Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG Dengan mobilitas yang tinggi disektor lalu lintas dan faktor kelalaian manusia sebagai salah satu penyebab paling sering adalah terjadinya kecelakaan yang dapat menyebabkan fraktur. Penyebab yang lain dapat karena kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Fraktur yang terjadi dapat mengenai orang dewasa maupun anak-anak, Fraktur yang mengenai lengan bawah pada anak sekitar 82% pada daerah metafisis tulang radius distal,dan ulna distal sedangkan fraktur pada daerah diafisis yang terjadi sering sebagai faktur type green-stick. Daerah metafisis pada anak relatif masih lemah sehingga fraktur banyak terjadi pada daerah ini, selebihnya dapat mengenai suprakondiler humeri (transkondiler humeri) diafisis femur dan klavikula, sedangkan yang lainnya jarang. Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik,hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang anak yang berbeda dengan tulang orang dewasa. Selain itu proses penyembuhan ini juga dipengaruhi oleh faktor mekanis dan faktor biologis. Diagnosis fraktur ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu radiologis. Pada anak biasanya diperoleh dengan alloanamnesis dimana ditemukan adanya riwayat trauma dan gejala-gejala seperti nyeri, pembengkakan, perubahan bentuk dan gangguan gerak. Pada pasien dengan riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Bila tidak ada riwayat trauma berarti merupakan fraktur patologis. 1.2 BATASAN MASALAH

Laporan Kasus ini berisi tentang Anamnesa, pemeriksaan fisik, gejala pasien, serta penatalaksanaan fraktur tibia distal sinistra. Laporan ini juga membahas mengenai fraktur tibia distal sinistra secara umum.

1.3

TUJUAN PENULISAN

Penulisan Laporan Kasus ini bertujuan untuk: Melaporkan kasus pasien dengan fraktur tibia distal sinistra. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran. Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Ortopedi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.

BAB II LAPORAN KASUS 2.1 IDENTITAS Nama Umur Jenis kelamin Alamat Pekerjaan Pendidikan Agama Suku Tgl. Berobat No. Register 2.2 ANAMNESA : An.M A : 13 tahun : Laki-laki : Pakis aji : Pelajar : SD (4 tahun) : Islam : Jawa : 08 Juni 2011 : 256318

Status.Perkawinan : Belum menikah

Keluhan Utama: Bengkak dan nyeri pada tungkai kiri bawah. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli bedah ortopedi RSUD Kanjuruhan Kepanjen diantar oleh ibunya menggunakan kursi roda dengan keluhan bengkak pada tungkai kiri bawah, dan terasa nyeri sejak 4 hari yang lalu. Kronologis kejadiannya satu minggu yang lalu, pasien sedang berlari-lari di kebun tebu, kemudian jatuh karena tungkai kirinya tersandung tebu. Pasien jatuh tengkurap, tidak pingsan, dan pada saat itu tidak ada yang menolong, 30 menit kemudian pasien baru bangun dan berjalan dengan pincang ke rumahnya dan menurut pasien mulai terasa nyeri. Kemudian, oleh orang tuanya pasien dipijatkan, dan setelah itu tungkai sebelah kiri bawah bengkak dan bertambah nyeri. Riwayat penyakit dahulu : disangkal Riwayat penyakit keluarga : disangkal

2.3

PEMERIKSAAN FISIK

Status Present Tampak kesakitan, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6) Tanda Vital Tensi Nadi Pernafasan Suhu Kepala Bentuk Mata Sklera Ikterik Conjuctiva Anemis Telinga Bentuk Secret Hidung Tidak ada deviasi septum Sekret Bibir Tonsil Pharing Leher Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB Paru Suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/Jantung Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen Inspeksi Palpasi : abdomen datar, tidak tampak adanya massa : teraba lemas, tidak ada defence muskular : -/: tidak kering dan tidak cyanosis : T1/T1 : tidak hiperemi Mulut dan tenggorokan : dalam batas normal : -/: -/: -/: Dalam batas normal : 120/80 mmHg : 89 x/menit, isi cukup : 22x/menit, regular, Kusmaull (-), Cheyne-Stokes (-) : 38o C

