Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS 1

“Close Fraktur 1/3 Distal Humerus Dextra”

Disusun Oleh : i i

DHEA HANDYARA
2015730029

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


i i i

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI


i i i i i

KABUPATEN SUKABUMI i

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


i i

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


i i i

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


i i

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
pada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus 1 ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus 1 ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas kepaniteraan stase ilmu bedah
serta penyusun berharap pembaca bisa mengetahui serta memahami lebih dalam tentang
pembahasan penyusun yaitu tentang dasar-dasar ilmu kedokteran (preklinik) yang berkaitan
dengan Close fraktur 1/3 distal humerus dextra.
Penyusun mengakui masih banyak terdapat kesalahan di dalam pembuatan laporan
kasus 1 ini sehingga masih belum sempurna. Penyusun harapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk menambah kesempurnaan laporan ini.
Penyusun berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya
serta bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
BAB II .................................................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS .............................................................................................................. 2
2.1. IDENTITAS ............................................................................................................... 2
2.2. ANAMNESIS ............................................................................................................. 2
2.3. PEMERIKSAAN FISIK............................................................................................ 3
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG .............................................................................. 3
2.5. DIAGNOSIS ............................................................................................................... 4
2.6. PENATALAKSANAAN ............................................................................................ 4
BAB III .................................................................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 5
3.1. Anatomi ....................................................................................................................... 5
3.2 Histologi ....................................................................................................................... 8
3.3. Definisi ...................................................................................................................... 16
3.4. Epidemiologi ............................................................................................................. 18
3.5. Etiologi ...................................................................................................................... 18
3.6. Patofisiologi .............................................................................................................. 18
3.7. Klasifikasi ................................................................................................................. 19
3.8. Gejala ........................................................................................................................ 22
3.9. Diagnosa .................................................................................................................... 23
3.10. Tatalaksana ............................................................................................................ 28
3.11. Komplikasi .............................................................................................................. 31
3.12. Prognosis ................................................................................................................. 31
BAB IV ................................................................................................................................ 32
KESIMPULAN ................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus. Fraktur tersebut


umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma
juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang humerus tersebut, misalnya vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), putus atau robek (avulsi
atau ruptur), gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf (neuropraksia, aksonotmesis,
neurolisis).3
Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus ditanggulangi
sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi
rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi.3,4
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada
tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma juga sangat penting untuk diketahui.3

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Rentang usia : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tukang bangunan
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Cempaka putih Jakarta Pusat

2.2. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang (History of present illness):
 Keluhan utama: nyeri pada lengan atas sebelah kanan setelah jatuh dari tangga
setinggi 3 meter

 Perjalanan penyakit: nyeri pada lengan atas sebelah kanan setelah jatuh dari tangga
setinggi 3 meter 2 jam yang lalu. nyeri hebat dan dirasakan terus menerus.

 Keluhan lain terkait keluhan utama:

- Nyeri bertambah bila tangan digerakkan


- Pasien harus menopang siku kanan dengana tangan kiri

Riwayat Penyakit Dahulu (Past Medical History)


 Keluhan yang sama sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga (Family history)


 -

Riwayat Kebiasaan Sosial

2
 Tidak megkonsumsi alkohol

 Merokok 3-5 batang per hari

 Tidak mengkonsumsi narkoba

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


 PRIMARY SURVEY “

Airway and C spine control : bebas dan stabil


Breathing : Normal, simetris, reguler, vesikuler, 20x/m
Circulation : TD 130/80 mmHg, HR : 100 x/m, reguler
Disability : GSC E4V5M6
Exposure :Normal

 SECONDARY SURVEY (Head to toe) :

Tidak didapatkan cedera dan keluhan lain selain lengan atas kanan

 Status Lokalis region humerus dextra :

Look : tampak hematom dan deformitas angulasi pada humerus dekstra 1/3 distal,
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), pulsasi a. Brachialis, a Radialis, a. ulnaris teraba
normal, tidak terdapat gangguan sensorik pada bagian lesi, motorik ekstensi ibu jari (+),
ekstensi pergelangan tangan (+)
Movement : false movement (+), ROM sulit dievaluasi karena sangat nyeri untuk
digerakkan

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil foto X-ray humerus dekstra posisi Anteroposterior dan Lateral (AP/Lat) :

