Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

Disartria et causa Hemiparesis Dextra et causa Non Hemorrhagic Stroke

Disusun oleh :
IIN FADHILAH UTAMI T. C111 14 043
JOSE REAGEN DE NARCO C111 13 547
ADNAN NAUFAL C111 14 006
AHMAD FAJRI C111 13 527

Supervisor :

dr. Anshory Sahlan, Sp.KFR.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

IIN FADHILAH UTAMI T. C111 14 043


JOSE REAGEN DE NARCO C111 13 547
ADNAN NAUFAL C111 14 006
AHMAD FAJRI C111 13 527
Judul Laporan Kasus : Disartria et Hemiparesis Dextra et causa Non Hemorrhagic
Stroke

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Kedokteran

Fisik dan Rehabilitas Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 31 Januari 2018

Supervisor

dr. Anshory Sahlan, Sp.KFR.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB 1 LAPORAN KASUS ........................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ................................................................................................ 14

2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 14

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .................................................................. 15

2.4 Patofisiologi ....................................................................................... 15

2.5 Tanda dan Gejala ................................................................................ 17

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang .............................................. 18

2.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 19

2.8 Prognosis ............................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 38

3
BAB 1

LAPORAN KASUS

I. Data Identitas Pasien (21 Januari 2018)

 Nama : Ny. HD

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Umur : 44 tahun

 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

 Agama : Islam

 Suku : Bugis

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Bicara pelo

Riwayat Penyakit

 Bicara pelo dilami secara tiba-tiba 6 hari yang lalu (15 Januari 2018) ketika baru

bangun tidur pagi tanpa disertai demam dan kejang.

 Saat kejadian tidak ada muntah, nyeri kepala, pingsan, trauma kepala yang menyertai

dan tekanan darah tidak diketahui saat kejadian.

 Terdapat lemah separuh badan sebelah kanan. Kelopak mata kanan tampak ptosis

(parese N. VII sentral) dan pasien tersedak saat menelan (parese N. XII sentral).

 Terdapat riwayat serangan stroke yang pertama pada tahun 2016. Riwayat hipertensi

dan DM sejak satu tahun yang lalu.

 Buang air kecil normal, buang air besar normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu

 DM : (+)

 HT : (+)

4
Pemeriksaan Fisis

STATUS UMUM

 Compos Mentis (E4M6V5), Dependent ambulation, Gait : Hemiplegic gait, Postur :

Normal, Right handed.

 Tanda-tanda vital : BP : 140/80 mmHg, HR :84 x/mnt, RR : 22 x/mnt, T: 36,5 C

 Head & Neck : Dalam batas normal

 Thorax : Cor : Dalam batas normal

Pulmo : Dalam batas normal

 Abdomen : Liver/Spleen : Impalpable

 Extremitas : Dalam batas normal

Pemeriksaan Muskuloskeletal

ROM MMT
Cervical
Flexion Full (0-450) 5
Extension Full (0-450) 5
Lateral Flexion Full/Full (0-450) 5/5
Rotation Full/Full (0-600) 5/5
Trunk
Flexion Full (0-800) 5
Extension Full (0-300) 5
Lateral Flexion Full/Full (0-350) 5/5
Rotation Full/Full (0-450) 5/5
Shoulder
Flexion Full/Terbatas (0-1800) 4/5
Extension Full/Terbatas (0-600) 4/5
Abduction Full/Terbatas (0-1800) 4/5
Adduction Full/Terbatas (0-450) 4/5
Ext. Rotation Full/Terbatas (0-700) 4/5
Int. Rotation Full/Terbatas (0-900) 4/5
Elbow
Flexion Full/Terbatas (0-1350) 4/5
Extention Full/Terbatas (135-00) 4/5
Forearm Supination Full/Terbatas (0-900) 4/5

5
Forearm Pronation Full/Terbatas (0-900) 4/5
Wrist
Flexion Full/Terbatas (0-800) 4/5
Extension Full/Terbatas (0-700) 4/5
Radial Deviation Full/Terbatas (0-200) 4/5
Ulnar Deviation Full/Terbatas (0-350) 4/5
Fingers
Flexion
MCP Full/Terbatas (0-900) 4/5
PIP Full/Terbatas (0-1000) 4/5
DIP Full/Terbatas (0-900) 4/5
Extension Full/Terbatas (0-300) 4/5
Abduction Full/Terbatas (0-200) 4/5
Adduction Full/Terbatas (200-00) 4/5
Thumbs
Flexion
MCP Full/Terbatas (0-900) 4/5
IP Full/Terbatas (0-800) 4/5
Extension Full/Terbatas (0-300) 4/5
Abduction Full/Terbatas (0-700) 4/5
Adduction Full/Terbatas (50-00) 4/5
Opposition Full/Terbatas 4/5
Hip
Flexion Full/Terbatas (0-1200) 4/5
Extension Full/Terbatas (0-300) 4/5
Abduction Full/Terbatas (0-450) 4/5
Adduction Full/Terbatas (0-200) 4/5
Ext. Rotation Full/Terbatas (0-450) 4/5
Int. Rotation Full/Terbatas (0-450) 4/5
Knee
Flexion Full/Full (0-1350) 4/5
Extension Full/Full (135-00) 4/5
Ankle
Plantar Flexion Full/Full (0-200) 4/5
Dorsi Flexion Full/Full (0-500) 4/5
Inversion Full/Full (0-1500) 4/5
Eversion Full/Full (0-350) 4/5
Toes
Flexion
MTP Full/Full (0-300) 4/5
IP Full/Full (0-500) 4/5
Extension Full/Full (0-800) 4/5

