)
61 Lakukan pemeriksaan arkus pharyng dengan meminta pasien
membuka mulut dan berkata ―aaa‖ dan amati apakah ada
deviasi uvula atau tidak
62 Lakukan pemeriksaan refleks muntah dengan menggunakan
spatula lidah yang disentuhkan ke area pharynx dan palatum
63 Lakukan uji menelan dengan menggunakan ―water swallowing
test‖ dengan meminta pasien meminum air putih dengan
menggunakan cangkir atau sendok, tidak boleh pakai sedotan,

82
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
dan amati apakah pasien tersedak atau tidak
N. XI. Accessory
A. Pemeriksaan Otot Sternocleidomastoideus
64 Pemeriksa meletakkan tangan pada pipi pasien.
65 Minta pasien untuk menoleh ke kanan dan ke kiri melawan
tahanan tangan pemeriksa.
B. Pemeriksaan Otot Trapezius
66 Pemeriksa berhadapan dengan pasien
67 Pemeriksa meletakkan kedua tangan pada bahu pasien.
68 Minta pasien untuk mengangkat kedua bahu melawan tahanan
tangan pasien.
69 Pemeriksa menilai kesimetrisan kontraksi kedua otot trapezius
pasien.
N. XII. Hypoglossal
70 Pasien diminta untuk membuka mulut dan lidah tetap berada
pada dasar mulut.
71 Pemeriksa memeriksa lidah pasien adakah fasikulasi atau
atropi.
72 Pasien diminta untuk menjulurkan lidah
73 Periksa adakah deviasi lidah
PROFESIONALISME
74 Melakukan dengan penuh percaya diri, serta minimal error
75 Penalaran klinik baik dan bersesuaian dengan kasus
76 Memperhatikan aspek kerahasiaan & etika pemeriksaan kepada
pasien
77 Cuci tangan WHO

3. PEMERIKSAAN TANDA RANGSANG MENINGEAL

No Aspek Feedback

INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa
 Salam dan perkenalan diri.
 Sikap terbuka dan ramah.
 Kontak mata sewajarnya.
2 Persilahkan pasien untuk duduk di bed menghadap pemeriksa
yang berada pada posisi berdiri.
3 Jelaskan apa yang akan dilakukan
CONTENT
Pemeriksaan Kernig
4 Meminta pasien untuk rileks dan memposisikan diri dalam posisi
berbaring/supinasi
5 Lakukan fleksi pada sendi panggul dan fleksi pada sendi lutut
dengan membentuk sudut
6 Lakukan ekstensi perlahan pada sendi lutut dan rasakan apakah
ada spasme dan resistensi pada otot hamstring atau pasien
mengeluhkan rasa nyeri menandakan hasil positif pada

83
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
pemeriksaan ini
7 Lakukan pada sisi kontralateralnya
Pemeriksaan kaku kuduk
8 Pertama-tama posisikan pasien dalam posisi terlentang dan tidak
menggunakan bantal
9 Pastikan tidak ada kekakuan leher dengan menggerakkan leher ke
kanan dan ke kiri.
10 Dengan salah satu tangan pemeriksa diletakkan di belakang leher
pasien dan tangan lainnya menahan pada dada pasien, lakukan
gerakan menekuk leher mendekatkan dagu pasien ke dada. Hasil
positif didapatkan bila terdapat kekakuan pada manuver ini.
11 Angkat bahu pasien untuk memastikan leher pasien bisa
melakukan posisi hiperekstensi yang menandakan positinya
pemeriksaan kaku kuduk karena iritasi meningeal bukan karena
kelainan lainnya.
Pemeriksaan Brudzinski I (contralateral leg)
12 Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
13 Lakukan gerakan fleksi pasif pada sendi panggul dengan sendi
lutut dalam posisi ekstensi
14 Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi sendi lutut
kontralateral
Pemeriksaan Brudzinski II (neck sign)
15 Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
16 Lakukan fleksi pasif pada leher pasien
17 Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi pada sendi lutut
Pemeriksaan Brudzinski III (cheek sign)
18 Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
19 Lakukan penekanan pada pipi pasien atau di bawah zygoma
20 Hasil positif ditandai dengan adanya fleksi pada sendi siku
dengan ―upward jerking‖ pada lengan
Pemeriksaan Brudzinski IV (symphisis sign)
21 Posisikan pasien dalam posisi berbaring/supinasi
22 Lakukan penekanan pada simpisis pubis
23 Hasil positif ditandai dengan munculnya fleksi pada sendi lutut
bilateral
PROFESSIONALISM
24 Melakukan dengan penuh percaya diri
25 Melakukan dengan kesalahan minimal

84
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS 2
dr. Rizki Hanriko, Sp.PA
dr. Fidha Rahmayani, M.Sc,Sp.S
A. TEMA
a. Keterampilan pemeriksaan fungsi motorik, reflek fisiologis dan reflek patologis
b. Keterampilan pemeriksaan fungsi sensoris
c. Keterampilan pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan serta reflek tanda dementia

B. TUJUAN PEMBELAJARAN:
a. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fungsi motorik, reflek fisiologis dan
reflek patologis
b. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fungsi sensoris
c. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan serta reflek
tanda dementia

C. ALAT DAN BAHAN

Refleks Fisiologis dan Fungsi Sensoris Tes Koordinasi


Patologis
 Reflek hammer 1. Kapas -
 Meja pemeriksaan 2. Peniti
3. Garpu tala
4. Pensil
5. Koin 500
6. korek kuping
7. Tusuk gigi

D. SKENARIO
Sepasang suami istri diantar periksa oleh keluarganya ke tempat praktek saudara.
Seorang kakek berusia 60 tahun diantar dengan keluhan lengan dan tungkai kirinya lemah. Ia
merasakan keluhan tersebut sejak beberapa jam sebelumnya ketika ia bangun pagi hari.
Keluarga juga mengeluhkan pasien pelo ketika berbicara. Pasien mempunyai riwayat hipertensi
lama yang tidak terkontrol. Sedangkan istri pasien, usia 54 tahun mengeluhkan pusing berputar
sejak 1 hari ini. Pasien tidak bisa berdiri dan selalu sempoyongan. Mual (+), Muntah (+) tidak
ada demam ataupun riwayat trauma kepala. Anda kemudian melakukan beberapa pemeriksaan
neurologis kepada kedua pasien diantaranya adalah pemeriksaan reflek fisiologis, refleks
patologis dan tes koordinasi.

E. DASAR TEORI

1. Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan motorik dengan melakukan uji kekuatan pada otot per segmen baik
otot yang sinergis maupun anatagonis dalam melakukan semua kemungkinan

85
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
aksi.Penilaian kekuatan dari masing-masing segmen digambarkan dengan
menggunakan klasifikasi The Medical Research Council Scale of Muscle
Strength yakni :
0 : tidak didapatkan adanya kontraksi
1 : Terdapat kontraksi otot tapi tidak membuat perubahan posisi/pergerakan
2 : Pergerakan aktif tapi tidak mampu melawan gravitasi
3 : Pergerakan aktif yang mampu melawan gravitasi tapi tidak mampu melawan
tahanan.
4: Pergerakan aktif yang mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan.
5: Kekuatan Normal

2. Refleks Fisiologis
Reflek adalah jawaban atas rangsang. Reflek neurologik tergantung pada
suatu lengkung reflek yang terdiri dari jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan
sistem eferen yang mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua
komponen. Misalnya reflek tendon yang timbul karena adanya rangsang, yang akan
diteruskan ke reseptor--serabut aferen--ganglion spinal--serabut eferen—efektor
(otot). Gerak otot reflektoris dapat ditimbulkan pada setiap orang sehat (reflek
fisiologis). Reflek regang otot adalah reflek yang timbul oleh regangan otot yang
disebabkan rangsangan dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Nama lain
dari reflek ini adalah reflek tendon atau reflek fisiologis. Pada kerusakan UMN
dapat terjadi refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang –orang sehat, yang
dinamakan refleks patologis.
Reflek patologis yang dikemukakan oleh Babinski (1896) menyatakan bahwa
reflek superfisial yang dibangkitkan pada keempat ekstremitas menjadi berubah
jawabannya jika terdapat lesi pada traktus piramidalis. Reflek, baik berupa lesi
Upper Motor Neuron (UMN) atau Lower Motor Neuron (LMN) yang pada
ekstrimitas bawah tidak lagi terjadi plantar fleksi seperti pada orang normal tetapi
dorso fleksi ibu jari kaki disertai gerakan mekar jari-jari lainnya sedangkan pada
ekstrimitas atas (pada reflek hoffman trommer) akan timbul fleksi keempat jari,
yang pada orang normal tidak terjadi apa-apa. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan pemeriksaan refleks fisiologis adalah:

 Penderita harus dalam keadaan santai. Bagian


yang diperiksa harus dalam posisi sedemikian
rupa sehingga gerakan otot yang terjadi dapat
muncul secara optimal
 Rangsangan harus diberikan secara cepat dan
langsung. Pukulan tidak perlu terlalu keras
(Gambar Cara melakukan pukulan dengan
menggunakan palu refleks)

86
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Penilaian hasil refleks
Refleks fisiologis dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal,
meninggi/ meningkat dan hiperaktif/ hiperrefleks. Ada pula yang menggunakan
kriteria sebagai berikut :
0 : negatif
+1 : lemah (dari normal)
+2 : normal
+3 : meninggi
+4 : hiperaktif

Jenis refleks fisiologis


 Reflek bisep: Dengan memberi rangsangan berupa ketoka pada tendon otot
biseps maka akan menimbulkan gerakan fleksi lengan bawah. Pusat reflek ini
terletak di C5-C6
 Reflek tricep: dengan memberikan rangsangan berupa ketokan pada tendon
otot triceps dan sebagai jawabannya akan terjadi ektensi lengan bawah. Pusat
refleks ini terletak di C6-C8
 Reflek patella: dengan memberi rangsangan pada tendon m quadriceps
femoris dan sebagai jawabannya akan terjadi gerakan ekstensi tungkai bawah.
Pusat refleks terletak L2, L3, L4.
 Reflek achilles: dengan memberi rangsangan pada tendon achilles dan
sebagai jawabannya akan terjadi gerakan plantar fleksi pada kaki. Pusat
refleks melalui S1 dan S2

3. Refleks Patologis
Reflek adalah jawaban atas rangsang. Reflek neurologik tergantung pada
suatu lengkung reflek yang terdiri dari jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan
sistem eferen yang mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua
komponen. Misalnya reflek tendon yang timbul karena adanya rangsang, yang akan
diteruskan ke reseptor--serabut aferen--ganglion spinal--serabut eferen—efektor
(otot). Gerak otot reflektoris dapat ditimbulkan pada setiap orang sehat (reflek
fisiologis). Pada kerusakan UMN dapat terjadi refleks yang tidak dapat dibangkitkan
pada orang–orang sehat, yang dinamakan refleks patologis.
Reflek patologis yang dikemukakan oleh Babinski (1896) menyatakan bahwa
reflek superfisial yang dibangkitkan pada keempat ekstremitas menjadi berubah
jawabannya jika terdapat lesi pada traktus piramidalis. Reflek, baik berupa lesi
Upper Motor Neuron (UMN) atau Lower Motor Neuron (LMN) dimana pada
ekstrimitas bawah tidak lagi terjadi plantar fleksi seperti pada orang normal tetapi
dorso fleksi ibu jari kaki disertai gerakan mekar jari-jari lainnya (plantar response)
sedangkan pada ekstrimitas atas (pada reflek hoffman trommer) akan timbul fleksi
keempat jari, yang pada orang normal tidak terjadi apa-apa.

4. Pemeriksaan sensoris
Untuk mengevaluasi sistem sensoris, ada beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan sesuai jalur yang terkena, yaitu
1. Tes rasa nyeri dan suhu (traktus spinotalamicus)
2. Tes posisi dan vibrasi ( kolumna posterior)
87
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3. Tes sentuhan halus ( kedua jalur)
4. Sensasi diskriminasi yang melibatkan korteks serebri.
Pada pasien tanpa gejala atau tanda kelainan neurologis, pemeriksaan fungsi
sensoris dapat dilakukan secara cepat pada distal jari tangan dan kaki. Pemeriksa
dapat memilih untuk melakukan tes sentuhan halus, rasa nyeri dan vibrasi. Jika
didapatkan hasil yang normal, maka sisa tes yang lain tidak diperlukan. Akan tetapi
jika didapatkan gejala atau tanda yang menunjukkan adanya kelainan neurologis,
pemeriksaan harus dilakukan semua. Pemeriksaan harus membandingkan masing-
masing sisi, distal dan proksimal. Kelainan neurologis biasanya menimbulkan defisit
sensoris yang pertama kali terlihat di distal dibandingkan proksimal.

5. Tes Koordinasi dan Kesimbangan


Koordinasi gerakan otot mengharuskan empat fungsi sistem saraf berfungsi
secara terpadu, yaitu :
 Sistem motorik, untuk kekuatan otot.
 Sistem cerebellar untuk gerakan berirama dan stabilisasi postur.
 Sistem vestibular, untuk keseimbangan dan koordinasi mata, kepala, dan
gerakan tubuh.
 Sistem sensor, untuk merasakan posisi.
Inkoordinasi gerakan terutama disebabkan adanya lesi di cerebellum. Lesi di
cerebellum turut menyebabkan gangguan dalam pengaturan sikap dan tonus. Gejala
klinis yang sering didapatkan pada gangguan cerebellar antara lain, adalah:
 Dissinergia atau gangguan koordinasi gerakan (ataksia).
 Dismetria yaitu gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada waktunya
(hipermetria dan hipometria).
 Gangguan sikap.
 Disdiadokinesis yaitu ketidakmampuan melakukan gerakan yang. berlawanan
berturut-turut.
 Fenomena rebound yaitu ketidakmampuan menghentikan gerakan tepat pada
waktunya (keterusan).
Untuk menilai koordinasi, dilakukan kegiatan berupa:
 Gerakan cepat bergantian.
 Gerakan point-to-point.
 Gait dan lainnya yang terkait gerakan-gerakan tubuh.
 Berdiri/ sikap dengan cara-cara tertentu.

F. PROSEDUR

1. PEMERIKSAAN MOTORIK
a. Musculus deltoideus : Pasien diminta untuk melakukan abduksi lengan dan
melawan tahanan pemeriksa
b. Musculus biseps brachii : Pasien diminta untuk melakukan fleksi lengan
bawah dan melawan tahanan pemeriksa
c. Musculus triceps brachii : pasien diminta melakukan gerakan ekstensi lengan
bawah
d. Flexi pergelangan tangan : pasien diminta melakukan fleksi pergelangan
tangan melawan tahanan
e. Ekstensi pergelangan tangan : pasien diminta melakukan ekstensi pergelangan
tangan dan melawan tahanan
f. Fleksi otot paha : pasien diminta fleksi paha dan melawan tahanan pemeriksa
88
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
g. Plantar fleksi : pasien diminta melakukan plantar fleksi dan melawan tahanan
h. Dorsofleksi kaki : pasien diminta melakukan dorsofleksi kaki dan melawan
tahanan

2. REFLEKS FISIOLOGIS
1. Pemeriksaan refleks biseps
a. Meminta pasien duduk dengan santai
b. Lengan dalam keadaan lemas, posisikan lengan bawah antara fleksi dan
ekstensi serta sedikit pronasi
c. Letakkan siku pasien pada lengan/tangan pemeriksa
d. Letakkan ibu jari di atas tendo biseps kemudian pukullah ibu jari tadi dengan
refleks hammer
e. Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps & fleksi lengan bawah

Gambar Refleks Biseps


2. Pemeriksaan refleks triseps
a. Posisikan pasien sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks biseps
b. instrusikan kepada pasien untuk melemaskan lengan dan relaksasi sempurna
c. Pukullah tendo yang lewat di fossa olekranon
d. Triseps akan kontraksi dengan sedikit menyentak (ekstensi lengan bawah di siku)

Gambar Refleks Triseps

3. Pemeriksaan refleks patella


a. Posisikan pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dulu untuk menentukan daerah yang
tepat
c. Pegang paha pasien bagian distal dengan tangan pemeriksa sedangkan tangan yang
lain memukul tendo patella dengan palu refleks hammer secara cepat
d. Respon: ekstensi tungkai bawah

89
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar Refleks Patella

4. Pemeriksaan refleks achilles


a. Meminta pasien duduk dengan tungkai menjuntai atau berbaring dimana sebagian
tungkai bawah & kakinya terjulur di luar meja pemeriksa
b. Regangkan tendo achilles dengan cara menahan ujung kaki ke arah dorsofleksi
c. Pukullah Tendo achilles dengan ringan tetapi cepat
d. Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak

Gambar Refleks Achiles

3. REFLEKS PATOLOGIS
Di sini akan dilakukan prosedur pemeriksaan refleks yaitu plantar response berupa
reflek Babinsky dkk, finger flexor (reflek Hoffman Trommer), gejala rangsang meningeal dan
refleks patologis pada pasien demensia.
1. Persiapan
 Perlihatkan sikap yang baik dengan kontak mata sewajarnya.
 Tunjukkan sikap tubuh yang terbuka, tulus hati, wajah cerah, ramah,wajar dan
tenang.
 Persilahkan pasien untuk membuka sepatu/ sandal.
 Persilahkan pasien untuk berbaring dengan kedua tungkai lurus.
 Tangan yang satu memegang pergelangan kaki yang akan diperiksa, tangan yang
satu lagi memegang reflex hammer, gunakan ujung yang tajam untuk menggores.
90
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Periksa kedua kaki secara bergantian.

