Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan
demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun
demam paratifoid.1

Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Dengue adalah infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dimana dalam dekade terakhir
menjadi masalah kesehatan publik secara internasional. Dengue ditemukan di daerah tropik
dan sub-tropik di seluruh dunia, secara predominan di daerah urban dan semi-urban.

Demam Berdarah Dengue (DBD), satu komplikasi potensial, pertama kali ditemukan
pada tahun 1950an dalam epidemi dengue di Filipina dan Tailand. Pada hari ini, DBD
ditemukan hampir di seluruh negara Asia dan telah menjadi penyebab utama perawatan di
rumah sakit dan kematian anak di daerah tersebut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam tifoid

2.1.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

2.1.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia
dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.

2
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1

2.1.3 Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

2.1.4 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti


organism, yaitu:

1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch,


2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh


manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan
seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.1

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.1,4

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.1,4

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
4
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan


(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ).Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.3

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.3

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4

5
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid3

2.1.5 Manifestasi klinik

Manifestasi klinis umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila


dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

6
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walaupun gejala demam tifoidlebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
a) Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti:
1) demam,
2) nyeri kepala,
3) anoreksia,
4) mual, muntah,
5) diare,
6) konstipasi.
7) Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat.
b) Setelah minggu kedua gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa:
1) demam remiten,
2) bradikardi relatif
3) lidah tifoid(kotor di tengah, ujung merah dan tremor)
4) pembesaran hati dan limpa,
5) perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari somnolen
sampai koma.
Demam yang terjadi pada penderita tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan.Roseola ini merupakan emboli kuman yang

7
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.1,3

2.1.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya.SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

8
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.3

9
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.3
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan denganpenderita dan faktor teknis.
A. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

B. Faktor teknik, yaitu


1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:


1) Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh
dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
10
2) Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A,
B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi
silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif
palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).3

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme.1
11
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat.1

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%

12
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%
pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.


typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah


mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang

13
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

2.1.7 Diagnosis Diferensial


1.Demam Berdarah Dengue
2.Chikungunya
3.Malaria
4.Leptospirosis

2.1.8 Diagnosis
Demam tifoid biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam
(1) demam,
(2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul
diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari orang yang terinfeksi, sedangkan sembelit
lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi
mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi
pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
14
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi
pemeriksaan darah tepi, serologis, danbakteriologis.3,4

2.1.9 Penatalaksanaan
 Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus


diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus.Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.4
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.1,4

 Medika Mentosa
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

15
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.1

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
1. Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan
selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. 1,4,5
2. Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika
golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.1
3. Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.1
4. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan

16
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk
sediaan Peroral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.1

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang


diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.1,4

2.1.10 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
I. Komplikasi pada intestinal
1. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
3. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.

17
II. Komplikasi ekstra intestinal
1. Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.

2. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.

3. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

4. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
5. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.

6. Infeksi saluran kemih


Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
18
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.1,3,4
7. Hepatitis tiphosa
Sebagian kasus demam tifoid akan mengalami suatu komplikasi yang tidak
biasa seperti hepatitis thiposa, hepatitis thiposa adalah suatu keadaan dimana
ditemukannya kelainan berupa jaundice,demam yang tidak spesifik,kelainan
nilai labolaorium faal hati. Hal ini diakibatkan oleh adanya toximia akibat
bakteri Sallmonella thyposa, yang kemudian mempengaruhi organ liver dan
menginduksi terjadinya hepatitis thiposa.7
2.1.11 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

1. Cuci tangan.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
3. Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella
typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu
aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.