Perkusi: timpani. Auskultasi : bising usus (+) normal Status lokalisata Regio cruris sinistra Look : tampak kemerahan, oedem (+), deformitas (+), neovaskularisasi (-). Feel : Regio cruris sinistra teraba lebih hangat dari pada regio cruris dekstra, nyeri tekan (+). Move : Gerakan sendi terbatas karena nyeri. 2.3 RESUME

An.MA 13 tahun datang ke poli bedah ortopedi dengan keluhan bengkak pada tungkai sebelah kiri bawah, dan terasa nyeri sejak 4 hari yang lalu. Satu minggu yang lalu pasien tersandung dan jatuh dengan posisi tengkurap, pasien dapat berjalan akan tetapi pincang, riwayat pingsan (-).Status lokalisata, Regio cruris sinistra : Look : tampak kemerahan, oedem (+), deformitas (+), neovaskularisasi (-). Feel : Regio cruris sinistra teraba lebih hangat dari pada regio cruris dekstra, nyeri tekan (+). Move : Gerakan sendi terbatas karena nyeri. 2.4 DIAGNOSIS

Diagnosis kerja : Fraktur tibia distal sinistra Diagnosis banding : Fraktur fibula distal sinistra Fraktur tibia-fibula distal Fraktur talus 2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis dan menyingkirkan Diagnosis banding. Usulan pemeriksaan adalah: X-Ray AP dan lateral pada regio cruris dekstra dan sinistra .

2.6 a. b.

PENATALAKSANAAN Elevasi tungkai sebelah kiri untuk mengurangi bengkak. Immobilisasi tanpa reposisi. Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.

Terapi Konservatif

2.7

DISKUSI

Pada kasus ini diambil kesimpulan bahwa pasien menderita fraktur tibia distal sinistra berdasarkan temuan pada; Anamnesa Bengkak pada tungkai sebelah kiri bawah Adanya riwayat jatuh satu minggu yang lalu Pasien mengeluh adanya nyeri tekan pada tungkai bawah Pasien nampak kesakitan, terutama jika pergelangan kaki kiri digerakkan Status lokalisata (Regio cruris sinistra) Look Feel Move : tampak kemerahan, oedem (+), deformitas (+), neovaskularisasi (-). : Regio cruris sinistra teraba lebih hangat dari pada regio cruris dekstra, : Gerakan sendi terbatas karena nyeri.

Pemeriksaan fisik

nyeri tekan (+). Pada kasus ini yang menjadi diagnosis bandingnya adalah fraktur fibula distal sinistra, fraktur tibia fibula distal sinistra dan fraktur talus. Dasar diambilnya diagnosa banding fraktur fibula distal sering ditemukan pada anak umur 8-15 tahun dan biasanya terjadi karena trauma tidak langsung. Fraktur fibula dapat terjadi sendiri atau bersamasama dengan fraktur tibia, sehingga diambil juga diagnosis banding fraktur tibia fibula distal, klinis terkadang ditemukan penonjolan tulang ke arah luar, fraktur tibia fibula distal ini lebih sering terkena pada dewasa karena pada dewasa periosteumnya lebih tipis dibandingkan anak-anak sehingga mudah robek, hal ini yang menyebabkan terjadinya pergeseran yang luas. Fraktur talus bisa terjadi karena trauma dengan energi tinggi, akan tetapi secara klinis lebih sulit didiagnosa. Ketiga diagnosa banding ini dapat disingkirkan dan didapatkan diagnosis kerja dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa foto xray AP lateral regio cruris sinistra dengan dekstra sebagai pembandingnya.

