Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Non Hemoragic Stroke

Disusun oleh:

 Riski Fitriani C111 13 093

 A. Siti Kahfiah Mukhlis C111 13 109

 Hazmi Azizaturrohmi C111 13 118

 Farid Djafar C111 13 363

Supervisor

dr. Husnul Mubarak Sp. KFR

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI


MEDIK
KEPANITERAAN KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama/NIM :

1. Riski Fitriani C111 13 093


2. Andi Siti Kahfiah M. C111 13 109
3. Hazmi Azizaturrohmi C111 13 118
4. Farid Djafar C111 13 363
Judul Laporan Kasus :Non Hemoragic Stroke

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Makassar, 8 Mei 2017

Supervisor,

dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul................................................................................................. i

Halaman Pengesahan.......................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................. iii

Ringkasan Kasus................................................................................................ 1

Data pasien..................................................................................................... 1

Keluhan utama................................................................................................ 1

Anamnesis terpimpin...................................................................................... 1

Riwayat penyakit terdahulu............................................................................ 1

Pemeriksaan fisik........................................................................................... 1

Pemeriksaan musculoskeletal......................................................................... 2

Pemeriksaan neurologis.................................................................................. 3

Pemeriksaan radiologi.................................................................................... 4

Diagnosis........................................................................................................ 5

Diagnosis fungsional...................................................................................... 5

Perencanaan.................................................................................................... 5

Tinjauan Pustaka................................................................................................. 6

Definisi........................................................................................................... 6

Klasifikasi....................................................................................................... 6

Etiologi........................................................................................................... 6

Patofisiologi.................................................................................................... 7

Manifestasi Klinis........................................................................................... 9

Pemeriksaan.................................................................................................... 10

Diagnosis Banding......................................................................................... 12

Penatalaksanaan.............................................................................................. 14

Daftar Pustaka..................................................................................................... 24

iii
Non Hemoragic Stroke

Data Pasien

Nama : Laomo

Tanggal lahir : 31 Desember 1931

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan :-

Alamat : Rappang, Kab. Sidrap

Ruangan : 434 (Lantai 4 RSUH)

No. RM : 04.52.02

Keluhan Utama

Lemah separuh badan (sebelah kanan)

Anamnesis Terpimpin

Dialami sejak ±20 jam yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Secara tiba-tiba saat
sedang beristirahat di rumah, pasien tiba-tiba tidak bisa bicara, susah mengikuti
perintah, riwayat nyeri kepala kadang-kadang muncul, mual muntah tidak ada. Saat ini
pasien mengalami kesulitan saat membuka mulut dan tersedak saat makan.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Riwayat Hipertensi (+) , berobat teratur;

Riwayat trauma (-) , Riwayat DM (-) , Riwayat PJK (-)

Pemeriksaan Fisis

STATUS UMUM

 Somnolen, Independent transfer, Gait : tidak dapat dinilai, Postur : tidak dapat
dinilai, Left handed
 BP : 160/90 mmHg, HR :80 x/mnt, T : 37,0 oC, RR : 20 x/mnt

4
 Head & Neck : Konjungtiva anemis tidak ada
 Thorax : Cor : Bunyi jantung I/II
Pulmo : ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
 Abdomen : Liver/Spleen tidak teraba, nyeri tekan tidak ada
 Extremitas :
Extremitas Atas : Dalam batas normal
Extremitas Bawah : Dalam batas normal

Pemeriksaan Muskuloskeletal

ROM MMT
Cervical
Flexion Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Extension Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Lateral Flexion Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Rotation Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Trunk
Flexion Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Extension Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Lateral Flexion Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Rotation Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Shoulder
Flexion Full/Full (0-1800) 0/5-
Extension Full/Full (0-600) 0/5-
Abduction Full/Full (0-1800) 0/5-
Adduction Full/Full (0-450) 0/5-
Ext. Rotation Full/Full (0-700) 0/5-
Int. Rotation Full/Full (0-900) 0/5-
Elbow
Flexion Full/Full (0-1350) 0/5-
Extention Full/Full (135-00) 0/5-
Forearm Supination Full/Full (0-900) 0/5-
Forearm Pronation Full/Full (0-900) 0/5-
Wrist
Flexion Full/Full (0-800) 0/5-
Extension Full/Full (0-700) 0/5-
Radial Deviation Full/Full (0-200) 0/5-
Ulnar Deviation Full/Full (0-350) 0/5-
Fingers
Flexion