Jika ada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

1. Sering cuci tangan.


2. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
3. Hindari memegang makanan.
4. Gunakan barang pribadi yang terpisah.3

19
I. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasidi Indonesia telah ada 3 jenis
vaksin tifoid, yakni:
1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.
Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari.
Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.1

2. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan
yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis
untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1
mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian
melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam,
nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat
demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang
pendek.1

3. Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL
yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster)
setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.1

20
2.1.12 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1

2.1.13 Edukasi

1.pengobatan berupa penggunaan antibiotik yang harus di patuhi,

2.Pemilihan diet selama penderita sakit

3.tanda dan gejala pada individu yang terkena demam tifoid

4.penjelasan komplikasi yang mungkin diakibakan demam tifoid.8

5.Perbaikan sanitasi lingkungan

6.Peningkatan higiene makanan dan minuman

7.Peningkatan higiene perorangan. 3

21
2.2 Demam Berdarah Dengue

2.2.1 Definisi

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.6

2.2.2 Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
(vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts).
Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai
dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus
dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila,
Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. [1]

22
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.[1]Morbiditas dan
mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus
dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah
ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya
kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk.6

2.2.3 Etiologi

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.1

23
2.2.4 patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. [2]

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous


infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

24
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian. [2]

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan
laboratoris.2

25
Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody response

Kompleks virus-antibody

Aktivasi komplemen Komplemen

Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin ↑

Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑

> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓

kasus syok 24-48 jam

Hipovolemia Cairan dalam rongga

serosa

Syok

Anoksia Asidosis

Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[2]

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain


mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan. 2

26
Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody

Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman

trombosit oleh RES platelet faktor III

Anafilatoksin

Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin

konsumtif

Gangguan Kinin Peningkatan

fungsi trombosit penurunan faktor permeabilitas

pembekuan kapiler

FDP meningkat

Perdarahan massif syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[2]

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.[1]

27
2.2.5 Manifestasi Klinis

1. Demam 2-7 hari mendadak tinggi terus menerus bifasik

2. Manifestasi perdarahan baik spontan:

peteki,purpura,ekimosis,epitaksis,perdarahangusi,hematemesis,melena

Uji provokatif: uji tourniquet + jika ditemui >10 peteki dalam ukuran diameter

5 cm.

3. Nyeri kepala, myalgia,nyeri retroorbital,

4. Riwayat kasus DBD di lingkungan

5. Leukopenia <4000/mm3

6. Trombositopenia<100.000/mm3

7. Hepatomegali

8. Terdapat gejala perembesan plasma ( peningkatan nilai hematokrit >20% dari

pemeriksaan awal, ditemukan efusi pleura, asites,hipoalbunemia,

hipoproteinemia (demam disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis + bukti perembesan plasma

dan trombositopenia dapat di tegakkan secara klinis DBD)

2.2.6 Derajat DBD

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


perdarahan lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
28
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak terukur.[2]

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan untuk menapis pasien demam
berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfoit plasma biru. Diganosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus
dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-
PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM, maupun IgG lebih banyak digunakan.
Parameter laboratoris yang diperiksa anatara lain:
1. Darah Rutin :
a.Lekuosit
Awal penyakit biasanya normal/menurun, dominasi oleh netrofil. Mulai hari
ketiga dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada
fase syok akan meningkat. Ditemukan lekositosis > 10.000 mungkin karena
infeksi sekunder. Mengingat akan bahaya yang ditimbulkan adanya infeksi
Dengue maka berbagai tehnologi dikembangkan untuk dapat mendeteksi
infeksi virus dengue secara dini dengan sensitivitas dan Spesivisitas yang lebih
baik, mengingat bahaya komplikasi yang akan ditimbulkan.
b. Trombosit
Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml) (karena terjadinya agregasi
Trombosit, pembekuan darah akibat kerusakan endotel juga akibat tertekannya
fungsi megakaryosit (sel yang kelak pecah dan menjadi trombosit) serta
destruksi trombosit yang matur (dewasa/matang). Biasanya terjadi pada hari
ke 3-8.
c. Hematokrit
Hemokonsentrasi (kenaikan Hematokrit > 20%), tanda meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler) (Permeabilitas adalah kemampuan suatu
membran dalam hal ini dinding pembuluh darah- untuk melewatkan bahan-
29
bahan tertentu). untuk menilai tingkat kekentalan darah, menunjukkan darah
semakin mengental akibat plasma darah merembes ke luar dari sistem
sirkulasi. Umumnya terjadi pada hari ke 3 demam.
d. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e. Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f. SGOT/SGPT
Enzym-enzym hati pada kasus infeksi sekunder dengue (DHF) cenderung
menunjukkan adanya kenaikan seperti SGOT (AST) dan SGPT (ALT).
Kenaikan kadar ini kadang juga dapat dipakai untuk membedakan apakah
infeksinya termasuk DF atau DHF. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan
sel-sel karena terjadinya perdarahan kecil dalam hati. Dalam perkembangan
diagnostik sampai saat ini di samping dengan menilai gejala-gejalanya, juga
pemeriksaan laboratorium akan sangat membantu untuk menegakkan
diagnostik penyakit DHF. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana bisa
menegakkan diagnosis sedini mungkin, sehingga pengobatan secara adekwat
dapat segera diberikan.
g. Elektrolit Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

