Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

Anterior Glenohumeral
Joint Dislocation

Oleh
dr. Yeremia Gerald K.

Pembimbing
dr. AA Gede Yuda Asmara, Sp.OT (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan Laporan Kasus yang merupakan salah satu tugas dalam Program Pendidikan
Dokter Spesialis Bedah FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Laporan Kasus ini membahas
tentang Anterior Glenohumeral Joint Dislocation.
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memperdalam wawasan
tentang Neglected CF Right Supracondylar Humerus serta melatih kemampuan membuat
tulisan ilmiah dan prasyarat dalam mengikuti pendidikan bedah dasar di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada
1. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B(K) Trauma sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK
Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan motivasinya.
2. dr. AA Gede Yuda Asmara, Sp.OT(K) sebagai pembimbing yang telah dengan tulus
memberikan saran dan masukan baik akademik maupun moril sampai laporan kasus
ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu
dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan laporan
kasus ini

Denpasar, 24 Januari 2019

Yeremia Gerald K.

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5
3.1 Anatomi Bahu ....................................................................................... 5
3.2 Dislokasi Sendi Bahu ............................................................................. 6
3.3 Dislokasi Anterior ................................................................................. 6
3.4 Gambaran Klinis .................................................................................... 6
3.5 Tatalaksana ........................................................................................... 8
3.6 Komplikasi ............................................................................................. 9
BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dislokasi sendi dapat terjadi karena cidera trauma atau ligamen kapsular yang
longgar. Dislokasi sering disertai dengan kerusakan simpai sendi atau ligamen sendi. Bila
kerusakan tersebut tidak sembuh kembali dengan baik, luksasi mudah terulang lagi yang
disebut luksasi habitual. Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar anamnesis yang khas dan
tanda klinisnya. Umumnya deformitas dapat dilihat berupa perubahan posisi anggota gerak
dan perubahan kontur persendian yang bersangkutan. Pada pemeriksaan tidak ada gejala
dan tanda patah tulang, sedangkan gerakan di dalam sendi yang terluksasi terbatas sekali,
bahkan sama sekali tidak mungkin. Reposisi dilakukan dengan gerakan atau perasat yang
berlawanan dengan gaya trauma dan kontraksi atau tonus otot. Reposisi tidak boleh
dilakukan dengan kekuatan atau kekerasan karena mungkin sekali mengakibatkan patah
tulang. Untuk mengendurkan kontraksi dan spasme otot, perlu diberikan anestesia
setempat atau umum. Kekenduran otot memudahkan dilakukannya tindakan reposisi.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas
 Nama : Dion Rehmi Hidayat
 Jenis Kelamin : Male
 Tanggal Lahir : 7 Juni 1994
 Usia : 24 yo
 Alamat : Jl. Gn Lempuyang V
 No MR : 19001964

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara auto anamnesis.
Keluhan Utama : Nyeri pada sendi bahu kanan
Pasien datang sadar ke IGD dengan keluhan nyeri pada bahu kanan sejak 30 menit SMRS.
Pasien sebelumnya sedang bermain dengan teman-temannya dan melakukan tindakan
meninju kemudian dirasakan berbunyi pada sendi bahu kanan. Setelah kejadian tersebut,
lengan kanan pasien menjadi sulit digerakan, terasa nyeri, dan bentuk bahu menjadi tidak
simetris. Pasien masih bisa merasakan seluruh jari dan lengan, masih bisa menggerakan
lengan, tangan dan jari namun terbatas karena nyeri.
Riwayat bergesernya sendi bahu kanan sebelumnya (+) yang terjadi 2 tahun lalu saat
pasien mengalami kecelakaan jatuh dari motor. Pasien saat itu berobat ke RS swasta dan
dilakukan tindakan reposisi. Riwayat tindakan operasi sebelumnya disangkal. Riwayat
penyakit serupa pada keluarga disangkal.

