Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

STROKE

Disusun oleh:

Farah Eka Salsabela, dr.

Dokter Pendamping:
Ferry Fadilah, dr.
Murniati, dr.

Disusun Dalam Rangka Mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia Periode


Februari 2019 s/d Februari 2020 di RSUD Malingping
Lebak – Banten
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. J

Usia : 43 tahun

Alamat : Kp. Sawah, Desa Pagelaran

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Status Pernikahan : Sudah menikah

Tanggal Masuk RS : 9 Oktober 2019

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Lemah anggota gerak badan

Anamnesis Khusus:

Pasien datang ke IGD RSUD Malingping dengan keluhan lemah anggota

gerak badan kanan dan kiri sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan

dirasakan tiba-tiba. Keluhan disertai sulit bicara. Bicara seperti rero. Keluhan disertai

lemas badan dan sakit kepala. Keluhan disertai gangguan penglihatan. Keluhan tidak
disertai demam, sesak nafas, batuk, ataupun pilek. BAB dan BAK normal. Keluhan

serupa sebelumnya tidak ada.

Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tipe II. Pasien

kontrol rutin untuk hipertensi dan diabetes mellitus tipe II. Tidak ada keluarga yang

mengalami hal serupa. Riwayat keluarga dengan hipertensi dan diabetes mellitus tipe

II tidak ada.

1.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis (GCS: 15)

Tanda-Tanda Vital

TD: 210/110 mmHg R: 20 x/menit

N: 95 x/menit S: 36.80C

Kepala

Normocephali

Mata

Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

THT

Dalam batas normal

Leher
KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

JVP dalam batas normal

Trakea tidak memgalami deviasi

Toraks

Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada

Cor

S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

Bising nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

Datar lembut

Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

BU (+) normal

NT (-), NL (-), PS (-)

Ekstremitas

Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik, edema (-)

Status Motorik

Ekstremitas Atas: Dekstra: 3, sinistra: 3

Ekstremitas Bawah: Dekstra: 3, sinistra: 3

1.4. Diagnosis
Stroke Non Hemorhagic

1.5. Tatalaksana

Medikamentosa

IVFD NaCl 20 tpm

Captopril 3x25 mg PO

Amlodipin 1x10 mg PO

Aspillet 1x80 mg PO

Simvastatin 1x20 mg PO

Citicholin 2x500 mg IV

Metformin 3x500 mg PO

Non Medikamentosa

Edukasi pada pasien untuk mengonsumsi obat-obatan secara teratur

Edukasi pada keluarga pasien untuk memantau kondisi pasien

1.6. Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

Suatu kondisi gangguan fungsi otak yang timbul mendadak akibat

tersumbatnya aliran darah otak atau pecahnya pembuluh darah, yang berlangsung

lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian.1

Sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis

klinis fokal dan/atau global yang berkembang dengan cepat, adanya gangguan fungsi

serebral, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menimbulkan

kematian tanpa terdapat penyebab selain yang berasal dari vaskular.1

2.2. Epidemiologi

Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik

dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur

adalah: sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5%

(umur 65 tahun). Kejadian stroke(insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dan

kecacatan;1,6% tidak berubah; 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih


banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia

45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia

produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam

pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.2

Sistem pengobatan stroke yang didasarkan pada ketatnya waktu tidak selalu

dapat diterapkan secara umum. Hal ini mengingat kesadaran pasien untuk tiba

dirumah sakit lebih awal dari ketersediaan fasilitas transportasi cenderung masih sulit

tercapai. Penelitian stroke di Indonesia tahun 2000 menunjukkan beberapa masalah

terkait hal ini, yaitu masalah transportasi (21,5%), tidak sadar menderita stroke

(56,3%), pergi ke dukun (4,2%), minum obat tradisional (11,8%) dan tidak diketahui