3
2.5. DIAGNOSIS
 Close fraktur 1/3 distal humerus dextra

2.6. PENATALAKSANAAN
 Debridement
 Backslab di OK
 Ranap, pro ORIF elektif

4
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi
A. Tulang Lengan Atas
Humerus flumerus bersendi dengan scapula pada articulatio humeri dan dengan
radius dan ulna pada articulatio cubiti. Ujung atas humerus mempunyai sebuah caput
(Gambar 1), yang membentuk sekitar sepertiga kepala sendi dan bersendi dengan cavitas
glenoidalis scapulae. Tepat di bawah caput humeri terdapat collum anatomicum. Di bawah
collum terdapat tuberculum majus dan minus yang dipisahkan satu sama lain oleh suicus
bicipitalis. 1
Pada pertemuan ujung atas humerus dan corpus humeri terdapat penyempitan disebut
collum chirurgicum. Sekitar pertengahan permukaan lateral corpus humeri terdapat
peninggian kasar yang disebut tuberositas deltoidea. Di belakang dan bawah tuberositas
terdapat sulcus spiralis yang ditempati oleh N. radialis (Gambar 1). Ujung bawah humerus
mempunyai epicondylus medialis dan epicondylus lateralis untuk tempat lekat otot dan
ligamenturn, capitulum humeri vang bulat bersendi dengan caput radii, dan trochlea humeri
yang berbentuk katrol untuk bersendi dengan incisura trochiearis ulnae (Gambar 1). Di atas
capitulum terdapat fossa radialis, vang menerima caput radii pada saat siku difleksikan. Di
anterior, di atas trochlea, terdapat fossa coronoidea, yang selama pergerakan yang sama
menerima processus coronoideus ulnae. Di posterior, di atas trochlea, terdapat fossa olecrani,
yang bertemu dengan olecranon pada waktu sendi siku dalam keadaan ekstensi (Gambar 1).1
B. Tulang-Tulang Lengan Bawah
Tulang-tulang lengan bawah adalah radius dan ulna.
Radius
Radius adalah tulang lateral lengan ban'ah (Gambar 2). Ujung atasnya bersendi
dengan humerus pada articulatio cubiti dan dengan ulna pada articulatio ladioulnaris
proksimal. Ujung distalnya bersendi dengan os scaphoideum dan lunatum pada articulatio
radiocarpca dan dengan ulna pada articulatio radioulnaris distal. 1

5
Pada ujung atas radius terdapat caput yang berbentuk bulat kecil (Gambar 2).
Permukaan atas caput cekung dan bersendi dengan capitulum humeri yang cembung.
Circumferentia articulare radii bersendi dengan incisura radialis ulnae. 1

Gambar 1

Di bawah caput, tulang menyempit membentuk collum. Dibawah collum terdapat


tuberositas bicipitalis atau tuberositas radii yang merupakan tempat insersi musculus biceps.
Corpus radii berlainan dengan ulna, yaitu lebih lebar di bawah dibandingkan dengan bagian
atas (Gambar 2). Corpus radii di sebelah medial mempunyai margo interossea yang tajam
untuk tempat melekatnya membrana interossea yang menghubungkan radius dan ulna.
Tuberositas pronatoria untuk tempat insersi musculus pronator teres, terletak di pertengahan
pinggir lateralnya. 1
Pada ujung bawah radius terdapat processus styloideus yang menonjol ke bawah dari
pinggir lateralnya (Gambar 2). Pada permukaan medial terdapat incisura ulnae, yang bersendi
dengan caput ulnae yang bulat. Facies articularis inferior bersendi dengan os scaphoideum
dan os lunatum. Pada permukaan posterior ujung distal radius terdapat tuberculum kecil,
tuberculum dorsale, yang pada pinggir medialnya terdapat sulcus untuk tendo musculus

6
ekstensor pollicis longus (Cambar 2). Otot dan ligamentum penting yang melekat pada radius
diperlihatkan pada Gambar 2. 1

Gambar 2

Ulna
Ulna merupakan tulang medial lengan bawah (Gambar 2). Ujung atasnya bersendi
dengan humerus pada articulatio cubiti dan dengan caput radii pada articulatio radioulnaris
proximalis. Ujung distalnya bersendi dengan radius pada articulatio radioulnaris distalis,
tetapi dipisahkan dari articulatio radiocarpea dengan adanya facies articularis. Ujung atas
ulna besar, dikenal sebagai olecranon processus (Gambar 2); bagian ini membentuk tonjolan
pada siku. Processus ini mempunyai incisura di permukaan anteriornya, incisura trochlearis,
yang bersendi dengan trochlea humeri. Di bawah trochlea humeri terdapat processus
coronoideus yang berbentuk segitiga dan pada permukaan lateralnya terdapat incisura
radialis untr-rk bersendi dengan caput radii. 1
Corpus ulnae mengecil dari atas ke bawah (Gambar 2). Di lateral mempunyai margo
interosseus yang tajam untuk tempat melekatnya membrana interossea. Pinggir posterior
membulat, terletak subcutary dan mudah diraba seluruh panjangnya. Di bawah incisura