5
MCP Full/Full (0-900) 0/5-
PIP Full/Full (0-1000) 0/5-
DIP Full/Full (0-900) 0/5-
Extension Full/Full (0-300) 0/5-
Abduction Full/Full (0-200) 0/5-
Adduction Full/Full (200-00) 0/5-
Thumbs
Flexion
MCP Full/Full (0-900) 0/5-
IP Full/Full (0-800) 0/5-
Extension Full/Full (0-300) 0/5-
Abduction Full/Full (0-700) 0/5-
Adduction Full/Full (50-00) 0/5-
Opposition Full 0/5-
Hip
Flexion Full/Full (0-1200) 0/5-
Extension Full/Full (0-300) 0/5-
Abduction Full/Full (0-450) 0/5-
Adduction Full/Full (0-200) 0/5-
Ext. Rotation Full/Full (0-450) 0/5-
Int. Rotation Full/Full (0-450) 0/5-
Knee
Flexion Full/Full (0-1350) 0/5-
Extension Full/Full (135-00) 0/5-
Ankle
Plantar Flexion Full/Full (0-200) 0/5-
Dorsi Flexion Full/Full (0-500) 0/5-
Inversion Full/Full (0-1500) 0/5-
Eversion Full/Full (0-350) 0/5-
Toes
Flexion
MTP Full/Full (0-300) 0/5-
IP Full/Full (0-500) 0/5-
Extension Full/Full (0-800) 0/5-
Big Toe
Flexion
MTP Full/Full (0-250) 0/5-
IP Full/Full (0-250) 0/5-
Extension Full/Full (0-800) 0/5-

6
Pemeriksaan Neurologis

 DTRs : BPR - /++ KPR - /++


TPR - /++ APR -/++
 Refleks Patologis : Hoffman-Tromner : (-)/(-)
Babinski : (+)/(-)

 Defisit sensoris : (-)

Pemeriksaan Radiologi

7
Pemeriksaan neurologi yang dilakukan adalah MSCT Kepala dengan kesan adanya
infark cerebri sinistra, poreencephaly dextra, dan atrofi cerebri.

Diagnosis

- Hemiplegia dextra + afasia global e.c NHS

- Pneumonia + suspek disphagia

Diagnosis Fungsional

Impairment : - kelumpuhan pada tubuh bagian kanan

- infark cerebri sinistra regio temporal

- poreencephaly pada regio parietotemporal dextra

- atrofi cerebri

- Hipertensi

Disability : kesulitan untuk tidur miring ke kiri, duduk, dan berdiri.

Handicap: -

Perencanaan

- Turning/2 jam
- FT (setiap hari)
1. Electrical stimulation AGA/AGB (dekstra)
2. Pnom exercise
3. IRR
4. Latihan transfer aktif
- OT :
1. Latihan ADL Dasar
2. Latihan kognitif
- ST :
1. Latihan disfasia
2. Latihan disphagia
3. Latihan stimulasi oral motor

8
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah
otak (GPDO) yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit neurologik
atau kelumpuhan saraf pusat baik fokal (maupun global) yang berkembang cepat
( dalam detik atau menit) dan bukan merupakan akibat dari tumor, trauma, maupun
infeksi. Gejala-gejala tersebut berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan
kematian.1,2
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab kematian
nomor tiga di dunia. Dari seluruh kejadian stroke, dua pertiganya adalah iskemik dan
sepertiganya adalah hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia.2

2. Klasifikasi

Berdasarkan mekanisme vaskular yang menyebabkannya, stroke dapat dibagi


menjadi :

2.1. Stroke iskemik

Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktu terjadinya terdiri atas :

a. Transcient ischaemic attack (TIA)


Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit
b. Reversible ischaemic neurological Deficit (RIND)
Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 1 minggu.

2.2 Stroke hemoragik

a. Perdarahan intra serebral (PIS) : perdarahan primer yang berasala dari


pembuluh darah prmer dalam parenkim otak
b. Perdarahan subarachnoid (PSA) : keadaan terdapatnya atau masuknya
darah ke dalam ruangan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma,
AVM, atau sekunder dari PIS.