Primary Survey
A: Clear
B: Spontaneus, RR: 20x/min
C: Stabil, BP:120/80 mmHg, HR: 90 x/min
D: Alert

2
Secondary Survey
GCS : E4V5M6
Kepala : Cephalhematome (-)
Leher : Nyeri (-), Jejas (-), step off (-)
Mata : Refleks cahaya +/+ isokor, Konjungtiva anemis -/-
THT : Otorrhea -/-, rhinorrhea -/-
Maxillofacial : Jejas (-), Bengkak (-), malocclusion (-)
Thorax :
Insp : Simetris , Jejas (-)
Palp : Nyeri (-), Krepitasi (-)
Perc : Sonor/sonor
Aus : S1S2 Tunggal reguler murmur (-)
Po: Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Insp : jejas (-), distensi(-)
Aus : BS (+)
Palp : defans (-)
Per : timhani
Pelvis : jejas (-), pelvis stabil

Regio Bahu Dextra


L : Bengkak (+), Deformitas (+) Abduksi dan Rotasi
Eksternal, Square Shoulder (+)
F : Nyeri (+) Pada bahu anterior, Hollow Sign (+), A.
Radialis (+) teraba, CRT < 2”,
SaO2 98, %, Hypoesthesia (-)
M: ROM aktif bahu terbatas karena nyeri
ROM aktif elbow 0/135
ROM aktif Wrist 70/0/80
ROM Aktif MCP – IP 0/90

3
Assessment
Right Anterior Glenohumeral Joint Dislocation

Radiologi
Right Shoulder X-Ray AP

Diagnosis
Right Anterior Glenohumeral Joint Dislocation

Tatalaksana
Analgetik
Closed Reduction Under GA + Immobillization with Collar and Cuff

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

3.1 Anatomi Bahu


Anatomi bahu secara unik disesuaikan untuk memungkinkan gerakan yang bebas
dan jangkauan maksimum bagi tangan. Lima artikulasio terlibat:
(1) sendi glenohumerus yang sebenarnya (sinovial),
(2) sendi semu antara humerus dan arkus korakoakromial,
(3) sendi sternoklavikular,
(4) sendi akromioklavikular dan
(5) artikulasi skapulotoraks.
Artikulasi glenohumerus yang dangkal pada dasarnya hanya mempunyai sedikit
stabilitas karena daerah permukaan glenoid hanya seperempat daerah permukaan sendi
humerus. Tingkat kedalaman sendi yang disebabkan oleh labrum mungkin tampak kurang
penting, tetapi ini tentu bermakna karena robekan labrum akan menyebabkan dislokasi.
Stabilitas tergantung pada pengendalian otot. Tendon subskapularis di depan, rotator
subskapularis pendek di atas, infraspinatus dan teres minor di belakang bergabung dengan
simpai bahu akan membentuk cuff rotator. Selama abduksi otot menarik kaput humerus
dengan kuat ke dalam sendinya sedangkan deltoid mengangkat lengan. Ketika mulai
abduksi, rotator luar memutar lengan sehingga tuberositas mayor bebas dari akromion yang
menonjol, dan gerakan skapulotoraks memungkinkan jangkauan yang lebih jauh hingga 180
derajat.
Abduksi pada sendi glenohumerus tidak dapat melebihi 90 derajat karena tidak ada
lagi permukaan sendi pada kaput humerus; tetapi rotasi luar pada humerus membebaskan
lebih banyak permukaan dan memungkinkan abduksi penuh, dengan peran serta artikulasi
skapulototaks. Sendi skapulotoraks dan glenohumerus bergerak secara sinkron, meskipun
dalam 30 derajat abduksi pertama tak banyak gerakan skapulotoraks yang kelihatan; pada
150 derajat abduksi sisanya, sekitar 90 derajat terjadi pada sendi glenohumerus. Sendi
sternoklavikular ikut serta dalam gerakan yang dekat dengan tubuh (misalnya mengangkat
atau menahan bahu); sendi akromioklavikular bergerak dalam 60 derajat abduksi terakhir.

5
3.2 Dislokasi Sendi Bahu
Di antara sendi-sendi besar, bahu adalah salah satu yang paling sering berdislokasi.
Ini akibat beberapa faktor: dangkalnya mangkuk sendi glenoid; besarnya rentang gerakan;
keadaan yang mendasari misalnya ligamentosa yang longgar atau dysplasia glenoid; dan
mudahnya sendi itu terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada tungkai atas.
Kestabilan sendi bahu terutama terletak pada simpai sendi dan otot di sekitarnya karena
kavitas artikulare sendi bahu dangkal. Oleh karena itu, sering terjadi dislokasi, baik akibat
trauma maupun pada saat serangan epilepsi. Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada
orang dewasa tetapi jarang pada anak-anak.
Dislokasi sendi bahu diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Dislokasi anterior
2. Dislokasi posterior
3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta
4. Dislokasi disertai fraktur