2. Plantar Response
a) Reflek Babinsky
 Gores telapak kaki bagian lateral dari tumit menuju pangkal jari.
b) Reflek Chaddock
 Gores bagian lateral maleolus ke arah kaudal.
c) Reflek Gordon
 Remas otot betis.
d) Reflek Gonda
 Tekuk maksimal jari keempat kaki kemudian lepaskan tiba-tiba.
e) Reflek Schaefer
 Pencet tendon achilles dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk.

f) Reflek Oppenheim
 Urut kuat tibia dan m. tibialis anterior dari proksimal ke distal.
g) Kesimpulan
 Normal akan terlihat gerakan plantar fleksi kaki
 Abnormal akan terlihat gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya
jari-jari yang lain

3. Reflek Hoffman Trommer


 Pegang tangan pada pergelangan, jari-jari
difleksikan.
 Jepit jari tengah pasien diantara telunjuk dan
jari tengah pemeriksa.
 Gores dengan kuat jari tengan dengan
menggunakan ibu jari.
 Abnormal terjadi fleksi jari telunjuk serta fleksi
dan aduksi ibu jari.

4. PEMERIKSAAN SENSORIS
1. Persiapan
 Persilahkan pasien untuk duduk di bed menghadap pemeriksa yang berada pada
posisi berdiri.
 Apa yang akan dilakukan dan apa respon yang harus pasien lakukan.
 Pasien harus dalam keadaan sadar, tidak sedang dalam keadaan lelah karena
kelelahan dapat memicu gangguan atensi yang menimbulkan bias pada
pemeriksaan
 Penilaian tidak hanya pada sensasi yang dirasakan tetapi juga pada intensitas
dan gradasi stimulus yang dirasakan pasien
 Prinsip simetris merupakan hal yang sangat penting yakni membandingkan
91
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
antara sisi kiri dan sisi kanan. Prinsip ekstrim juga merupakan hal yang penting
dalam pemeriksaan sensibilitas untuk membandingkan sensasi yang dirasakan
pasien pada point ekstrim atas dan esktrim bawah hingga didapatkan batas
perbedaan yang jelas
 Selama tes mata pasien dalam posisi tertutup, kecuali saat tertentu kita pinta
membuka mata.
2. Tes Sentuhan Halus
 Siapkan kapas kemudian sentuhkan secara halus kapas ke dorsum salah satu jari
tangan dari distal ke proksimal.
 Pinta pasien menyebutkan di mana posisi sensasi yang dirasakan
 Kemudian sentuhkan secara halus ujung kapas ke permukaan salah satu jari
kaki dari distal keproksimal.
 Pinta pasien menyebutkan di mana posisi sensasi yang dirasakan
 Jika sensasi yang dirasakan normal, lanjutkan ke tes berikutnya.
 Jika sensasi tidak dirasakan, teruskan menyentuh ke arah proksimal sampai
sensasi dirasakan. Catat sampai dermatom mana sensasi tersebut mulai
dirasakan.

3.Tes Rasa Nyeri


 Gunakan benda tajam dan tumpul, kali ini peniti
 Sentuhkan ujung tajam dan tumpul secara acak pada punggung tangan secara
halus, hindari melukai atau menyakiti pasien.
 Tanyakan apakah yang disentuhkan tajam atau tumpul. Orang normal bisa
membedakan sensasi tajam-tumpul. Bila tidak dapat membedakan, teruskan tes
ke arah proksimal tangan.
 Lakukan pada kedua tangan.
 Lanjutkan tes ke punggung kaki kanan dan kiri.
 Jangan menggunakan peniti yang sama untuk orang lain.

92
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar Pemeriksaan Tes Rasa Nyeri


4. Tes Vibrasi
- Gunakan garpu tala 128 Hz, getarkan dengan memukulkannya ke tumit
tangan.
- Letakkan garpu tala diatas sendi inter falanx distal jari telunjuk pasien.
- Tanyakan apa yang dirasakan pasien. Normal akan merasakan getaran,
bila tidak teruskan tes ke sendi yang lebih proksimal.
- Lakukan pada kedua tangan
- Kemudian getarkan lagi garpu tala, letakkan di atas sendi interfalanx
distal jempol kaki.
- Tanyakan apa yang dirasakan pasien. Normal akan merasakan getaran,
bila tidak teruskan tes ke sendi yang lebih proksimal.
- Lakukan pada kedua kaki.

Gambar Tes Vibrasi

5. Tes Posisi
 Pegang lateral palanx distal jari tengah tangan pasien dengan
jempol dan telunjuk tangan pemeriksa , jempol dan telunjuk
tangan lain memegang palanx intermedia.
 Gerakkan palanx distal pasien ke atas dan ke bawah sambil
diberitahu kepada pasien bahwa ini ke atas, ini ke bawah (mata
pasien terbuka)
 Kemudian suruh pasien memejamkan matakembali.
 Gerakkan palanx distal sambil tanyakan ke pasien kemana
palanx tersebut kita gerakkan. Normal bisa mengetahui kemana
gerakan, bila tidak lanjutkan ke sendi yang lebihproksimal.
 Lakukan pada keduatangan.
 Lanjutkan pada jempol kedua kaki.

93
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar Tes Posisi

6. Tes sensasi diskriminatif


a. Stereognosis
 Letakkan objek yang sudah dikenal oleh pasien seperti koin 500,
peniti, pensil dan korekkuping.
 Taruh salah satu objek ke tangan pasien.
 Dengan mata terpejam minta pasien merasakan objek, minta dia
menyebutkan objek yangdirasakan.
 Minta pasien menyebutkan dan menyebutkan bagian spesifik
(misal, bagian angka dan bagian garuda pada koin 500; kepala
dan batang korek kuping, kepala dan ekor peniti, dll)
b. Identifikasi Nomor
 Dalam keadaan mata tertutup, tuliskan dengan ujung pensil yang
tumpul sebuah angka paada telapak tanganpasien
 Minta pasien menyebutkan angka yang dituliskan. Normal bisa
mengetahui angka yang dituliskan, abnormal dapatdiakibatkan
motor impairment, arthritis, dll

Gambar Tes Identifikasi Nomor

c. Diskriminasi 2 titik
 Gunakan 2 peniti, pegang dengan rapat.
 Sentuhkan kedua ujung tajam peniti pada ujung jari jari tengah
tangan pasien pada satu titiklokasi.
 Minta pasien menyebutkan apakah yang dirasakan satu atau dua titik
sentuhan. Normal bisa membedakan satu atau dua titik sentuhan.
Bila tidak dapat dirasakan, perlebar jarak kedua titik sentuhan
sampai pasien bisa merasakan.

94
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Gambar Tes Diskriminasi 2 Titik

d. Titik Lokasi
 Sentuh pasien pada sembarang titik lokasi dengan telunjuk.
 Pinta pasien membuka mata dan menunjukkan di mana lokasi yang
pemeriksa barusan sentuh.
 Pinta pasien memejamkan mata kembali.
 Kemudian sentuh pasien pada dua titik lokasi berbeda dan berlawanan
secara bersamaan. Misalnya pada pipi kiri dan lengan kanan.
 Tanyakan kepada pasien di mana letak titik lokasi sentuhan.Orang
normal dapat mengetahui posisi sentuhan. Kelainan yang disebut
extiction phenomenon, tidak dapat membedakan sisi mana yang
disentuh( misal, tidak mengetahui pipi kiri dan lengan kanan tapi pipi
dan lengan kanan atau pipi dan lengan kiri). Kelainan ini disebabkan
gangguan pada lobus temporal.

Gambar Tes Titik Lokasi

4. TES KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


1. Rapid Alternating Movements
a) Minta pasien untuk meletakkan salah satu tangan di paha
pada posisi telapak tangan di bawah.
 Angkat tangan kemudian pukul paha.
 Angkat tangan kembali sambil membalik telapak
tangan sehingga punggung tangan di sebelah bawah
 Kemudian pukul paha dengan punggung tangan di
tempat yang sama.
 Minta pasien untuk mengulangi gerakan ini secara
bergantian secepat mungkin.
 Perhatikan kecepatan, irama, dan kelancaran gerakan.
 Ulangi untuk tangan yang lainnya.
95
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
b) Minta pasien untuk menekan distal joint ibu jari dengan ujung jari telunjuk
berulang-ulang secepat mungkin.
 Sekali lagi, amati kecepatan, irama, dan kelancaran
gerakan.
 Ulangi untuk tangan yang satunya.
 Tangan yang tidak dominan biasanya kurang baik
dibanding yang dominan.
c) Minta pasien untuk mengetuk kaki ke lantai secara bergantian.
 Catatan setiap kelambatan atau kekakuan.
 Biasanya kaki melakukan gerakan kurang baik dibandingkan tangan.

2. Point-To-Point Movements
a) Telunjuk-Hidung
 Dengan jari telunjuknya, mintalah pasien untuk menyentuh jari telunjuk
Anda.
 Kemudian minta pasien menyentuh hidungnya.
 Lakukan gerakan ini secara bergantian beberapa
kali. Gerakkan jari Anda ke berbagai arah agar
pasien berusaha mencapainya.
 Perhatikan akurasi kelancaran gerakan dan
perhatikan adanya tremor. Biasanya gerakan yang
timbul halus dan akurat.
b) Tangan-Jari
 Sekarang tahan jari Anda di satu tempat sehingga pasien bisa menyentuhnya
dengan satu tangan dan jari teregang.
 Mintalah pasien mengangkat lengan ke atas kepala.
 Kemudian minta pasien menurunkan/ menjatuhkan lengannya ke bawah
untuk menyentuh jari Anda.
 Setelah beberapa kali diulangi, minta mencoba beberapa kali lagi dengan
mata tertutup.
 Ulangi untuk tangan lain.
 Biasanya seseorang berhasil menyentuh jari pemeriksa dengan mata terbuka
maupun tertutup. Manuver ini untuk tes merasakan posisi dan tes fungsi dari
labirin dan otak kecil.
c) Tumit – Lutut
 Mintalah pasien untuk meletakkan satu tumit di lutut
kaki yang berlawanan
 Kemudian geser tumit dengan menyusuri tulang
kering sampai jempol kaki.
 Nilai kelancaran dan ketepatan gerakan.
 Ulangi dengan mata tertutup sebagai tes untuk
merasakan posisi.
 Ulangi kaki yang satunya.
3. Gait
a) Berjalan
 Minta pasien untuk berjalan menyeberangi ruangan
atau di lorong, kemudian berputar dan kembali.
 Amati postur, keseimbangan, ayunan tangan, dan
gerakan kaki. Biasanya keseimbangan mudah, lengan
ayun di sisi badan, dan dilakukan dengan lancar.
96
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
b) Berjalan Tandem
 Posisikan tumit kaki yang satu berdekatan dengan jempol kaki yang lain
dalam satu garis lurus.
 Minta pasien untuk berjalan dengan pola yang sama
Positif bila simpangan 30 derajat, atau 1 meter
c) Berjalan Jinjit-Tumit
 Pinta pasien untuk berjalan jinjit.
 Kemudian pinta pasien untuk berjalan dengan menggunakan tumit.
 Tes ini sensitif masing-masing untuk plantar fleksi dan dorsofleksi serta
untuk tes keseimbangan.
d) Melompat di tempat
 Lakukan tes ini pada pasien yang tidak terlalu sakit.
 Minta pasien untuk jalan di tempat tetapi saat menjejakkan kaki dilakukan
sambil melompat.
 Gerakan ini membutuhkan koordinasi otot dan posisi yang baik serta fungsi
cerebellar yang normal
e) Berdiri Sambil Menekuk Lutut
 Minta pasien berdiri
 Kemudian minta pasien untuk mengangkat / menekuk lutut salah satu kaki.
Tahan siku pasien jika Anda berpikir pasien bisa jatuh
f) Untuk pasien yang sudah tua atau kurang kuat tes d) dan e) diganti dengan:
 Minta pasien untuk duduk, kedua tangan di letakkan diatas kedua paha.
 Tanpa bantuan kedua tangan minta pasien untuk berdiri dari posisi duduk.

4. Sikap
a) Tes Romberg
 Hal ini terutama tes rasa posisi.
 Minta pasien berdiri dengan kedua kaki dirapatkan
bersama-sama.
 Kemudian minta pasien menutup kedua matanya
selama 20 sampai 30 detik.
 Nilai kemampuan pasien untuk mempertahankan
postur tegaknya. Biasanya hanya sedikit bergoyang.
b) Tes Romberg yang diperkuat
 Posisikan kaki seperti pada jalan tandem.
 Kedua lengan dilipat di depan dada.
 Tutup kedua mata pasien.
 Catat berapa lama pasien dapat bertahan pada posisi tersebut. Normal orang
sehat dapat bertahan minimal 30 detik.
c) Pronator Drift’s Test
 Masih dalam posisi berdiri
(boleh duduk kalau tidak tahan berdiri)
 Minta kedua lengan pasien diangkat lurus ke
depan, telapak tangan ke atas dan dengan mata
tertutup, tahan selama 20 sampai 30 detik.
 Orang normal dapat mempertahankan posisi
lengan dengan baik.
 Kemudian tekan/ dorong satu lengan pasien ke bawah. Lengan biasanya akan
kembali ke posisi semula dengan lancar. Respon ini membutuhkan kekuatan
otot, koordinasi, dan rasa posisi yang baik.
97
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Perhatikan adanya fenomena rebound.

6. Reflek pada demensia


a. Reflek Glabella
 Ketuk glabella pasien beberapa kali dengan perlahan menggunakan jari
telunjuk pemeriksa.
 Perhatikan apakah pasien memejamkan mata setiap kali glabella-nya
diketuk (tanda positif).
 Pada orang normal ketukan yang pertama/kedua saja ia memejamkan
mata.
b. Reflek Palmomental
 Gores kulit tenar pasien menggunakan sisi tajam Hammer Reflek dari
proksimal – distal.
 Perhatikan apakah terdapat kontraksi otot mentalis ipsilateral (tanda
positif).

7. Kesimpulan
a) Dalam penyakit cerebellar, satu gerakan tidak dapat diikuti dengan cepat oleh
gerakan yang lainnya dan gerakannya lambat, tidak teratur, dan kaku, kelainan ini
disebut dysdiadochokinesis.
b) Kelemahan UMN dan penyakit ganglia basalis juga dapat mengganggu gerakan
cepat bergantian.
c) Berjalan tandem dapat mengungkap ataksia yang sebelumnya tidak jelas.
d) Berjalan pada jari kaki dan tumit dapat mengungkapkan kelemahan otot distal kaki.
e) Ketidakmampuan berjalan dengan menggunakan tumit adalah sensitif test untuk
kelemahan traktus corticospinalis.
f) Kesulitan berjalan dengan melompat mungkin karena kelemahan, rasa posisi atau
disfungsi cerebellar.
g) Kesulitan berjalan sambil menekuk lutut menunjukkan kelemahan (ekstensor
pinggul) quadriceps femoris, ekstensor lutut atau keduanya.
h) Pada ataksia karena kehilangan rasa posisi, penglihatan dapat mengkompensasi
kehilangan sensori. Pasien berdiri cukup baik dengan mata terbuka, tapi kehilangan
keseimbangan ketika mata mereka tertutup,( tanda positif Romberg).
i) Pada ataksia cerebellar, pasien mengalami kesulitan berdiri dengan kedua kaki baik
dengan mata terbuka atau tertutup.
j) Pronasi satu lengan menunjukkan lesi kontralateral traktus corticospinal. Lengan
yang lain jatuh(melayang) dengan fleksi jari dan siku dapat juga terjadi. Gerakan-
gerakan ini disebut pronator drift. Pasien dengan kekurangan rasa posisi tidak akan
mengenali adanya perubahan posisi, bila disuruh untuk membetulkan posisi tangan
yang jatuh, dilakukan dengan respon yang jelek. Dalam inkoordinasi cerebellar,
lengan kembali ke posisi semula tapi ke atas dulu melewati posisi horizontal baru
kembali (fenomena rebound).