6
Big Toe
Flexion
MTP Full/Full (0-250) 4/5
IP Full/Full (0-250) 4/5
Extension Full/Full (0-800) 4/5

Pemeriksaan Neurologis

 Rangsang meningeal : Kaku kuduk : negatif

Kernig sign : negatif / negatif

 Nervus craniales :

Nervus Pemeriksaan Kesan

NI Penghidu Normal

N II Penglihatan dekat Normal

Penglihatan jauh Normal

Lapangan penglihatan Normal

Fundoskopi Normal

Penglihatan warna Normal

N III/IV/VI Isokor / anisokor Isokor

Reflex cahaya langsung +/+

Reflex cahaya tak langsung +/+

Ptosis Ptosis oculi dextra

NV Sensibilitas N V I Normal
NV2 Normal
NV3 Normal

Reflex dagu Normal

Reflex kornea Normal

N VII Motorik Tidak bisa mengangkat alis sebelah


kanan, tidak bisa menutup mata sebelah

7
kanan, dan mulut mencong ke kanan

Sensorik 2/3 lidah bagian Tidak ada


depan
N VIII Pendengaran Normal

Fungsi vestibularis Normal

N IX/X Inpeksi posisi arcus pharynx Normal

Reflex menelan Normal

Reflex muntah Normal

Sensorik 1/3 lidah bagian Normal


depan
Suara Normal

N XI Memalingkan kepala Normal


dengan tahanan
N XII Lidah deviasi Ke kanan

Fasikulasi Negatif

Atropi Negatif

Kesan: Parese Nervus VII, XII dextra UMN

 DTRs : BPR ↑/↑ KPR ↑/↑

TPR ↑/↑ APR ↑/↑

MMT
4 5

4 5
Tonus
↓ N

↓ N

 Refleks Patologis : Oppenheim : (+)/(-) Rosolimo : (-)/(+)

 Defisit sensoris : Normal

 Otonom: BAB dan BAK normal

8
 Sitting balance : dbw

 Sit to stand : Fair

 Standing balance : ↓↓

 Romberg test (+)

 Gait: Wide base, lateral sling (↑)

A: Hemiparese dextra + disartria ec NHS 2nd attack

Radiologi:

Foto CT Scan kepala tanpa kontras irisan axial:

Interpretasi:

9
 Tampak multiple lesi hipodens (12 HU) pada crus posterior kapsula interna sinistra

dan nukleus lenticularis sinistra

 Sulci dan gyri dalam batas normal

 Midline tidak shift

 Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid dalam batas normal

 Pons, CPA, cerebellum dalam batas normal

 Kalsifikasi pineal body dan plexus choroideus bilateral

 Perselubungan (43 HU) pada sinus maxillaris bilateral, sinus paranasalis lainnya dan

air cell mastoid yang terscan dalam batas normalTulang-tulang yang terscan intak.

Kesan: Multiple infark cerebri sinistra dan Sinusitis maxillaris bilateral

Diagnosis : Disartria et Hemipatese Dextra et causa Non Hemorrhagic stroke (2nd attack)

Diagnosis Fungsional :

 Impairment : lemah badan sebelah kanan

 Disability : kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari

 Handicap :-

R1 (Ambulansi) : Sulit berjalan et causa Hemiparese dextra et causa Infark Cerebri

R2 (ADL) : Ketergantungan sedang

R3 (Komunikasi) : Bicara pelo

R4 (Psikologis) : Cemas

R5 (Vokasional) : Terganggu melakukan pekerjaan sebagai IRT

R6 (Sosial Ekonomi) : Terbatas mengikuti kegiatan social, Tidak ada masalah ekonomi

R7 (Lain-lain) :-

10
Skala Morse: 45 (Resiko jatuh sedang)

No. Resiko SKALA NILAI


Tidak 0 0
1. Riwayat jatuh: apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir?
Ya 25
Diagnosa sekunder: apakah lansia memiliki lebih dari satu Tidak 0 15
2.
penyakit? Ya 15
Alat Bantu jalan:
0
- Bed rest/ dibantu perawat 0
3.
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar (kursi, lemari, meja) 30
Tidak 0 20
4. Terapi Intravena: apakah saat ini lansia terpasang infus?
Ya 20
Gaya berjalan/ cara berpindah:
0
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak sendiri) 10
5.
- Lemah (tidak bertenaga) 10
- Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret) 20
Status Mental
6. 0 0
- Lansia menyadari kondisi dirinya
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15
Total Skor 45

Barthel Index: 9 (Ketergantungan sedang)

No. Fungsi Keterangan (skor) Skor

1. Mengendalikan Tak terkenadli/tak teratur (0) 1


rangsang defekasi Kadang-kadang tak terkendali (1)
Mandiri (2)
2. Mengendalikan Tak terkendali (0) 1
rangsang berkemih Kadang tak terkendali (1)
Mandir (2)
3. Membersihkan diri Butuh pertolongan orang lain (0) 0
(seka muka, sisir Mandiri (1)
rambut, sikat gigi)
4. Penggunaan Tergantung pertolongan orang lain (0) 0
jamban, masuk dan Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan
keluar tetapi dapat mengerjakan sendiri kegiatan
lain (1)
5. Makan Tidak mampu (0) 1
Perlu ditolong memotong makanan (1)
Mandiri (2)
6. Berubah sikap dari Tidak mampu (0) 2
berbaring ke duduk Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk

11
(1)
Bantuan minimal 2 orang (2)
Mandiri (3)
7. Berpindah/berjalan Tidak mampu (0) 2
Bisa pindah dengan kursi (1)
Berjalan dengan bantuan 1 orang (2)
Mandiri (3)
8. Memakai baju Tergantung orang lain (0) 1
Sebagian dibantu (1)
Mandiri (2)
9. Naik turun tangga Tidak mampu (0) 1
Butuh pertolongan (1)
Mandiri (2)
10. Mandi Tergantung (0) 0
Mandiri (1)

Daftar Masalah

 Surgical : -

 Medical : - Infark cerebri sinistra

Perencanaan

 Perencanaan diagnostik : -

 Perencanaan terapi :

 Terapi Wicara :

 Oral motor stimulation

 Strengthening Tongue

 Latihan Artikulasi

 Latihan fisioterapi :

 Breathing exercise

 ROM exercise

 Reedukasi Motorik Anggota Gerak Atas

 Sit to stand exercise

12
 Standing Balance exercise

 Gait training

 Oral motor stimulation

 Perencanaan pengawasan : ADL (Activity Daily Living)

 Perencanaan edukasi : Fisioterapi dilakukan di ruangan, edukasi kepada

keluarga menggerakkan extremitas untuk mencegah kontraktur serta dekubitus.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infark Serebri


2.1.1 Definisi

Pertama kali yang terjadi jika otak mengalami kekurangan aliran darah adalah
iskemik, yang mana terjadi kehilangan fungsi yang reversible. Selain itu, jika berkurangnya
aliran darah otak yang berat atau lama, akan mengakibatkan infark dengan kematian sel otak
yang permanen.6 Infark serebri adalah kematian neuron-neuron, sel glia dan sistem pembuluh
darah yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dan nutrisi. Berdasarkan penyebabnya infark
dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Infark anoksik, disebabkan dari kekurangan oksigen, walaupun aliran darahnya
normal, misalnya asfiksia.
2. Infark hipoglikemik, terjadi bila kadar glukosa darah di bawah batas kritis untuk
waktu yang lama, misalnya koma hipoglikemik.
3.
Infark iskemik, terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan berkurangnya aliran
oksigen dan nutrisi.5

Figure 1. Diffusion-weighted image (DWI) showing a large right middle cerebral artery infarction
(left) and the corresponding magentic resonance angiogram (right) demonstrating that the vessel is
occluded at its proximal portion. The DWI bright signal changes are evident well before alterations
are seen in the CT or MRI.2

14
2.1.2 Epidemiologi

Menurut Warlow, dari penelitian pada populasi masyarakat infark aterotrombotik


merupakan penyebab stroke paling sering terjadi, yaitu ditemukan pada 50% penderita
aterotrombotik bervariasi antara 14-40%. Infark aterotrombotik terjadi akibat adanya proses
aterotrobotik pada arteri ekstra dan intrakranial.7

2.1.3 Etiologi
Disamping emboli, infark iskemik disebabkan oleh (a) aterotrombotik aortokranial,
(b) hipotensi berat dalam waktu lama, (c) vasospasme yang dapat disebabkan oleh migren,
ensefalopati hipertensif, atau pecahnya aneurisma intrakranial. Penyebab yang lebih jarang
adalah arteritis, kompresi otak dengan iskemia sekunder, oklusi vena, atau abnormalitas di
dalam darah.5

Dua penyebab utama dari infark serebri ini, yaitu thrombosis dan emboli.

- Trombosis serebri
Banyak kasus infark serebri terjadi setelah thrombosis dan oklusi pembuluh darah yang
mengalami aterosklerotik. Thrombosis serebri terjadi pada individu yang mempunyai satu
atau lebih faktor risiko yang mempercepat timbulnya aterosklerosis. Penyakit ini juga terjadi
sebagai komplikasi penyakit lain, contohnya arteritis pada arteri serebri (servikal) atau
kelainan koagulasi.

- Emboli serebri

Emboli serebri umumnya terjadi pada arteri serebri media. Emboli yang berasal dari
atau melewati jantung mempunyai kemungkinan besar masuk ke arteri karotis komunis
daripada arteri vertebralis. Emboli pada arteri karotis komunis cenderung masuk ke arteri
karotis interna dan terus masuk ke arteri serebri media yang merupakan cabang paling besar
dari arteri karotis interna dan secara anatomik merupakan kelanjutan dari arteri karotis
interna tersebut.8

2.1.4 Patofisiologi
Sekitar 80% kasus dari kasus stroke disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah.
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus pada

15
ateromatous plaque pada bifurkasi dari arteri karotis.9 Hal tersebut berhubungan erat dengan
aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriosklerosis.
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara:4
a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan
aterom
c. Terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.4
Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan
hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Jika anoksia ini berlanjut
sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami
kerusakan ireversibel hingga nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan
permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang.9
Edem glia akan timbul disekitar daerah iskemi, karena berlebihannya H+ dari asidosis
laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang timbul dalam
empat hari pertama sesudah stroke. Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis
mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup.
Daerah ini disebut dengan iskemik penumbra.4

Gambar 2. Iskemik penumbra 10


Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan
(baik karena infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan
mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan

16
membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran sel neuron
di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan
membuka kanal kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks kalsium yang
mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamat,
yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron disekitarnya, sehingga terjadilah
lingkaran setan.11
Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged
oxygen molecules (seperti nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul lemak
didalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium.11