7
radialis terdapat lekukan fossa supinato yang mempermudah gerakan tuberositas bicipitalis
radii. Pinggir posterior fossa ini tajam dan dikenal sebagai crista supinatoria, yang menjadi
tempat origo dari musculus supinator. Pada ujung distal uina terdapat caput yang bulat, yang
mempunyai tonjolan pada permukaan medialnya, disebut processus styloideus (Gambar 2).
Otot dan ligamentum penting yang melekat pada ulna dapat dilihat pada Gambar 2. 1

3.2 Histologi
Sebagai unsur pokok tulang kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga
struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat didalam tengkorak
dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tempat sel-sel darah dibentuk. 2
Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fosfat, dan ion lain, yang dapat
dilepaskan atau disimpan dengan cara terkendali untuk mempertahankan konsentrasi ion-ion
penting ini didalam cairan tubuh. 2
Selain itu, tulang membentuk suatu system pengungkit yang melipatgandakan
kekuatan yang dibangkitkan selama otot rangka berkontraksi dan mengubahnya menajadi
Gerakan tubuh. Jaringan bermineral ini memberi fungsi mekanik dan metabolic kepada
kerangka. 2
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antarsel berkapur, yaitu
matriks tulang, dan tiga jenis sel yaitu osteosit, yang terdapat di rongga rongga (lakuna) di
dalam matriks, osteoblas yang menyintesis unsur organik matriks, dan osteoklas yang
merupakan multi nuclear yang terlibat dalam resorpsi dan remodeling jaringan tulang. 2

8
Gambar 3. Sediaan jaringan tulang yang
memperlihatkan sebuah osteosit dengan
tonjolan sitoplasmanya yang
dikelilingi matriks, struktur Ultra inti dan
sitoplasma nya sesuai dengan rendahnya
aktivitas sintesis protein. 2

Gambar 3

Karena metabolit tidak dapat berdifusi melalui matriks tulang yang telah
mengapur, pertukaran zat antara osteosit dan kapiler darah bergantung pada komunikasi
melalui kanalikuli yang merupakan celah-celah silindris halus yang menerobos matriks. 2
Permukaan bagian luar dan dalam semua tulang yang dilapisi lapisan-lapisan jaringan yang
mengandung sel-sel osteogenik endosteum pada permukaan dalam dan periosteum pada
permukaan luar. 2

3.2.1 Sel tulang


A. Osteoblas
Osteoblas bertanggung jawab atas sintesis komponen organik matriks ( kolagen Tipe
1, proteoglikan, dan glikoprotein). Osteoblas hanya terdapat pada permukaan tulang dan
letaknya bersebelahan mirip epitel selapis. 2

9
Gambar 4

Gambar 4. Kejadian-kejadian selama osifikasi intramembranosa. Osteoblas menyintesis


kolagen yang membentuk Seberkas matriks yang menjerat sel-sel. Sewaktu hal ini terjadi,
osteoblas berdiferensiasi secara bertahap menjadi osteosit. Bagian bawah gambar
memperlihatkan sebuah osteoblas yang terperangkap dalam matriks tulang yang baru
terbentuk. 2
Deposisi komponen anorganik dari tulang juga bergantung pada adanya osteoblas
aktif. bila osteoblas aktif menyintesis matriks, osteoblas memiliki bentuk kuboid sampai
silindris dengan sitoplasma basofilik. bila aktivitas sintesisnya menurun sel tersebut menjadi
gepeng dan sifat basofilik pada sitoplasma nya akan berkurang. 2
Beberapa osteoblas secara berangsur dikelilingi oleh matriks yang yang baru
terbentuk dan menjadi osteosit. Selama proses ini terbentuk rongga yang disebut lakuna.
Lakuna dihuni osteosit beserta juluran juluran nya, bersama sedikit matriks ekstrasel yang
tidak mengapur. Komponen matriks disekresi pada permukaan sel yang berkontak dengan
matriks tulang yang lebih tua dan menghasilkan lapisan matriks baru (namun belum
berkapur) yang disebut asteroid diantara lapisan osteoblas dan tulang yang baru dibentuk.
Proses ini yaitu aposisi tulang dituntaskan dengan pengendapan garam garam kalsium ke
dalam matriks yang baru terbentuk. 2

