Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di
negara yang sedang berkembang. Menurut WHO 2003, diperkirakan
terjadi 17 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan
kematian. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika
subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika
subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). (Riyanto, 2011).
Menurut WHO angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81%
per 100.000 (Depkes RI, 2013).
Kejadian demam tifoid meningkat terutama pada musim hujan. Usia
penderita di Indonesia (daerah endemis) antara 3-19 tahun (prevalensi
91% kasus). Dari presentase tersebut, jelas bahwa anak-anak sangat rentan
untuk mengalami demam tifoid. Demam tifoid sebenarnya dapat
menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia
lebih dari 5 tahun. Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan
faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan
fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan
pelayanan yang tepat terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian
antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar
serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses
penyembuhan pasien dengan demam tifoid.
2

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan ilmu praktek dalam penanganan terhadap pasien
dengan penyakit Thypoid.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian tentang Thypoid.
b. Menjelaskan etiologi dari Thypoid.
c. Menjelaskan patofisiologi dari Thypoid.
d. Menyebutkan komplikasi dari Thypoid.
e. Menjelaskan manifestasi klinik dari Thypoid.
f. Menyebutkan pemeriksaan diagnostik pada Thypoid.
g. Menjelaskan penatalaksanaan dari Thypoid.
h. Menjelaskan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Thypoid.

C. Ruang Lingkup
Dalam ruang lingkup ini penulis hanya membahas tentang Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Thypoid.

D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ilmiah ini, penulis menggunakan metode
deskriptif, naratif, studi kepustakaan dan mempelajari berbagai literature.

E. Sistematika Penulisan
Untuk membantu memberikan gambaran yang secara umum dan
menyeluruh mengenai penyusunan makalah ilmiah ini, maka penulis
membuat sistematika penulisan yang jelas dan sistematis yaitu : BAB I
PENDAHULUAN bab ini berisi latar belakang, tujuan umum khusus,
ruang lingkup, metode penulisan, sistematika penulisan. BAB II
TEORITIS bab ini berisi konsep teori. BAB III ASKEP bab ini berisi
asuhan keperawatan pada pasien dengan Typhoid. BAB IV PENUTUP
bab ini berisi Kesimpulan dan Saran. DAFTAR PUSTAKA
3

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian
Thipoid (Tifus) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat
gangguan kesadaran.(Suriadi,2010)
Typhoid fever adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhi
dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular
(Cahyono, 2010).
Demam typhoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhii (Elsevier, 2013).
Jadi demam tipoid adalah suatu penyakit infeksi saluran pencernaan yang
disebabkan oleh bakeri salmonella typi dengan gejala demam lebih dari
satu minggu.

B. Etiologi
Etiologi dari demam tifoid adalah salmonella typhi, termasuk dalam dalam
genus salmonella. Salmonella bersifat bergerak, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan terhadap berbagai
bahan kimia, tahan beberapa hari / minggu pada suhu kamar, bahan
limbah, bahan makan kering, bahan farmasi dan tinja. Salmonella mati
pada suhu 54.4° C dalam 1 jam, atau 60° C dalam 15 menit.
(Widagdo, 2011)

C. Patofisiologi
Kuman Salmonella Typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan
ditelan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa. Sebagian dari
Salmonella Typhi ada yang dapat masuk melalui usus halus mengadakan
invaginasi ke jaringan limfoid usus halus. Kemudian Salmonella Typhi,
masuk melalui folikel limpa ke saluran limpatik dan sirkulasi darah
4

sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang


system retikulo endothelial (RES) selanjutnya akan di kolonisasi melalui
saluran limfe. Limfe yang mengalir duktus torasikus menghantarkan
organisme masuk melalui aliran darah, dari sini terjadi desminasi ke
seluruh organ jauh. Sel retikulo di sumsum tulang, hati, dan limpa
meamakan bakteri yang menyebar secara hematogen, yang kadang
menimbulkan fokus infeksi. Organisme yang menyebar melalui darah
kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ didalam tubuh seperti di
sitem saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa. (Rudholph, 2014).
5

1. Pathway
Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin


usus halus

Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam

Perdarahan Nyeri perabaan

dan perforasi Mual,

tidak nafsu makan

Ketidakseimbangan Nutrisi

Resiko defisit cairan

skema 2.1 Proses penyakit typhoid menurut Suriadi & Yuliyani


(2010)

D. Komplikasi
1. Usus : Perdarahan usus, melena, perforasi usus, peritonitis
2. Organ lain : meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumoni.
(Suriadi dan Yuliyani, 2010)
6

E. Manifestasi klinis :
Manifestasi klinik tergantung pada umur yang di bedakan yaitu usia
sekolah sampai adolesen, bayi sampai umur 5 tahun, dan pada neonates
(Widagdo, 2011).
1. Anak usia sekolah dan adolesen. Awalnya penyakit ini samar. Gejala
awal demam, lesu, anoreksia, mialgia, sakit kepala dan sakit perut
gejala ini berlangsung selama 2-3 hari. Mual dan muntah bila timbul
pada minggu ke-2 atau 3 merupakan tanda adanya komplikasi.
Mungkin dijumpai gejala mimisan dan batuk, dan lateragi. Suhu badan
naik secara remiten dan meningkat dalam 1 minggu, kemudian
menetap pada suhu 40 C. Dalam minggu ke-2, suhu bertahan tinggi,
dan gejala yang ada nampak makin berat.