3.3 Dislokasi Anterior


Melihat lokasi kaput humeri terhadap prosesus glenoidalis, dislokasi paling sering ke
arah anterior, dan lebih jarang ke arah posterior atau inferior. Dislokasi anterior disebut juga
sebagai dislokasi preglenoid, subkorakoid dan subklavikuler.
Dislokasi anterior merupakan kelainan yang tersering ditemukan dan biasanya
penderita jatuh dengantangan dalam keadaan out stretched atau trauma pada skapula
sendiri dan anggota gerak dalam posisi rotasi lateral. Dislokasi anterior juga sering terjadi
pada usia muda, antara lain pada atlet akibat kecelakaan olahraga. Dislokasi terjadi karena
kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu. Kaput
humerus didorong ke depan dan menimbulkan avulsi simpai sendi dan kartilago beserta
periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. Pada dislokasi anterior, kaput humerus
berada di bawah glenoid, subkorakoid dan subklavikuler

3.4 Gambaran Klinis


3.4.1 Anamnesis
Anamnesis harus menentukan mekanisme cedera, termasuk posisi lengan, jumlah
gaya yang diberikan, dan lokasi titik tumpuan. Cidera dengan lengan dalam keadaan

6
ekstensi, abduksi, dan rotasi eksternal meningkatkan kemungkinan terjadinya dislokasi
anterior. Kejut listrik, kejang, atau jatuh pada lengan ekstensi dan adduksi biasanya sering
menyebabkan dislokasi posterior. Jika ketidakstabilan terjadi berulang, riwayat cedera awal,
posisi atau tindakan yang menyebabkan ketidakstabilan, berapa lama bahu mengalami
dislokasi, apakah radiografi tersedia dengan bahu keluar dari sendi, dan cara apa yang
diperlukan untuk mereduksi bahu. Anamnesis juga mamastikan adanya masalah neurologis
atau rotator cuff setelah episode ketidakstabilan bahu sebelumnya. Perawatan sebelumnya
dari ketidakstabilan berulang, serta keefektifan dari perawatan ini, harus didokumentasikan.

3.4.2 Pemeriksaan fisik


Bahu yang mengalami dislokasi akut biasanya sangat nyeri, dan otot-otot mengalami
kontraksi dalam upaya menstabilkan sendi. Kepala humerus bisa teraba di anterior. Aspek
posterior dan lateral bahu menunjukkan cekungan di bawah akromion. Lengan dipegang
dengan sedikit abduksi. Gerakan pasif dan aktif dibatasi oleh rasa nyeri. Karena
kemungkinan terjadi cidera saraf yang mengikuti dan kemungkinan cidera vaskular,
pemeriksaan fisik dislokasi bahu anterior memerlukan penilaian status neurovaskular dari
ekstremitas atas dan pencatatan sebelum reduksi.

3.4.3 Pemeriksaan Radiologis


Ketika dicurigai adanya dislokasi bahu, pemeriksaan radiografi perlu menunjukkan
arah dari dislokasi, adanya fraktur yang menyertai (displace atau tidak), dan kemungkinan
hambataan untuk relokasi. Dorgan dan McLaughlin menyatakan bahwa ketergantungan
pada pemeriksaan posisi anteroposterio (AP) dan transthoracic akan mengarahkan pada
diagnostik yang menyesatkan. Sendi Glenohumeral secara standar memerlukan
pemeriksaan 3 sudut pandang sesuai dengan bidang skapula. Pemeriksaan lengkap 3 sudut
pandang bidang skapula akan memberikan informasi yang lebih baik dibandingkan
pemeriksaan standar pada sisi tubuh lain.
Pemeriksaan pertama adalah potongan AP pada bidang skapula. Pada 1923, Grashey
menyadari untuk mendapatkan gambaran true AP sendi bahu, arah dari sinar xray harus
tegak lurus terhadap bidang skapula. Gambar ini paling mudah dikerjakan dengan
meletakan skapula mendatar pada kaset dan mengarahkan sinar xray sesuai dengan bidang
ini dengan berpusat pada prosesus korakoid. Gambaran ini dapat dilakukan pada lengan

7
dengan arm sling dan tubuh dirotasikan sesuai dengan posisi yang diinginkan. Pada bahu
yang normal, gambar ini akan memperlihatkan secara jelas batas tulang humeral subkondral
dari glenoid.