2.1.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis yang paling umum adalah defisit neurologik yang progresif.
Pemburukan situasi secara bertahap terjadi pada sepertiga jumlah penderita., duapertiga
lainnya muncul sebagai transient ischemic attack (TIA) yang kemudian berkembang mejadi
defisit neurologik menetap.5
Defisit neurologik pada infark otak biasanya mencapai maksimum dalam 24 jam
pertama. Usia lanjut, hipertensi, koma, komplikasi kardiorespirasi, hipoksia, hiperkapnia, dan
hiperventilasi neurogenik merupakan faktor prognosis yang tidak menggembirakan. Infark di
wilayah arteri serebri media dapat menimbulkan edema masif dengan herniasi otak; hal
demikian ini biasanya terjadi dalam waktu 72 jam pertama pasca-infark.5
Gambaran klinis utama yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah otak dapat
dihubungkan dengan tanda serta gejala di bawah ini :
1. Arteri vertebralis 4
a. Hemiplegi alternan
b. Hemiplegi ataksik
2. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior ; gejala-gejalanya biasanya unilateral). Lokasi
lesi yang paling sering adalah pada bifurkasio arteria karotis komunis menjadi arteria
karotis interna dan eksterna. Gejala-gejala yaitu 4:
e. Buta mutlak sisi ipsilateral
f. Hemiparese kontralateral
3. Arteri Basilaris 4
a. Tetraplegi
b. Gangguan kesadaran
c. Gangguan pupil

17
d. Kebutaan
e. Vertigo

4. Arteria serebri anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau)12


a. Kelemahan kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal
mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai terganggu.
b. Gangguan sensorik kontralateral.
c. Demensia, refleks mencengkeram dan refleks patologis
5. Arteria serebri posterior (dalam lobus mesencepalon atau talamus)12
a. Koma.
b. Hemiparesis kontralateral.
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia).
d. Kelumpuhan saraf otak ketiga – hemianopsia, koreoatetosis.
6. Arteria serebri media12
a. Monoparesis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai tangan).
b. Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).
c. Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena) ; gangguan semua fungsi
yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.
d. Disfagia.

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
1. Penemuan klinis
- Anamnesis :
a. Terutama terjadinya keluhan / gejala defisit neurologi yang mendadak
b. Tanpa trauma kepala
c. Adanya faktor resiko GPDO
- Pemeriksaan Fisik
a. Adanya defisit neurologi fokal
b. Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
c. Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya
d. Pemeriksaan penunjang
- Stroke dengan oklusi pembuluh darah dapat dilakukan pemeriksaan :

18
1. CT Scan dan MRI

Gambar 3. CT Scan Stroke iskemik


Untuk menetapkan secara pasti letak dan kausa dari stroke. CT scan menunjukkan
gambaran hipodens.

2. Ekokardiografi
Pada dugaan adanya tromboemboli kardiak (transtorakal, atau transesofageal)
3. Ultrasound scan arteri karotis
Bila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini dipakai prinsip doppler
untuk menghasilkan continuous wave untuk mendeteksi derajat stenosis secara
akurat, serta juga pulsed ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner
(duplex scan)
4. Intra arterial digital substraction angiografi
Bila pada ultrasound scan terdapat stenosis berat
5. Transcranial Doppler
Dapat untuk melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah yang
tersumbat
6. Pemeriksaan darah lengkap
Perlu untuk mencari kelainan pada cairan darah sendiri. 4

2.1.7. Penatalaksanaan
Pengobatan secara umum
1. Pertahankan saluran pernafasan yang baik
2. Pertahankan tekanan darah yang cukup, untuk itu evaluasi fungsi jantung dan organ
vital lain

19
3. Pertahankan milieu intern, yaitu kualitas darah cairan dan elektrolit, protein darah,
dan keseimbangan asam basa yang baik
4. Pertahankan bladder dan rectum
5. Hindarkan berlangsungnya febris, dan pemakaian glukosa dalam nutrisi parenteral. 9

Pengobatan pada infark otak


1. Tahap akut
Dua kesempatan yang harus dimanfaatkan yaitu jendela reperfusi dan jendela terapi
(therapeutic window).5 Apabila sasaran dari terapi stroke akut adalah daerah inti dari
iskemi yaitu daerah dimana neuron mengalami kekurangan oksigen dan depat mati, maka
hanya terapi yang cepat dan efektif yang dapat mengembalikan sumbaan aliran darah dan
meningkatkan aliran sebelum sel mengalami rusak yang ireversibel. Pada daerah
penumbra iskemik, aliran darah secara bertahap menurun. Daerah penumbra merupakan
sasaran terapi yang menjanjikan karena periode jendela terapi yang beberapa jam.13
1. Memberi aliran darah kembali pada bagian otak tersebut. 9,13
a. Membuka sumbatan
Trombolisis dengan streptokinase atau urikinase, keduanya merubah sirkulasi
plasminogen menjadi plasmin. Jadi timbul systemic lytic state, serta dapat
menimbulkan bahaya infark hemoragik
Fibrinolisis local dengan tissue plasminogen activator, disini hanya terjadi
fibrinolisis local yang amat singkat.

b. Menghilangkan vasokonstriksi
Calcium channel blocker, agar diberikan dalam 3 jam pertama dan belum ada
edema otak (GCS >12)
c. Mengurangi viskositas darah
Hemodilusi; mengubah hemoreologi darah : pentoxyfilin
d. Menambah pengiriman oksigen
Perfluorocarbon, oksigen hiperbarik
e. Mengurangi edema : Manitol
2. Mencegah kerusakan sel yang iskemik.9,13
a. Mengurangi kebutuhan oksigen: hipotermi, barbiturat
b. Menghambat pelepasan glutamat, dengan merangsang reseptor adenosine
dari neuron; mengurangi produksi glutamate dengan methionin