10
B. Osteosit
Osteosit yang berasal dari osteoblas terletak di dalam lakuna yang terletak di antara
Lamela Lamela matriks. Hanya ada satu osteosit di dalam lakuna. Kanalikuli matriks
silindris yang tipis mengandung tonjolan tonjolan sitoplasma osteosit. Tonjolan dari sel-sel
yang berdekatan saling berkontak melalui taut rekah (gap junction) dan molekul-molekul
berjalan melalui struktur ini dari sel ke sel. Sejumlah molekul bertukar tempat dari osteosit
dan pembuluh darah melalui sejumlah kecil substansi ekstrasel yang terletak di antara
osteosit dan matriks tulang. Pertukaran ini menyediakan nutrien kira-kira 15 sel yang
sederet. Bila dibandingkan dengan osteoblas, osteosit yang gepeng dan berbentuk kenari
disebut memiliki sedikit retikulum endoplasma kasar dan kompleks golgi serta kromatin inti
yang lebih padat. 2

C. Osteoklas
Osteoklas adalah sel motil bercabang yang sangat besar. Bagian badan sel yang
melebar mengandung 5-50 inti atau lebih. Pada daerah terjadinya resorpsi tulang, osteoklas
terdapat di dalam lekukan yang terbentuk akibat kerja enzim pada matriks yang dikenal
sebagai lakuna howship. Osteoklas berasal dari penggabungan sel-sel sumsum tulang. 2
Pada osteoklas yang aktif, matriks tulang yang menghadap permukaan terlipat secara
tak teratur seringkali berupa tonjolan yang terbagi lagi dan membentuk batas bergelombang.
Batas bergelombang ini dikelilingi oleh zona sitoplasma zona terang yang tidak mengandung
organel, namun kaya akan filamen aktin. Zona ini adalah tempat adhesi osteoklas pada
matriks tulang yang menciptakan lingkungan mikro tempat terjadinya resorpsi tulang. 2

11
Gambar 5. Sediaan yang memperlihatkan tiga
osteoklas (panah) yang sedang mencerna jaringan
tulang. Osteoklas merupakan sel besar dengan
beberapa inti dan batas tak teratur dekat dengan
matriks tulang. Perhatikan daerah terang tempat
berlangsungnya proses erosi tulang. Daerah ini
diasamkan oleh suatu pompa Proton yang
terdapat pada membran osteoklas. Tempat
tersebut adalah tempat dekalsifikasi dan
pencernaan matriks dan dapat disejajarkan
dengan sebuah lisosom ekstrasel raksasa.
Kondroklas yang ditemukan di daerah erosi di
tulang rawan berkapur epifisis berbentuk serupa
dengan osteoklas. 2
Gambar 5

D. Matriks Tulang
Kira-kira 50% dari berat kering matriks tulang adalah bahan anorganik. Yang
teristimewa banyak dijumpai adalah kalsium dan fosfor, namun bikarbonat, sitrat,
magnesium, kalium, dan natrium juga ditemukan. Studi difraksi sinar-x memperlihatkan
bahwa kalsium dan fosfor membentuk kristal hidroksiapatit dengan komposisi C10(PO4)6
(OH)2. 2
Bahan organik dalam matriks tulang yang adalah kolagen tipe 1 dan substansi dasar
yang mengandung agregasi proteoglikan dan beberapa glikoprotein struktur spesifik.
Glikoprotein tulang mungkin bertanggung jawab atas kelancaran kalsifikasi matriks tulang.2

12
E. Periosteum Dan Endosteum
Permukaan luar dan dalam dari tulang ditutupi lapisan sel-sel pembentuk tulang dan
jaringan ikat yang disebut periosteum dan endosteum. Periosteum terdiri atas lapisan luar
serat-serat kolagen dan fibroblas. Berkas serat kolagen periosteum yang disebut serat
sharpey, memasuki matriks tulang dan mengikat periosteum pada tulang. Lapisan dalam
periosteum yang lebih banyak mengandung sel terdiri atas sel-sel mirip fibroblas yang
disebut sel osteoprogenitor yang berpotensi membelah melalui mitosis dan berkembang
menjadi osteoblas. 2 Endosteum melapisi semua rongga dalam di dalam tulang dan terdiri
atas selapis osteo progenitor gepeng dan sejumlah kecil jaringan ikat. Karenanya endosteum
lebih tipis daripada periosteum. Fungsi utama periosteum dan endosteum adalah memberi
nutrisi kepada jaringan tulang dan menyediakan osteoblas baru secara kontinu untuk
perbaikan atau pertumbuhan tulang. 2