3.5 Tatalaksana
Pada pasien yang dulu pernah mengalami dislokasi, traksi sederhana pada lengan
dapat berhasil. Untuk reduksi dislokasi yang terjadi pertama kali, pasien harus banyak diberi
sedasi atau di anestesi dan dalam posisi telentang. Traksi ditingkatkan perlahan-lahan pada
lengan dengan bahu yang sedikit berabduksi, sementara itu asisten melakukan traksi-lawan
yang kuat pada tubuh (handuk yang dililitkan sekitar dada pasien, di bawah aksila,
bermanfaat). Kalau anestesi merupakan kontraindikasi, posisi tengkurap dengan lengan
tergantung, dapat memudahkan reduksi.
Metode Kocher kadang-kadang digunakan. Siku ditekuk 90 derajat dan
dipertahankan dekat dengan tubuh; traksi tidak boleh diterapkan. Lengan perlahan-lahan
diputar sampai 75 derajat ke lateral, kemudian ujung siku itu diangkat ke depan, dan
akhirnya lengan diputar ke medial.
Sinar-X dilakukan untuk memastikan reduksi tidak menyebabkan fraktur. Bila pasien
sepenuhnya sadar, abduksi aktif dengan pelan-pelan diuji untuk menyingkirkan suatu
cedera saraf aksila. Lengan diistirahatkan dalam kain gendong selama satu atau dua minggu
dan gerakan aktif kemudian dimulai, tetapi kombinasi abduksi dan rotasi lateral harus
dihindari sekurang-kurangnya selama 3 minggu. Selama periode ini, gerakan siku dan jari
dipraktekkan setiap hari.
A. Dengan pembiusan umum
• Metode Hippocrates
Penderita dibaringkan di lantai, anggota gerak ditarik ke atas dan kaput humerus
ditekan dengan kaki agar kembali ke tempatnya.
• Metode Kocher
Penderita berbaring di tempat tidur dan ahli bedah berdiri di samping penderita.
Tahap-tahap reposisi menurut Kocher:
o Sendi siku dalam posisi fleksi 90o dan dilakukan traksi sesuai garis humerus
o Lakukan rotasi ke arah lateral
o Lengan di adduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh ke arah garis tengah

8
o Lengan dirotasi ke medial sehingga tangan jatuh di daerah dada
b. Tanpa pembiusan umum
Metode Stimson metode ini sangat baik. Caranya penderita dibaringkan
tertelungkup sambil bagian lengannya yang mengalami luksasio keluar dari tepi t
empat tidur, menggantung ke bawah. Kemudian diberikan beban yang diikatkan
pada lengan bawah dan pergelangan tangan, biasanya dengan dumbbell dengan
berat tergantung dari kekuatan otot si penderita. Si penderita disuruh rileks untuk
beberapa jam, kemudian bonggol sendi akan masuk dengan sendirinya.
Penanganan Setelah Reposisi
Setelah reposisi berhasil, maka lengan harus difiksasi di daerah toraks selama 3-6 minggu
dan bila reposisi tidak dilakukan dapat terjadi dislokasi rekuren.

3.6 Komplikasi
3.6.1 Komplikasi Dini
a. Kerusakan nervus aksilaris
Nervus aksilaris dapat cedera; pasien tak dapat mengerutkan otot deltoid dan
mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot itu. Ini biasanya suatu neurapraksia
yang sembuh spontan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Kadang-kadang korda
posterior pleksus brakialis cedera. Ini sedikit mengkhawatirkan, tetapi untungnya sering
sembuh sejalan dengan waktu.
Nervus aksilaris berjalan melingkari leher humerus dan dapat mengalami paresis
atau paralisis. Sebelum dilakukan reposisi sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada saraf ini.
Apabila terdapat paresis atau paralisis, dilakukan pemeriksaan EMG setiap 3
minggu.

b. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat traksi
sewaktu reposisi atau karena tekanan kaput humerus.

c. Fraktur-dislokasi
Kalau juga terdapat fraktur pada bagian proksimal humerus, mungkin diperlukan
reduksi terbuka dan fiksasi internal. Tuberositas mayor dapat terlepas selama dislokasi. Ini

9
biasanya masuk ke tempatnya selama reduksi, sehingga tidak dibutuhkan terapi khusus.
Kalau tuberositas ini tetap bergeser, dapat dilaksanakan penempelan kembali dengan
operasi.