20
c. Mengurangi akibat glutamate
NMDA blocker pada iskemia regional
AMPA blocker pada iskemia global yang sering disertai asidosis
d. Inhibisi enzim yang keluar dari neuron seperti enzim protein kinase C
yang melarutkan membrane sel dapat diinhibisi dengan ganglioside GM1
e. Menetralisir radikal bebas dengan vitamin C, vitamin E, superoxide
dismutase seperti 2-1 aminosteroid (lazeroid) akan memperpanjang half
life dari endothelial derived relaxing factor.
f. Mengurangi produksi laktat : turunkan gula darah sampai normal
g. Mengurangi efek brain endorphine : naloxone
3. Memulihkan sel yang masih baik
Metabolic activator seperti citicholin, piracetam, piritinol bekerja dalam bidang ini
4. Menghilangkan sedapat mungkin semua faktor resiko yang ada
5. Pengobatan penyebab stroke
6. Kalau terbentuk trombus pada aliran darah cepat, dan trombus ini melewati permukan
kasar seperti plaque arteria maka akan terbentuk white clot (gumpalan platelet dengan
fibrin). Obat yang bermanfaat adalah aspirin untuk mengurangi agregasi platelet
ditambah tiklodipin untuk mengurangi daya pelekatan dari fibrin. Memberi aliran
darah kembali pada bagian otak tersebut. 9,13
f. Membuka sumbatan
Trombolisis dengan streptokinase atau urikinase, keduanya merubah sirkulasi
plasminogen menjadi plasmin. Jadi timbul systemic lytic state, serta dapat
menimbulkan bahaya infark hemoragik
Fibrinolisis local dengan tissue plasminogen activator, disini hanya terjadi
fibrinolisis local yang amat singkat.
g. Menghilangkan vasokonstriksi
Calcium channel blocker, agar diberikan dalam 3 jam pertama dan belum ada
edema otak (GCS >12)
h. Mengurangi viskositas darah
Hemodilusi; mengubah hemoreologi darah : pentoxyfilin
i. Menambah pengiriman oksigen
Perfluorocarbon, oksigen hiperbarik
j. Mengurangi edema : Manitol

21
2. Fase Pasca Akut
Pengobatan dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita, dan
pencegahan terulangnya stroke.4
o Rehabilitasi Upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan
mental dengan fisioterapi, terapi wicara dan psikoterapi.4
o Prinsip dasar rehabilitasi:11
 Mulailah rehabilitasi sedini mungkin
 Harus sistematik
 Meningkat secara bertahap
 Pakailah bentuk rehabilitasi yang spesifik untuk defisit penderita
o Terapi preventif
Pencegahan Primer, untuk mencegah terjadinya ateroma, yaitu:11
 Mengatur tekanan darah baik sistoli maupun diastolik
 Mengurangi makan asam lemak jenuh
 Berhenti merokok
 Minum aspirin dua hari sekali, 300 mg/hari, pada :
o Individu dengan anamnesis keluarga dengan penyakit vaskuler
o Umur lebih dari 50 tahun
o Tidak ada ulkus lambung
o Tidak ada penyakit mudah berdarah
o Tidak ada alergi aspirin
o Penggunaan aspirin setelah mengalami TIA, dapat mengurangi
kematian dan dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.3
o Pencegahan sekunder
Hipertensi diturunkan melalui:11
 Minum obat anti hipertensi
 Mengurangi berat badan
 Mengurangi natrium dan menaikkan kalium
 Olahraga
 Jangan minum amfetamin
 Turunkan kadar kolesterol yang meningkat
 Mengurangi natrium makanan dan meningkatkan intake kalium
melalui sayur dan buah-buahan
 Mengurangi obesitas

22
 Mengurangi minum alkohol
 Mengurangi isap rokok
 Mengurangi kadar gula darah pada penderita DM.
 Mengontrol penyakit jantung
 Olahraga
 Mengurangi hematokrit kalau meningkat
Mengurangi trombositosis dengan aspirin.

Evaluasi Penderita Stroke


Skala-skala yang digunakan untuk melihat kemajuan penderita stroke adalah Mathew
scale dan Canadian scale.
(1) Mathew scale
Skala ini digunakan di Eropa. Yang diperiksa adalah :
 Mentation : kesadaran, orientasi, bicara (speech)
 Saraf cranial
 Kemampuan motorik
 Kemampuan sensibilitas
 Disability
(2) Canadian scale
Skala ini terutama digunakan di Amerika. Lebih sederhana dan lebih mudah
digunakan, karena hanya memeriksa apa yang penting pada penderita stroke, yaitu :
 Mental : kesadaran, orientasi, bicara (speech)
 Fungsi motorik
Penderita yang akan keluar dari rumah sakit, harus diperiksa dengan menggunakan
Barthel Index. Yang dinilai adalah :
 Apakah penderita dapat bangun dari tempat tidur dan berjalan ke WC.
 Apakah penderita dapat mengenakan pakaian.
 Apakah penderita dapat memakai perhiasan/make up (untuk wanita), atau
mencukur jenggot (untuk laki-laki).
 Apakah penderita dapat mandi sendiri.
 Apakah penderita dapat makan.
 Apakah penderita dapat berjalan.
 Apakah penderita dapat naik tangga.
Di Indonesia yang paling sulit adalah mandi sendiri dan naik tangga. 11

23
2.8. Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke
Tujuan rehabilitasi stroke adalah lebih ke arah meningkatkan kemampuan
fungsionalnya daripada ke arah memperbaiki defisit neurologisnya, atau mengusahakan agar
penderita sejauh mungkin dapat memanfaatkan kemampuan sisanya untuk mengisi kehidupan
secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi dengan baik.9

Menurut definisi WHO, jelaslah bahwa yang ditanggulangi rehabilitasi medik adalah
problem fisik dan psikis. Untuk mengatasi problem fisik yang berperan adalah program
fisioterapi dan terapi okupasi. Keduanya sebetulnya mempunyai kesamaan dalam sasaran,
dengan sedikit perbedaan bahwa terapi okupasi juga melatih aktivitas kehidupan sehari-hari
dan melakukan prevokasional untuk mengarahkan pasien pada latihan kerja bila terpaksa alih
pekerjaan.10

a. Gait

Siklus Berjalan (Gait Cycle) merupakan suatu rangkaian fungsional dengan adanya
gerakan pada satu anggota badan (Extremitas Inferior). Hal ini berlangsung sejak kaki
kanan menginjak lantai hingga kaki kanan mneginjak lantai kembali (Irfan, 2010).