3.2.2 Jenis Tulang


Observasi umum potongan melintang tulang yang memperlihatkan daerah-daerah
padat tanpa rongga-rongga yang sesuai dengan tulang kompakta (padat) dan daerah-daerah
dengan banyak rongga yang saling berhubungan yang sesuai dengan tulang berongga
(spons). 2

A. Jaringan Tulang Primer


Jaringan tulang primer umumnya bersifat sementara dan akan diganti oleh jaringan
tulang sekunder pada orang dewasa kecuali pada Sedikit tempat di tubuh, misalnya dekat
sutura tulang pipih tengkorak , di alveolus gigi, dan pada insersi beberapa Tendo. Selain
berkas serat kolagen tak teratur ciri tulang primer lain adalah kadar mineral yang lebih rendah
( tulang ini mudah ditembus dengan sinar X) dan proporsi osteosit lebih banyak daripada
osteosit jaringan tulang sekunder. 2

B. Jaringan tulang sekunder


Jaringan tulang sekunder adalah jenis jaringan yang biasanya ditemui pada orang
dewasa. Jaringan tersebut secara khas memperlihatkan serat serat kolagen yang tersusun

13
dalam lamela yang sejajar satu sama lain atau tersusun secara konsentris mengelilingi kanal
vaskular. Seluruh kompleks lamel tulang konsentrik mengelilingi suatu saluran yang
mengandung pembuluh darah, saraf, dan jaringan ikat longgar, yang disebut sistem havers
atau osteon. 2

pada tulang kompakta ( misalnya diafisis tulang panjang) , Lamela memiliki susunan khas
yang yang terdiri atas sistem Havers, Lamela sirkumferens luar, Lamela sirkumferens
dalam, dan Lamela interstisial. 2
Lamela sirkumferensial dalam berlokasi di sekitar rongga sumsum dan Lamela
sirkumferensia luar terdapat tepat di bawah periosteum. terdapat lebih banyak Lamela luar
daripada Lamela dalam. diantara kedua sistem sirkumferensial tersebut terdapat banyak
sistem Havers termasuk kelompok Lamela berbentuk tak teratur yang disebut Lamela
interstisial atau intermediate. struktur ini merupakan Lamela yang tersisa dari sistem Havers
yang dihancurkan selama pertumbuhan dan remodeling tulang terjadi. 2

Gambar 6

14
Gambar 6. A. Irisan tebal tulang yang memperlihatkan tulang kompakta di bagian korteks
dan kisi-kisi trabekula di tulang berongga. B . Sediaan tulang berongga dengan susunan acak
serat kolagen yang khas. Pulasan picrosirius dilihat dengan cahaya polarisasi. Dan
pembesaran kecil. 2
Setiap sistem havers merupakan suatu silinder panjang seringkali bercabang dua dan
sejajar terhadap sumbu panjang diafisis. Sistem ini terdiri atas sebuah saluran di pusat yang
dikelilingi 4-20 lamela konsentris. Setiap saluran yang berlapiskan endosteum mengandung
pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat longgar. Kanal havers yang berhubungan dengan
rongga sumsum, periosteum dan saling berhubungan melalui kanal volkmann yang
melintang atau oblik. 2
Pemeriksaan sistem havers dengan cahaya polarisasi memperlihatkan lapisan-lapisan
anisotrop terang yang diselingi lapisan isotop gelap. Bila diamati di bawah cahaya polarisasi
tegak lurus terhadap panjangnya serat kolagen terlihat birefringent atau anisotropik. Lapisan
terang dan gelap tersebut disebabkan oleh perubahan orientasi serat-serat kolagen dalam
lamela. Di setiap lamela serat-serat terletak paralel satu sama lain dan jalannya berpilin. Akan
tetapi puncak pilinan ( heliks)berbeda-beda untuk berbagai lamela sehingga di sembarang
titik serat-serat lamela yang bersebelahan saling menyilang kurang lebih tegak lurus. 2

15
Gambar 7 Tulang berlamela (sekunder)
dengan serat kolagen yang berjalan
paralel satu sama lain ( kiri) atau tersusun
konsentris di sekitar saluran
neurovaskuler untuk membentuk sistem
havers atau osteon ( sebagian besar di
gambar ini) diantara banyak sistem
havers ini terdapat lamela interstisial.
Pulasan psp. Pembesaran lemah. 2