8. DAFTAR PUSTAKA
 Adam,R.D., Victor,M and Ropper,A.H,2005. Principles of Neurology. McGraw-
Hill.New York
 Biller, J,. DeMyer‘s The Neurologic Examination : A Programmed Text,Seventh
Edition. McGraw-Hill.New York

98
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Burnside-Mc Glynn: Adams Diagnosis Fisik. Edisi 17. EGC. Jakarta:1995
 Lynn S. Bickley: Bate's guide to physicalexamination
 Peter Duus: Diagnosis topik Neurologi, anatomi, fisiologi, tanda , gejala. EGC.
Jakarta:1994
 Panduan CSL Pemeriksaan Neuropsikiatri Unhas,2010
 Swartz, M.H., 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta:EGC
 SM Lumbantobing: Neurologi Klinik, Pemeriksaan fisik dan
mental. BP FKUI. Jakarta:2000
 T Juwono: Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. EGC. Jakarta:2000

b) CEKLIST KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS,


PATOLOGIS DAN TES KOORDINASI

Prosedur Feedback
No
I INTERAKSI DOKTER – PASIEN
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahukan kepada pasien mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan persetujuan tindakan (informed consent)
II PEMERIKSAAN MOTORIK
3 M. deltoideus: minta pasien untuk melakukan abduksi lengan dan
melawan tahanan pemeriksa
4 M. biceps brachii: minta pasien untuk melakukan fleksi lengan
bawah dan melawan tahanan pemeriksa
5 M. triceps brachii: minta pasien melakukan gerakan ekstensi
lengan bawah
6 Flexi pergelangan tangan : pasien diminta melakukan fleksi
pergelangan tangan melawan tahanan
7 Ekstensi pergelangan tangan : pasien diminta melakukan ekstensi
pergelangan tangan dan melawan tahanan
8 Fleksi otot paha : pasien diminta fleksi paha dan melawan
tahanan pemeriksa
9 Plantar fleksi : pasien diminta melakukan plantar fleksi dan
melawan tahanan
10 Dorsofleksi kaki : pasien diminta melakukan dorsofleksi kaki dan
melawan tahanan
III PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
11 Lakukan pemeriksaan reflek biseps
12 Lakukan pemeriksaan reflek triseps
13 Lakukan pemeriksaan reflek patella
14 Lakukan pemeriksaan reflek achilles
15 Menyimpulkan hasil pemeriksaan refleks fisiologis
IV PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
16 Lakukan pemeriksaan reflek Babinski
17 Lakukan pemeriksaan reflek Chaddock
18 Lakukan pemeriksaan reflek Gordon

99
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
19 Lakukan pemeriksaan reflek Gonda
20 Lakukan pemeriksaan reflek Oppenheim
21 Lakukan pemeriksaan reflek Schaefer
22 Lakukan pemeriksaan reflek Hoffman Tromner
23 Menyimpulkan hasil pemeriksaan refleks patologis
V PEMERIKSAAN SENSORIS
24 Lakukan tes sentuhan halus
25 Lakukan tes rasa nyeri
26 Lakukan tes vibrasi
27 Lakukan tes posisi
28 Lakukan tes sensasi diskriminatif
VI Tes Koordinasi
29 Melakukan tes rapid alternating movements
30 Melakukan tes point to point movements
31 Melakukan tes gait
32 Melakukan tes sikap
33 Menyimpulkan hasil tes koordinasi
VII Refleks pada Demensia
34 Refleks Glabella
35 Refleks Palmomental
IX PROFESIONALISME
36 Melakukan dengan penuh percaya diri
37 Melakukan dengan kesalahan minimal

100
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
dr. M Ricky Ramadhian M.Sc.; dr. Rizki Hanriko, Sp.PA
A. TEMA
Keterampilan prosedural pemeriksaan fungsi luhur/ Mini Mental State Examination
(MMSE)

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
 Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fungsi luhur kortikal.
 Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan dan interpretasi hasil pemeriksaan fungsi
luhur kortikal.
 Mahasiswa mampu melakukan penalaran klinik terhadap hasil pemeriksaan fungsi
luhur kortikal.

C. ALAT DAN BAHAN


 Blanko MMSE
 Pensil/pulpen, kertas

D. SKENARIO
PIKUN
Demi, wanita, 35 tahun datang ke klinik saudara.
Demi : ―Dok, saya ini kadang-kadang gampang lupa. Kata suami, saya ini
mulai pikun, benar enggak sih dok?‖
Saudara : (senyum)
―tenang ibu, nanti kita lakukan salah satu tes yaitu tes MMSE untuk
mengetahuinya‖

E. DASAR TEORI
Pemeriksan fungsi luhur kortikal secara sederhana dapat dilakukan dengan pemeriksaan
status mental mini (MMSE). Pemeriksaan status mental merupakan evaluasi fungsi kognitif dan
emosi yang harus dilakukan secara runtut dan sitematis. Mulai dengan fungsi dasar tingkat
kesadaran, kemudian fungsi kognitif dasar seperti berbahasa dan pemeriksaan yang lebih
kompleks seperti berhitung, pertimbangan dsb.
Format pemeriksaan MMSE terdiri dari penilaian orientasi (orientation), perhatian
(attention), perhitungan (calculation), bahasa (language) dan kemampuan motorik (motor
skills). Setiap penilaian terdiri dari beberapa tes dan diberi skor untuk setiap jawaban yang
benar. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan akomodatif agar klien
dapat mendengar dengan baik setiap perintah yang diberikan dan dapat menjawab sebisa dan
seakurat yang klien bisa.

F. PROSEDUR
1. PERSIAPAN
 Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang.
 Perlihatkan sikap yang baik.
 Lakukan kontak mata sewajarnya.
 Tunjukkan sikap tubuh yang terbuka dapat ditunjukkan dengan adanya perhatian
dan melibatkan diri dalam percakapan.
101
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Hadapi pasien dengan tulus hati, wajah cerah dan ramah.
 Perlihatkan posisi wajar dan tenang.
2. ORIENTASI
 Minta pasien menyebutkan: tanggal, hari, bulan, tahun, musim
 Minta pasien menyebutkan: ruangan, rumah sakit/kampus, kota, propinsi, negara
3. REGISTRASI
 Minta pasien mengingat 3 kata: bola, mawar, kursi
4. ATENSI/ KALKULASI
 Minta pasien mengurangi angka sebanyak lima seri: 100-7; atau menyebutkan
urutan huruf dari belakang kata: WAHYU
5. RECALL
 Minta pasien mengingat kembali ketiga kata tadi: bola, mawar, kursi

6. BAHASA
 Minta pasien menyebutkan kata: jam tangan (arloji), pensil
 Kemudian minta mengulangi kata yang kita ucapkan: namun atau dan atau tapi
 Menilai pengertian verbal dengan meminta klien untuk mengikuti perintah kita:
Ambil kertas ini dengan tangan kanan.
Lipatlah menjadi dua
Letakkan di lantai tutup mata
 Pasien diminta menulis huruf atau angka yang didiktekan oleh pemeriksa
 Lanjutkan dengan menulis kata atau Kalimat
7. KONSTRUKSI
 Pasien diminta meniru gambar berikut ini

8. KESIMPULAN
Dari pemeriksaan, jumlahkan total skor jawaban benar yang didapat. Dari skor tersebut
didapatkan penilaian:
 Severe intellectual impairment : <10
 Moderate intellectual impairment: 10-17
 Mild intellectual impairment : 18-23
 Normal : 24-30

G. DAFTAR PUSTAKA
 Lynn S. Bickley: Bate's guide to physical examination.
 Peter Duus. Diagnosis topik Neurologi, anatomi, fisiologi, tanda , gejala. EGC.
Jakarta: 1994
 SM Lumbantobing: Neurologi Klinik, Pemeriksaan fisik dan mental. BP FKUI.
Jakarta:2000

102
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
H. CEKLIS MMSE
No Aspek Feedback

INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa (salam, perkenalan diri, sikap terbuka,ramah dan
kontak mata)
CONTENT
2 Menanyakan orientasi
3 Menanyakan registrasi
4 Menanyakan atensi dan kalkulasi
5 Menanyakan recall
6 Menanyakan bahasa
7 Meminta untuk menggambar pola
8 Menyimpulkan hasil penilaian
PROFESSIONALISM
9 Melakukan dengan penuh percaya diri
10 Melakukan dengan kesalahan minimal

103
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019

Lampiran Status

The Mini-Mental Status Examination

Name : ________________________ Date of Birth :_______


Years of School : ________________________ Date of Exam :______

104
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN PSIKIATRI

dr. Oktadoni Saputra, MMedEd

A. TEMA
Keterampilan anamnesis dan pemeriksaan psikiatri dalam rangka penegakan
Diagnosis Gangguan Jiwa

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti CSL ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mengenali tanda dan gejala gangguan jiwa mayor
2. Melakukan anamnesis psikiatri (allo- maupun auto-)
3. Melakukan pemeriksaan psikiatri (status mental) dan interpretasinya
4. Menegakkan diagnosis gangguan jiwa

C. LEVEL KOMPETENSI
Level
Jenis Keterampilan
Kompetensi
Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien 4A
Alloanamnesis dengan anggota keluarga/orang lain 4A
yang bermakna
Memperoleh data mengenai keluhan/masalah utama 4A
Menelusuri riwayat perjalanan penyakit 4A
sekarang/dahulu
Memperoleh data bermakna mengenai riwayat 4A
perkembangan, pendidikan, pekerjaan, perkawinan,
kehidupan keluarga
Pemeriksaan Psikiatri
Penilaian status mental 4A
Penilaian kesadaran 4A
Penilaian persepsi orientasi intelegensi secara klinis 4A
Penilaian Orientasi 4A
Penilaian intelegensi secara klinis 4A

105
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Penilaian bentuk dan isi pikir 4A
Penilaian mood dan afek 4A
Penilaian motorik 4A
Penilaian pengendalian impuls 4A
Penilaian kemampuan menilai realitas (judgement) 4A
Penilaian kemampuan tilikan (insight) 4A
Penilaian kemampuan fungsional 4A
(generalassessment of functioning)
Diagnosis dan Identifikasi Masalah
Menegakkan diagnosis kerja berdasarkan kriteria 4A
diagnosis multiaksial
Membuat diagnosis banding (diagnosis differensial) 4A

D. ALAT DAN BAHAN


1. Form rekam medis psikiatri
2. PPDGJ III
3. Alat tulis dan catatan

E. SKENARIO
Seorang pasien wanita, usia 18 tahun datang diantar keluarganya
karena percobaan bunuh diri. Pasien mencoba mengiris nadi pada tangannya
dengan pisau dapur namun berhasil digagalkan oleh keluarganya. Sejak 1
bulan ini pasien tampak sedih dan murung. Pasien adalah seorang pelajar
SMA dan baru saja diputus cinta oleh pacarnya sejak 1 bulan yang lalu.
Sejak seminggu terakhir pasien tidak mau makan, tidak bisa tidur serta
kehilangan semangat hidup. Setelah kejadian ini akhirnya keluarga
memutuskan memeriksakan pasien ke klinik saudara.

F. DASAR TEORI
Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa merupakan gangguan fungsi luhur otak oleh karena
faktor organik atau anorganik dengan gejala klinik nyata dan menimbulkan
distress serta ketidakmampuan dalam fungsi sosial. Gangguan jiwa
ditegakkan bilamana terdapat gejala klinis yang nyata berupa sindroma

106
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
perilaku dan psikologi (terdapat gangguan fungsi kognitif, afektif dan
psikomotor), ditemukan kondisi penderitaan atau distress berupa rasa nyeri,
tak nyaman, disfungsi organ dan lainnya serta timbulnya disabilitas/hendaya
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan,
pekerjaan, social, dan lainnya).

Anamnesis
Anamnesis dalam psikiatri terdiri dari 2 jenis : Alloanamnesis dan
Autoanamnesis. Alloanamnesis, merupakan anamnesis yang dilakukan
kepada keluarga, saudara atau teman dekat pasien. Sedangkan
autoanamnesis dilakukan untuk menilai tanda dan gejala gannguan jiwa
secara langsung pada pasien selain juga mengkonfirmasi beberapa data yang
didapatkan dari hasil alloanamnesis.
Alloanamnesis
Alloanamnesis merupakan anamnesis yang dilakukan kepada orang
lain selain pasien. Alloanamnesis biasanya dilakukan kepada keluarga,
saudara, teman dekat atau pengantar pasien. Alloanamnesis penting
dilakukan dalam rangka menggali informasi mengenai riwayat psikiatri.
Penting dituliskan di dalam rekam medik identitas orang yang dilakukan
alloanamnesis, waktu dilakukan alloanamnesis serta hubungan orang yang
dilakukan alloanamnesis dengan pasien. Ada kalanya tilikan diri dari pasien
psikiatri buruk sehingga alloanamnesis ini menjadi penting dilakukan untuk
menggali riwayat psikiatri pasien.

Autoanamnesis
Autoanamnesis penting dilakukan dalam rangka menilai tanda dan
gejala gangguan jiwa pasien. Autoanamnesis merupakan suatu wawancara
langsung pada pasien merupakan gold standar dalam penegakan diagnosis
gangguan psikiatri. Autoanamnesis juga diperlukan dalam rangka
mengkonfirmasi hasil alloanamnesis misalnya terkait stressor psikososial
penderita. Sebelum melakukan autoanamnesis perlu dilakukan pencatatan
identitas pasien serta waktu dan tempat dilakukannya anamnesis.
Autoanamnesis mungkin perlu dilakukan beberapa kali tergantung jenis dan
kondisi klinis pasien. Beberapa persiapan yang perlu dilakukan antara lain
107
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
memastikan situasi saat dilakukan anamnesis aman buat pasien maupun buat
pemeriksa. Harus berhati-ati melakukan anamnesis pada pasien dengan
keluan gaduh gelisah ataupun pasien-pasien manik dengan aktivitas motoric
yang meningkat. Sebaliknya butuh kesabaran dan usaha lebih dalam
melakukan anamnesis pada pasien depresi. Pasien dengan waham curiga
juga perlu diperhatikan terutama saat kita melakukan alloanamnesis
terhadap keluarga. Tidak jarang pasien merasa pemeriksa bersekongkol
dengan keluarganya untuk mencederainya.
Baik alloanamnesis maupun autoanamnesis biasanya dilakukan
secara terpisah (tidak bersamaan). Keduanya perlu diberikan keterangan
kapan anamnesis tersebut dilakukan dan identitasnya (kepada siapa
anamnesis dilakukan). Keduanya dirangkum dalam satu kesatuan riwayat
psikiatri. Adapun riwayat psikiatri memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Keluhan Utama atau alasan yang mendorong keluarga membawa
pasien berobat (Gejala gangguan jiwa saat ini)
2) Riwayat Gangguan Sekarang ; sejak kapan keluhan tersebut muncul
(onset), frekuensi keluhan, progresi (perjalanan keluhan), pengaruh
keluhan terhadap fungsi pribadi & sosial pasien (hendaya).
3) Riwayat gangguan sebelumnya ; riwayat penyakit organik yang
mungkin mempengaruhi emosi & perilaku seperti riwayat malaria
serebral, tumor otak, trauma kepala, riwayat penggunaan zat
psikoaktif, riwayat gangguan psikiatri sebelumnya
4) Riwayat kehidupan pribadi ; riwayat persalinan dan tumbuh kembang
pasien, riwayat perkembangan mental saat anak, remaja, dewasa ;
riwayat pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kehidupan beragama,
militer, pelanggaran hukum, psikoseksual, aktivitas sosial dan
pergaulan pasien, kondisi sekarang di lingkungan tempat tinggal
5) Riwayat keluarga ; digambarkan family tree nya, ada tidaknya
gangguan jiwa pada keluarga, hubungan dan interaksi pasien dengan
anggota keluarga seperti apa.
6) Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya, begitu juga persepsi
keluarga teradap pasien serta impian dan harapan pasien
7) Stressor psikososial yang dialami terutama yang paling berdampak
sebelum munculnya keluhan ; ditinggal pasangan, ditinggal
anak/orang tua, masalah ekonomi, dll
108
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pemeriksaan Status Mental
Pada pemeriksaan status mental juga perlu diberikan keterangan
kapan pemeriksaan tersebut dialkukan.
A. Keadaan/ Deskripsi Umum
1. Penampilan
Kesan umum saat bertemu dengan pasien perlu dipaparkan.
Penampilan pasien apakah tampak rapih, sesuai usianya, menggunakan
pakaian seperti apa, dll. Hal ini memungkinkan kita menilai apakah pasien
tidak mengalami kendala dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (perawatan
diri) ataupun mengkonfirmasi data yang disampaikan dari aloanamnesis
terkait activity daily life pasien. Selain itu sikap pasien secara sepintas juga
bisa dinilai misalnya pada pasien dengan depresi akan tampak murung,
menundukkan wajah, tak bersemangat, dll. Sebaliknya, pasien manik akan
mengalami peningkatan mood, berpenampilan berlebihan (menor) bahkan
berpakaian yang cukup khas dan eksentrik seperti baju berwarna terang,
asesoris berlebihan, dll. Kesan umum ini membuat pemeriksa menilai secara
sekilas kondisi dan penampilan pasien.

2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor


Perilaku dan aktivitas motorik pasien dinilai saat pemeriksaan.
Apakah pasien terlihat tenang saat diwawancara. Kontak mata baik, dll.
Pasien psikotik kadang datang dengan kondisi gaduh gelisah (agitasi),
pasien manik juga kadang mengalami aktivitas psikomotor yang meningkat
sebaliknya pasien depresi malah lebih hipoaktif. Pada pasien psikotik
dikenal istilah katatonia. Katatonia merupakan gangguan psikomotor tanpa
kelainan organik. Gejala katatonia ada yang termasuk gejala psikotik dan
ada yang bukan. Beberapa gejala yang termasuk gejala psikotik antara lain :
a) Stupor : Aktivitas psikomotor yang sangat menurun sampai
imobilitas
b) Agitasi : gaduh gelisah hebat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi
oleh stimulus eksternal
c) Negativisme : Melawan tanpa tujuan setiap usaha atau instruksi
untuk menggerakkannya
d) Mutisme : membisu atau menetap dalam jangka waktu yang lama

109
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
e) Posturing : berada dalam sikap tubuh aneh yang dipertahankan
dalam jangka waktu yang lama

3. Sikap Terhadap Pemeriksa


Dinilai kooperatif tidaknya sikap pasien terhadap pemeriksa. Apakah
pasien memberikan keterangan secara jelas, terbuka, dan tidak berbelit-belit.

B. Mood dan Afek


1. Mood
Mood lebih ke arah kondisi internal perasaan pasien, apakah pasien
sedang sedih/tak bersemangat, euthym atau bahkan mood meningkat
(euphoria).