(6,2%).2

2.3. Patofisiologi

2.3.1. Infark

Infark serebri terjadi akibat dua proses patofisiologis yaitu hilangnya suplai

oksigen dan glukosa akibat sumbatan pembuluh darah, atau beberapa perubahan

metabolisme selular yang terjadi akibat adanya kelainan membran sel. Adam dan

Viktor kemudian membagi stroke infark menjadi dua bagian besar yaitu

aterotrombotik dan kardioemboli, perbedaan antara keduanya adalah pada infark

thrombus awalnya pembuluh darah tidak tersumbat seluruhnya pada permulaan


pembentukannya sedangkan pada saat emboli lepas dan menyumbat pembuluh darah

seluruh lumen pembuluh darah dapat tersumbat.3

Proses pembentukan thrombus dimulai dari adanya jejas endothelial yang

kemudian menstimulasi terjadinya inflammation healing yaitu di mana mediator

inflamasi keluar dan terjadi pembentukan platelet plug di lokasi jejas. Pada lokasi

jejas beberapa mediator teraktivasi seperti prostasiklin, vasomodulin, dan

thromboxane A2 sedangkan protein inhibisi koagulasi berkurang seperti protein C

dan homocysteine. Kemudian terjadi agregasi platelet, pembentukkan thrombin dan

perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Selain itu, LDL juga terakumulasi di tunica

media sehingga membentuk foam cell. Ketika thrombus yang terbentuk menutupi >

40% lumen pembuluh darah maka pembuluh darah sudah tidak dapat mengalami

dilatasi sebagai kompensasi sehingga lama kelamaan, thrombus dapat menutupi

seluruh lumen dan menyebabkan iskemia.3


Faktor risiko

Aterosklerosis di cerebral
artery

Lumen menyempit
(sklerosis)

Endotel rusak, muncul reaksi


Trombus inflamasi
lepas
Adhesi platelet & fibrin ke dinding arteri
Trombu membentuk clot
s lepas Embol
dari i Oklusi Arteri : iskemik
area
lain
Glukosa di neuron

Mitokondria gagal produksi Produksi laktat meningkat


ATP

Pompa Na-K gagal bekerja Asidosis intrasel otak

Depolarisasi neuron

Glutamate dilepas Ca intrasel K intrasel


dari synaptic
terminal
Aktivasi
Mengubah Aktivasi enzim NOS fosfolipase
membran sel Na NO
Ca Menghancurkan lapisan
Penguraian dan fosfolipid
Influx water kerusakan struktur

PG, leukotrien, radikal proteolisis


Cytotoxic bebas
edema
Membrane & sitoskleteal
breakdown

Neuronal cell
death
2.3.2. Hemoragik

Pembuluh darah mengalami perubahan pada kondisi hipertensi dan proses

degeneratif seperti nekrosis fibrinoid, degenerasi medial, lipohyalinisasi dan

pembentukan aneurysm yang kemudian menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh

dan mudah pecah. Pada perdarahan intracranial umumnya terjadi pada penderita

hipertensi akut seperti infeksi dan sedangkan perdarahan subarachnoid biasanya

dipelopori oleh pecahnya mikroaneurisma. Pembuluh darah intrakranial lebih rapuh

dibandingkan pembuluh darah ekstrakranial karena berdinding lebih tipis.3

2.4. Manfiestasi Klinis

Gejala klinis stroke berbeda dari kasus ke kasus, tergantung dari :4

1. Luasnya lesi

2. Letak lesi

-. Sistem karotis

-. Sistem vertebrobasiler4

Berdasarkan letak lesi vaskuler, dibedakan dalam:4

Gejala klinik sistem karotis :4


1. Disfungsi motorik berupa hemiparese kontralateral, pada umumnya parese

motorik saraf otak sejajar/ipsilateral dengan parese ekstremitas, lainnya

disartria.

2. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi kontralateral, hipestesi saraf otak

sejajar dengan hipestesi ekstremitas, dapat juga berupa parestesia.

3. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim kontralateral (pada TIA dapat

berupa amaurosis fugax).

