Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:

Farah Eka Salsabela, dr.

Dokter Pendamping:
Ferry Fadilah, dr.
Murniati, dr.

Disusun Dalam Rangka Mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia Periode


Februari 2019 s/d Februari 2020 di RSUD Malingping
Lebak – Banten
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. S

Usia : 27 tahun

Alamat : Kp. Kaum, Desa Malingping Utara

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Status Pernikahan : Sudah menikah

Tanggal Masuk RS : 25 September 2019

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Demam

Anamnesis Khusus:

Pasien datang ke IGD RSUD Malingping dengan keluhan demam sejak 2

minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan sepanjang hari. Demam

terutama dirasakan meningkat pada malam hari. Keluhan disertai menggigil dan nafsu

makan menurun. Keluhan disertai nyeri ulu hati dan mual. Keluhan terkadang disertai
muntah. Keluhan tidak disertai sesak nafas, batuk, ataupun pilek. BAB terakhir 2 hari

yang lalu. BAK normal.

Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa pada 5 bulan yang lalu

dan sempat dirawat di Puskesmas Malingping. Setelah dirawat, pasien merasa sudah

sembuh. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tipe II tidak ada. Riwayat penyakit

asma tidak ada. Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa.

1.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis (GCS: 15)

Tanda-Tanda Vital

TD: 92/68 mmHg R: 20 x/menit

N: 121 x/menit S: 38.20C

Kepala

Normocephali

Mata

Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

THT

Dalam batas normal


Leher

KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

JVP dalam batas normal

Trakea tidak memgalami deviasi

Toraks

Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada

Cor

S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

Bising nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

Datar lembut

Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

BU (+) normal

NTE (+), NL (-), PS (-)

Ekstremitas

Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik, edema (-)

1.4. Diagnosis

Demam Tifoid
1.5. Tatalaksana

Medikamentosa

IVFD RL 20 tpm

Omeprazole 2x40 mg IV

Ondansetron 3x4 mg IV

Parasetamol 3x500 mg IV

Ceftriaxone 1x2 gr IV

Non Medikamentosa

Edukasi pada pasien untuk mengonsumsi obat-obatan secara teratur

Edukasi pada keluarga pasien untuk memantau asupan makanan pada pasien

Diet TKTP (Tinggi Karbohidrat Tinggi Protein)

1.6. Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram

negatif Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Selama terjadinya infeksi,

kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuclear dan secara

berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1,2

Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan

hampir selalu motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua

atau lebih bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella

enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan

yang membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen

O somatik dan antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi

terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi

komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis.2

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang

sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu

pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik

transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan
sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang

yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja

dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50

tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi

sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten

mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau

makanan. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya

carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam kandung empedu atau dalam dinding

kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.2

Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan

higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman

yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat

berbahaya karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran

umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus

diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK

(Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.2

2.2. Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Di Indonesia,

demam tifoid banyak dijumpai pada populasi usia 3-19 tahun. Demam tifoid

menempati urutan ketiga penyakit terbanyak pada pasien ranap di RS di Indonesia.2


Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Angka kejadian

demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal

ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut

dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih merupakan

masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik endemik dan

timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup tinggi

berkisar antara 354-810 / 100.000 penduduk pertahun. Kejadian demam tifoid di

Indonesia juga berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat

terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan

piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya tempat buang air besar di dalam

rumah.3,4

Di daerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak.

Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi

kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien

berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-

10% di atas 40 tahun.4

2.3. Patofisiologi

Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi)

dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan

dan minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan


dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang

biak. Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang

bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).2

Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria

kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan

selanjutnya di bawa ke plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat

didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia

pertama yang asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinosoid dan selanjutnya masuk

kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini,

terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.2

Di dalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten

kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk

lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

dan berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman

Salmonella melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat

dan air kedalam lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik

seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,

ganguan mental dan gangguan koagulasi.2

Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi.

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque

peyeri yang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel

manonuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang

hingga kelapisan otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati

membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis

fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti

limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat

ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal, jantung, empedu

mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.2

Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid2 :

1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator

di hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi

termoregulasi di hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen


endogen, yang pada akhirnya juga mempengaruhi termoregulasi di

hipotalamus.

2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari

termoregulator, dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi

vasokonstriksi dan pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot

lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya yang kurang begitu penting.

3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi

salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.

4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja

miokardium.

2.4. Manifestasi Klinis

Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan

hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat perlahan-lahan

terutama saat sore hingga malam hari, pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual,

muntah. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis.

Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada,

namun diare juga ditemukan.2

Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap

tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan

pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita

mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain

berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak dapat pula ditemukan.

Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun

dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai

dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga

berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga kali.2

Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti

naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala,

malaise dan menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada

pasien yang tidak diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja,

selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam

intermitten), sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari

intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu).

Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat

normal kembali pada akhir minggu ke-3.2

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir

kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput

putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada

penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri

perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-

kadang timbul diare.2

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan

kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid).

Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-

gejala psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala

delirium lebih menonjol.2

Brandikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis

pemeriksaan yang sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh

yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai

adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8

denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid

seperti rose spot biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, atau

gejala-gejala klinis yang dapat berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.2

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial,

misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala

lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa

tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu.

Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu.
Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri

seluruh badan, letargi dan demam.2

2.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaannya yaitu :

1. Tirah baring

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau

kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah

terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien

dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.2

2. Nutrisi

- Cairan

Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan

parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila

ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.2

- Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan

akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur

saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan

usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu

diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak

sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit,

keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan

menjadi lama. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi,

maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien

sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan

lauk-pauk rendah selulosa.2

3 Pemberian obat animikroba2

KLORAMFENKOL Dosis yang diberikan adalah 4 x 500

mg per hari dapat diberikan secara per

oral atau intravena. Diberikan sampai

dengan 7 hari bebas panas

Tiamfenikol Dosis 4 x 500 mg, demam rata-rata

menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

Kotrimoksazol Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet

mengandung sulfametoksazol 400 mg


dan 80 mg trimetoprim) diberikan

selama 2 minggu.

Ampisilin dan amoksisilin Dosis 50-150 mg/kgBB dan

digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin generasi ke 3 • Ceftriaxone 3-4 gram dalam

dextros 100 cc selama ½ jam

per infus sekali sehari selama

3-5 hari.

• Cefotaxime 2-3 x 1 gr

Golongan florokuinolon Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama

14 hari.

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari

selama 6 hari.

Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari

selama 7 hari.

Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama

7 hari.

Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama


7 hari.

Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau telah

diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja antara lain toksik tifoid,

peritonitis atau perforasi, serta syok

septik, yang pernah terbukti

ditemukan 2 macam organism dalam

kultur darah selain kuman Salmonella.

Kortikosteroid : penggunaannya

hanya diindikasikan pada toksik tifoid

atau demam tifoid yang mengalami

syok septik. Diberikan dexametason

dosis 3 x 5 mg.

2.6. Pencegahan

Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan Perbaikan

sanitasi lingkungan, Peningkatan higiene makanan dan minuman, Peningkatan

higiene perorangan, Pencegahan dengan imunisasi.3


2.7. Prognosis

Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan.

Hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk

apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak

sepenuhnya sembuh dari infeksi.4

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Guidelines for the Management of Typhoid

Fever. 2011.

2. Siti Setiati, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, Marcelius Simadibrata, dkk. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III. Jakarta; 2017.

3. Kementrian Kesehatan RI. Permenkes RI No 5 Tahun 2014 tentang Panduan

Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. 2014.

4. Ditjen PP & PL. Depkes RI. Data Surveilans Epidemiologi Tahun 2007. 2008.

Anda mungkin juga menyukai