2. Afek
Afek merupakan suasana perasaan yang berkepanjangan dan
meresap. Afek lebih ke kondisi perasaan pasien yang tampak dari luar,
misalnya afek datar (kurang ekspresif) pada skizofrenia, afek meningkat
pada manik, afek luas, afek terbatas, dll.

3. Keserasian
Keserasian antara afek dan mood ; serasi

C. Pembicaraan
Apakah pasien dapat berbicara dengan lancar dan spontan saat
ditanya. Jumlah kata-kata yang dikeluarkan pasien apakah banyak
(produktivitas baik). Kontak mata dengan pemeriksa baik atau tidak. Pasien
yang bicara terlalu banyak contohnya pada pasien manik (logorrhea)
sebaliknya sangat minimal pada pasien depresi dengan intonasi lemah dan
volume kurang kuras.
Perlu juga dinilai apakah pembicaraan sesuai dengan konteks/
nyambung (koheren). Pada pasien psikotik seringkali terjadi inkoherensi
dari pembicaraannya. Kualitas pembicaraan juga perlu dinilai, intonasinya
dan volume suaranya. Inkoherensi adalah pembicaraan atau tulisan yang
tidak bisa dimengerti, bukan karena kelainan organik. Pada inkoherensi
kata-kata dihubungkan secara tidak logis sehingga tidak dapat dimengerti.
110
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Contoh inkoherensi : ―Saya piring makan bakar nasi ikan‖

D. Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi yang dinilai adalah ada tidaknya halusinasi, ilusi,
depersonalisasi ataupun derealisasi. Halusinasi adalah Persepsi panca indera
tanpa sumber rangsangan sensorik eksternal. Beberapa jenis halusinasi
diantaranya :
1. Halusinasi akustik : persepsi suara, biasanya pembicaraan
2. Halusinasi visual : Persepsi penglihatan berupa bayangan berbentuk
(orang) atau tak berbentuk seperti kilatan cahaya
3. Halusinasi Gustatorik : Persepsi pengecapan (biasanya rasa yang
tidak enak)
4. Halusinasi olfaktorik : persepsi bau, seperti bau karet, bau terbakar
atau bau-bauan busuk
5. Halusinasi taktil : persepsi rasa disentuh atau rasa sesuatu yang
berada di bawah kulit, misalnya sesnsasi shock listrik (kesetrum),
sensasi formikasi (sensasi adanya sesuatu yang merayap, berjalan
di bawah kulit)
Ilusi merupakan persepsi yang salah terhadap suatu benda/objek.
Misalnya : menanyakan apakah pasien tahu benda apa yang kita tunjukkan
(misalnya pulpen), dll.
Depersonalisasi merupakan persepsi yang salah tentang bagian dari
tubuhnya. Contoh : Perasaan bahwa lengan dan tungkainya berubah ukuran.
Derealisasi merupakan persepsi yang salah tentang lingkungan di
sekitarnya. Misalnya perasaan bahwa dirinya berada di dalam kayangan.

E. Pikiran
1. Proses Pikir/Bentuk Pikir
Pada penilaian proses pikir/arus pikir, yang dinilai adalah
produktivitas dari jawaban pasien, kontinuitasnya (lancar tidaknya jawaban
pasien) serta ada tidaknya hendaya dalam bahasa.

2. Isi Pikir
Pada penilaian isi pikir dinilai ada tidaknya waham. Waham adalah
Keyakinan menetap yang tidak sesuai dengan kenyataan dan selalu
111
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
dipertahankan
a) Waham Kejar : keyakinan bahwa dirinya atau orang dekatnya
dikejar-kejar, diserang, dilecehkan, ditipu, dimusuhi
b) Waham Cemburu : keyakinan bahwa pasangan hidupnya tidak setia
c) Waham curiga : keyakinan bahwa orang disekitarnya tidak dapat
dipercaya, berniat jahat terhadap dirinya dan patut dicurigai
d) Waham aneh : keyakinan bahwa pikirannya bisa dipancarkan, bisa
disiarkan (siar pikir), bisa disedot keluar (sedot pikir), bisa dimasuki
pikiran dari luar (sisip pikir), pikiran yang bergema (thought of echo)
e) Waham kebesaran : keyakinan bahwa dirinya sangat berkuasa,
berpengetahuan, mempunyai hubungan dengan orang besar atau
Tuhan
f) Waham somatik : keyakinan yang berkaitan dengan penampilan dan
fingsi tubuh

F. Kesadaran dan Kognisi


1. Taraf Kesadaran dan Kesigapan
Taraf kesadaran apakah Kompos Mentis (sadar penuh), kesadaran
berkabut (kurangnya kejernihan kesadaran), apathia/apatis (acuh tak acuh),
somnolen (rasa mengantuk), spoor (reaksi sedikit terhadap rangsang yang
keras), koma tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri maupun verbal.
Kesan terhadap kesigapan misalnya pasien memiliki kesan sigap bila ada
bahaya yang akan datang pada pasien.

2. Orientasi
Pada penilaian orientasi, dinilai orientasi terhadap waktu, tempat,
orang dan kondisi. Gangguan terhadap penilaian orientasi dikenal sebagai
disorientasi. Jenis-jenis orientasi antara lain :
a) O. Waktu : Bisa tidaknya pasien menyebutkan hari, tanggal,
bulan, perkiraan jam, dll
b) O. Tempat : Bisa tidaknya pasien mengetahui tempat pasien
berada saat wawancara dan letak rumah pasien
c) O. Orang : Bisa tidaknya pasien menyebutkan nama orang-
orang di sekitar pasien, mengenali siapa

112
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3. Daya Ingat
Jika pasien lupa akan hal-hal yang telah terjadi dikenal sebagai
gangguan daya ingat. Berdasarkan waktu kejadian, daya ingat dibagi
menjadi :
a) Jangka panjang (masa lampau) : pasien masih ingat masa
kecilnya ketika SD sampai SMP, pasien juga ingat
pengalaman-pengalamannya semasa kanak-kanak
b) Jangka sedang (minggu/bulan): pasien masih ingat hal-hal
yang membawa pasien datang ke rumah sakit dan orang-orang
yang mengantar pasien ke rumah sakit
c) Jangka pendek (hari itu) : pasien ingat akan menu makan
paginya dan nama pewawancara
d) Segera (baru saja diucapkan) : pasien dapat menyebutkan
empat macam benda/ angka yang disebutkan oleh pemeriksa

4. Konsentrasi dan Perhatian


Pasien dapat mempertahankan konsentrasinya saat diwawancarai .

5. Kemampuan Membaca dan Menulis


Pasien dapat membaca dan menulis sesuai permintaan.

6. Kemampuan Visuospasial
Pasien dapat menggambar jam dinding. Selain itu pasien juga dapat
menggambar segitiga dan persegi yang diminta pewawancara dengan baik

7. Pikiran Abstrak
Mislkan, pasien dapat menyebutkan persamaan bis dan sepeda
motor serta mengerti beberapa arti kiasan panjang tangan dan setali tiga
uang

8. Inteligensi dan Kemampuan Informasi


Pasien dapat menyebutkan kabar terbaru yang sedang hangat
dibicarakan di media massa

9. Kemampuan Menolong Diri Sendiri


113
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pasien dapat makan, minum, mandi, dan mencuci baju sendir).

G.Pengendalian Impuls
Pasien tidak menujukkan agresivitas selama diwawancara. Pasien
dapat mengendalikan impuls untuk tetap kooperatif saat wawancara.

H.Daya Nilai dan Tilikan


1. Daya Nilai Sosial: baik (pasien mengatakan tidak pernah ingin
menyusahkan orang lain).
2. Uji Daya Nilai: hal yang salah dan benar sesuai norma, misalkan
pasien akan mengembalikan barang yang tertinggal pada pemiliknya
jika tersedia keterangan yang jelas.
3. Penilaian Realita: baik (pasien menyadari kenyataan yang
sesungguhnya pada diri dan lingkungannya, tidak ada waham
maupun halusinasi lagi)
4. Tilikan: Derajat 6. Pasien sadar sepenuhnya bahwa dirinya sakit,
bahwa sakitnya adalah mendengar suara-suara tersebut, dan
ketakutan serta gelisah. Maka, pasien berobat ke Poli Psikiatri, mau
minum obat, melakukan relaksasi dan CBT.

I. Taraf Dapat Dipercaya


Secara umum dapat dipercaya atau tidakn semua jawaban,
misalkan secara umum dapat dipercaya keterangan pasien walaupun kadang
suka berubah-rubah.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien psikiatri sama dengan pemeriksaan
fisik generalis pada umumnya. Keadaan umum, Vital sign dan pemeriksaan
head to toe. Perlu diberikan perhatian lebih terhadap tanda dan gejala pada
penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi otak,
emosi dan perilaku. Pemeriksaan fisik juga diperlukan untuk
mengkonfirmasi pasien-pasien psikosomatis dimana pasien mengeluhkan
adanya gangguan fisik yang sebenarnya didasari oleh gangguan psikologis
pasien.

114
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pemeriksaan Kepribadian dan Pemeriksaan Penunjang lainnya
Beberapa pasien kadang memerlukan pemeriksaan tambahan
seperti tes kepribadian (level kompetensi 2 ~ SKDI: Keterampilan 2-18).
Untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan rujukan ke dokter spesialis
kedokteran jiwa (Sp.KJ). Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
penegakan diagnosis atau untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
penyakit organik yang mendasari juga perlu dilakukan, seperti pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologis, dll. Jensi pemeriksaan yang dilakukan
berbeda-beda tergantung jenis penyakit yang dikeluhkan.

Diagnosis
Diagnosis pada pemeriksaan psikiatri ditegakkan dengan
mengumpulkan/ merangkum temuan-temuan yang bermakna klinis dari
hasil allo-, autoanamnesis, pemeriksaan status mental, pemeriksaan fisik
diagnostik, pemeriksaan neurologi serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Kriteria diagnosis yang digunakan merujuk pada Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III di Indonesia, gangguan jiwa
dibagi menjadi :
a. Gangguan mental organik
b. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
c. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham
d. Gangguan mood/afektif
e. Gangguan neurotic, gangguan somatoform, dan gangguan terkait
stress
f. Gangguan kepribadian dan perilaku dewasa
g. Sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik
h. Retardasi mental
i. Gangguan perkembangan psikologis
j. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset usia anak dan
remaja
Penulisan diagnosis dikenal juga sebagai diagnosis multiaksial,
Diagnosis ini dibagi kedalam lima aksis sebagai berikut :
a) Aksis I : a. Gangguan klinis
b. Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis
115
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
b) Aksis II : a. Gangguan kepribadian
b. Retardasi mental
c) Aksis III : Kondisi medik umum
d) Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan
e) Aksis V : Penilaian fungsi secara global (GAF)
Alur berfikir dalam rangka penegakan diagnosis dimulai dari ada
tidaknya kelompok gejala gangguan jiwa yang cukup khas (kolom/kotak
‗selalu ingat‘) kemudian dilanjutkan sesuai dengan skema/alur diagnosis
(Tim Medis RS Jiwa Pusat Jakarta, 1996). Semua temuan klinis dirangkum
dan ditegakkan kemungkinan diagnosis sesuai dengan PPDGJ III secara
lengkap terhadap kelima aksis. Setelah diagnosis ditegakkan, terapi dapat
diberikan berupa farmakoterapi, psikoterapi, terapi social, terapi
okupasional, dan lainnya.
Kelompok gejala gangguan jiwa yang perlu diingat terutama dapat
dilihat pada gambar kotak berikut:
SELALU INGAT!!!
1. Gejala Psikotik
(Waham, Halusinasi, Inkoherensi, Katatonia)
2. Gejala Non Psikotik
{Cemas, Depresi (Gangguan suasana perasaan; manik,
depresif, apektif bipolar), keluhan fisik}
3. Gangguan Fungsi (> 1 minggu)
(Gangguan fungsi social, pekerjaan dan penderitaan diri)

Catatan dan penjelasan gejala-gejala gangguan jiwa sebagai berikut :


1. WAHAM : Keyakinan menetap yang tidak sesuai dengan kenyataan
dan selalu dipertahankan
a. Waham Kejar : keyakinan bahwa dirinya atau orang dekatnya
dikejar-kejar, diserang, dilecehkan, ditipu, dimusuhi
b. Waham Cemburu : keyakinan bahwa pasangan hidupnya tidak
setia
c. Waham curiga : keyakinan bahwa orang disekitarnya tidak
dapat dipercaya, berniat jahat terhadap dirinya dan patut
dicurigai

116
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
d. Waham aneh : keyakinan bahwa pikirannya bisa dipancarkan,
bisa disiarkan, bisa disedot keluar, bisa dimasuki pikiran dari
luar
e. Waham kebesaran : keyakinan bahwa dirinya sangat berkuasa,
berpengetahuan, mempunyai hubungan dengan orang besar atau
Tuhan
f. Waham somatik : keyakinan yang berkaitan dengan penampilan
dan fingsi tubuh
2. HALUSINASI : Persepsi panca indera tanpa sumber rangsangan
sensorik eksternal
a. Halusinasi akustik : persepsi suara, biasanya pembicaraan
b. Halusinasi visual : Persepsi penglihatan berupa bayangan
berbentuk (orang) atau tak berbentuk seperti kilatan cahaya
c. Halusinasi Gustatorik
d. Halusinasi olfaktorik
e. Halusinasi taktil
3. INKOHERENSI : Pembicaraan atau tulisan yang tidak bisa
dimengerti, bukan karena kelainan organik
4. KATATONIA : Gangguan psikomotor tanpa kelainan organik
f) Stupor : Aktivitas psikomotor yang sangat menurun sampai
imobilitas
g) Agitasi : gaduh gelisah hebat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi
oleh stimulus eksternal
h) Negativisme : Melawan tanpa tujuan setiap usaha atau instruksi
untuk menggerakkannya
i) Mutisme : membisu atau menetap dalam jangka waktu yang lama
j) Posturing : berada dalam sikap tubuh aneh yang dipertahankan
dalam jangka waktu yang lama
5. DETERIORASI : kemunduran progresif dari fungsi pekerjaan,
fungsi sosial, dan fungsi perawatan diri
6. KESADARAN MENURUN : ketidakmampuan mempertahankan
perhatian yang patologik ; Apatis, somnolen, sopor, koma,
kesadaran berkabut
7. DISORIENTASI : gangguan pemahaman terhadap lingkungan;
Disorientasi waktu, tempat, orang dan situasi
117
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
8. GANGGUAN DAYA INGAT : lupa akan hal-hal yang telah terjadi
9. FUNGSI INTELEKTUAL : kemampuan unutk menggunakan hal-hal
yang telah dipelajari
10. AFEK : Suasana perasaan yang berkepanjangan dan meresap seperti
cemas, depresi
11. CEMAS : rasa khawatir yang berlebihan, disertai dengan ketegangan
motorik dan hiperaktivitas otonom
12. DEPRESI : Rasa sedih yang berlebihan dan berkepanjangan disertai
dengan gangguan fungsi pekerjaan, fungsi sosial dan perawatan diri.
a. Gejala Utama : Disforik, hilang minat, penurunan fungsi dan energi
b. Gejala tambahan : berkurangnya konsentrasi dan perhatian,
hilangnya kepercayaan diri, rasa bersalah dan tak berguna, masa
depan suram/tidak ingin hidup lagi, tidur terganggu, nafsu makan
menurun
13. FOBIA : Ketakutan irasional dan menetap terhadap suatu obyek.
Dorongan untuk menghindari obyek dan sebagian disertai dengan
serangan panik
a. Agorafobia : fobia terhadap situasi keramaian dan kesendirian
b. Fobia sosial : fobia terhadap situasi sosial di luar rumah
c. Fobia simpleks : fobia terhadap ruang tertutup (klaustrofobia),
ketinggian (akrofobia) dan hewan
14. OBSESIF-KOMPULSIF :
a. Obsesi : pikiran yang berulang, tak bisa dihilangkan, tak
dikehendaki
b. Kompulsi : tingkah laku yang berulang, tak bisa dihilangkan dan
tidak dikehendaki
15. KELUHAN FISIK : Semua keluhan fisik dengan/tanpa kelainan
organik yang dilatarbelakangi oleh faktor psikologik
16. DEPERSONALISASI : persepsi yang salah tentang bagian dari
tubuhnya
17. DEREALISASI : Persepsi yang salah tentang lingkungan di
sekitarnya

118
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Skema Diagnosis :
1. Psikotik
GEJALA PSIKOTIK
 Waham  Inkoherensi
 Halusinasi  Katatonia

TANDA ORGANIK
 Penurunan Kesadaran
 Disorientasi
 Gangguan daya ingat
 Gangguan fungsi intelektual
Ya Tidak

GANGGUAN MENTAL
ORGANIK Atau GANGGUAN PSIKOSIS
JIWA AKIBAT PENYAKIT FUNGSIONAL
UMUM

 Lebih dari 6
bulan
 Onset < 45 tahun
 Deteriorasi
Ya Tidak

NON
SKIZOFRENIA
SKIZOFRENIA

119
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
2. Depresi

GEJALA DEPRESI
 Sedih >>>, murung, menangis
 Lesu, pesimis, aktivitas
menurun
 Gangguan makan dan tidur
 Menyendiri
 Ingin mati

< 2 thn > 2 thn


Stresor (+) Stresor (-)