Gambar 7

3.3. Definisi
3.3.1. Definisi Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang
itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
lengkap atau tidak lengkap. 3
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak
lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan trauma
muskuloskeletal, fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Hal ini terjadi apabila di samping
kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan tulang disertai pula fraktur,
persendian tersebut.3

16
Proses Fraktur
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur pemeriksa
perlu mengenal anatomi dan fisiologi tulang sehingga pemeriksa mampu lebih jauh mengenal
Keadaan fisik tulang dan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Pada beberapa
keadaan kebanyakan proses fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma muskuloskeletal yang bisa
menjadi fraktur dapat dibagi menjadi trauma langsung dan tidak langsung. 3
Trauma langsung adalah norma yang menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan. Tidak langsung merupakan suatu kondisi trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada clavicula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. 3
Fraktur juga bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih dibandingkan kemampuan
tulang untuk menahan tekanan. Tekanan yang terjadi pada tulang dapat berupa beberapa hal:3
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik.
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal.
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi,
si atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif dan memecah misalnya
pada badan vertebra, halus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
5. Trauma langsung disertai dengan resistensi pada suatu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur z.
6. Fraktur remuk (brust fracture)
7. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian tulang.

3.2.2 Fraktur Humerus


Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang-tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus. 4

17
3.4. Epidemiologi

World Health Organization (WHO) telah menetapkan dekade (2000-2009) menjadi


dekade tulang dan persendian.Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan
lalulintas seperti kecelakaan motor dan mobil serta kecelakaan pejalan kaki sewaktu
menyebrang. Data dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat (DINKES SUMBAR) tahun
2009 didapatkan sekitar 2700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami
kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami
gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur.5 Kejadian fraktur lebih
sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan usia di bawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan, sedangkan pada usia lanjut (usila)
prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada perempuan berhubungan dengan adanya
kejadian osteoporosis yang berhubungan dengan perubahan hormone pada fase menapouse
(Lukman & Ningsih, 2009).6

3.5. Etiologi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis7. Etiologi dari fraktur terdiri dari 3 macam, yaitu8:
1. Cidera atau benturan.
2. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang-
orang yang baru mulai latihan lari.

3.6. Patofisiologi

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.Sel- sel darah putih dan sel mast

18
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment9.
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah4. Pasien yang
harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi
kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila
sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan
pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan
operasi8.

3.7. Klasifikasi
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan
dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang terbuka dibagi menjadi
tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, seperti yang
dijelaskan pada tabel 1.

19
Tabel 1. Derajat fraktur terbuka menurut Gustillo10
Derajat Luka Fraktur
Laserasi <1 cm kerusakan
Sederhana, dislokasi
I jaringan tidak berarti
fragen minimal
relatif bersih
Laserasi >1cm tidak ada
kerusakan jaringan yang Dislokasi
II hebat atau avulsi, ada fragmen jelas
kontaminasi

Luka lebar dan rusak hebat


Kominutif, segmental,
atau hilangnya jaringan
III disekitarnya. Kontaminasi fragmen tulang ada yang

hebat hilang

Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis, fraktur dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu :

a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat secara
radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus dilakukan setelah
melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a), fragmen tetap pada tempatnya
setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek
dan terjadi pergeseran meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b)
membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling
tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari dua
fragmen, karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil11.

b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas periosteum.
Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak terlihat (gambar 1d).
Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang melengkung atau bengkok seperti

20
ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis
daripada orang dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam11.

(a) (b (c (d (e (f
) ) ) ) )
Gambar 8. Variasi fraktur. Keterangan : Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental;
(c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur greenstick11

Klasifikasi Penyebab Fraktur : 3


1. Fraktur Traumatik : Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma tersebut
sehingga terjadi fraktur.
2. Fraktur Patologis : Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis didalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau proses patologis
lainnya. Tulang seringkali menunjukan penurunan densitas. Penyebab paling
sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun
metastasis.
3. Fraktur Stress : Disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu.