3. Etiologi

Stroke atau yang dikenal dengan istilah Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO),
merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada
salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak.

Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang seringkali
diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri. Dari seluruh
kejadian Stroke, 2/3 adalah ischemic dan 1/3 adalah hemorrhagic. Disebut Stroke

9
ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh thromboembolic yang
mengakibatkan daerah dibawah sumbatan tersebut mengalami ischemi. Hal ini sangat
berbeda dengan stroke Hemorrhagic yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang
pecah.

4. Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri
yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1). Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di
daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin
terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.

Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang
terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1)
keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis,
robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat
gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan
aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau
pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid.7

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang serupa
dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik
yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan
kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam.

10
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:

4.1 Stroke Iskemik

Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis


(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:

a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran


darah
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau perdarahan
aterom
c. Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak di
bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan yang
menyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana embolus berada.
Gejala kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat. Ketika arteri
tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area sistem saraf pusat
(SSP) yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak ada perdarahan kolateral
yang adekuat. Di sekitar zona nekrotik sentral, terdapat ‘penumbra iskemik’ yang
tetap viabel untuk suatu waktu, artinya fungsinya dapat pulih jika aliran darah baik
kembali. Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan karena dua alasan: Edema
sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia dan neuron yang rusak; Edema
vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat perombakan sawar darah-otak.
Edema otak dapat menyebabkan perburukan klinis yang berat beberapa hari setelah
stroke mayor, akibat peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi struktur-
struktur di sekitarnya8

4.2 Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke,
dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid
(PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme
lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-
zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau
subarakhnoid. Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling
sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah
satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya

11
perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal
yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang
dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna.

Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan dinding


aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di dalam dan di
luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang subarakhnoid dan
menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis.
Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat
melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat pertama
kali pecah, serta mengiritasi selaput otak7.

5. Manifestasi Klinis

5.1. Stroke Iskemik

Gejala klinis bergantung pada neuroanatomi dan vaskularisasinya. Gejala klinis


dan defisit neurologis yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi iskemik.

a. Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior : hemiparesis dan


hemihipestesis kontralateral yang terutama melibatkan tungkai.
b. Gangguan peredaran darah arteri serebri media: hemiparesis dan
hemihipestesis kontralateral yang terutama mengenai lengan disertai gangguan
fungsi luhur berupa afasia (bila mengenai area otak dominan) hemispacial
neglect ( bila mengenai area otak nondominan)
c. Gangguan peredaran darah arteri serebri posterior : hemianopsi homonim atau
kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai gangguan motorik maupun sensorik
Infark pada lobus temporalis media : gangguan daya ingat;
Infark pada korteks visual dominan dan spleinum korpus kalosum: aleksia
tanpa agrafia;
Infark pada korteks temporooksipital inferior : agnosia dan prosopagnosia
(ketidak mampuan mengenali wajah).
d. Gangguan peredaran darah batang otak: gangguan saraf kranial seperti disarti,
diplopia, dan vertigo ; gangguan serebral seperti ataksia atau kehilangan
keseimbangan ; atau penurunan kesadaran
e. Infark lakunar atau infark kecil : gangguan murni motorik atau sensorik tanpa
gangguan fungsi luhur.2

12
5.2 Stroke hemoragik

Untuk membedakan jenis perdarahan pada stroke hemoragik, terdapat beberapa


evaluasi mengenai gejala klinis yang dibutuhkan.2

N Gejala Klinis Perdarahan Perdarahan


O Intra serebral Subarachnoid (PSA)
(PIS)
1 Gejala defisit fokal berat Ringan
2 onset Menit/jam 1-2 menit
3 Nyeri kepala hebat Sangat hebat
4 Muntah pada awalnya sering Sering
5 hipertensi Hamper selalu Biasanya tidak
6 Kaku kuduk jarang Biasanya ada
7 Kesadaran Biasa hilang Bisa hilang sebentar
8 Hemiparesis Sering sejak Awal tidak ada
awal
9 Deviasi mata Bisa ada Jarang
10 likuor Sering berdarah Berdarah