GANGGUAN GANGGUAN
PENYESUAIAN DEPRESI YANG NEUROSIS
DENGAN TAK DEPRESI
TERGOLONGKAN
AFEK
DEPRESIF

120
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3. Cemas

CEMAS
 Khawatir/ Waspada Berlebihan
 Ketegangan Motorik
 Hiperaktif Autonom

< 1 bln > 1 bln

Didahului stressor
NEUROSIS
yang bermakna

Ya Tidak
Gangguan Cemas
Menyeluruh

GANGGUAN GANGGUAN Gangguan fobik


PENYESUAIAN CEMAS YANG
DENGAN AFEK TAK
CEMAS TERGOLONGKAN
Gangguan
Obsesif
Kompulsif

Gangguan Panik

Gangguan Stres
Pasca Trauma

Gangguan Cemas
Tidak Khas

121
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
4. Gangguan Fungsi

GANGGUAN FUNGSI
 Fungsi Pekerjaan, atau
 Fungsi Sosial, atau
 Perawatan/ Penderitaan Diri

Kepribadian yang sangat kaku dan sulit


menyesuaikan diri sepanjang masa dewasa

Ya Tidak

Riwayat penggunaan zat secara


GANGGUAN KEPRIBADIAN
patologik

Ya Tidak

GANGGUAN
GANGGUAN
PENGGUNAAN
JIWA YANG
ZAT
LAIN
Aneh
Eksentrik  Gangguan Kepribadian Skizoid
 Gangguan Kepribadian Skizotipal
 Gangguan Kepribadian Paranoid

Dramatik/  Gangguan Kepribadian Histerionik


Emosional  Gangguan Kepribadian Narsistik
 Gangguan Kepribadian Ambang
 Gangguan Kepribadian Antisosial

Khawatif /  Gangguan Kepribadian Menghindar


Takut  Gangguan Kepribadian Dependen
 Gangguan Kepribadian Anankastik
 Gangguan Kepribadian Pasif Agresif

122
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
G. PROSEDUR
Penegakan diagnosis gangguan jiwa umumnya seperti halnya
pemeriksaan medis yang lain, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
psikiatri dan penunjang. Namun wawancara langsung dalam pemeriksaan
psikiatri memegang peran penting dalam rangka penilaian dan penegakan
diagnosis gangguan jiwa. Adapun prosedur penegakan diagnosis gangguan
jiwa secara umum adalah sebagai berikut :
1. Persiapan
2. Alloanamnesis
3. Autoanamnesis
4. Pemeriksaan status mental
5. Pemeriksaan Fisik
6. Pemeriksaan psikologis dan penunjang lainnya seperti
laboratorium, rontgent, ct scan, dll
7. Diagnosis

H. DAFTAR PUSTAKA
 Kaplan dan Sadock, 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh.
Binarupa Aksara, Jakarta
 Maslim R.1998. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan
Ringkas dari PPDGJ – III. Jakarta.
 Tim Medis RS Jiwa Pusat Jakarta, 1996. Buku Penuntun Praktis
Pelayanan Kesehatan Jiwa Dalam Pelayanan Kesehatan Umum di
Puskesmas DKI Jakarta : Metode Pendekatan Praktis. Depkes RI.
Dirjen Pelayanan Medik RS Jiwa Pusat Jakarta.
 Woro , SpKJ: Pemeriksaan Psikiatri Metode Dua Menit. Diklat RSJ
Lampung: 2009

123
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
I. EVALUASI
Ceklist Latihan
No Aspect Feed
Persiapan Back
1 Melakuakn persiapan pemeriksa, pasien dan keluarga pasien
serta mempersiapakan catatan/ lembar catatan medik
Alloanamnesis
2 Menanyakan identitas pasien
3 Menanyakan dan mencatat identitas sumber informasi dan
hubungannya dengan pasien (keluarga, saudara, teman
dekat, dll)
4 Menanyakan keluhan utama (alasan pasien dibawa berobat)
5 Menanyakan Riwayat Gangguan Sekarang (onset, frekuensi,
progresi, hendaya).
6 Menanyakan riwayat gangguan sebelumnya ; riwayat
penyakit, riwayat penggunaan zat psikoaktif, riwayat
gangguan psikiatri sebelumnya
7 Menanyakan riwayat kehidupan pribadi ; persalinan, tumbuh
kembang, perkembangan mental saat anak, remaja, dewasa ;
riwayat pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kehidupan
beragama, militer, pelanggaran hukum, psikoseksual,
aktivitas sosial dan pergaulan pasien, kondisi sekarang di
lingkungan tempat tinggal
8 Menggali riwayat keluarga ; family tree, gangguan jiwa pada
keluarga, hubungan pasien dengan anggota keluarga.
9 Menggali Stressor psikososial yang dialami terutama yang
paling berdampak sebelum munculnya keluhan ; ditinggal
pasangan, ditinggal anak/orang tua, masalah ekonomi, dll
Autoanamnesis
10 Melakukan Autoanamnesis ; identitas, keluhan, stressor
psikososial, harapan, keinginan, dll
Pemeriksaan Status Mental
11 Menilai Keadaan Umum (Penampilan, Aktivitas
Psikomotor, Sikap Terhadap Pemeriksa)

124
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
12 Menilai Mood dan Afek
13 Menilai Pembicaraan
14 Menilai ada tidaknya gangguan persepsi (halusinasi, ilusi,
depersonalisasi ataupun derealisasi)
15 Menilai Proses Pikir dan Isi Pikir (ada tidaknya waham)
16 Menilai Kesadaran dan Kognisi (Kesadaran, Orientasi, Daya
Ingat, Konsentrasi dan Perhatian)
17 Menilai Pengendalian Impuls
18 Daya Nilai dan Tilikan (Insight)
19 Taraf Dapat Dipercaya
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
20 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
21 Pemeriksaan Penunjang* (jika diperlukan)
Diagnosis
22 Mengidentifikasi 3 kelompok gejala ―SELALU INGAT‖
23 Menentukan gejala paling menonjol dari ketiga kelompok
gejala tersebut
24 Mengikuti skema diagnosis yang benar sesuai dengan
temuan gejala
25 Menentukan dugaan diagnosis pasien (sesuai kriteria
diagnosis)
26 Menyesuaikan gejala dan kelengkapan kriteria diagnosis
PPDGJ III
27 Membuat Diagnosis Aksis I-V
PROFESSIONALISM
28 Melakukan dengan penuh percaya diri
29 Melakukan dengan kesalahan minimal

Lampiran 1. Contoh Autoanamnesis Psikiatrik

125
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
T : Perkenalkan pak/bu, saya dokter A, T : sekarang pagi siang atau malam
namanya siapa? mas?
J : ....... (Nilai apakah pasien J : ..... (menilai orientasi waktu pasien
benar/tidak menjawab namanya) baik/tidak)
T : Umurnya berapa? T : Kira - kira jam berapa?
J : ..... (menilai daya ingat jangka J : ..... (menilai orientasi waktu
panjang pasien baik/tidak) baik/tidak)
T : Mas lahir tanggal berapa? T : pernah ngedenger ada suara atau
J : ...... (menilai daya ingat jangka bisikan tapi gak ada orangnya?
panjang baik/tidak) J : .....( menilai ada / tidak halusinasi
T : Rumahnya dimana? auditorik)
J : ..... (menilai daya ingat jangka T : pernah liat bayangan lewat-lewat
pendek baik/tidak) tapi gak ada orangnya?
T : Terakhir sekolah sampai apa? J : ...... (menilai halusinasi visual
J : ..... (menilai daya ingat jangka ada/tidak)
panjang baik/tidak). T : ada nyium bau-bau wangi atau
T : Tau gak sekarang kita lagi dimana? busuk gak mas?
J : ....(menilai orientasi tempat J : ..... (menilai halusinasi olfaktorik
terganggu/tidak) ada/tidak)
T : Mas tau gak saya (dokter –red) T : kalo menelan ludah rasanya apa?
siapa? Manis, asin, apa pahit?
J : ..... (menilai orientasi orang J : ..... (menilai halusinasi gustatorik
terganggu/tidak) ada/tidak)
T : yang di sebelah mas ini siapa? T : pernah merasa ada yang memegang-
(misal: penanya menunjuk ke sebelah megang atau raba-raba?
kanan pasien) J : ..... (menilai halusinasi taktil
J : .... (menilai orientasi orang ada/tidak)
terganggu/tidak) T : mas tau gak ini apa? (misal: dokter
T : Mas tau gak kenapa di bawa kesini? menunjuk pulpen)
J : .... (menilai insight pasien J : ... (menilai adanya ilusi)
baik/tidak) T : gunanya untuk apa ?
T : Sekarang kita lagi ngapain mas? J : ..... (menilai daya nilai pasien
J : ...... (menilai orientasi situasi pasien baik/tidak)
baik/tidak) T : mas merasa punya kelebihan
gak dibanding orang lain, misalnya
126
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
lebih kebal atau bisa nyembuhin sakit T : mas kalo punya sodara yang sakit
gitu? gimana rasanya?
J : ..... (menilai waham kebesaran J : .... (amati jawaban pasien dan
ada/tidak, waham rendah diri ekspresi mukanya sesuai atau tidak 
ada/tidak) menilai afek pasien)
T : ada gak yang benci sama mas? T : trus kalo mas dapet hadiah gimana
J : .... (menilai waham curiga rasanya?
ada/tidak). J : .... (amati jawaban pasien dan
T : mas ngerasa di badan mas ada ekspresi mukanya sesuai atau tidak 
penyakit? menilai afek pasien)
J : ....(menilai hipokondri/tidak) T : mas kan sekolah ya, tau gak 100-7
T : mas agamanya apa? berapa?
J : .... J : ... (menilai daya konsentrasi)
T : kalo dalam agama mencuri itu boleh T : kalo 93-7?
gak? J : ... (menilai daya konsentrasi)
J : ..... (menilai daya nilai baik/tidak). T : kalo 86-7?
T : ngerasa gak ada dosa yang mas J : ... (menilai daya konsentrasi)
punya trus gak di ampuni? T : sekarang saya kasih nomer telpon,
J : ..... (menilai waham berdosa diinget-inget ya, 161871?
ada/tidak) J : .....
T : kalau menemukan dompet di jalan, T : tadi pagi makan apa?
trus ada uang sama KTP nya mau mas J : ... (menilai daya ingat jangka
apain? pendek)
J : .... (menilai skala diferensiasi luas/ T : tadi nomer telpon yang saya kasih
sempit. Misal: pasien menjawab berapa ya?
dikembalikan  skala diferensiasi J : .... ( menilai daya ingat segera
luas). baik/tidak)

127
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Lampiran 2 : Contoh RM Psikiatrik

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Kramat Sawah, Jakarta
Status : menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : pedagang
Suku : Makassar
Agama : Islam
Datang ke RS : 3 Februari 2017
NRM : 293-20-30

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Diperoleh dari: autoanamnesis dan alloanamnesis dari rekam medis (tanggal 3 Februari
2017)
A. Keluhan Utama
Pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan tiga hari sebelum kontrol ke poli jiwa RSCM
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Sejak kontrol poli terakhir (3 Februari 2017), pasien sudah merasa baikan. Ketakutan, rasa
sedih, emosi, gelisah dan suara-suara yang menggangu mulai berkurang dan dapat
dikendalikan. Dua hari setelah setelah kontrol poli, saat bangun pagi pasien merasa lupa siapa
dirinya dan keluarganya. Hal ini dirasakan selama + 30 menit setelah itu pasien kembali ingat.
Seminggu sebelum kontrol, pasien merasa senang dan mentraktir tetangganya
dengan uang keuntungan dagangannya (Rp.100.000,-). Pasien merasa senang karena
tetangganya yang berkata ‖Wah, senangnya Bu Eripah, dagangannya laris‖. Setelah uangnya
habis, pasien baru tersadar benar kalau uangnya sudah habis untuk mentraktir yang seharusnya
ditabung untuk membeli sepeda anak bungsunya.
Dalam sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan ketakutan terutama
tentang keadaan anaknya di sekolah, pasien takut kalau anak bungsunya jatuh saat main di
tangga sekolah. Selain itu, pasien juga merasa khawatir akan nasib ke-4 anaknya nanti bila
pasien sudah tidak ada (meninggal dunia). Ketakutan pun dirasakan saat pasien akan
memegang pisau dapur untuk memasak, hal ini mengingatkan pasien saat dulu pernah
menyakiti dirinya dengan pisau. Bila ketakutan muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak
lama rasa sedih ini ada, mulailah timbul suara-suara yang menyuruhnya melakukan hal yang
negatif. Suara-suara itu terdengar saat pasien sedang wudhu dan menjelang sholat. Suara
tersebut terdengar biasanya seminggu sekali. Suara tersebut awalnya terasa seperti hembusan
angin, kemudian terdengar suara lelaki tua yang berkata ‖buat apa sholat, tidak ada gunanya
kamu sholat‖. Saat pasien akan minum obat, suara-suara terkadang terdengar pula dan berkata
‖buat apa minum obat, itu tidak ada manfaatnya buat kamu, tidak akan buat kamu sembuh‖.

128
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu itu,
selain minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah diajarkan oleh dokter
dan menjalankan CBT (cognitive behaviour theraphy) dengan menuliskan hal-hal yang ia
resahkan dalam diari dan berpikir positif. Relaksasi biasanya dilakukan selama + 30 menit.
Setelah melakukan relaksasi maupun CBT, perasaan takut, sedih, dan suara-suara yang
menggangu itu hilang. Tiga hari sebelum kontrol, pasien merasakan kesedihan lagi, pasien
merasa lemas dan tidak nafsu makan. Tidak ada suara-suara yang mengganggu. Pasien masih
dapat berdagang dengan lancar. Saat hari kontrol poli, pasien sudah merasa baikan walaupun
masih ada rasa cemas terhadap anak bungsunya.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami trauma kepala, kecelakaan, serta kejang. Pasien juga
menyangkal adanya riwayat sering sakit kepala maupun sering demam tinggi.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, dan rokok.
3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
 Tahun 1986, setelah melahirkan anak pertama pasien merasa sedih hingga 25 hari. Saat
itu pasien merasa tidak nafsu makan, sering terbangun malam hari, tidak bisa
mengerjakan apa-apa, tidak bisa berkonsentrasi, merasa hampa, dan tidak bergairah
untuk hidup.
 Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti bekerja. Sebelumnya
suaminyalah yang menanggung biaya kehidupan keluarganya. Pasien berhenti bekerja
setelah kejadian kebakaran di tempat kerjanya (pom bensin) yang disangkut pautkan
dengan suaminya. Perasaan pasien sangat sedih dan kecewa karena pasien merasa
suaminya tidak bersalah atas kejadian itu. Pasien pun mulai berpikir bagaimana
kebutuhan anak-anaknya dapat terpenuhi. Pasien juga merasa pesimis untuk
mengharapkan pekerjaan yang lebih baik pada suaminya karena suaminya hanyalah
lulusan SMP. Pasien akhirnya memutuskan untuk menggunakan uang simpanannya
untuk usaha buka warung kecil-kecilan. Namun, usaha ini tak berdiri lama. Kentungan
yang tidak seberapa tak sebanding dengan pengeluaran untuk membenuhi kebutuhan
keluarga terutama anaknya. Pasien merasa kecewa dan sedih karena usahanya ini harus
gulung tikar.
Di tahun yang sama, pasien dituduh tidak becus mengurus mertuanya yang
mengidap diabetes melitus. Pasien merasa tidak dihargai dan berguna. Tubuhnya terasa
lemas dan dia cenderung banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala. Saat
malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui sumbernya, suara itu
menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien awalnya ia tidak mengiraukan suara gaib itu.
Akan tetapi, intensitasnya semakin kuat dan mengganggu tidurnya. Pasien akan diam
bila suara itu terdengar. Hal ini juga membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan
mengurus dirinya dan anaknya. Hal ini terus terjadi hampir setiap hari dan untuk
mengatasinya pasien hanya berdiam diri. Setelah diam dan tenang, suara-suara itu
menghilang.