Karena letaknya yang berada di daerah tungkai bawah, maka kemungkinan dapat terjadi fraktur pada lempeng epifisis. Lempeng epifisis merupakan suatu diskus tulang rawan yang terletak diantara epifisis dan metafisis. Fraktur lempeng epifisis merupakan 1/3 dari seluruh fraktur pada anak-anak. Klasifikasi menurut salter harris adalah yang paling mudah dan praktis serta memenuhi syarat untuk terapi dan prognosis. Kemungkinan pada kasus ini terjadi fraktur pada lempeng epifisis hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan x-ray, oleh karena itu usulan pemeriksaan yang diajukan adalah pemeriksaan radiologi regio cruris sinistra. Pada kasus ini dipilih penatalaksanaan berupa pemasangan gips karena pasien masih anak-anak, dengan terlebih dahulu dilakukan elevasi tungkai untuk mengurangi bengkak dan memperbaiki vaskularisasi ke arah tungkai bawah. Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga berhubungan dengan proses remodelling tulang pada anak sangat aktif dan makin berkurang apabila umur bertambah. Selain itu fragmen tulang pada anak mempunyai vaskularisasi yang baik dan penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Waktu penyembuhan anak secara kasar adalah setengah kali waktu penyembuhan pada orang dewasa.

BAB III

FRAKTUR TIBIA DISTAL SINISTRA 3.1 DEFINISI Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang yang berlebihan.1 Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.2 Fraktur menurut Rasjad adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur Tibia Adalah patah atau gangguan kontinuitas pada tulang tibia. 3.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung. Ujung atasnya sangat melebar sehingga menciptakan permukaan yang sangat luas untuk menahan berat badan. Bagian ini mempunyai dua masa yang menonjol yang disebut kondilus medialis dan kondilus lateralis. Kondil-kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang.

Gambar 1 anatomi tulang tibia

Permukaan superiornya memperlihatkan dua daratan permukaan persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut. Permukaan- permukaan tersebut halus dan diatas permukaan yang datar terdapat tulang rawan semilunar (setengah bulan) yang membuat permukaan persendian lebih dalam untuk penerimaan kondil femur. Di antara kedua kondilus terdapat daerah kasar yang menjadi tempat pelekatan ligament dan tulang rawan sendi lutut. 3.3 PATOFISIOLOGI Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa, perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anakanak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti. Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah. Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone healing akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa. Perbedaan di atas menjelaskan perbedaan biomekanik tulang anak-anak dibandingkan orang dewasa, yaitu : Biomekanik tulang Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor ini menyebabkan tulang anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap deformasi tulang dibandingkan orang dewasa. Tulang orang dewasa sangat kom-

pak dan mudah mengalami tegangan dan tekanan sehingga tidak dapat menahan kompresi. Biomekanik lempeng pertumbuhan Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat pada metafisis yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh procesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis mempunyai konsistensi seperti karet yang besar. Biomekanik periosteum Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami robekan dibandingkan orang dewasa. Pada anak-anak, pertumbuhan merupakan dasar terjadinya remodelling yang lebih besar dibandingkan pada orang dewasa, sehingga tulang pada anak-anak mempunyai perbedaan fisiologi, yaitu : o Pertumbuhan berlebihan (over growth) Pertumbuhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada pertumbuhan panjang, karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi pada waktu penyambungan. o Deformitas yang progresif o Kerusakan permanen pada lempeng epifisis akan terjadi pemendekan atau angulasi. Fraktur total Pada anak-anak fraktur total jarang bersifat komunitif karena tulangnya sangat fleksibel dibandingkan orang dewasa. 3.4 MANIFESTASI KLINIS a) Nyeri terus menerus ditempat fraktur dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema. b) Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah c) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah d) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur 10

e) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya f) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit. 3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma b) Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. c) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. d) Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma). e) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal. 3.6 DIAGNOSIS Secara klinis kita harus mencurigai adanya fraktur lempeng epifisis pada seorang anak dengan fraktur pada tulang panjang di daerah ujung tulang pada dislokasi sendi serta robekan ligamen. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan rontgen dengan dua proyeksi dan membandingkanya dengan anggota gerak yang sehat. Diagnosis fraktur ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu radiologis. Pada anak biasanya diperoleh dengan alloanamnesis dimana ditemukan adanya riwayat trauma dan gejala-gejala seperti nyeri, pembengkakan, perubahan bentuk dan gangguan gerak. Pada pasien dengan riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Bila tidak ada riwayat trauma berarti merupakan fraktur patologis. Pada pemeriksaan fisik dilakukan : 1. Look (Inspeksi) a) Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan). b) Bengkak atau kebiruan. c) Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak) 2. Feel (Palpasi) a) Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur. b) Krepitasi.