6. Pemeriksaan
6.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu :
1) Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi, suhu, tekanan darah harus diukur
kanan dan kiri
2) Pemeriksaaan jantung paru
3) Pemeriksaan bruit karotis dan subklavia
4) Pemeriksaan abdomen
5) Pemeriksaan ekstremitas
6) Pemeriksaan neurologis
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur dengan menggunakan Glassgow
Coma Scale (GCS)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan
Brudzinski
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, IX/X, dan saraf kranialis lainnya
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks patologis
e. Sensorik
f. Tanda serebelar: dismetria, disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa, memori
dll)

13
h. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan pemeriksaan
refleks batang otak:
 Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral,
apneustik, ataksik
 Refleks cahaya (pupil)
 Refleks kornea
 Refleks muntah
 Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon)4

6.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mencari penyebab stroke dan mencegah
rekurensi dan pada pasien yang berat, mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perburukan fungsi sistem saraf pusat.1 Pemeriksaan pendukung
yang diperlukan dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat lanjut:
1. Pemeriksaan standar:
a. CT scan kepala (atau MRI)
b. EKG (elektrokardiografi)
c. Kadar gula darah
d. Elektrolit serum
e. Tes faal ginjal
f. Darah lengkap
g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
a. Foto toraks
b. Tes faal hati
c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
d. Toksikologi
e. Kadar alkohol dalam darah
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan subaraknoid)
g. TCD (transcranial Doppler)
h. EEG (elektro-ensefalografi)4

6.3 Pemeriksaan Radiologi


a. CT Scan
CT Scan otak yang dilakukan beberapa jam pertama setelah infark umumnya
tidak menunjukkan kelainan, dan infark mungkin tidak dapat dilihat dalam
24-48 jam. CT scandengan kontras meningkatkan spesifisitas dengan
menunjukkan peningkatan densitas zat kontras pada infark subakut dan dapat
menvisualisasikan struktur pembuluh darah. Modalitas ini disebut CT

14
Angiografi. Penyakit carotid dan oklusi vaskular intrakranial mudah dikenali
dengan metode ini. Pencitraan CT juga sensitif untuk mendeteksi perdarahan
subarachnoid dan CTAngiografi dapat dengan mudah mengidentifikasi
aneurisma intrakranial. Karena kecepatan dan ketersediaannya yang luas, CT
scan kepala nonkontras adalah modalitas pencitraan pilihan pada pasien
dengan stroke akut.3
b. MRI
MRI dapat memperlihatkan luas dan lokasi infark di semua area otak,
termasuk fossa posterior dan daerah korteks. MRI juga dapat
mengidentifikasi pendarahan intrakranial dan kelainan lainnya namun
kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi perdarahan akut. MR
angiografi sangat sensitif terhadap stenosis arteri karotis interna ekstra
kranial dan pembuluh darah intrakranial yang besar. MRI kurang sensitif
terhadap perdarahan akut daripada CT, lebih mahal, memakan waktu dan
kurang tersedia. Namun, MRI lebih jelas menentukan tingkat cedera jaringan
serta membedakan daerah infark baru dan daerah infark lama.3
c. Cerebral Angiography
Cerebral Angiography dengan x-ray konvensional adalah gold standard
untuk mengidentifikasi dan menghitung stenosis aterosklerotik arteri serebral
serta untuk mengidentifikasi dan melihat karakterisasi patologi lain,
termasuk aneurisma, vasospasme, trombi intraluminal, displasia
fibromuskular, fistula arteriovenosa, vaskulitis, dan saluran kolateral aliran
darah.3
d. Ultrasound technique
Stenosis pada arteri karotid interna dapat diidentifikasi dan diukur secara
dengan ultrasonografi yang menggabungkan gambar B-modeUSG dengan
penilaian ultrasonografi Doppler terhadap kecepatan aliran ("duplex”
unltrasound). Penilaian transkranial Doppler (TCD) terhadap aliran artei
cerebri media, artei cerebri anterior, dan artei cerebri posteriorserta aliran
vertebrobasilar juga berguna. Modalitas ini dapat mendeteksi lesi stenotik di
arteri intrakranial besar karena lesi semacam itu dapat meningkatkan
kecepatan aliran sistolik. Selanjutnya, TCD dapat membantu trombolisis dan
memperbaiki rekanalisasi arteri besar setelah pemberian rtPA.3
e. Perfusion technique
Kedua teknik xenon (terutama xenon-CT) dan PET dapat mengukur aliran
darah serebral. Alat ini umumnya digunakan untuk penelitian namun dapat
bermanfaat untuk menentukan signifikansi stenosis arteri dan perencanaan
untuk operasi revaskularisasi. Single-photon emission computed tomography
(SPECT) danMR perfusion techniquesmemperlihatkan aliran darah serebral
relatif.3