129
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Dokter mengatakan bahwa ia
harus dirawat di RS Grogol. Pasien tidak menerima karena ia merasa badannya sehat
bugar dan hanya suara-suara saja yang mengganggunya. Pasien memutuskan tidak ke RS
Grogol dan meminum obat tidur dari dokter puskesmas bila sulit tidur.
 Sebelas tahun yang lalu (1997) pasien mulai merasa gelisah. Ia dituduh adik iparnya
tidak mengurusi mertuanya yang sakit kencing manis dengan baik hingga akhirnya
meninggal dunia. Pasien jadi merasa bersalah karena merasa tidak becus dalam merawat
mertuanya selama ini. Selain itu, adik iparnya juga mantii bunuh diri karena
ketergantuang obat. Pasien kembali merasa bersalah karena tidak dapat mencegah hal ini
terjadi. Kedua kejadian ini semakin membuatnya pikiran dan perasaanya kacau hingga ia
sulit tidur selama + 2 minggu. Sejak itu ia mulai mendengar suara-suara lelaki tak
dikenal, yang mengatakan, ‖Kalau begini terus supaya tidak disalahkan lebih baik kamu
akhiri hidup saja‖. Pasien tidak dapat mengendalikan suara tersebut sehingga ia merasa
kepalanya bergerak hingga membentur tembok. Suara tersebut muncul seminggu dua
kali. Selain itu pasien juga sering mendengar bisikan yang mengatakan, ‖Kalau kamu
keluar akan ada yang melukai kamu‖. Akibatnya pasien jadi merasa takut bila akan
keluar rumah.
 Suara-suara tersebut terus terdengar walau intensitasnya semakin jarang. Namun pada
tahun 1999 dan 2002 pasien merasa sangat emosi. Saat itu, pasien sedang menyetrika
baju suami dan anaknya. Tiba-tiba kakak iparnya memarahinya dan memukul pasien.
Tiba-tiba, terdengar suara-suara yang menyuruhnya untuk kabur dari rumah dan
mengikuti jalannya suara itu. Tanpa sadar pasien sudah tiduran di jalan raya dan
mencoba terjun dari gedung Kenari Mas.
Pasien juga pernah dituduh oleh saudara iparnya mencuri uang Rp.5000,-. Pasien
merasa kesal sekali dan suara-suara itu terdengar kembali yang menyuruhnya mengakhiri
hidupnya. Kebetulan ada pisau dapur didekat pasien, lalu pasien menggoreskan pisau itu
ke tangan kirinya hingga berdarah. Untung saja, ibu pasien melihatnya lalu
menamparnya sehingga usaha bunuh diri itu terhenti.
Pasien menyatakan bila sedang ketakutan pasien mencium bau-bauan bunga,
kemenyan dan juga bau busuk. Ia juga mengatakan jika ketakutan itu bercampur dengan
emosi (marah, perasaan ingin menghancurkan atau memukul sesuatu), bisikan untuk
mengakhiri hidup semakin kencang. Setiap bisikan selalu diawali dengan bunyi seperti
angin lewat kemudian tiupan, kata-kata mati, dan perintah untuh mengakhiri hidup. Bila
suara-suara untuk bunuh diri sangat kuat pasien jadi merasa lemas, tidak berdaya, malas
mengerjakan sesuatu, dan sulit tidur karena ketakutan.
 Lima tahun yang lalu (Agustus 2012) saat melihat lomba 17 Agustusan, pasien tiba-tiba
merasa gelisah dan ketakutan. Pasien merasa orang-orang di sekitarnya mau melempar
pasien dengan batu. Ia yakin karena melihat tangan diacung-acungkan seperti orang yang
akan melihat barang. Karena merasa sangat ketakutan pasien menjerit-jerit, lari ke
rumah, dan bersembunyi.
 Tiga tahun yang lalu (Mei 2014) anak pasien dituduh mencuri burung. Pasien merasa
emosi (marah) dan muncul bisikan untuk mencari tahu penjelasan masalah ini. Karena
sangat emosi ia terjatuh di trotoar. Pasien merasa lemas seluruh tubuh dan tidak

130
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
bersemangat. Pasien pun dibawa ke poli saraf. Saat diperiksa, pasien bercerita bahwa ia
merasa emosi, gelisah, ketakutan, sedih, dan tidak bersemangat. Pasien kemudian dirujuk
ke poli psikiatri dan dikatakan sedang mengalami depresi berat. Pasien
direkomendasikan untuk dirawat namun menolak. Beberapa hari kemudian, terdengar
suara-suara pria tua yang mengatakan ‖Apa gunanya hidup, lebih baik akhiri saja hidup
mu!‖ semakin sering dan keras. Akibatnya pasien semakin ketakutan sehingga
mengamuk. Ia kemudian dibawa ke IGD oleh kakak pasien dan akhirnya dirawat di
PKW.
Saat di PKW, pasien melihat orang-orang di sekelilingnya seperti binatang dan
makhluk aneh. Ia sampai protes dan mengatakan kenapa ia dimasukkan ke kandang
binatang. Selain itu, pasien juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk di pintu.
Saat dirawat, pasien takut untuk tidur di atas ranjang karena ada makhluk hitam besar
bertaring yang mengawasinya terus dan hal ini membuat pasien sampai menjerit-jerit
hingga akhirnya diikat. Selama dirawat, pasien mendengar bisikan ‖kenapa minum obat,
tidak ada gunanya, kamu tidak akan sembuh juga‖. Pasien jadi sering tidak minum obat
dan menyembunyikannya di bawah lidah. Setelah tidak dilihat oleh suster pasien
membuang obat tersebut. Saat perawatan pasien meminum Haloperidol dan THP. Pasien
mengeluh kaku-kaku setelahnya. Pasien hanya dirawat selama 4 minggu dan cuti pulang
di tengah-tengah perawatan karena ingin mengurus anaknya yang akan masuk sekolah.
Sebenarnya, Pasien masih merasa depresi dan suara-suara yang mengganggu itu. Namun,
agar dapat diizinkan pulang, pasien berkata bahwa pasien sudah tenang dan nyaman.
Setelah keluar dari perawatan pasien merasa lebih baik. Pasien masih sering merasa
ketakutan namun tidak seperti dulu. Bisikan-bisikan untuk mengakhiri hidup masih ada
namun dapat dikontrol. Ia rutin periksa di poli dan sering mengeluhkan badannya kaku
seprti robot sehingga mengganggu aktivitasnya. Sejak itu obat haloperidol tidak
diresepkan lagi dan diganti dengan Risperidone.
 Pada tahun 2006-2007 pasien mengikuti penelitian obat Seroquel (Quetianapin) dan
selama menggunakan obat itu, pasien merasa enak dan tidak ada gejala-gejala yang
muncul. Pasien diresepkan pula obat Calsetin. Segera sesudah makan obat ini, pasien
merasakan rasa bahagia, lebih banyak senyum, dan tidak mudah lelah walaupun sudah
banyak kerjaaan yang ia lakukan. Hal ini terus dirasakan selama pasien meminum obat
dalam 2 tahun ini. Setelah tahun 2007, pasien sudah tidak diberikan Calsetin oleh dokter.
Pasien tidak lagi merasakan perasaan senang seperti sebelumnya.
 Setelah mengikuti penelitian tersebut, pasien sempat putus obat selama 3 hari dan gejala
depresi dan suara-suara yang mengganggu itu terdengar kembali. Bahkan pasien hampir
melukai diri sendiri karena suruhan suara-suara itu. Namun, hal ini tidak bertahan lama
karena pasien sudah kembali minum obat teratur dan pasien merasa tenang.
 Enam bulan yang lalu (Juli 2016) rumah pasien terbakar. Pasien merasa tidak berdaya
lagi, barang-barangnya, alat-alat masak, dan semua perlengkapan dagangnya musnah
dimakan si jago api. Pasien sungguh sedih sekali, merasa usahanya yang selama ini
dirintis telah musnah berakhir. Bahkan pasien hingga mengurung diri selama 2 hari di
kamar rumah ibunya, tidak makan dan mandi. Saat itu, pasien mendengar bisikan,

131
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
‖Kalau begini kenapa gak ikut bakar diri aja‖. Pasien pun menjadi semakin tidak
semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba salah.
 Empat bulan yang lalu (September 2016) pasien sempat putus obat selama 3 hari.
Sebelum ke poli pasien merasa gelisah dan takut tidak mendapatkan obat (obat di apotik
habis, sulit menebus resep). Saat di poli dan diwawancara, pasien melihat pulpen yang
dipegang dokter yang memeriksanya berubah menjadi sebatang kayu. Pasien merasa
ketakutan dan ingin cepat-cepat pulang. Ketika pulang pasien merasa dokter yang
memeriksanya tadi ada di belakangnya dan mengejar-ngejarnya. Ia menjadi sangat
ketakutan. Besoknya pasien kembali ke poli untuk meminta stempel agar dapat menebus
obat. Saat mau ke apotik pasien mendengar juga bisikan ,‖Kalau obat tidak ada lebih
baik bunuh diri saja‖.
 Tiga bulan yang lalu (Oktober 2016) pasien putus obat 4 hari. Ia merasa gelisah dan
ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar walau
pelan. Semakin hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien merasa
susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak
ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah
emosi bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa (bertengkar karena merasa
sudah memberi uang jajan pada anak, padahal belum). Setelah mendapat obat, suara-
suara tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini bila sudah merasa
baikan obat tidak diminum lagi (bila sehari harusnya 2 kali hanya diminum sekali atau
pernah pula 2 hari sekali). Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat
yang mahal dan pasien kesulitan biaya.
 Dua bulan yang lalu (November 2016), dalam satu hari pasien kembali merasakan rasa
bahagia. Rasa bahagia ini timbul setelah ia bangun tidur. Setelah sarapan, pasien sangat
giat dalam merapihkan rumah. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan hal tersebut.
Pasien merasa energinya tidak habis, nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya
membumbung. Pasien tidak ada minum obat calsetin.
 Satu bulan yang lalu (Desember 2016) pasien mengatakan rasa sedihnya berkurang dan
justru lebih merasa takut dan cemas. Rasa cemas muncul jika anak-anaknya tidak ada
yang menjaga atau pergi bermain dan ke sekolah. Pasien khawatir terjadi sesuatu pada
anaknya jika anak pergi sekolah. Suara-suara tidak terdengar lagi.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan, dengan berat lahir cukup (3,4 kg).
Riwayat trauma, infeksi, dan kejang selama hamil disangkal.
2. Riwayat Masa Kanak Awal
Pasien diasuh oleh orang tua pasien. Ibu pasien memberikan ASI eksklusif Pertumbuhan
dan perkembangan pasien sesuai dengan teman-teman sebayanya.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan
Pasien tinggal bersama orang tua pasien. Orang tua pasien sering memukul pasien bila
berlaku salah. Pasien jadi sering ketakutan. Ia menyatakan tidak mempunyai banyak teman
karena mudah tersinggung (sering diejek bertubuh besar).

132
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja
Pasien menyatakan tidak memiliki banyak teman. Pasien lebih senang menyendiri.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Pasien hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP. Alasan tidak melanjutkan pendidikan
karena biaya dan kemampuan otak kurang (merasa tidak mampu). Saat kelas 5 SD
pernah tidak naik kelas.
b. Riwayat Pekerjaan
Setelah tidak bersekolah pasien bekerja sebagai pramuniaga kosmetik. Pasien
kemudian mencari nafkah dengan berjualan makanan setelah menikah.
c. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah dan memiliki 4 orang anak
Anak I : perempuan, sudah menikah, baru saja melahirkan anak pertama
Anak II : laki-laki, tamat SMA, saat ini sedang mencari pekerjaan
Anak III: laki-laki, sudah selesai SMP dan kini ingin melanjutkan ke STM
Anak IV: perempuan, meninggal usia 7 bulan setelah laparotomi
Anak V: laki-laki, saat ini di bangku SD
d. Riwayat Kehidupan Beragama
Pasien beragama Islam. Pasien menyatakan rajin dalam beribadah dan rutin mengikuti
kegiatan pengajian baik di lingkungan tempat tinggal maupun di Masjid Istiqlal.
e. Riwayat Militer
Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan militer.
f. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
g. Riwayat Psikoseksual
Pasien mulai menyukai lawan jenis ketika berusia 20 tahun. Ia kemudian berpacaran
dan menikah pada usia 24 tahun. Pasien hanya berhubungan seksual dengan suaminya.
h. Aktivitas Sosial
Pasien jarang mengikuti aktivitas yang bersifat sosial di lingkungan sekitar rumahnya.
i. Situasi Kehidupan Sekarang
Sejak cucu pertamanya lahir 3 bulan yang lalu, pasien mondar-mandir dari rumahnya
ke rumah orang tuanya. Pagi hari ia ke rumahnya untuk menyiapkan makanan untuk
suami dan anak keduanya serta berjualan makanan. Siangnya ia ke rumah orang
tuanya untuk mengurus cucunya. Pada dasarnya ia lebih senang tinggal di rumah
orang tuanya karena rumahnya gelap (tidak memakai listrik). Situasi yang gelap
membuat ia sering ketakutan. Selain itu, di rumahnya (Kramat Sawah) tinggal pula
kakak ipar dan adik ipar (saudara suaminya) dengan keluarganya. Hubungannya
dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar).
Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang lalu sehingga kini
dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Jika emosi itu muncul pasien menjadi
sulit berdagang karena takut mendengar bisikan-bisikan untuk melukai dirinya lagi.
Namun, sejak bisa minum obat teratur, relaksasi, dan CBT, pasien bisa mengendalikan
dirinya dan keluhannya terus berkurang.

133
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
6. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayah pasien meninggal karena sakit
jantung. Anak-anak pasien tumbuh dengan normal dan tidak ada yang menampilkan gejala
yang serupa dengan pasien.
7. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien rutin kontrol ke poli karena merasa butuh obat untuk penyakitnya. Jika minum obat
ketakutan, emosi, serta suara-suara di telinga berkurang. Namun pasien tidak ingin
keluarganya mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa. Orang yang mengetahui
bahwa ia mempunyai gangguan jiwa hanya kakak ke-3 yang mengantarkannya ketika
dirawat di PKW tahun 2005. Selain itu pada anggota keluarga yang lain ia mengatakan
alasan ia dirawat adalah karena sakit jantung. Hal ini dilakukan karena sejak merasa
ketakutan pasien sering menjerit-jerit sehingga dijuluki ―Si Stress‖.Ia merasa tidak
nyaman dan tetangga-tetangga juga mulai menjauhinya. Pasien jadi lebih senang
menyendiri dan segan berbicara dengan keluarganya.
Genogram

Keterangan :
: anggota keluarga laki-laki
: anggota keluarga perempuan
: anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
: pasien tinggal satu rumah
/ : sudah meninggal

8. Persepsi Keluarga tentang Diri Pasien


Keluarga pasien tidak mengetahui bahwa pasien mengalami gangguan jiwa hanya kakak
no 3 yang tahu. Keluarga hanya melihat ada waktu-waktu tertentu pasien terlihat gelisah,
marah-marah, melamun, menjerit-jerit, dan mencoba bunuh diri. Namun keluarga tetap
mendukung pasien untuk memeriksakan diri.
9. Impian, Fantasi, dan Cita-cita Pasien
134
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Pasien ingin menabung untuk biaya sekolah anaknya yang ingin melanjutkan ke STM.
Selain itu pasien juga ingin mencari tempat yang permanen untuk berjualan makanan.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


(Dilakukan pada tanggal 4 Februari 2017)
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang wanita, berpenampilan sesuai usianya, berpakaian kemeja, celana
panjang dan berjilbab. Secara umum, penampilan pasien menunjukkan
pasien dapat merawat diri dengan baik
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Pasien terlihat tenang saat diwawancara. Kontak mata baik
3. Sikap Terhadap Pemeriksa
Pasien memberikan keterangan secara jelas, terbuka, dan tidak berbelit-belit.
Sikap pasien terhadap pemeriksa kooperatif.
B. Mood dan Afek
1. Mood : euthym
2. Afek : luas
3. Keserasian : serasi
C. Pembicaraan
Pasien berbicara dengan lancar dan spontan saat ditanya. Jumlah kata-kata yang
dikeluarkan pasien banyak (produktivitas baik). Kontak mata dengan pemeriksa
baik.
D. Gangguan Persepsi
Tidak ada gangguan persepsi
E. Pikiran
1. Proses Pikir/Bentuk Pikir
Tidak ditemukan gangguan proses pikir
2. Isi Pikir
Terdapat ide-ide paranoid terhadap keadaan anak bungsunya.
F. Kesadaran dan Kognisi
1. Taraf Kesadaran dan Kesigapan
Kompos Mentis. Pasien memiliki kesan sigap bila ada bahaya yang akan
datang pada pasien.
2. Orientasi
 Waktu:baik (pasien dapat menyebutkan hari, tanggal, bulan)
 Tempat: baik (pasien mengetahui tempat pasien berada saat wawancara
dan letak rumah pasien)
 Orang: baik (pasien dapat menyebutkan nama orang-orang di sekitar
pasien

135
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
3. Daya Ingat
 Jangka panjang : Baik (pasien masih ingat masa kecilnya ketika SD
sampai SMP, pasien juga ingat pengalaman-
pengalamannya semasa kanak-kanak)
 Jangka sedang : Baik (pasien masih ingat hal-hal yang membawa
pasien datang ke rumah sakit dan orang-orang yang
mengantar pasien ke rumah sakit)
 Jangka pendek : baik (pasien ingat akan menu makan paginya dan
nama pewawancara)
 Segera : Baik (pasien dapat menyebutkan empat macam
benda yang disebutkan oleh pemeriksa)
4. Konsentrasi dan Perhatian
Baik. Pasien dapat mempertahankan konsentrasinya saat diwawancarai .
5. Kemampuan Membaca dan Menulis
Baik. Pasien dapat membaca dan menulis sesuai permintaan.
6. Kemampuan Visuospasial
Baik. Pasien dapat menggambar jam dinding .Selain itu pasien juga dapat
menggambar segitiga dan persegi yang diminta pewawancara dengan baik
7. Pikiran Abstrak
Cukup baik. Pasien dapat menyebutkan persamaan bis dan sepeda motor
serta mengerti beberapa arti kiasan panjang tangan dan setali tiga uang
8. Inteligensi dan Kemampuan Informasi
Cukup. Pasien dapat menyebutkan kabar terbaru yang sedang hangat
dibicarakan di media massa
9. Kemampuan Menolong Diri Sendiri
Baik (pasien dapat makan, minum, mandi, dan mencuci baju sendiri).
G. Pengendalian Impuls
Baik. Pasien tidak menujukkan agresivitas selama diwawancara.
H. Daya Nilai dan Tilikan
1. Daya Nilai Sosial: baik (pasien mengatakan tidak pernah ingin
menyusahkan orang lain).
2. Uji Daya Nilai: baik, pasien akan mengembalikan barang yang tertinggal
pada pemiliknya jika tersedia keterangan yang jelas.
3. Penilaian Realita: baik (pasien menyadari kenyataan yang sesungguhnya
pada diri dan lingkungannya, tidak ada waham maupun halusinasi lagi)
4. Tilikan: Derajat 6. Pasien sadar sepenuhnya bahwa dirinya sakit, bahwa
sakitnya adalah mendengar suara-suara tersebut, dan ketakutan serta gelisah.
Maka, pasien berobat ke Poli Psikiatri, mau minum obat, melakukan
relaksasi dan CBT.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Secara umum dapat dipercaya meskipun keterangan pasien suka berubah-rubah.