11

c) Nyeri sumbu. 3. Move (Gerakan) a) Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif. b) Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya. c) Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen, tractus urinarius dan pelvis. Anatomi tulang pada anak-anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa. Fraktur pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang. Fraktur pada anak-anak lebih sering ditemukan karena tulang relatif ramping dan juga kurang pengawasan. Lempeng epifisis merupakan suatu diskus tulang rawan yang terletak diantara epifisis dan metafisis. Fraktur lempeng epifisis merupakan 1/3 dari seluruh fraktur pada anak-anak. Pembuluh darah epifisis masuk di dalam permukaan epifisis dan apabila ada kerusakan pembuluh darah maka akan terjadi gangguan pertumbuhan. Pembuluh darah epifisis biasanya tidak mengalami kerusakan pada saat trauma tetapi pada epifisis proksimal dan epifisis radius proksimal pembuluh darah berjalan sepanjang leher tulang yang dimaksud dan melintang pada lempeng epifisis di perifer, sehingga pada kedua tempat ini apabila terjadi pemisahan epifisis, juga akan menimbulkan kerusakan vaskularisasi yang akan menimbulkan nekrosis avaskuler. Tulang rawan lempeng epifisis lebih lemah daripada tulang. Daerah yang paling lemah dari lempeng epifisis adalah zona transformasi tulang rawan pada daerah hipertrofi dimana biasanya terjadi garis fraktur. Banyak klasifikasi fraktur lempeng epifisis antara lain menurut salter harris, poland, aitken, weber, rang, ogend. Klasifikasi menurut salter harris adalah yang paling mudah dan praktis serta memenuhi syarat untuk terapi dan prognosis. Klasifikasi menurut salter harris merupakan klasifikasi yang dianut dan dibagi ke dalam lima tipe yaitu: 1. Tipe I Terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya fraktur pada tulang, sel-sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Fraktur ini terjadi oleh

12

karena adanya shearing force dan sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada anakanak yang lebih muda. Pengobatan dengan reduksi tertutup mudah oleh karena masih ada perlengketan periosteum yang utuh dan intak. Prognosis biasanya baik bila direposisi dengan cepat. 2. Tipe II Merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan. Garis fraktur melalui sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis dan akan membentuk suatu fragmen metafisis yang berbentuk segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel-sel pertumbuhan pada lempeng epifisis juga masih melekat. Trauma yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya terjadi karena trauma shearing force dan membengkok dan umumnya terjadi pada anak-anak yang lebih tua. Periosteum mengalami robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Pengobatan dengan reposisi secepatnya tidak begitu sulit kecuali bila reposisi terlambat harus dilakukan tindakan operasi. Prognosis biasanya baik, tergantung kerusakan pembuluh darah. 3. Tipe III Fraktur lempeng epifisis tipe III merupakan fraktur intra-artikuler. Garis fraktur mulai permukaan sendi melewati lempeng epifisis kemudian sepanjang garis lempeng epifisis. Jenis fraktur ini bersifat intra-artikuler dan biasanya ditemukan pada epifisis tibia distal. Oleh karena fraktur ini bersifat intra-artikuler dan diperlukan reduksi yang akurat maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka dan fiksasi interna dengan mempergunakan pin yang halus. 4. Tipe IV Fraktur tipe ini juga merupakan fraktur intraartikuler yang melalui permukaan sendi memotong epifisis serta seluruh lapisan lempeng epifisis dan berlanjut pada sebagian metafisis. Jenis fraktur ini misalnyafraktur kondilus lateralis humeri pada anak-anak. Pengobatan dengan operasi terbuka dan fiksasi interna karena fraktur tidak stabil akibat tarikan otot. Prognosis jelek bila reduksi tidak dilakukan dengan baik. 5. Tipe V Fraktur tipe V merupakan fraktur akibat hancurnya epifisis yang diteruskan pada lempeng epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan yaitu sendi

13

pergelangan kaki dan sendi lutut. Diagnosis sulit karena secara radiologik tidak dapat dilihat. Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng pertumbuhan.