7. Diagnosis Banding

15
Membedakan stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat penting
untukpenatalaksanaan pasien.3Perbedaan antarastroke iskemik dan stroke hemoragik
yaitugejala klinis seperti sakit kepala dan muntah saat onset, perkembangan yang cepat
hingga koma, dan riwayat hipertensi mengarahkan pada adanya pendarahan di otak.
Seringkali, perbedaannya tidak begitu jelas karena onset tiba-tiba dari gangguan
neurologis fokal terjadi pada kedua proses tersebut.5
Ada beberapa kategori penyakit neurologis yang gangguan klinisnya mirip dengan
gangguan serebrovaskular. Pada migrain misalnya, tetapi hasil anamnesis biasanya
sudah dapat mengarahkan diagnosis. Kejang dapat diikuti oleh defisit fokal
berkepanjangan (Todd paralysis) namun jarang terjadi pada kejadian awal stroke.
Tumor, infeksi, inflamasi, degenerasi, dan defisiensi nutrisi tidak mungkin
bermanifestasi dengan sendirinya secara cepat, walaupun tumor otak primer atau
metastasis jarang menghasilkan defisit fokal dengan onset mendadak. Trauma terjadi
tiba-tiba tapi biasanya tidak menimbulkan masalah dalam mendiagnosis. Pada multiple
sclerosis dan penyakit demyelinatif lainnya, mungkin ada onset mendadak atau gejala
eksaserbasi akut, namun sebagian besar terjadi pada kelompok usia dan keadaan klinis
yang berbeda. Sebaliknya, timbulnya gejala gangguan serebral seperti stroke pada orang
dewasa muda harus selalu menimbulkan kecurigaan terhadap penyakit demyelinatif.
Stroke yang berkembang selama beberapa hari biasanya berlangsung bertahap, defisit
mengalami kenaikan secara tiba-tiba dari waktu ke waktu. Lambat, bertahap, menurun
dalam kurun waktu 2 minggu atau lebih mengindikasikan bahwa lesi ini mungkin bukan
vaskular melainkan neoplastik, demyelinatif, infeksius (abses) atau granulomatosa, atau
hematoma subdural.5
Beberapa kondisi yang sering dibingungkan dengan penyakit serebrovaskular.
Kondisi Miscellaneous yang kadang-kadang dianggap sebagai stroke adalah
migren,Bell’s palsy, serangan Stokes-Adams syncope, serangan vertigo labirin yang
parah,diabetic ophthalmoplegia,akut ulnar, radial, atau peroneal palsy, emboli ke
extremitas, dan arteritis temporal yang terkait dengan kebutaan.5
Tumor otak, terutama glioblastoma atau limfoma yang tumbuh cepat, dapat
menghasilkan hemiplegia yang parah dengan cepat. Juga, defisit neurologis yang
disebabkan oleh kanker metastasis ke cerebrum dapat berkembang dengan cepat,
hampir seperti kecepatan perkembangan gejala pada stroke. Selain itu, dalam kasus
tumor otak yang jarang terjadi, hemiplegia mungkin didahului oleh episode defisit
neurologis sementara, yang tidak dapat dibedakan dari TIA. Kehadiran tumor dan
pengaruhnya pada cerebrum mungkin menyulitkan pasien untuk mengartikulasikan
riwayat penyakitnya dengan jelas. Kurangnya informasi terperinci mungkin juga
bertanggung jawab atas kesalahan diagnostik, yaitu salah menilai stroke yang secara
perlahan berkembang (biasanya disebabkan oleh arteri karotis internal atau oklusi
basilar) sebagai tumor. Pemeriksaan CT scandan MRI dapat memastikan diagnosis.
Abses otak atau lesi nekrotik inflamasim misalnya herpes ensefalitis atau
toksoplasmosis juga dapat berkembang dengan cepat.5