136
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Frekuensi nadi : 88x / menit
Frekuensi napas : 24x / menit
Suhu : afebris
Kepala : deformitas (-), rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil
baik
THT : deformitas (-), serumen (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Mulut : oral higiene cukup, tampak gigi pasien yang ompong
Jantung : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : simetris, akral hangat, edema -/-, perfusi perifer cukup, needle
tract (-), scar di tungkai distal dekstra (+)
B. Status Neurologikus
a. Gejala rangsang selaput otak (-)
b. Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ dan RCTL +/+
c. Refleks fisiologis normal
d. Nervus kranialis: kesan paresis (-), nistagmus (-)
e. Refleks patologis (-)
e. Pemeriksaan Motorik : 5555 5555
5555 5555
f. Gejala ekstrapiramidal :
- gaya berjalan dan postur tubuh normal
- stabilitas postur tubuh normal
- rigiditas ekstremitas tidak ada
- gangguan keseimbangan dan tremor (-)
g. Pemeriksaan Sensorik
Sensibilitas : parestesia di kaki-tangan kiri dan kanan (-)
h. Pemeriksaan Saraf Otonom
Inkontinensia alvi dan urin(-), anhidrosis(-)

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah diperiksa seorang wanita, Ny. E, 44 tahun, bertempat tinggal di Kramat Sawah, suku
Makassar, agama Islam, status menikah dengan 4 orang anak, pendidikan terakhir SMP kelas
II.
Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti bekerja. Pasien sedih, dan
pesimis yang semakin memberat setelah ia gagal dalam usaha warungnya. Pasien merasa tidak

137
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
dihargai, tidak berguna, lemas dan banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala.
Saat malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui sumbernya, suara itu
menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien akan diam bila suara itu terdengar. Hal ini juga
membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan mengurus dirinya dan anaknya.
Pasien telah mendengar suara-suara yang mengganggu seperti mengomentari
tindakannya maupun menyuruhnya melukai dirinya bahkan menyuruhnya bunuh diri sejak 20
tahun yang lalu (1988). Awalnya pasien merasa gelisah, ketakutan, rasa bersalah yang
mendalam, dan kesulitan tidur selama + 2 minggu sejak mertua dan adik iparnya meninggal.
Lalu pasien mendengar suara-suara untuk mengakhiri hidupnya. Bila suara-suara tersebut
semakin kencang dan tanpa sadar menuruti perintah tersebut. Percobaan bunuh diri pernah
dilakukan beberapa kali dengan membentur-benturkan kepala ke dinding (1997), tiduran di
jalan raya (1999), dan loncat dari gedung bertingkat (Kenari Mas) pada tahun 2002.
Suara-suara tersebut terus ada walau tidak sesering dan sekencang tahun
1997,1999, dan 2002. Bila pasien merasa ketakutan, ia juga mencium bau-bau yang tidak
dicium oleh orang sekitarnya.
Pada bulan Agustus 2003, pasien merasa orang-orang ingin menyakitinya karena ia
melihat tangan diacung-acungkan sehingga ia lari ketakutan, menjerit-jerit, dan bersembunyi
di rumah.
Dua tahun setelahnya (tahun 2005) pasien dirujuk dari poli saraf paska trauma
kepala, ke poli psikiatri dan dikatakan mengalami depresi berat. Pasien kemudian dirawat
selama 4 minggu. Selama perawatan pasien melihat orang-orang di sekelilingnya menjadi
binatang. Selain itu ia juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk sehingga pasien
menjerit-jerit ketakutan. Saat dirawat ia juga sering mendengar bisikan bahwa minum obat itu
tidak berguna sehingga tidak jarang ia membuang obat tersebut. Setelah keluar dari perawatan
pasien kontrol rutin ke poli. Ia merasa gelisah, ketakutan, dan suara-suara yang mengganggu
cenderung berkurang. Pasien rutin minum obat walau tidak jarang bila merasa sudah enakan ia
tidak minum obat lagi. Hal itu ia lakukan untuk menghemat biaya beli obat.
Enam bulan yang lalu (Juli 2016) rumah pasien terbakar. Pasien merasa tidak
berdaya lagi. Alat-alat masak dan semua perlengkapan dagangnya telah musnah. Pasien
merasa sedih sekali hingga mengurung diri selama 2 hari, tidak makan dan mandi. Saat itu,
pasien mendengar suara-suara yang menyuruhnya membakar diri. Pasien pun menjadi semakin
tidak semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba salah.
Empat bulan yang lalu (September 2016), saat kontrol ke poli, pasien tiba-tiba
melihat pulpen yang dipegang oleh dokter yang memeriksanya berubah menjadi kayu. Pasien
jadi ketakutan sehingga cepat-cepat pulang. Saat pulang ia merasa dokter yang memeriksanya
mengikutinya sehingga ia semakin ketakutan.
Tiga bulan yang lalu (Oktober 2016) pasien putus obat 4 hari. Ia kembali merasa
gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar
walau pelan. Semakin hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien merasa
susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak
ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi
bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa. Setelah mendapat obat, suara-suara
tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini bila sudah merasa baikan obat

138
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
tidak diminum lagi Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat yang mahal
dan pasien kesulitan biaya.
Dua bulan yang lalu (November 2016) Pasien merasa energinya tidak habis,
nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya membumbung.
Satu bulan yang lalu (Desember 2016) pasien mengatakan rasa sedihnya berkurang
dan justru lebih merasa takut dan cemas. Rasa cemas masih berkaitan dengan anaknya. Suara-
suara tidak terdengar lagi.
Saat kontrol poli psikiatri (3 Februari 2017) pasien sudah merasa baikan.
Ketakutan, rasa sedih, emosi, dan suara-suara yang menggangu mulai berkurang dan dapat
dikendalikan. Pasien sempat mengalami selama + 30 menit. Pasien juga pernah merasa senang
yang amat hingga mentraktir tetangganya dengan uang keuntungan dagangannya. Dalam
sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan ketakutan terutama tentang keadaan
anaknya dan masa depannya. Ketakutan pun dirasakan saat pasien akan memegang pisau
dapur untuk memasak. Bila ketakutan muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak lama rasa
sedih ini ada, mulailah timbul suara-suara yang menyatakan ataupun menyuruhnya melakukan
hal yang negatif. Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu
itu, selain minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah diajarkan oleh
dokter dan menjalankan CBT. Keadaan keluarganya sekarang, suami pasien tidak bekerja
sejak 20 tahun yang lalu. Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar).
Dari pemeriksaan status mental (saat kontrol poli 3 Februari 2017) ditemukan
sudah tidak ditemukan halusinasi auditori, halusinasi olfaktorius, visual, maupun taktil. Pada
pasien didapat ide-ide paranoid. Sedangkan dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya
hipertensi, nistagmus, parestesia di kaki kiri dan telapak kaki kanan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hipertensi grade 1. Tidak ada nistagmus dan parastesia kaki dan tangan kiri dan
kanan.

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK


Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis
dan menimbulkan penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami suatu
gangguan jiwa sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III.

Diagnosis Aksis I
Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat trauma kepala yang dapat
menyebabkan gangguan intrakranial. Sakit kepala yang berputar pada pasien dan adanya
nistagmus menunjukkan adanya penyakit vertigo. Namun, kelainan ini tidak menjadi sebab
gangguan yang dialami pasien. Selain itu, tidak ditemukan riwayat kejang yang mengarah pada
kelainan organik di otak. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya tanda-tanda
yang mengarah pada gangguan intrakranial sehingga adanya gangguan organik (F0) pada
pasien dapat disingkirkan.
Gejala yang ditemukan pada pasien dapat terjadi pada penggunaan zat psikoaktif.
Namun, tidak didapatkan adanya riwayat penggunaan zat psikoaktif berupa konsumsi alkohol
maupun obat-obat yang dapat menstimulasi maupun mendepresi susunan saraf pusat. Dari

139
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya needle tract. Pasien juga tidak mengkonsumsi
rokok. Kemungkinan gangguan mental akibat penggunaan zat psikoaktif (F1) sejauh ini dapat
disingkirkan.
Pada pasien didapatkan hendaya dalam menilai realita, oleh sebab itu gangguan
jiwa pada pasien dimasukkan ke dalam golongan besar psikotik. Selain itu, pasien juga
ditemukan hendaya pada moodnya. Hendaya moodnya ini dapat muncul mendahului ataupun
bersamaan dengan gejala psikotiknya pada hampir setiap episodenya. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan status mental, ditemukan beberapa gejala psikopatologi yaitu:
1. Adanya riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commenting dan commanding
(menyuruh pasien bunuh diri dan mengatakan obat itu tidak berguna).
2. Adanya riwayat waham kejar (pasien merasa ada orang yang ingin menyakiti
dirinya, misal :ada orang yang ingin memukulnya)
3. Adanya riwayat halusinasi visual (melihat monyet,dll), taktil (merasa didorong
orang) dan halusinasi olfaktorius (bau-bauan bunga, kemenyan, busuk).
4. Riwayat waham rujukan (merasa orang-orang membicarakannya)
5. Riwayat gejala depresi yakni susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir
hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan jadi
lebih sedikit dari biasanya.
6. Riwayat gejala manik (perasaan senang yang amat , mentraktir tetangganya,
irritable, dan gelisah).
7. Adanya ide-ide paranoid tentang keadaan anak bungsunya.
8. Gejala tersebut sudah muncul lebih dari satu bulan (sudah sejak 11 tahun yang lalu)
9. Setiap episode gangguan mood, terjadi kurang dari 2 minggu untuk depresi dan 1
minggu untuk manik.
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan saat ini, diagnosis pada pasien adalah
skizoafektif tipe campuran (F25.2) yang sedang terkontrol pengobatan. Skizofrenia paranoid
dan gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding pada kasus
ini.
Dipikirkannya skizofrenia paranoid terkontrol sebagai diagnosis banding karena
gejala psikotik seperti waham kejar serta halusinasi terutama auditorik yang bersifat
commenting dan commanding yang pernah ada cukup menonjol dalam mewarnai setiap
episode yang ada. Namun, pada skizofrenia paranoia tidak terjadi penonjolan gejala-gejala
afek dan mood yang cukup jelas pada pasien walaupun terjadi secara rapid cycling. Atas dasar
adanya gangguan afektif yang meramaikan perjalanan penyakitnya, perlu dipikirkan diagnosis
banding gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik episode kini remisi.
Diagnosis Aksis II
Tidak ada diagnosis.
Diagnosis Aksis III
Saat ini pasien menderita penyakit jantung, hipertensi, carpal tunnel syndrome, dan
tarsal tunnel syndrome. Pasien sering merasa nyeri seperti ditekan pada dadanya, bila tidur
harus memakai 2 bantal (orthopnea), dan sering capai jika berjalan jauh (exercise intolerance).
Pasien rutin kontrol ke poli jantung dan meminum ISDN dan adalat. Pasien memiliki riwayat

140
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
vertigo dan dulu meminum obat Mertigo, Flexor, dan Renadinac. Untuk hipertensi, CTS, dan
TTS pasien lupa nama obatnya.
Diagnosis Aksis IV
Pasien mengalami masalah ekonomi. Suami pasien tidak bekerja lagi sehingga
pasien menjadi tulang punggung keluarga. Bila ada keuntungan berjualan makanan baru pasien
bisa membeli obat. Akibat kesulitan ekonomi itu pula yang membuat pasien tidak minum obat
dengan teratur. Alasannya agar uang bisa dihemat untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Namun saat ini, masalah ekonomi menjadi beban pikiran bagi pasien. Pasien mencoba untuk
menerima dan berusaha sebaik mungkin pekerjaannya sekarang walaupun masih menjadi
masalah.
Selain itu, pasien juga mengalami masalah dengan keluarga terutama saudara ipar
sehingga membuat pasien tidak betah tinggal di rumah. Ia juga menyembunyikan penyakitnya
dari keluarganya sehingga kurang ada yang mendukung pengobatan pasien, dan hubungan
dengan keluarga menjadi renggang. Pasien juga mulai merasa terasing dari lingkungannya
karena sering dijuluki ―Si Stress‖.
Kedua masalah ini tidaklah jelas sebagai stressor untuk diagnosis. Tetapi stressor
yang berpengaruh dalam pengobatan dan prognosis.
Diagnosis Aksis V
Pada aksis V, dinilai kemampuan penyesuaian diri pasien dengan menggunakan
GAF (Global Assessment of Functioning). GAF saat dilakukan pemeriksaan adalah 90
(beberapa gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, dan gangguan yang ada tidak lebih dari
masalah harian biasa). Hal ini ditetapkan karena pasien tetap bisa berdagang untuk mencari
nafkah walaupun terkadang masih ada halusinasi auditorik dalam kuantitas dan kualitas
minimal (saat pemeriksaan tidak ada) maupun ide-ide paranoid. Kedua gangguan ini sudah
menjadi biasa bagi pasien dan dengan mudah ia tangani dengan relaksasi dan CBT. Sedangkan
nilai tertinggi GAF tahun lalu adalah 55 (gejala sedang, disabilitas sedang dalam fungsi). Hal
ini berdasarkan riwayat gangguan tahun 2008, dimana saat itu terjadi peristiwa terbakarnya
rumah pasien serta riwayat beberapa kali putus obat (hanya beberapa hari) yang membuat
gejala depresi dan psikotik muncul kembali bahkan hingga fungsi pasien mengalami disabilitas
sedang.

VII. DAFTAR MASALAH


1. Organobiologis: Jantung, vaskular (hipertensi grade 1), dan saraf tepi (CTS dan
TTS)
2. Psikologis:
 Ide-ide paranoid
 Riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commanding dan
commenting, halusinasi visual, olfaktori, dan taktil.
 Riwayat waham kejar
 Riwayat gejala depresi dan manik
3. Lingkungan dan sosial ekonomi:
 Masalah ekonomi: pasien menjadi tulang pungggung perekonomian keluarga

141
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
 Masalah keluarga: tidak akur dengan adik iparnya sehingga pasien tidak betah
di rumah dan lebih senang tinggal di rumah orang tuanya. Selain itu pasien
juga ingin menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya (hanya kakak no 3
yang tahu) sehingga dukungan keluarga terhadap penyakit pasien kurang
 Masalah dengan lingkungan: karena sering terlihat ketakutan dan menjerit-
jerit pasien dijuluki si stress oleh keluarganya.

VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I : Skizoafektif tipe campuran terkontrol obat
DD/ Gangguan Afektif bipolar dengan gejala psikotik episode kini
Remisi (dalam pengobatan)
Skizofrenia paranoid terkontrol obat
Aksis II : tidak ada diagnosis.
Aksis III : penyakit jantung, hipertensi, CTS, TTS, riwayat vertigo
Aksis IV : masalah ekonomi, keluarga, dan lingkungan
Aksis V : GAF Current : 90
GAF Highest Level Past Year : 55
IX. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap perjalanan penyakit pasien:
 Wanita
 Onset pada usia dewasa
 Adanya pengetahuan pasien untuk berobat
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan yang sama
 Adanya gejala gangguan mood (diagnosis skizoafektif)
 Pasien sudah menikah
 Respon terhadap pengobatan baik
 Lama setiap episode kurang dari sebulan (karena pengobatan)
 Sikap pasien yang kooperatif
Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap perjalanan penyakit pasien :
 Gangguan berulang
 Onsetnya tersembunyi (insidious)
 Dukungan yang kurang dari keluarga (hanya ibu dan kakak kandungnya)
 Masalah ekonomi yang dapat membuat pasien tidak teratur minum obat

X. FORMULASI PSIKODINAMIK
Gangguan psikiatri dapat terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan adaptasi
antara faktor biologis, sosiokultural, dan psikologis. Psikodinamika adalah suatu pendekatan
konseptual yang memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi energi psikis,
yang berlangsung intra- maupun inter-individual.