Dalam satu Siklus berjalan (Gait Cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu fase menapak (Stance
phase) dan fase mengayun (Swing Phase). Menurut Christoper et al. (1999), fase
stance 60% dan fase Swing 40% dimana setiap fase memiliki tahapan masing-masing:

1. Stance Phase

a. Initial Contact (interval: 0-2%)

Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai. Initial contact merupakan
awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri
gerakan ini, menentukan pola loading response.

Fase ini merupakan moment seluruh centre of gravity berada pada tingkat terendah
dan seseorang berada pada tingkat yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah
yang lain juga menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance.

24
Menyentuhnya tumit dengan lantai, memberikan bayangan yang mengindikasikan
bahwa tungkai akan bergerak, sedang tungkai yang lain berada pada akhir terminal
stance.

b. Loading Response (interval: 0-10%)

Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan dengan
menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain mengangkat untuk
mengayun.

Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee
fleksi sebagai shock absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki
depan menyentuh lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase
preswing

c. Midstance (interval: 10-30%)

Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk awalan gerakannya, kaki
mengangkat dan dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain
dengan lurus. Saat ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak
ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan mulai
bergerak menuju fase mid-swing.

d. Terminal stance (interval: 30-50%)


Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai dengan mengangkat
tumit dan dilanjutkan sampai kaki memijak tanah. Keseluruhan pada fase ini berat
badan berpindah ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan
akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal
swing.

Pada fase Terminal stance, centre of gravity berada di depan kaki yang menapak jadi
tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle.

e. Preswing (interval: 50-60%)


Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double stance pada siklus
berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan

25
diakhiri toe-off pada anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi
plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang
sama anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response. Menyentuhnya
anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double
support.

Swing Phase
a. Initial swing (interval: 60-73%)

Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase mengayun. Diawali dengan
mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari
kaki yang menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik
menjadi fleksi dan ankle pada setengah dorsalfleksi. Pada saat yang sama, sisi
kontralateral bersiap pada mid stance.

b. Mid swing (interval: 73-87%)

Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah
yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai
mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan
knee bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle dorsifleksi
menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase
midstance.

c. Terminal swing (interval: 87-100%)

Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki memijakkan
lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip
mempertahankan fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota
gerak bawah yang lain berada pasa fase terminal stance.

b. Gait Post Stroke

26
Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguan- gangguan yang bersifat
fungsional. Kelemahan ekstremitas sesisi, kontrol tubuh yang buruk serta ketidakstabilan
pola berjalan merupakan aspek- aspek pada pasien post stroke yang tak terpisahkan.

Pola jalan penderita stroke antara lain:

1. Fase menapak (stance phase)

a. Terbatasnya fleksi hip dan dorsifleksi ankle


b. Terbatasnya kontrol fleksi-ekstensi lutut pada lingkup gerak sendi 0-15
derajat (dapat berubah hiperekstensi lutut atau fleksi lutut yang berlebih)
c. Terlalu besarnya terbatasnya geseran horizontal pelvis
d. Terbatasnya plantar fleksi ankle saat toe off
e. Terlalu besarnya gerakan pada sisi sehta berupa pelvis tilt ke atah bawah dan
geseran horizontal lateral kea rah sakit

Gambar: Fase menapak pada


pasien post stroke (Sumber:
Jones, 1996)

2. Fase mengayun (swing phase)

a. Terbatasnya fleksi lutut saat akan mengayun


b. Terbatasnya fleksi hip
c. Terbatasnya ekstensi lutut dan dorsofleksi

Gambar. Fase mengayun pada pasien


stroke. Sumber: Jones, 1996

27
b. ROM excercise

Latihan Range of Motion (ROM) merupakan sebuah teknik dasar yang


digunakan untuk pemeriksaan gerak dan sebagai permulaan program intervensi
terapeutik (Kisner dan Colby, 2007). Range of Motion (ROM) merupakan tindakan
atau latihan otot atau persendian yang diberikan kepada pasien yang mengalami
kterbatasan mobilitas sendi karena penyakit, disabilitas, atau trauma. Terdapat tiga
tipe latihan ROM yaitu (Kisner dan Colby, 2007).

1. Passive ROM (PROM)

Passive ROM (PROM) adalah sebuah gerakan dimana energi yang digunakan berasal
dari luar, sehingga tidak ada kontraksi otot secara volunter. Sumber energi dapat
berasal dari grafitasi, mesin, orang lain, ataupun bagian tubuh lain dari pasien itu
sendiri.

Tujuan dari PROM adalah: 1) Untuk menjaga fisiologis dari sendi dan jaringan ikat;
2) Mencegah kontraktur karena imobilisasi; 3) Menjaga elastisitas sendi; 4)
Membantu sirkulasi dan vascular dynamic; 5) Membantu pergerakan cairan sinovial
untuk nutrisi kartilago; 6) Mengurangi nyeri.