16
Sebaliknya, manifestasi stroke tertentu mungkin salah diartikan sebagai bukti
adanya kelainan neurologis lainnya. Sakit kepala, gejala yang parah dapat dirasakan,
sering terjadi sebagai gejala prodromal dari stroke trombotik atau perdarahan
subarachnoid. Pengucapan mendesis, vertigo, muntah, atau gangguan keseimbangan
yang singkat akibat penyakit vaskular di batang otak dapat dianggap berasal dari
neuritis vestibular, penyakit Meniere, Stokes-Adams syncope, atau gastroenteritis.
Penjelasan rinci tentang serangan tersebut biasanya akan mencegah kesalahan diagnosis
ini. Monoplegia fokal mencolok yang berasal dari serebral yang menyebabkan hanya
kelemahan tangan atau lengan atau drop foot, tidak jarang salah didiagnosis sebagai
neuropati perifer atau plexopathy.5

8. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-and-trunk up) 20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah sakit layanan
sekunder
10. Menenangkan penderita4

Rencana Tindak Lanjut


1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes
d. Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik atau TIA.
Intensitas sedang dapat didefinisikan sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti
hingga berkeringat atau meningkatkan denyut jantung 1-3 kali perminggu

17
2. Mengontrol faktor risiko
a. Tekanan darah
b. Gula darah pada pasien DM
c. Kolesterol
d. Trigliserida
e. Jantung
3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet: asetosal, klopidogrel4

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak terjadi kekambuhan
atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.4

Kriteria Rujukan
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan diberikan
penanganan awal, segera mungkin harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, terkait dengan angka kecacatan dan
kematian yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap therapeutic window untuk
penatalaksanaan stroke akut sangat diutamakan.4

Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah :
a. Mencegah komplikasi imobilisasi lama seperti kontraktur, ulkus dekubitus,
pneumonia, komplikasi kandung kencing selama fase akut.
b. Mengajari kembali kemampuan melakukan aktifitas hidup sehari-hari seperti
makan, berpakaian, merawat diri, cebok, mandi.
c. Melatih kembali ambulasi atau berjalan
d. Membantu penderita kembali berintegrasi dengan lingkungannya6

18
Rehabilitasi harus segera dimulai setelah penderita mengalami serangan stroke.
Menurut „National Stroke Foundation 2005‟ yang dikeluarkan Pemerintah Australia
tentang “Clinical Guidelines for Stroke Rehabilitation and Recovery’, rehabilitasi
adalah proaktif dan dimulai pada hari pertama setelah serangan stroke. Rehabilitasi
dibagi menjadi dua fase yaitu fase awal dan fase lanjut6

1. Fase awal
Selama fase awal, mungkin dalam keadaan koma atau “shock‟, pengobatan
ditujukan untuk mempertahankan kehidupan dan mencegah komplikasi. Harus
dipastikan tidak ada gangguan jalan nafas dan masalah jantung.Penempatan posisi yang
benar penting untuk mencegah kontraktur dan ulkus dekubitus.6
Penempatan posisi seperti diatas bertujuan menghindari pola spastik pada
stroke.Pola spastik pada stroke adalah khas yaitu sendi bahu depresi dan endorotasi,
sendi siku fleksi, pergelangan tangan dan tangan fleksi.Sendi paha, lutut dan
pergelangan kaki lurus, kaki dan jari-jari kaki inversi. Penempatan posisi pada penderita
stroke mengikuti pola anti spastik yaitu bahu diabduksikan dan eksternal rotasi, siku
ekstensi, tangan dan jari-jari ekstensi dan ibu jari dioposisikan.Sendi paha, lutut dan
pergelangan kaki ditekuk sedikit.6
Latihan pasif terhadap sisi yang paralisis dapat dimulai 2-3 hari pasca serangan bila
penyebabnya adalah stroke infark.Bilap penyebabnya stroke perdarahan maka latihan
dimulai setelah 1 minggu.Latihan pasif ini dapat diajarkan ke keluarga atau
penderitanya sendiri bila sudah sadar.Latihan luas gerak sendi dikerjalan pada seluruh
sendi anggota gerak sisi yang sakit dan dikerjakan sehari 3 kali.Latihan untuk mencegah
terjadi kontraktur dan kekakuan sendi. Pada saat yang sama otot yang normal dapat
dilakukan latihan penguatan.6