142
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Berdasarkan definisi tersebut, psikodinamika berusaha mempelajari struktur
(kepribadian), kekuatan (dorongan), gerakan (aksi), pertumbuhan dan perkembangan, serta
maksud dan tujuan dari fenomena patologik yang ada pada seseorang. Psikodinamika
menganggap bahwa gejala-gejala psikosis yang dialami pasien terjadi akibat konflik yang
dialaminya.
Freud berpendapat bahwa skizofrenia terjadi akibat fiksasi dalam perkembangan
kepribadian dan adanya defek ego. Karena kedua hal tersebut, seseorang akan mengalami
regresi ke tingkat di mana terjadi fiksasi apabila ia mengalami konflik atau kejadian yang
signifikan dalam hidupnya.
Skizofrenia digambarkan oleh Freud sebagai keadaan pecahnya objek dari emosi
dari pikiran, ide, atau seseorang, dan sebuah regresi yang merupakan respon terhadap frustasi
atau konflik terhadap orang lain. Pada berulangnya kasus pasien ini karena tidak ada pekerjaan
sehingga pasien merasa putus asa.
Onset dari gejala-gejala skizofrenia biasanya mulai muncul pada fase kehidupan
adolesence, di mana pada saat ini seorang remaja membutuhkan ego yang kuat untuk berfungsi
secara bebas, terlepas dari orang tua, untuk mengidentifikasi tugas, untuk mengkontrol insting-
insting dasar, dan untuk menyeimbangkan diri dengan stimulasi eksternal yang intense. Gejala
psikotik muncul pada pasien ketika usia dewasa tepat setelah masa adolescense.
Teori psikoanalisis lain mengatakan bahwa setiap gejala psikosis memiliki makna
simbolik bagi pasien. Halusinasi timbul akibat ketidakmampuan pasien dalam menghadapi
kenyataan objektif dan menggambarkan ketakutan atau keinginan pasien yang terpendam.
Sedangkan waham merupakan upaya-upaya regresif untuk menciptakan suatu realita yang baru
atau untuk mengekspresikan ketakutan atau impuls yang tersembunyi.
Pada kasus ini, gejala-gejala psikosis yang dialami pasien (dalam hal ini berupa
antara lain halusinasi anditorik yang bersifat commanding dan commenting, halusinasi visual,
taktil, dan olfaktori serta adanya waham kejar. Pada pasien dengan gangguan psikotik,
mekanisme pertahanan yang digunakan biasanya berupa penyangkalan, proyeksi, regresi dan
distorsi (semuanya merupakan mekanisme pertahanan yang imatur).
Pasien dengan gangguan skizofrenia paranoid tidak pernah mendapatkan objek
secara konstan yang dicirikan sebagai suatu perasaan yang aman. Pasien skizofrenia
menemukan kesulitan untuk menangkap berbagai macam stimulus dan memfokuskan pada
satu stimulus pada saat yang bersamaan.
Pemahaman psikodinamik tentang depresi yang digambarkan oleh Sigmund Freud
dan telah diperluas oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan yang klasik tentang depresi.
teori tersebut terdiri dari empat, yaitu: (1) gangguan pada hubungan ibu-anak pada usia 10-18
bulan pertama kehidupan menjadikan seseorang lebih mudah untuk jatuh ke dalam depresi; (2)
depresi dapat merupakan perwujudan kehilangan suatu obyek; (3) introjeksi dari obyek yang
hilang tersebut adalah suatu mekanisme pertahanan yang dihubungkan dengan kehilangan
obyek tersebut; dan (4) sebab kehilangan obyek yang hilang tersebut merupakan campuran
dari rasa cinta dan rasa benci, sehingga kemarahan diarahkan pada diri sendiri.
Edward Bibring melihat depresi sebagai fenomena dimana seseorang menyadari
pertentangan antara ide-ide yang tinggi dan ketidakmampuan untuk mencapai tujuan-tujuan.
Edith Jacobson melihat depresi sebagai sesuatu yang tidak berbeda dengan anak yang lemah

143
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
dan tanpa pertolongan yang merupakan korban dari orangtuanya. Silvano Arieti
mengobservasi bahwa orang yang menderita depresi telah menjalani hidup mereka lebih
banyak untuk orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Depresi muncul ketika pasien
menyadari bahwa seseorang atau tempat dimana pasien tersebut hidup tidak akan pernah
memberikan respon atas apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini terlihat pada pasien, saat ia
dituduh tidak merawat mertuanya dan akhirnya meninggal pada tahun 1997 bersamaan dengan
kematian adik iparnya. Konsep depresi dari Heinz Kohut, diambil dari teorinya tentang self-
psychological, dimana suatu pribadi yang berkembang memiliki kebutuhan yang spesifik yang
harus disadari oleh orang tua untuk memberikan kepercayaan diri yang positif kepada
anaknya. Ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, akan terjadi kehilangan
kepercayaan diri yang sangat besar yang bermanifestasi sebagai depresi. John Bowlby
meyakini bahwa perpisahan yang traumatik pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi
untuk menjadi depresi.
Etiologi depresi pada pasien ini belum jelas. Namun beberapa faktor diduga
berpengaruh terhadap etiologi depresi. Faktor yang pertama yaitu faktor genetik. Meskipun
penyebab depresi secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran
terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila
suatu keluarga salah satu orangtuanya menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat
dan apabila kedua orangtuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat gangguan alam
perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali lipat. Tetapi pada pasien ini tidak
ditemukan riwayat gangguan yang sama dengan yang dialami pasien.
Faktor yang kedua adalah faktor sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status
perkawinan orangtua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orangtua,
perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam terjadinya
gangguan depresi. Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang lalu dan sebagai
kompensasinya pasien harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.
Sedangkan dalam fungsi keluarga yang, suami sebagai kepala keluarga yang berperan utama
sebagai tulang punggung keluarga bukan istri. Hal ini dapat menjadi faktor terjadinya depresi
pada pasien karena harus menanggung beban berat sendiri.
Faktor yang terakhir diduga berpengaruh dalam terjadinya gangguan depresi yaitu
faktor biologis. Dua hipotesis yang menonjol mengenai mekanisme gangguan alam perasaan
terfokus pada: terganggunya regulator sistem monoamin-neurotransmiter, termasuk
norepinefrin dan serotonin (5-hidroxytriptamine). Hipotesis lain menyatakan bahwa depresi
yang terjadi erat hubungannya dengan perubahan keseimbangan adrenergik-asetilkolin yang
ditandai dengan meningkatnya kolinergik, sementara dopamin secara fungsional menurun.
Banyak teori psikodinamik tentang manik menyatakan bahwa manik merupakan
sebuah defensi melawan depresi. Karl Abraham percaya bahwa manik terjadi sebagai refleksi
dari ketidakmampuan untuk mentoleransi suatu tragedi yang sedang berkembang. Manik juga
dikatakan sebagai hasil dari superego triannikal, yang tidak dapat menerima kritikan padanya
dan digantikan dengan kepuasan euforianya. Klein juga menyatakan hal yang serupa dengan
Karl dimana pada seseorang dengan manik akan berkembang waham kebesaran. Pasien
mengetahui betul bahwa sedang sulit dalam masalah keuangan dan setiap ada keuntungan
pasien harus memikirkan alokasi pemanfaatan uang yang didapat. Untuk kebutuhan makan

144
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
sekeluarga, memenuhi permintaan anak bungsunya untuk dibelikan sepeda, dan menambah
modal usahanya. Tekanan pemikiran ini diduga menyebabkan depresi pada pasien dan ternyata
defensi pasien justru timbul manik dengan mentraktir tetangganya.

XI. RENCANA TERAPI


A. Psikofarmaka
 Risperidon (per oral) 2x3 mg
 Asam valproat (per oral) 3x 250 mg, setelah makan
B. Psikoterapi
Dilakukan melalui:
a. Psikoterapi suportif
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta terapi kelompok
b. Psikoterapi reedukatif
Terhadap Pasien
 Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai penyakit yang
dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-faktor penyebab, pengobatan,
komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum
obat dan segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian hari
 Memotivasi pasien untuk berobat teratur
 Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah ataupun akan marah
sehingga diharapkan pasien dapat mengontrol marahnya dan mengemukakan
amarahnya dengan cara yang lebih halus.
Terhadap Keluarga
 Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien, gejala, faktor-faktor
pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian
hari.
 Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu penyakit pasien saat
ini adalah keluarga pasien yang mengabaikan pasien
 Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat setelah sakit agar pasien
dapat mengalami remisi.
c. Terapi kognitif perilaku
Dilakukan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan memperbaiki distorsi
kognitif.

XII. DISKUSI
Menurut DSM IV diagnosis Skizoafektif dapat ditegakkan apabila terdapat:
2. Pada saat episode yang sama, terdapat episode depresi dan atau manik yang bersamaan
engan gejala pada kriteria A untuk skizofrenia yakni:
Gejala karakteristik : 2 atau lebih dari gejala muncul dalam waktu yang signifikan selama
1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati)
a. Waham
b. Halusinasi
c. Disorganisasi dalam berbicara (inkoherensi, dll)

145
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
d. Perilaku disorganized, katatonik
e. Gejala negatif yaitu afek yang mendatar,dll
Bila waham yang terdapat pada pasien adalah waham aneh atau halusinasi yang bersifat
commenting maka 1 gejala sudah dapat memenuhi.
3. Selama periode sakit (episode), terdapat waham atau halusinasi setidaknya minimal 2
minggu dimana tidak ada gejala gangguan mood/afektif yang berarti
4. Gejala yang memenuhi kriteria episode gangguan mood jelas terjadi pada bagian dari
total durasi periode aktif dan residual dari penyakit
5. Gangguan ini terjadi bukan karena efek langsung dari zat psikoatif ataupun penyakit
sistemik tertentu.
Pada pasien ditemukan halusinasi auditori yang bersifat commenting, commanding,
dan waham kejar selama lebih dari satu bulan (gejala yang mereda bila mengkonsumsi obat)..
Gejala gangguan mood/afektif pada pasien ditemukan gejala depresi dan manik dengan sifat
rapid cycling yakni terjadi perubahan dari manik dan depresi dari hari ke hari bahkan jam ke
jam. Gejala depresi pasien terlihat jelas dari episode-episode yang ada, dimana hampir setiap
gejala depresi akan diikuti dengan gejala psikotik. Untuk manik, tidak seperti gejala
depresinya, manik yang terjadi tidak selalu diikuti oleh gejala psikotik. Terkadang gejala
psikotik saja yang jelas dalam satu episode tanpa ada gejala depresi maupun manik. Dari
anamnesis juga tidak didapatkan keterangan penggunaan zat psikoaktif, alkohol, rokok,
maupun penyakit sistemik yang berkaitan dengan gangguan psikiatri. Dengan demikian gejala-
gejala pada pasien sudah memenuhi kriteria skizoafektif menurut DSM IV. Karena didapatkan
gejala depresi dan manik pada perjalanan penyakitnya dan pada saat kunjungan poli terakhir
(anamnesis dan pemeriksaan status mental) tidak ada keluhan lagi sehingga diagnosis
lengkapnya menjadi skizoafektif tipe campuran terkontrol obat. Untuk kasus (terutama riwayat
perjalan penyakitnya, bukan keadaan sekarang) ini perlu didiagnosis banding dengan
gangguan afektif bipolar disertai gejala psikotik dan skizofrenia paranoid.
Untuk skizofrenia paranoid, dapat disingkirkan dengan adanya gejala afek yang
menonjol pada pasien. Namun masih perlu dipikirkan terjadi superimposed atau concomitant
antara skizofrenia paranoid dengan gejala depresi. Hal ini dapat dipikirkan karena terdapat
beberapa episode depresif terjadi setelah gejala psikotik halusinasi auditorik yang
menyuruhnya bunuh diri ataupun commenting pasien.
Gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding
terkuat, terutama gangguan afektif bipolar tipe II. Gejala depresi pada pasien bervariasi dari
depresi ringan, sedang, hingga berat. Hal ini terlihat jelas pada perjalanan penyakit depresinya
yang dari sekedar membuat disabilitas fungsi ringan hingga adanya perasaan ingin mengakhiri
hidupnya (berat). Akan tetapi, efek dari depresi yang banyak terjadi cenderung ringan-sedang
dan adanya usaha bunuh diri lebih disebabkan gejala psikotik halusinasi auditoriknya bukan
langsung dari depresinya.
Untuk gejala manik yang segera timbul setelah minum calsetin, tidaklah suatu
manik karena antidepresan. Hal ini kemungkinan suatu episode manik murni. Dalam
kepustaakaan, efek primer dari antidepresan baru ada setelah 2-4 minggu pemakaian. Dari
keterangan pasien, selama ia minum obat calsetin pasien merasakan gejala manik. Diduga

146
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
manik saat 2 minggu pertama pemakaian calsetin adalah manik murni sedangkan minggu-
minggu selanjutnya manik murni tersalut oleh efek samping antidepresan.
Dalam awal perjalanan penyakitnya pasien kemungkinan mengalami depresi berat
dengan gejala psikotik. Namun, depresi yang tidak berat terkadang diikuti dengan gejala
psikotik. Gejala psikotik tidak selalu bersama gejala depresi dan saat itu pasien mengalami
skizoafektif tipe depresif. Dalam 2 tahun ini, pasien juga mengalami episode manik selain
gejala depresi dan psikotiknya. Sehingga diagnosis pasien menjadi skizoafektif tipe campuran.
Terapi pada pasien terdiri dari psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang
diberikan berupa risperidon obat anti psikosis atipikal dari golongan benzisoxazole. Obat ini
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah
terhadap reseptor dopamin (D2), α1 dan α2 adrenergik, serta histamin. Dengan demikian obat
ini efektif baik untuk gejala positif (waham, halusinasi), maupun gejala negatif (upaya pasien
yang menarik diri dari lingkungan). Risperidon dimetabolisme di hati dan diekskresi di urin.
Dengan demikian perlu diadakan pengawan terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon
ditoleransi dengan baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal sangat minimal
dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis anjurannya adalah 2-6 mg/hari. Pada pasien ini
diberikan dosis 2x3 mg/hari karena pada dosis yang lebih rendah 2x2 mg pasien tidak
merasakan manfaatnya.
Pemberian asam valproat ditujukan untuk mengatasi gangguan mood/afektifnya
pasien yakni depresi dan manik. Asam valproat diindikasikan pada gangguan afektif bipolar
(kombinasi dengan litium) dan skizoafektif. Obat ini lebih efektif pada rapid cycling yang
terjadi pada pasien dibandingkan litium sehingga dijadikan pilihan utama pada gangguan
afektif dengan ciri rapid cycling . Pembuktian terakhir menndapatkan bahwa asam valproat
lebih efektif menangani episode depresi dibandingkan litium dan karbamazepin. Mekanisme
keefektivitasannya dalam gangguan psikiatri masih belum diketahui. Obat ini dimetabolisme
oleh hati melalui sistim beta-oksidasi, glukuronidasi, dan sitokrom P450. Adapun efek
samping yang sering terjadi antara lain gangguan gastrointestinal, hati (hepatitis), darah
(trombositopenia), dan saraf (ataksia, tremor). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan
fungsi hati dan hematologi secara berkala.
Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif, psikoterapi
reedukatif, dan terapi kognitif-perilaku. Psikoterapi suportif bertujuan untuk memperkuat
mekanisme defens (pertahanan) pasien terhadap stres. Hal ini dilakukan mengingat toleransi
(kemampuan) pasien mengahadapi stres (tekanan, kecewa, frustasi) rendah. Selain itu pasien
mudah marah (merasa emosi, ingin memukul, menghancurkan barang) bila ada masalah.
Adanya percobaan bunuh diri beberapa kali juga semakin memprkuat kenyataan bahwa perlu
diadakannya terapi untuk meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan menghadapi
masalah.
Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan insight (pengetahuan pasien)
terhadap penyakitnya serta mengembangkan kemampuannya untuk menunjang penyembuhan
dirinya. Selain itu juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung kesembuhan
pasien. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan edukasi baik terhadap pasien maupun
keluarga.

147
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
CSL 6 | 2019
Keluarga pasien saat ini belum mengetahui penyakit pasien. Adalah hak pasien
untuk tidak memberitahukan keadaan ini terhadap keluarga. Namun sudah menjadi tanggung
jawab kita sebagai dokter untuk memberikan informasi apa saja keuntungan yang didapat bila
keluarga turut berperan serta sebagai care giver yang menunjang kesembuhan pasien. Adapun
materi yang dapat diberikan pada keluarga adalah informasi mengenai penyakit pasien, gejala,
faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian
hari. Perlu pula dijelaskan bahwa dukungan moral sangat dibutuhkan oleh pasien. Dengan
demikian sebaiknya keluarga tidak mengucilkan dan menjatuhkan mental pasien dengan
menganggapnya ‖orang yang stress‖.
Selain psikoterapi di atas dapat dilakukan pula terapi kognitif perilaku. Terapi ini
bertujuan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif.
Prognosis Quo ad vitam pasien adalah bonam. Karena pasien sudah tidak lagi merasakan
halusinasi yang pernah menyuruhnya untuk bunuh diri. Quo ad functionam bonam karena
pasien masih dapat menjalankan fungsinya misal merawat diri, mengurus rumah tangga, dan
berdagang dengan baik. Quo ad sanactionam dubia ad bonam. Gangguan yang ada beberapa
waktu terakhir ini sudah cenderung berkurang dari segi kualitas maupun kuantitias dan pasien
sudah dapat mengatasinya dengan relaksasi dan CBT).

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan


dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
1993.
2. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical
Psychiatry. 9th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
3. Maslim R. Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Jakarta : PT Nuh Jaya.
1996.
4. Birnkrant J, Carlsen A. Crash course Psychiatry: The Psychotic Disorders and The Mood
disorders. In: Horton-Szar D, editor. U.K ed. China: Mosby Elsevier Inc.2007.
5. Albers J L, Hahn RK, Reist C. Handbook of Psychiatric Drugs. 2005 edition. Current
Clinical Strategies Publishing. Diunduh dari: www.ccspublishing.com/ccs pada tanggal
30 Januari 2009.

148
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019

Anda mungkin juga menyukai