4. Gangguan fungsi luhur, seperti afasia (gangguan berbahasa, bila lesi pada

hemisfer dominan, umunya hemisfer kiri), agnosia (lesi pada hemisfer non

dominan).4

Gejala klinik sistem vertebrobasiler:4

1. Disfungsi motorik berupa hemiparese alternans yaitu parese motorik saraf

otak tidak sejajar/kontralateral dengan parese ekstremitas, lainnya disartria.

2. Disfungsi sensorik berupa hemihipestesi alternans yaitu hipestesi saraf otak

tidak sejajar dengan hipestesi ekstremitas.

3. Gangguan visual berupa hemianopsia homonim, satu atau dua sisi lapang

pandang, buta kortikal (terkenanya pusat penglihatan di lobus oksipitalis)

4. Gangguan lainnya berupa gangguan keseimbangan, vertigo dan diplopia.4


Untuk membedakan gejala klinik fokal dan non fokal (global), Warlow et al

(1996) menyusun sebagai berikut:4

Gejala klinik fokal:4

1. Gangguan motorik

Hemiparesis, paraparesis, quadriparesis, disfagia, ataksia

2. Gangguan berbahasa/berbicara

Disfasia, disgrafia, diskalkuli, disartria

3. Gangguan sensibilitas

Somatosensorik (hemisensoris)

Visual ( hemianopsia, quadrantanopsia, bilateral blindness, diplopia,

amaurosis fugax pada TIA)

4. Gangguan vestibuler : vertigo

5. Gangguan tingkah laku/kognitif : disfungsi visuospasial, amnesia4

Gejala klinik non fokal (global):4

1. Paralisis dan/atau hipestesi bilateral

2. Light-headedness
3. Faintness

4. Blackout (dengan gangguan kesadaran, dengan/tanpa gangguan penglihatan)

5. Inkontinensio urine et alvi

6. Bingung (confused)

7. Gejala lainnya : vertigo, tinitus, disfagia, disartria, diplopia, ataksia.4

2.5. Sistem Skoring

Sistem score untuk membedakan jenis Stroke:

1. Siriraj Stroke Score (SSS)5

Siriraj Stroke Score (SSS)


Cara penghitungan:

SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan

diastolik) - (3 x atheroma) – 12

• Nilai SSS Diagnosa

• >1 Perdarahan otak

• < -1 Infark otak

• -1 < SSS < 1 Diagnosa meragukan (Gunakan kurva atau CT Scan)

2. Skor Gajah Mada (SGM)5

Skor Gajah Mada (SGM)


Perbedaan klasifikasi stroke:5

No. Keterangan Infark     Perdarahan  

    KE AT TE PIS PSA

1 Umur Muda Tua Tua Tua

2 Onset (awitan) Aktivitas istirahat Aktivitas Aktivitas

Maximal at onset Maximal at Maximal at


3 Gejala Worsening Cepat
(improving) onset onset

4 Muntah Positif Negatif Negatif Positif Positif

Nyeri kepala Positif Negatif Negatif Positif Positif

Kejang Positif Negatif Negatif Positif Positif

5 Kaku kuduk Negatif Negatif Positif/negatif Jelas

6 Kesadaran Normal Normal Normal Turun Turun

7 Afasia Positif Positif Negatif Negatif

Deviasi
8 Negatif Negatif Positif Positif
konjugat

Hipodens
Hipodens (setelah Hiperden
9 CT-Scan (setelah 4-7 Hipersens
4-7 hari) s
hari)

10 Angiografi Oklusi/stenosis Oklusi/stenosis AVM

Sedang- Ringan-
11 Hipertensi Normal-ringan Sedang-tinggi Tinggi-maligna
tinggi sedang

RHD,ASDH,Iram
12 Kardinal HHD
a

13 DM Positif
14 Dislipidemia Positif

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1. Penatalaksanaan Stroke Iskemik Akut

1. Tatalaksana umum6

a. Tirah baring dengan posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat untuk

mencegah postural hypertension

b. Pemakaian kateter urin

c. Diet rendah garam per NGT

d. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit

e. Penatalaksanaan hipertensi, hiperglikemi, hipoglikemi, dehidrasi

f. Mobilisasi dan rehabilitasi dini6

2. Tatalaksana khusus6

a. Obat antiplatelet  menghambat agregasi trombosit sehingga pembentukan

thrombus tidak terjadi

i. Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat)

Dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4x pemberian. Sebagai anti

trombosit dosis 325 mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke.