21
Klasifikasi Jenis Fraktur : 3
1. Fraktur terbuka
2. Fraktur tertutup
3. Fraktur kompresi
4. Fraktur stress
5. Fraktur avulsi
6. Greenstick Fracture (Fraktur
lentuk datau salah satu tulang
patah pada sisi lainnya
membengkok)
7. Fraktur transversal
8. Fraktur komunitif (tulang
pecah menjadi beberapa
fragmen)
9. Fraktur impaksi (Sebagian
fragmen tulang masuk
Gambar 9. Klasifikasi Jenis Fraktur yang umum
kedalam tulang lainnya). digunakan dalam konsep fraktur

3.8. Gejala
Gejala klasik fraktur adalah adanaya riwayat trauma rasa nyeri dan bengkak dibagian
tulang yang patah, deformitas angulasi, rotasi, diskrepansi. Nyeri tekan krepitasi, gangguan
fungsi musculoskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovascular. Apabila gejala klasik tersebut ada secara klinis diagnosis fraktir dapat
ditegakan walaupun jenis konfigurasi fraktur belum dapat ditentukan.6

Menurut Apley dan Solomon (1995) manifestasi klinis yang muncul:

1. Kelemahan pada daerah fraktur.


2. Nyeri bila ditekan atau bergerak.

22
3. Krepitasi.
4. Deformitas.
5. Perdarahan (eksternal atau internal)
6. Syok.

3.9. Diagnosa
3.9.1. Anamnesis12,13
Anamnesis terdiri dari:
a. Auto anamnesis:
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa. Ditanyakan persoalan:
mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan; penderita bercerita tentang keluhan
sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai ketidakberesan; bagian apa dari
anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada pengertian yang berbeda misalnya
“sakit di tangan”, yang dimaksud tangan oleh orang awam adalah anggota gerak atas dan
karenanya tanyakan bagian mana yang dimaksud, mungkin saja lengan bawahnya.
Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau beberapa
penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan anamnesis demikian
perlu pengetahuan tentang penyakit.
Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik, terus-
menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan

23
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan

3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai nyeri,
sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah yang dimaksud instability atau kekakuan otot
menurun/melemah/kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif (ditanya oleh
pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala penyakit) dipikirkan
kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang didapat pada anamnesis dapat
dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.
b. Allo anamnesis:
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah orang
lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/bayi atau orang tua yang
sudah mulai dementia atau penderita yang tidak sadar/sakit jiwa; oleh karena itu perlu
dicatat siapa yang memberikan allo anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu rumah tangga
dapat memberikan keterangan yang lebih baik
- juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan keterangan
yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.

3.9.2. Pemeriksaan Fisik12,13


Dibagi menjadi dua yaitu (1) pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan (2) pemeriksaan setempat (status lokalis).
1. Gambaran umum:
Perlu menyebutkan:

24
a. Keadaan Umum (K.U): baik/buruk, yang dicatat adalah tanda-tanda vital yaitu:
- Kesadaran penderita; apatis, sopor, koma, gelisah
- Kesakitan
- Tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu
b. Kemudian secara sistematik diperiksa dari kepala, leher, dada (toraks), perut
(abdomen: hepar, lien) kelenjar getah bening, serta kelamin
c. Ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang belakang)

2. Pemeriksaan lokal:
Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari anggota terutama
mengenai status neuro vaskuler. Pada pemeriksaan orthopaedi/muskuloskeletal yang
penting adalah:
a. Look (inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan

b. Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai dari
posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun si pasien, karena itu perlu
selalu diperhatikan wajah si pasien atau menanyakan perasaan si pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi

25
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai

c. Move (pergerakan terutama mengenai lingkup gerak)


Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selaiam untuk mendapatkan
kooperasi anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk mengetahui gerakan normal si
penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita dapat berkomunikasi dengan
sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan abnormal di daerah fraktur
(kecuali pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah pergerakan
mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankilosis dan hal ini dapat disebabkan oleh faktor intra
artikuler atau ekstra artickuler.
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan
kerusakan tulang subkondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament dan
kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (penderita sendiri disuruh
menggerakkan) dan pasif (dilakukan oleh pemeriksa).
Selain pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting
untuk melihat kemajuan atau kemunduran pengobatan.
Selain diperiksa pada posisi duduk dan berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri

26
dan jalan. Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena
instability, nyeri, discrepancy, fixed deformity.
Anggota gerak atas:
- Sendi bahu: merupakan sendi yang bergerak seperti bumi (global joint); ada
beberapa sendi yang mempengaruhi gerak sendi bahu yaitu: gerak tulang
belakang, gerak sendi sternoklavikula, gerak sendi akromioklavikula, gerak sendi
gleno humeral, gerak sendi scapula torakal (floating joint).
Karena gerakan tersebut sukar diisolasi satu persatu, maka sebaiknya gerakan
diperiksa bersamaan kanan dan kiri; pemeriksa berdiri di belakang pasien, kecuali
untuk eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka pemeriksa ada di samping
pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon terhadap humerus).
Gerak pronasi dan supinasi adalah gerakan dari antebrachii dan memiliki sumbu
ulna; hal ini diperiksa pada posisi siku 90˚ untuk menghindari gerak rotasi dari
sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Pada dasarnya merupakan gerak dari radio karpalia dan posisi netral adalah pada
posisi pronasi, dimana jari tengah merupakan sumbu dari antebrachii. Diperiksa
gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar deviasi.
- Jari tangan:
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai gerakan aposisi
terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan adduksi, ekstensi, dan fleksi.
Jari-jari lainnya hamper sama, MCP (Meta Carpal Phalangeal Joint) merupakan
sendi pelana dan deviasi radier atau ulnar dicatat tersendiri, sedangkan PIP
(Proximal Inter Phalanx) dan DIP (Distal Inter Phalanx) hanya diukur fleksi dan
ekstensi.
3.9.3. Pemeriksaan Laboratorium13
Pemeriksaan laboratorium meliputi:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut/menahun

