DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Dokter Pendamping:
Ferry Fadilah, dr.
Murniati, dr.
LAPORAN KASUS
Usia : 27 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
1.2. Anamnesis
Anamnesis Khusus:
minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan sepanjang hari. Demam
terutama dirasakan meningkat pada malam hari. Keluhan disertai menggigil dan nafsu
makan menurun. Keluhan disertai nyeri ulu hati dan mual. Keluhan terkadang disertai
muntah. Keluhan tidak disertai sesak nafas, batuk, ataupun pilek. BAB terakhir 2 hari
Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa pada 5 bulan yang lalu
dan sempat dirawat di Puskesmas Malingping. Setelah dirawat, pasien merasa sudah
sembuh. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tipe II tidak ada. Riwayat penyakit
asma tidak ada. Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa.
Status Generalisata
Tanda-Tanda Vital
Kepala
Normocephali
Mata
THT
Toraks
Cor
Pulmo
Abdomen
Datar lembut
BU (+) normal
Ekstremitas
1.4. Diagnosis
Demam Tifoid
1.5. Tatalaksana
Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Omeprazole 2x40 mg IV
Ondansetron 3x4 mg IV
Parasetamol 3x500 mg IV
Ceftriaxone 1x2 gr IV
Non Medikamentosa
Edukasi pada keluarga pasien untuk memantau asupan makanan pada pasien
1.6. Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Selama terjadinya infeksi,
Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan
hampir selalu motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua
atau lebih bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella
terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang
sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu
pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik
transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan
sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang
yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja
dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50
tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi
sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten
mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau
carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam kandung empedu atau dalam dinding
higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman
yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat
berbahaya karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran
umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus
2.2. Epidemiologi
demam tifoid banyak dijumpai pada populasi usia 3-19 tahun. Demam tifoid
demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal
ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut
dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih merupakan
masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik endemik dan
timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup tinggi
Indonesia juga berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat
terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan
piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya tempat buang air besar di dalam
rumah.3,4
Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi
kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien
berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-
2.3. Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi)
dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan
biak. Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang
bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).2
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan
selanjutnya di bawa ke plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinosoid dan selanjutnya masuk
kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini,
kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk
lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
dan berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
dan air kedalam lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque
peyeri yang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
manonuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang
hingga kelapisan otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati
membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis
fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti
limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat
ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal, jantung, empedu
hipotalamus.
lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya yang kurang begitu penting.
salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
miokardium.
Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan
terutama saat sore hingga malam hari, pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis.
Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada,
Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap
tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita
mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain
berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak dapat pula ditemukan.
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun
dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai
dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti
naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala,
malaise dan menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada
pasien yang tidak diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja,
selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam
intermitten), sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari
Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada
penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri
perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid).
Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-
gejala psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh
yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai
adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8
denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid
seperti rose spot biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, atau
misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala
lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa
tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu.
Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu.
Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya yaitu :
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
2. Nutrisi
- Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
- Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan
usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu
keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan
menjadi lama. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi,
sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan
selama 2 minggu.
3-5 hari.
• Cefotaxime 2-3 x 1 gr
14 hari.
selama 6 hari.
selama 7 hari.
7 hari.
Kortikosteroid : penggunaannya
dosis 3 x 5 mg.
2.6. Pencegahan
Hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
DAFTAR PUSTAKA
Fever. 2011.
2. Siti Setiati, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, Marcelius Simadibrata, dkk. Buku
4. Ditjen PP & PL. Depkes RI. Data Surveilans Epidemiologi Tahun 2007. 2008.