2. Imunoserologi
Infeksi virus dengue akan mengakibatkan terbentuknya antibody. Antibody
yang pertama dibentuk ialah Neutralizing antibody (NT), yaitu pada hari kelima. Titer
antibody ini naik sangat cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang
lama, biasanya seumur hidup. Antibody ini bersifat spesifik. Setelah pembentukan
NT, segera akan timbul Hemaglutination inhibition antibody (HI). Titer naik sejajar
dengan NT dan kemudian akan turun secara perlahan-lahan, lebih cepat daripada
antibody NT. Untuk waktu yang lama, tetapi lebih pendek daripada antibody NT.
Antibodi HI bersifat spesifik terhadap golongan tapi tidak terhadap tipe virus.
Dengan demikian dalam satu golongan dengan lebih dari satu tipe virus dapat terjadi
reaksi silang diantara masing-masing tipe virus.
Antibodi yang terakhir timbul adalah Complement fixing antibody (CF), yaitu
sekitar hari kedua puluh, titer naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum
30
dalam waktu 1-2 bulan dan kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2
tahun.
Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibody pada masa
akut dan masa konvalesen. Pemeriksaan dapat berupa Neutralizing test, complement
fixation test atau hemagglutination inhibition test. Bergantung pada kebutuhannya.
Pemeriksaan serologis dapat membantu menegakkan diagnosis klinis. Untuk
pemeriksaan serologis ini dibutuhkan 2 contoh darah pada masa konvalesen yang
diambil 1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Dalam praktek sukar sekali
mendapatkan contoh darah kedua karena biasanya penderita setelah sembuh tidak
bersedia diambil darahnya.
Maksud diambil contoh darah yang kedua ialah selain untuk menjaga
kemungkinan tidak didapatkan contoh darah ketiga juga untuk mempercepat hasil
akan sudah cukup nyata sehingga dapat diinterpretasi. Apabila hanya diperoleh satu
contoh darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan.
III. Hemagglutination Inhibition Test
Pemeriksaan uji Hemagglutination inhibition antibody dapat dilakukan dengan 2
cara dalam bentuk serum dan kertas saring.
Interpretasi hasil pemeriksaan berdasarkan Kriteria WHO yaitu:
a. Pada infeksi primer, titer antibody HI pada masa akut, yaitu bila serum diperoleh
sebelum keempat sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer anak naik 4 kali atau
lebih pada masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.
b. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh
titer antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa
konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain
infeksi sekunder ialah apabila titer antibody akut sama atau lebih besar daripada
1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa konvalesen.
c. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis)
ditandai oleh titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:280 pada
masa akut. Dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan titer 4 kali atau lebih pada
masa konvalesen.