2. Aktive ROM (AROM)

Aktive ROM (AROM) adalah gerakan sebuah segmen dimana tenaganya berasal dari
kontraksi otot-otot penggerak segmen tersebut. Manfaat dari AROM adalah: 1)
Menjaga sifat fisiologis, elastisitas, dan kontraktilitas dari otot; 2) Memberikan
sensory feedback dari kontraksi otot; 3) Memberikan stimulus untuk integritas tulang
danjaringan; 4) Meningkatkan sirkulasi dan mencegah adanya trombus; 5)
Meningkatkan koordinasi dan kemampuan motorik untuk aktivitas fungsional.

3. Aktive-Assistive ROM (A-AROM)

28
Aktive-Assistive ROM (A-AROM) merupakan salah satu jenis AROM dimana otot
penggerak mengalami kelemahan sehingga memerlukan bantuan bantuan untuk dapat
melakukan gerakan. Bantuan dapat berasal dari orang lain, mesin, ataupun bagian lain
dari tubuh pasien sendiri.

Program rehabilitasi medik pada penderita stroke11

1. Fase Awal
Tujuannya adalah mencegah komplikasi sekunder dan melindungifungsi yang
tersisa.Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaaan umum memungkinkan
dimulainya rehabilitasi.Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning,
latihan lingkup gerak sendi (LGS), stimulasi elektrikal dan setelah penderita sadar
dimulai penanganan emosional.

Tahap – tahap rehabilitasi secara fisik sebagai berikut :12

 Bed Positioning

Miring ke sisi yang lumpuh Miring ke sisi yang sehat

29
Berbaring terlentang

 Latihan Lingkup Gerak Sendi

Menekuk dan meluruskan sendi Menekuk dan meluruskan sendi

siku bahu

Gerakan memutar pergelangan tangan Menekuk dan meluruskan jari- jari


tangan

30
Menekuk dan meluruskan pergelangan Gerakan memutar ibu jari tangan

tangan

Menekuk dan meluruskan pangkal Menekuk dan meluruskan lutut

paha

Gerakan untuk pangkal paha Gerakan memutar pergelangan kaki

31
Latihan gerak aktif

2. Fase Lanjutan
Tujuannya untuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi
dan aktivitas sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara
medik telah stabil.Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik
mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke.Penderita dengan perdarahan
subarachnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini
meliputi:

a. Fisioterapi
i. Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 ke
bawah)
ii. Diberikan terapi panas superfisial
iii. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif tergantung dari
kekuatan otot
iv. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot
v. Latihan fasilitasi atau redukasi otot
vi. Latihan mobilisasi bertahap.
Gait training (latihan berjalan)
b. Okupasi Terapi

32
Sebagian besar penderita stroke mencapai kemandirian dalam AKS,
meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ektremitas yang terkena belum
tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu
tangan secara mandiri dapat dikerjakan, kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.

c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering menagalami gangguan bicara dan komunikasi.
Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:

i. Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas, menelan,


meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
ii. Latihan di depan cermin untuk melatih gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
iii. Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
iv. Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam
membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunkan antara
lain: tripod, walker, danwheel chair.

e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui
serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase peyesuaian dan fase
penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat,
sedangkan sebagian lain mengalami secara lambat, berhenti pada satu fase, bahkan
kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang
sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.

f. Sosial Medik
Pekerjaan sosial medik dapat memulai pekerjaan dengan wawancara keluarga,
keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta
keadaan rumah penderita.

33
2.1.8. Prognosis
Pilihnya fungsi neural dapat terjadi 2 minggu pasca-infark dan pada akhir minggu ke 8
akan dicapai pemulihan maksimum. Kematian meliputi 20% dalam satu bulan pertama.
Kemungkinan untuk hidup jelas lebih baik pada kasus infark otak daripada perdarahan.
Tetapi kecacatan akan lebih berat pada infark otak karena perdarahan akan mengalami
resolusi dan meninggalkan jaringan otak dalam keadaan utuh. Sementara itu infark
merusak neuron-neuron yang terkena.5

2.2. Parese Nervus VII dan XII


2.2.1 Parese Nervus VII
a. Anatomi Nervus Fasialis
Nervus fasialis atau saraf otak ke VII tersusun dari dua bagian yaitu saraf motorik dan
saraf sensorik yang sering disebut dengan saraf intermedius. Inti motorik yang merupakan
penyusun utama saraf fasialis terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar
di bagian lateral pons, sedangkan saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons. Kedua
saraf ini kemudian bersatu membentuk berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan
terus menuju os mastoid. Setelah melewati os mastoid kedua saraf keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah.

Namun selain mensyarafi otot-otot ekspresi wajah, saraf fasialis juga membawa
serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan selaput mukosa rongga mulut dan
hidung, menghantar berbagai jenis sensasi, termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah
gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah.

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae
(n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung,
sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.

34
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

b. Perbedaan Parese N. VII Sentral dan N. VII Perifer


Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah. Inti bagian
atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi otot wajah bagian
bawah. Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi kontralateral dari korteks
somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah
korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di
korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot
wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena
lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.