2. Fase Lanjut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnyasudah stabil.Ketika
membaiknya kondisi, penderita diajari turun dari tempat tidur. Mula-mula penderita
diajari latihan duduk, rolling, bridging, transfer atau pindah tempat dari tempat tidur ke
kursi dan sebaliknya, dari kursi ke toilet dan sebaliknya, berjalan, naik turun tangga. 6

19
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
1) Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin
juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali
beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya
sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila
ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di
otak akan mengecil dan terlupakan.
2) Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional
daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan
meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–bagian dari otak, baik area lesi
maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang
dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi)
siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan
tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.
3) Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak
fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.
Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang
terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana
pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan
membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan
tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan
memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang diberikan harus
disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien. 9

20
4) Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai,
yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam
stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa
berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan
posisi duduk sementara batang tubuh dorong ke arah depan, belakang, ke sisi
kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi
sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas.
Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan
dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai
apabila pasien juga mampu melakukan aktifitas sambil berjalan. 9
5) Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan.
Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila
pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang
terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien
mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan
dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu
pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan
perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan
yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak
terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan
sesering mungkin. 9
6) Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat
dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui
kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses
belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada. 9

21
a) Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
Tirah baring lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena
stamina makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua anggota gerak
menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi lain. Selain itu pemulihan fungsional
mempunyai “periode emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada 3
bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak
boleh disia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan
durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan.
Berbagai komplikasi akibat tirah baring lama dapat timbul setelah stroke
 Pemendekan otot atau kontraktur sendi. Bila otot diam pada satu posisi
tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku pada
posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk kontraksi
memendek ataupun memanjang Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan
menjadi kering dan kaku.
 Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan. Setelah stroke akan
terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola sinergis fleksor atau
ekstensor
 Mencegah timbulnya nyeri. Lesi yang mengenai area talamus seringkali
menimbulkan nyeri yang disebut sebagai thalamic pain syndrome. 9
b) Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari setelah stroke
merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi
yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik menggunakan
berbagai metode terapi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis,
metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus
disesuaikan dengan kondisi medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru
efektif apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
 Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila ada,
maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.

22
 Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang
diberikan. 9
c) Gangguan komunikasi
1) Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan
menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada
mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
 kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)
 kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)
 kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)
 kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)
 menamakan
 meniru

Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian


aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita,
semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasaafasia bukan gangguan
pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan
dengan kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat.
Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara
simultan dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia
jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja
merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan
lebih bermanfaat.
2) Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal,
akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan
artikulasi.

23
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, antara lain untuk
memperbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara
dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan. 9

d) Gangguan fungsi luhur


Fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi
visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan
intaknya fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi,
konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan
serta pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya,
pemecahan masalah dan lain sebagainya.
Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur memerlukan rehabilitasi spesifik.
Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan fungsi
kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama.9
e) Gangguan menelan
Gangguan menelan atau yang biasa disebut disfagia merupakan gejala klinis
penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain
dehidrasi dan malnutrisi. Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan. Apabila pasien dicurigai dengan adanya gannguan menelan maka,
aktifias makan dan minum pasien per oral harus dihentikan. Pemeriksaan lanjutan
lainnya untuk pasien dengan gangguan menelan yakni VFSS (video fluorosgraphic
swallowstudy) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing) 9
f) Gangguan miksi dan defekasi
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan manajemen
waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan urine pada voiding diary selama
minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut dapat ditentukan
kapan pasien setiap kali harus berkemih dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila
frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-
hati dengan risiko timbulnya retensio urin
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi
akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain

24
gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh
obstipasi lama sebelumnya.
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40
ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi), serta makan
makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan. 9
g) Gangguan ambulasi
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya
kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi,
keseimbangan dan koordinasi. 9
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari
kemampuan mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri
statik dan dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu
diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 0˚, lutut mengunci pada posisi
ekstensi 0˚ sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 90˚. Pastikan berat badan
tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau
bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri
serta jalannya dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di
dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu
tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.9
Biasanya stroke tanpa komplikasi dapat diajari turun dari tempat tidur 24 jam
setelah serangan, sedangkan bila ada komplikasi memerlukan waktu 2 minggu atau
lebih. Posisi tegak harus segera dilakukan untuk meningkatkan toleransi berdiri dan
meningkatkan masukan sensori proproseptif ke susunan saraf pusat. Pada latihan
ambulasi, mula-mula penderita perlu pertolongan pada sisi yang sakit. Penolong
memegangi penderita dengan tangan yang satu di ketiak sedangkan tangan yang lain di
belakang lutut untuk membantu kaki melangkah ke depan, kemudian tangan dipindah ke
depan lutut untuk mempertahankan lutut lurus saat menerima beban. Urutan gerakan
pada waktu berjalan adalah sebagai berikut: letakkan tongkat ke depan dengan tangan
sehat, kemudian angkat kaki yang lemah kedepan dan akhirnya pindah berat badan ke
tongkat dan kaki sehat melangkah kedepan. 6

25
Bila penderita sudah bisa berjalan, penggunaan brace perlu pertimbangan. Bila
penderita belum stabil waktu berjalan oleh karena kelemahan quadriceps perlu
dipertimbangkan pemberian long leg brace. Long leg brace ini tidak nyaman sehingga
penderita tidak suka memakainya. Short leg brace perlu dipertimbangkan bila terdapat
flail pergelangan kaki.6
Latihan untuk anggota gerak atas sebaiknya segera dimulai.Biasanya anggota
gerak atas terkena lebih berat dari pada anggota gerak bawah. Sekitar 90% kasus tangan
tidak kembali normal.Tangan yang sehat diajari melakukan aktifitas hidup sehari-hari
seperti berpakaian, menyisir rambut, mandi, toilet, mengenakan sepatu, menulis atau
bekerja di dapur. Latihan penguatan pada otot-otot yang mengalami penyembuhan, dan
latihan luas gerak sendi dan latihan koordinasi akan meningkatkan fungsi tangan. Untuk
meningkatkan koordinasi dan kekuatan tangan yang sakit dibuat bergerak sirkuler di
atas meja dengan sliding board. Over head pulley juga digunakan untuk meningkatkan
reciprocal. Setelah ada perkembangan penderita diajari mengambil obyek dari tekstur
tangan dan bentuk yang berbeda-beda. Latihan ini untuk meningkatkan fungsi tangan
dan meningkatkan luas gerak sendi bahu melawan gravitasi. Splint tangan
dipertimbangkan bila terdapat spastisitas yang menetap pada fleksor pergelangan tangan
dan tangan.Jika anggota gerak atas tidak menunjukkan perbaikan kekuatan otot dan
tetap flaccid atau spastik dalam waktu 5-6 bulan, maka prognosis biasanya jelek.6

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg, L. 2007. Lectures Notes: Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta :


Erlangga Medical Series
2. Dewanto George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Jakarta. EGC
3. Hauser SL (eds). 2013. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 3rd Edition.
McGraw Hill Education
4. PB IDI. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014.
5. Ropper AH, Samuels MA, dan Klein JP. 2014. Adams and Victor’s Principles of
Neurology Tenth Edition. McGraw Hill Education
6. Laswati H dkk. 2013. Ilmu Kedokteran Fisik dan RehabilitasiEdisi 3. Surabaya:
FK UNAIR
7. Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit
Edisi 6 Vol 2. Jakarta. EGC
8. Fonarow GC et al. 2012. Relationship Of National Institute Of Health Stroke
Scale To 30-Day Mortality Medicare Beneficiaries With Acute Ischemic Stroke.
Journal American Heart Association.
9. Wirawan, P. W., Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Maj
Kedokt Indon, Vol. 59, no. 2, hal: 65-70

27

Anda mungkin juga menyukai