31
Tabel interpretasi hasil uji HI
Titer Ab Titer Ab konvalesen Interpretasi
akut
< 1:20 Naik 4x atau lebih (<1:1280) Infeksi primer
< 1:20 ≥ 1:2560 Infeksi sekunder baru
≥ 1:20 Naik 4x atau lebih Infeksi sekunder baru
≥ 1:1280 Tidak perlu naik 4x atau lebih Infeksi sekunder tersangka baru terjadi

IV. Dengue Blot IgG dan IgM


Tes serologi lainnya adalah dengue blot IgG dan IgM. Dengue blot IgG masih
banyak kelemahannya. Sensitivitas pada infeksi sekunder tinggi, tetapi pada infeksi
primer sangat rendah. Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue.
Tetapi bisa juga dibaca sebagai pernah terkena infeksi virus dengue. Untuk IgM
sensitivitasnya lebih baik, khususnya untuk infeksi primer dengue. Sayang harganya
relatif lebih mahal. Tes ini merupakan pemeriksaan kualitatif dengan mempergunakan
metode enzyme immunoassay. Dengan tes ini, antibodi IgM baru dapat diketahui
setelah hari ke 3-5 infeksi dengue.
Tes lainnya yang beredar adalah Dengue IgG dan IgM Capture ELISA
(Enzymelinked Immunosorbent Assay). Pemeriksaan ini memerlukan waktu 90 menit
untuk IgM dan 60 menit untuk IgG. Hasilnya dapat keluar sebagai kadar dari IgG dan
IgM (kuantitatif). 3
Kit yang lebih baru lagi adalah Dengue Rapid Strip IgG-IgM. Antigen yang
digunakan yaitu rekombinan Den-1, 2, 3, 4 dengan metode Rapid
Immunochromatographic Captured antibodi virus IgG dan IgM. Deteksi IgM
menginterpretasikan infeksi primer atau sekunder. Nilai cut-off IgG dirancang untuk
mendeteksi kadar tinggi yang khas muncul dari infeksi sekunder. Tes ini terbukti
mempunyai korelasi yang sangat baik terhadap uji HAI. Sensitivitas dan spesifisitas
diagnostik dari tes ini dilaporkan sebesar 92-99%. Tes ini sangat praktis dan hanya
memerlukan waktu selama 15 menit. 3
Antibodi IgM akan muncul 2 sampai 6 hari setelah dimulainya gejala,
sedangkan IgG setelah 6 hari. IgG akan meningkat secara perlahan dalam beberapa
minggu. Ini umumnya yang terjadi pada infeksi primer dengue. Pada infeksi sekunder
dengue, kadar IgM kadang-kadang bisa lebih rendah atau sulit terdeteksi sehingga
32
dalam keadaan ini deteksi IgG menjadi sangat penting. Kadar antibodi IgG akan cepat
meningkat karena telah adanya memori antigen dengue.
IgM Terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilng setelah 60-90 hari.
IgG Pada infeksi preimer, IgG mulai tedeteksi pada hari ke-14, pad
ainfeksi sekunder IgG akan terdeteksi pada hari ke-2. 3

V. Pemeriksaan Rumple leed test


Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada
dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh
pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke
dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada
permukaan kulit (petechiae). 3
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas
dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik.
Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah
sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna
kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak
dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter >5 cm
kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari 10
petechiae dalam lingkaran tadi.
VI. NS1 Anti-Gen
Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampa hari ke
delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1
tidak menyingkirkan adanya ifeksi virus dengue. 3

Untuk menentukan berat-tidaknya demam Dengue adalah peningkatan


permeabilitas pembuluh darah, penurunan volume plasma (hipovolemia), hipotensi
(penurunan tekanan darah), trombositopeni. Selain itu infeksi virus Dengue ini juga
menyebabkan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) (suatu keadaan
kehabisan bahan pembekuan darah, sehingga terjadi pendarahan yang terus-
33
menerus).Semakin cepat dapat dideteksi maka akan mengurangi resiko komplikasi
seperti Demam Berdarah Dengue (DHF) ataupun Dengue Syok Sindrome (DSS). 3