PERDOSSI merekomendasikan dosis 80-320 mg/hari untuk pencegahan

sekunder stroke iskemik.

ii. Tiklopidin

Dewasa dan orang tua: 2x250 mg/hari diminum bersama makanan


b. Obat antikoagulan

i. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke

ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau

memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak

direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke

iskemik akut.

ii. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita dengan

stroke akut sedang-berat karena meningkatnya resiko komplikasi

perdarahan intracranial

iii. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam

bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan.

iv. Secara umum, pemberian heparin LMWH, atau heparinoid setelah

stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih

merekomedasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik

akut dengan resiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteria tau

stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi

pemberian heparin juga termasuk infark besar lebih dari 50%,

hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler

otak yang luas.6

2.6.2. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral


Penggantian faktor koagulasi dan trombosit jika pasien mengalami defisiensi.

Apabila terdapat gangguan koagulasi dapat diberikan:6

 Vitamin K 10 mg intravena pada pasien dengan INR menigkat.

 Plasma segar beku (fresh frozen plasma) 2-6 unit.

 Pencegahan tromboemboli vena dengan stoking elastis

 Heparin subkutan bisa diberikan apabila perdarahan telah berhenti sebagai

pencegahan tromboemboli.

 Kontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah

 Pemberian anti epilepsi apabila terdapat kejang

 Prosedur /operasi6

2.6.3. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

1. Pencegahan dan tatalaksana vasopasme

a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3

atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.

2. Tindakan operasi pada aneurisma rupture

a. Operasi clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan

untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.6

2.6.4. Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Akut

Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%

(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TDS >220

mmHg atau TDD >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan

TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Classs I, Level of evidence B). selanjutnya, tekanan

darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam

setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol,

nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.6

Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level

of evidence C) apabila TDD <200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150

mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunkana obat antihipertensi intravena

secara kontinyu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.6

Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan

tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial.

Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara

kontinyu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.6

Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan

tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati

dengan menggunkana obat antihipertensi intravena kontinyu atau intermiten dengan

pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan

darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140

mmHg diperbolehkan (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).6


Pada pasien stroke PIS dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan

darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa,

Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100 mmHg.6

Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah

pada penderita stroke PIS. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan

penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan

diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya di atas. Hidralasin dan nitroprusid

sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial,

meskipun bukan kontraindikasi mutlak. Pada perdarahan subarachnoid (PSA)

aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendaikan bersama pemantauan

tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah

PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk

mencegah terjadinya PSA berulang, pad pasien stroke PSA akut, tekanan darah

diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering

digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, tetapi

hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan

vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular. Calcium channel blocker (nimodipin)

telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena data memperbaiki

keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan

akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari

nimodipin. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi


dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah

belum jelas.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Moore K, Dalley A, Agur A. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia:

Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

2. Nouh A, Remke J, Ruland S. Ischemic Posterior Circulation Stroke: A

Review of Anatomy, Clinical Presentations, Diagnosis, and Current

Management. Frontiers in Neurology. 2014;5.

3. Harrison’s Principle of Internal Medicine 19th ed.

4. Adam and Victor’s Principle of Neurology 10th ed.

5. Konstantin A. Hossmann and Wolf-Dieter Heiss. Cambridge. Neuropathology

and pathophysiology of Stroke.

6. Hypertension and Stroke: Pathophysiology and Management. Venkatesh

Aiyagari.

Anda mungkin juga menyukai