27
2. atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi
hati/ginjal
3. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test

3.9.4. Pemeriksaan radiologis13


Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya,
maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua:
1. Dua posisi proyeksi; dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan
lateral
2. Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proximal dan distal sendi yang
mengalami fraktur
3. Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak
terutama pada fraktur epifisis
4. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang.
Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul
dan tulang belakang
5. Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian.
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya,
apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.

3.10. Tatalaksana
Penatalaksanaan secara umum14:
a. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.

28
b. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur.
Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk
sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita

Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan
pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka
waktu sesingkat mungkin.14

1. Fraktur proksimal humeri.


Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama waktu
itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil
membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan
dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).15,16

2. Fraktur shaft humeri


Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila kedudukn
sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab (sugar tong
splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast terutama
dipakai pada penderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan proksimal
terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus
dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus disertai
eksplorasi n. Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan
penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya

29
neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali dalam
waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.15,16

3. Fraktur suprakondiler humeri


Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum.
Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai tak
teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba lagi.
Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi
maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi
sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi
ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam
ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis
patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih
baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.15,16

4. Fraktur transkondiler humeri


Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau
tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka
dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw. 15,16

5. Fraktur interkondiler humeri


Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi
dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk
mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan
internal fiksasi dengan plate-screw.15,16

30
6. Fraktur kondilus lateral & medial humeri
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi
tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang
baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna
dengan plate-screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan debridement dan dilakukan
fiksasi luar.15,16
3.11. Komplikasi
1) Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada n.Sirkumfleksi aksilaris menyebabkan
paralisis m.Deltoid.
2) Apabila pada fraktur medial humerus disertai komplikasi cdera n.Radialis, harus
dilakukan operasi reduksi dan internal fiksasi dengan plate screw untuk humerus
disertai eksplorasi n.Radialis.
3) Sindroma kompartemen yang biasa disebut dalam 5 P (Pain, Pallor, Pulselesness,
Paraesthesia, Paralysis), terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan nekrosis
otot-otot dan saraf.
4) Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara
fungis baik, tapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi
meluruskan siku dengan teknik French osteotomy.14

3.12. Prognosis
Prognosis dari fraktur humerus tergantung dari tingkat keparahan serta
tatalaksana yang didapatkan.

31
BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.
Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat
menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar
tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luas dan tingkat
kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya.
Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepat dan tepat
untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard. Anatomi Klinis : Clinical Anatomy by System. Jakarta;EGC. 2011.


Hal 318-320.
2. Junqueira, Luiz C. Histologi Dasar. Teks dan Atlas. Jakarta;EGC. 2007. Hal 134-
137
3. Helmi, Zairin N. Buku Ajar Gangguan Musculoskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
2013. Hal 24-25
4. Rasjad,C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC. 2010. Bab 42. Sistem
Musculoskeletal.
5. World Health Organization. World health statistics 2010. 2010 (diunduh 9 April
2020). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.who.int/whosis/whostat/2010/en/.

6. Schwartz.Manual of Surgery,in Urology, Benign Prostatic Hyperplasia.Mc Graw


Hills Companies. 2006. Pg.1040
7. Mansjoer, A.( 2002). Askariasis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1, Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Halaman : 416 – 418.
8. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
9. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
10. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.
11. Apley. A. G. and Solomon.L. 2010. Apley’s system of ortopedic and fracture united
kingdom. hodder amold.
12. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42; Sistem
Muskuloskeletal.
13. .Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher,
2009, Bab 9; Orthopaedi.
14. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000, Bab 7;
Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.

33
15. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
16. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher,
2009, Bab 9; Orthopaedi.

34

Anda mungkin juga menyukai