VII. Pemeriksaan radiologis


Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama ada hemitoraks kanan tetapi
bila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubius
kanan. Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah. 3

2.2.8 Diagnosis Diferensial


1. Demam Tifoid
2. Chikungunya
3. Malaria
4. Leptospirosis

2.2.9 Diagnosa
1.Anamnesa gejala klinis
-Demam tiba-tiba dengan pola pelana kuda
-Nyeri kepala retrorbital
-mual dan muntah
-gangguan pencernaan
2.Temuan klinis
-Gambaran perdarahan spontan
-Ptchie
-Splenomegali
-Mielena8
2.2.10 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
34
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien
harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan criteria:
1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi
2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:

Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Keluhan DBD

(kriteria WHO)

Hb,Ht,tromb Hb,Ht normal Hb,Ht normal Hb,Ht meningkat


osit normal Trombosit Trombo <100.000 Trombo
100.000-150.000 normaal/turun

Observasi Observasi Rawat Rawat


Rawat jalan Rawat jalan,
Periksa Hb,Ht, Periksa
leuko,trombo/24 jam Hb,Ht,Leuko,tromb
o/24 jam

35
Protokol 1 ini digunakan sebagai penunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan


pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit bila:
1. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran atau berobat jalan ke Poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali
ke Unit Gawat Darurat.
2. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
3. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dianjurkan untuk dirawat

Protokol 2 (Gambar 5)
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Suspek DBD
Perdarahan spontan dan Masif (-)
Syok (-)

-Hb,Ht (n) -Hb,Ht meningkat 10- -Hb,Ht meningkat > 20%


-trombo <100.000 20%
-infus Kristaloid -trombo <100.000 -Trombo <100.000
-Hb,Ht,trombo tiap -infus kristaloid
24jam -Hb, Ht, trombo tiap
12 jam

Protokol pemberian cairan


DBD dengan Ht
meningkat ≥ 20%

36
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka di ruang gawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55 – 20)} = 2200 ml.
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12
jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Protokol 3 (Gambar 1)

KASUS DBD
perdarahan spontan masif:
-epistaksis tidak terkendali
-hematemesis
melena/hematoskezia
-perdarahan otak

SYOK (-)

Hb,Ht,Leuko<pemeriksaan
Hemostasis (KID) golongan
darah, uji cocok serasi

KID (+) KID (-)


-transfusi komponen darah : -transfusi komponen darah:
 Prc (Hb<10g%)  PRC (Hb< 10g%)
 FFP  FFP
 TC (trombo <100.00)  TC(trombo <
-heparinisasi 5000-10000/24jam 100.000)
drip -heparinisasi 5000-10000/24jam
 Pemantauan Hb,Ht, drip
trombo tiap 4-6jam  Pemantauan Hb,Ht,
 Ulang pemeriksaan trombo tiap 4-6jam
hemostasis 24 jam
kemudian cek APTT tiap 37
hari, target 1,5-2,5 kali
kontrol
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau
setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-
tanda hemtokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48
jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurang
menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah
cairan infuse dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani
sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

38
Protokol 4 (Gambar 2)

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue Dewasa dengan syok


dan perdarahan masif

DBD derajat III/IV -epistaksis tidak


terkendali
Perdarahan -perdarahan otak
spontan,masif -hematemesis

-oksigen 2-4 liter/menit


- RL 20 ml/kgBB/jam: 30-
120menit
-darah perifer lengkap
-hemostaksis

TD↓,nadi ↑,diuresis TD SISTOLIK ↑ (> 100mg)


Cairan koloid (plasma
ekspander) ↓
10-20ml/kgBB/hari
RL 10ml/kgBB/jam(60-120)
tetesan cepat max,1-1,5
L/24jam ↓