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan darah tepi : leukopenia, limfositosis, aneosinofilia,
anemia, trombositopenia.
2. Pemeriksaan sumsum tulang : menunjukkan gambaran hiperaktif
sumsum tulang
3. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typosa pada urin dan tinja.
Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan
basil salmonella typosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan
betul-betul sembuh.
4. Pemeriksaan widal : didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200
atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan
tetapi tidak bermakna untuk menegakkan diagnosis karena titer H
dapat tetap tinggi setelah dilakukan immunisasi atau bila penderita
telah lama sembuh.

(Suriadi dan Yuliyani 2010)


7

G. Penatalaksanaan
1. Isolasi, desinfeksi pakaian dan ekskreta.
2. Istirahat selama demam hingga dua minggu.
3. Diit tinggi kalori, tinggi protein, tidak mengandung banyak serat.
4. Pemberian antibiotik kloramfenikol dengan dosis tinggi.

(Suriadi dan Yuliyani 2010)


8

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
TYPHOID

A. Pengkajian
Demam tipoid pada umumnya menyerang anak-anak dan anak muda
antara umur 5-19 tahun.
1. Keluhan utama : pada umumnya klien dengan demam typoid
mengeluh tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, kurang
semangat, serta nafsu makan berkurang.
2. Riwayat kesehatan sekarang : apa yang dirasakan klien hingga masuk
rumah sakit.
3. Riwayat kesehatan dahulu : apakah sudah pernah mengalami sakit
demam typoid sebelumnya dan pernah dirawat dirumah sakit dengan
penyakit yang sama.
a. Riwayat kehamilan dan kelahiran : keadaan ibu saat hamil, gizi,
dan obat-obatan yang pernah dikonsumsi.
b. Riwayat pertumbuh dan perkembangan : pertumbuhan dan
perkembangan anak sesuai usia.
c. Imunisasi : apakah anak mendapat imunisasi secara lengkap sesuai
dengan usianya dan jadwal pemberian serta efek sampingnya
seperti panas dan alergi.
d. Riwayat kesehatan keluarga : apakah didalam keluarga pasien ada
yang pernah mengalami demam thypoid.
e. Riwayat psikososial : psikologi sangat mempengaruhi terhadap
psikologi pasien, dengan timbul gejala-gejala yang dialami.
Apakah pasien dapat menerimanya.
9

4. Pola nutrisi dan metabolisme


Terjadi penurunan nafsu makan karena terjadi gangguan pada usus
halus.
5. Pola eliminasi alvi dan urin
Penderita mengalami konstipasi karena tirah baring dan diare.
Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan.
6. Pola istirahat tidur
Selama sakit penderita merasa tidak dapat istirahat karena pasien
merasa sakit perutnya mual.
7. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas pasien akan terganggu karena tirah baring total, agar tidak
terjadi komplikasi maka segala kebutuhan pasien dibantu.
8. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran dan keadaan umum
Kepala : rata rata rambutnya tipis dan agak kemerahan jika anak
mengalami kekurangan nutrisi
b. Mata : jika Hb rendah maka konjungtiva pucat, pupil isokor
c. Hidung : tidak ada nyeri tekan, mukosa lembab dan tidak ada
pernafasan cuping hidung.
d. Toraks dan paru : tidak ada keluhan sesak nafas, bentuk dada
simetris, irama nafas teratur.
e. Abdomen : didapat limpa hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Perkusi didapatkan perut
kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
f. Ekstremitas dan persendian : pergerakan sendi bebas, tidak ada
kelainan ekstremitas, turgor menurun, akral hangat, pasien lemah.
10

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan tipoid
menurut Kartika Sari (2013) :
1. Hipertermi b.d kerusakan kontrol suhu sekunder terhadap inflamasi
pada usus halus.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan mencerna makanan.
3. Nyeri akut b.d inflamasi dan spasure otot polos sekunder terhadap
infeksi gastro intertinal.
4. Intoleransi aktivitas b.d peningkatan kebutuhan metabolisme akibat
inflamasi.
5. Resiko kurangnya volume cairan b.d kurangnya intake cairan

C. Perencanaan
Intervensi keperawatan pada pasien tipoid menurut Suriadi dan Yuliani
(2010) adalah :
1. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder
terhadap inflamasi pada usus halus.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam hipertermi
dapat teratasi.
Kriteria hasil : Pasien akan mempertahankan suhu tubuh normal
(36,5-37,2°C)
Intervensi :
a. Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan.
b. Kaji pengetahuan anak dan keluarga tentang hipertermia.
c. Berikan minum yang cukup.
d. Lakukan pengompresan.
e. Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat
f. Ajarkan tanda awal hipertermi adalah serangan/sengatan panas
kulit merah, keletihan, kehilangan nafsu makan.
g. Anjurkan anak untuk istirahat yang cukup
11

h. Ruangan diatur agar cukup ventilasi.