Gambar 1. Perbedaan parese N. VII sentral dextra dan N. VII perifer dextra

2.2.2 Parese Nervus XII


Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping bagian
dorsal fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medulla oblongata. Radiksnya

35
melintasi substansia retikularis di samping fasikulus longitudinalis medialis, lemniskus
medialis dan bagian medial piramis. Nervus XII muncul pada permukaan ventral dan melalui
kanalis hipoglosus ia keluar dari tengkorak, lalu turun ke bawah melalui tulang hioid. Dari
daerah tersebut ia membelok ke medial dan menuju ke lidah. Dalam perjalanan tersebut,
nervus XII melewati arteria karotis interna dan eksterna, dan terletak dibawah otot digastrikus
dan stilohiodeus.
Otot-otot lidah yang menggerakkan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus,
genioglosus, longitudinalis inferior dan longitudinalis superior. Mereka semua dipersarafi
nervus hipoglosus (Nervus XII). Kontraksi otot stiloglosus mengerakkan lidah keatas dan ke
belakang. Jika otot genioglosus berkontraksi, lidah keluar dan menuju ke bawah. Kedua otot
longitudinal memendekkan dan mengangkat lidah bagian garis tengah. Dan otot hipoglosus
menarik lidah ke belakang dan ke bawah.
Parese nervus hipoglosus adalah gangguan fungsi motorik akibat adanya lesi jaringan
saraf pada nervus hipoglosus. Parese nervus hipoglosus dapat disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
1. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
2. Meningitis basalis tuberkulosa atau luetika.
3. Fraktur basis kranii (atau traksi pada nervus hipoglosus pada trauma kapitis).
4. Siringobulbi.
5. Infeksi retrofaringeal.
Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan memperlihatkan gejala di sisi pipi lateral:
1. Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang menjadi longgar dab berkeriput.
Mungkin pula akan tampak fibrilasi pada otot-otot lidah yang atrofis.
2. Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah itu memperlihatkan deviasi
ke sisi yang sakit. Deviasi ujung lidah ke sisi yang sakit timbul karena kontraksi M.
genioglussus di sisi kontralateral (bila M. genioglossus kanan dan kiri berkontraksi dan
kedua otot itu sama kuatnya, maka lidah itu akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu otot
adalah lebih lemah dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi dari ujung lidah ke sisi
otot yang lumpuh).
3. Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu mencong ke sisi yang sehat.
Keadaan ini timbul karena tonus otot-otot lidah di sisi yang sehat adalah melebihi tonus
otot-otot lidah di sisi yang sakit.
4. Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit misalnya akan tampak ada sisa-
sisa makanan di antara pipi dan gigi-geligi.

36
5. Karena lidah berperanan dalam mekanisme menelan dan artikulasi, maka gejala-gejala
kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus berupa sukar menelan dan bicara pelo.
Nervus hipoglosus mungkin mengalami lesi sendiri-sendiri terlepas daripada yang
lainnya, tetapi dapat pula mengalami gangguan bersama, misalnya parese nervus hipoglosus,
parese nervus asesorius, parese nervus vagus, dan parese nervus glosofaringeus. Dalam hal
yang terakhir ini akan timbul bermacam-macam sindrom, yaitu:
1. Sindrom bulbar
Pada sindrom bulbar akan tampak paralisis nervus hipoglosus, nervus asesorius, nervus
vagus, dan nervus glosofaringeus. Hal ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma
anaplastik dari nasofaring, (2) meningitis tuberculosa atau luetika, (3) fraktur basis kranii
(atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis).
2. Sindrom foramen jugulare
Pada sindrom foramen jugularis tampak paralysis dari nervus glosofaringeus, nervus
vagus dan nervus asesorius (nervus hipoglosus dalam keadaan baik) Sindrom ini dapat
ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) fraktur basis kranii
(atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis), (3) meningitis tuberculosa atau luetika,
(4) periflebitis/trombosis dari vena jugularis.
3. Sindrom spasium parafaringeum
Pada sindrom ini tampak kelumpuhan dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan
nervus hipoglosus. Di samping itu akan tampak sindrom Horner’s di sisi yang sakit. Sindrom
spasmium parafaringeal dapat timbul pada: (1) abses retrofaringeal, (2) abses peritonsiler.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta, hal:269-70
2. Ropper AH and Brown RH. 2005. Adam’s and Victor Principles of Neurology. Eight Edition.
McGraw-Hill Medical Publishing Divission: New York, pp 660-63.
3. Gubitz G, Sandercock P. Extracts from clinical evidence.Acute ischemic stroke. BMJ 2000;
320: 692-6
4. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. 2005. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology edisi kedua editor Harsono. Gadjah
Mada university press, Yogyakarta. Hal 81-102
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis editor
Harsono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 71-78.
6. Wilkinson I, Graham L. 2005. Essential Neurology. Fourth Edition. Main Street, Malden,
Massachusetts, USA: Blackwell Publishing Ltd, pp 25-6.
7. Warlow CP. 1997. Stroke a Practical Guide management.1st ed. Blackwell science, pp. 190-
202.
8. Gilroy J. 2000. Cerebrovasculer Disease. In: Basic Neurology. 3rd ed. International edition.
McGraw-Hill Health Professional Division: New York, pp. 225-278.
9. Widjaja, L 1993. Stroke patofisiologi dan penatalaksanaan. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf
FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.Hal 1-48.
10. Gonzales RG. Imaging-guided acute ischemic stroke theraphy: from time is brain to
physiology is brain. AJNR Am J Neuroradiol 2006; 27: 728-35.
11. Chandra, B. 1994. Stroke dalam nurology Klinik Edisi Revisi. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf
FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Hal 28-51.
12. Prince, A. Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular dalam patofisiologi
edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 1105-1130
13. Heiss WD, Thiel A, Grond M, Graf R. Which targets are relevant for therapy of acute
ischemic stroke. Stroke 1999; 30: 1486-9.
14. Sidharta Priguna, DR Prof dan Mardjono Mahar, DR Prof. 2008. Neurologi Klinis
Dasar. Penerbit Dian Rakyat: Jakarta

38

Anda mungkin juga menyukai