Gambar 2 klasifikasi salter harris Secara klinis kita harus mencurigai adanya fraktur lempeng epifisis pada seorang anak dengan fraktur pada tulang panjang di daerah ujung tulang pada dislokasi sendi serta robekan ligamen. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan rontgen dengan dua proyeksi dan membandingkannya dengan anggota gerak yang sehat. 3.7 PENATALAKSANAAN Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu : a) Rekognisi Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri. b) Reduksi Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal. c) Retensi 14

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna. d) Rehabilitasi Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Terapi Konservatif a. b. Immobilisasi saja tanpa reposisi. Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik. Traksi. Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi Hamilton Russel/traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg, untuk anak-anak waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction. Terapi Operatif a. 1. 2. b. Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis (image intensifier, C-arm) Reposisi tertutup-fiksasi eksterna. Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat fiksasi eksterna. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna Terapi operatif dengan membuka frakturnya : Reposisi terbuka dan fiksasi interna

BAB IV PENUTUP 15

4.1

KESIMPULAN An.MA 13 tahun datang ke poli bedah ortopedi dengan diantar oleh ibunya

menggunakan kursi roda dengan keluhan bengkak pada tungkai sebelah kiri bawah, dan terasa nyeri sejak 4 hari yang lalu. Kronologis kejadiannya satu minggu yang lalu, pasien sedang berlari-lari di kebun tebu, kemudian jatuh karena tungkai bawah sebelah kiri tersandung tebu. Pasien jatuh tengkurap, tidak pingsan, dan pada saat itu tidak ada yang menolong, 30 menit kemudian pasien baru bangun dan berjalan ke rumahnya dan menurut pasien terasa nyeri. Pada saat kejadian berlangsung, pasien tidak langsung memberitahu kedua orang tuanya dan baru memberi tahu 2 hari kemudian, oleh orang tuanya pasien dipijatkan, dan setelah itu tungkai sebelah kiri bengkak dan bertambah nyeri sampai menjalar ke arah pantat. Selain itu pasien juga mengeluh mual, pusing dan demam sejak 10 hari ini. Status lokalisata, regio cruris sinistra : Look : Pasien datang terlihat kesakitan, diantar dengan kursi roda, kulit tampak kemerahan, oedem (+). Feel : regio cruris sinistra teraba lebih hangat dari pada regio cruris dekstra, nyeri tekan (+), deformitas (-), Move : gerakan sendi pasif (+), nyeri (+). 4.2 1. 2. 3. SARAN Elevasi tungkai untuk mengurangi bengkak di tungkkai bawah Motivasi pemakaian gips, untuk memfiksasi fraktur Memperbaiki nutrisi makanan serta meningkatkan asupan gizi untuk mempercepat penyembuhan fraktur

Berdasarkan kasus tersebut pasien disarankan:

16

DAFTAR PUSTAKA 1. Apley and Solomon, Fracture and Joint Injuries in Apleys System of Orthopaedics and Fractures, Seventh Edition, Butterwordh-Heinemann, London, 1993, pp. 499515. 2. 3. Armis, Prinsip-prinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistema Muskuloskeletal, FKUGM, Yogyakarta, hal : 1-32. Berend ME, Harrelson JM, Feagin JA, Fractures and Dislocation in Sabiston Jr DC, Texbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice, Fifteenth Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997, pp. 1398-1400. 4. Carter MA, Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Price SA, Wilson LM, Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses- proses Penyakit, Buku II, edisi 4, EGC, Jakarta, 1994, hal 1175-80. 5. 6. 7. 8. Dorland, Kamus Kedokteran, edisi 26, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996, hal 523,638,1119. Rasjad C, Trauma dalam Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Bintang Lamumpatue Ujung Pandang, 1998, hal : 343-525 Reksoprodjo, S, Pemeriksaan Orthopaedi dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1995, hal : 453-471. Sjamsuhidajat R, Sistem Muskuloskeletal dalam Syamsuhidajat R, de Jong W, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997, hal : 1124-1286

17

Anda mungkin juga menyukai