3.6.2 Komplikasi lanjut


a. Kaku sendi
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan bahu, terutama pada pasien
yang berumur lebih dari 40 tahun. Terjadi kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis
membatasi abduksi. Latihan aktif biasanya akan melonggarkan sendi. Latihan ini perlu
dilakukan dengan bersemangat; perlu diingat bahwa abduksi penuh tidak dapat dilakukan
sebelum rotasi lateral diperoleh kembali. Manipulasi di bawah anestesi hanya dianjurkan
kalau progresi telah berhenti dan sekurang-kurangnya sudah lewat 6 bulan sejak terjadi
cedera. Rotasi lateral harus dipulihkan sebelum abduksi, dan manipulasi harus dilakukan
pelan-pelan dan berulang-ulang dan tidak dipaksakan. Kaku sendi yang terjadi pasca reposisi
perlu dilakukan fisioterapi yang intensif.

b. Dislokasi yang tak direduksi


Secara mengherankan, dislokasi bahu kadang-kadang tetap tidak terdiagnosis.
Kemungkinan besar ini terjadi kalau pasien (1) tidak sadar atau (2) sangat tua. Reduksi
tertutup perlu diusahakan sampai 6 minggu setelah cedera; manipulasi yang dilakukan
setelah masa itu dapat menyebabkan fraktur pada tulang atau robeknya pembuluh atau
saraf. Reduksi dengan operasi setelah 6 minggu hanya diindikasikan untuk kaum muda,
karena sukar, berbahaya dan menyebabkan kekakuan yang lama. Pendekatan anterior
digunakan, dan pembuluh serta saraf dikenali dengan cermat sebelum dislokasi direduksi.
Secara aktif dibiarkan meringkaskan terapi untuk dislokasi yang tak tereduksi pada orang
lanjut usia. Dislokasi dibiarkan dan dianjurkan melakukan gerakan aktif pelan- pelan.
Pengembalian fungsi yang cukup baik sering dapat dicapai.

c. Dislokasi rekuren
Dislokasi rekuren dapat bersifat anterior (lebih sering) atau posterior. Dislokasi
rekuren anterior terjadi karena pengobatan awal (imobilisasi) yang tidak adekuat sehingga
terjadi dislokasi. Dislokasi terjadi karena adanya titik lemah pada selaput sendi di sebelah

10
depan dan terjadi karena trauma yang ringan. Dislokasi rekuren dapat dengan mudah terjadi
apabila lengan dalam keadaan abduksi, ekstensi dan rotasi lateral. Kalau dislokasi anterior
merobek kapsul bahu, perbaikan terjadi secara spontan dan dislokasi tidak berulang; tetapi
kalau labrum glenoid robek, atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid,
kemungkinan besar perbaikan tak terjadi dan dislokasi sering berulang. Pembalutan lengan
pada sisi tersebut setelah mereduksi dislokasi akut, tampaknya tidak mempengaruhi hasil;
pelepasan labrum terutama terjadi pada pasien muda, dan kalau saat cedera terjadi cacat
tulang yang menembus keluar pada aspek posterolateral kaput humerus, kemungkinan
besar terjadi perulangan. Riwayat merupakan tanda diagnostik. Pasien mengeluh bahwa
bahu mengalami dislokasi hanya dengan kerja sehari-hari yang relatif ringan. Dia sering
dapat mereduksi sendiri dislokasi itu. Setiap keraguan mengenai diagnosis dengan cepat
dapat diatasi dengan uji aprehensi: kalau lengan pasien ditempatkan secara pasif di
belakang bidang korona pada posisi abduksi dan rotasi lateral, resistensi yang timbul segera
dan kecemasannya bersifat patognomonik.

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dilokasi sendi glenohumeral anterior merupakan kasus yang sering terjadi pada laki-
laki usia dewasa. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik dapat menilai
secara baik kelainan yang terjadi maupun cidera yang menyertai. Penilaian status vaskular
dan saraf mutlak dilakukan. Dislokasi sendi glenohumeral memerlukan tindakan reposisi
segera karena penanganan yang terlambat akan meningkatkan morbiditas pasien. Terdapat
beberapa teknik untuk melakukan reposisi tertutup. Tatalaksana yang tepat dapat
meengurangi penderitaan dan kekambuhan pasien.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A. Graham. Ortopedi Dan fraktur Sistem Apley. Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya
Medika. 1995.
2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.
2007.
3. Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta: EGC.
2004 859-60.
4. King SW, Cowling PD. Management of first time shoulder dislocation. Journal of
Arthroscopy and Joint Surgery. 2018 May;5(2):86–9.
5. Cutts S, Prempeh M, Drew S. Anterior Shoulder Dislocation. The Annals of The Royal
College of Surgeons of England. 2009 Jan;91(1):2–7.

13

Anda mungkin juga menyukai