i. Kolaborasi pemberian obat antibiotik dan anti piretik.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia, peningkatan kebutuhan kalori, dan kesulitan dalam
mencerna kalori yang mencukupi sekunder terhadap inflamasi pada
usus halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan
peningkatan masukan oral, BB meningkat, mual/muntah tidak ada.
Intervensi :
a. Nilai status nutrisi anak
b. Izinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi
anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera
makan anak meningkat
c. Anjurkan kepada keluarga untuk memberikan makanan dengan
porsi kecil dan sering.
d. Timbang berat badan setiap hari pada waktu dan skala yang sama.
e. Pertahankan kebersihan mulut anak.
f. Jelaskan penting nya asupan nutrisi yang adekuat untuk
penyembuhan penyakit
g. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian makan melalui
parenteral. Jika pemberian makan melalui oral tidak memenuhi
kebutuhan gizi anak

3. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasure otot polos


sekunder terhadap infeksi Gastrointestinal.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
nyeri berkurang/tidak ada.
Kriteria hasil : Nyeri berkurang/tidak ada, tidak tampak gelisah.
12

Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri, intensitas, lokasi, durasi, dan frekuensi pada
pasien anak usia sekolah.
b. Pada anak usia sekolah berikan pengertian tentang penyebab nyeri.
c. Ajarkan teknik relaxasi dengan tarik nafas dalam pada pasien anak
usia sekolah.
d. Ajarkan teknis distraksi dengan cara mengalihkan rasa nyeri
dengan terapi bermain, mendengarkan musik, bernyanyi.
e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk istirahat.
f. Kolaborasi pemberian obat analgetik.

4. Resiko defisit cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder


terhadap muntah dan diare.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
cairan terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien tidak mengalami dehidrasi,mukosa mulut
lembab, turgor kulit elastis.
Intervensi :
a. Kaji defisit cairan secara rutin, mukosa mulut kering, turgor kulit
menurun.
b. Pantau intake cairan (1000-1500/24 jam).
c. Pertahankan masukan cairan yang adekuat.
d. Beritahu klien dan keluarga bahwa teh, anggur, jus dapat
menyebabkan diuresis dan dapat menambah kehilangan cairan.
e. Kaji yang disukai dan tidak disukai, berikan cairan kesukaan.

D. Pelaksanaan keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder
terhadap inflamasi pada usus halus
a. Melakukan ttv
b. Mengkaji pengetahuan anak dan keluarga tentang hipertermia.
13

c. Memakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat


d. Melakukan pengompresan
e. Menganjurkan istirahat yang cukup.
f. Kolaborasi pemberian obat antibiotik dan anti piretik.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia, peningkatan kebutuhan kalori, dan kesulitan dalam
mencerna kalori yang mencukupi sekunder terhadap inflamasi pada
usus halus.
a. Memberikan makan-makanan sedikit tapi sering
b. Memberikan makanan/minuman yang disukai pasien dan tetap
memperhatikan kandungan gizinya
c. Membantu membersihkan mulut anak dengan sikat gigi 2 – 3x
sehari
d. Menjelaskan kepada pasien pentingnnya asupan makanan untuk
mempercepat proses penyembuhan.
e. Menimbang BB
f. Memberikan makanan/minuman yang disukai pasien dan tetap
memperhatikan kandungan gizinya.

3. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasure otot polos


sekunder terhadap infeksi Gastrointestinal.
a. Mengkaji tingkat nyeri
b. Memberikan pengertian tentang penyebab nyeri misal karna tidak
mencuci tangan sebelum makan.
c. Melakukan terapi bermain pada anak
d. Melakukan teknik distraksi mengalihkan nyeri dengan melakukan
kegiatan yang disukai anak misalkan mendengarkan musik,
menonton tv, bernyanyi, dll.
14

4. Resiko defisit cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder


terhadap muntah dan diare.
a. Mengkaji defisit cairan secara rutin
b. Memberikan minum yang cukup.
c. Mengobservasi adanya tanda-tanda dehidrasi.
d. Memberikan cairan infus

E. Evaluasi
Evaluasi pada teori Suriadi & Yulianni (2006) yaitu:
a. Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi.
b. Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan cairan.
c. Anak tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran yang lebih
lanjut.
d. Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat
perkembangan klien.
e. Anak akan menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal.
15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup
banyak diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun, tersebar dimana-
mana, dan ditemukan hampir sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling
sering pada anak, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah
penting melakukan pengenalan dini demam tifoid, yaitu demam yang
berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat /
kesadaran.

B. Saran
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan
saran untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan , makanan yang
dikonsumsi harus higiene dan perlunya penyuluhan kepada masyarakat
tentang demam tifoid.

Anda mungkin juga menyukai