RL 4-6 jam/kolf TD,Nd (normal),Diuresis


-4jam/kolf,bila msuk 1
liter koloid ↓
-6jam/kolf,bila masuk 5
Infus RL 4jam/kolf
liter koloid

KID(=DIC)positif KID (=DIC)negatif


-heparinisasi
-transfusi komponen Transfusi komponen
darah darah
-FFP/ -PRC(Hb<10g%)
-PRC(Hb<10g%) -Hb,Ht,tromb tiap 4-6jam
-Hb,Ht,tromb tiap 4- -TC(trombo<100.000)
6jam -ulang hemostasis 24jam
-ulang hemostasis 24jam kemudian (bila masih
39
kemudian perdarahan
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan thrombosis serta hemostasis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

40
DBD std III,IV syok
Protokol 5

Tanpa perdarahan -oksigen 2-4liter


spontan -infus RL 20ml/kgBB/jam
30-120menit
-periksa darah perifer
lengkap
-analis gas darah
-hemostasis

-TD↓,N↑diuresis↓ TD sistolik (100mmHg)


-cairan koloid(plasma
ekspander) 10-
20ml/kgBB/hari
tetesan cepat Max
500ml/2jam
-RL 10ml/KgBB/jam (60-
120) 1-1,5liter/24jam

-RL 4-6Jam/kolf
-bila perlu
vasopresor(dopamine TD,nadi normal. deuresis
dobutamin epineprin)
-Hb,Ht tromb tiap
6jam(pasca syok)

-RL 4jam/kolf
-Hb.Ht,trombo tiap
6jam(pasca syok)

Tatalaksana SIndrom Syok Dengue pada dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian
sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa
41
renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang
tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali
per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta
dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila
dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan per infus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah
terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi, edema parau atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta
jumlah dieresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dpaat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian
42
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. BIla nilai hematokrit meningkat berarti pembesaran plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan kristaloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-
20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-
1,5 µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral
penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.

2.2.11 Prognosis
Kematian akibat demam dengue hamper tidak ada. Pada DBD/DSS mortalitas
cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari
pada anak-anak.

2.2.12 Komplikasi

1.Ensefalopati Dengue

Yaitu keadaan dimana akibat syok yang terjadi menginduksi hilangnya


elektrolit-elekrolit tubuh yang kemudian akan menjadi penurunan kesadaran yang dikenal
sebagai ensefalopati dengue.

2.Gagal ginjal akut

Keadaan yang diakibatkan oleh syok yang tak tertangani dengan baik dimana
penggantian cairan intraselular idak dilkuakan secara adekuat, dapat dijumpai sinrom uremik.
43
3.Odem Paru

Adanya overload dari pemberian cairan yang tidak tepat menyebabkan


terjadinya odem pada paru-paru, hal ini sangat berbahaya dan dapat menyebakan
kemaian.

2.2.10 Pencegahan
1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 3M yaitu: menguras,mengubur,menutup
sarang perkembang biakan jentik nyamuk
2.Penaburan Abate
3.foging
4.perbaikan drainese8

2.2.11 Edukasi
1.DBD bisa dihindari dengan menerapkan pola gaya hidup sehat dan prilaku yang
baik.
2.Penderita DBD perlu perhatian aktif dari diri sendiri pasien, keluarga dan
masyarakat.
3.Pasien harus didampingi oleh tim kesehatan dalam menuju perubahan perilaku sehat
agar tercapai keberhasilan perubahan perilaku serta mengedukasi pasien dalam
upaya meningkatkan motivasi.

44
BAB III

STATUS ORANG SAKIT

Identitas Pribadi
Nama : Rahmat Kurniawan
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Status Kawin : Belum menikah
Agama / Suku : Islam
Pekerjaan : SMA
Alamat : DSN VIII Lau dendang

Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan
demam, demam sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Demam bersifat naik pada malam hari dan turun pada pagi hari.
Demam di sertai menggigil dan pusing. Pasien juga mengeluhkan
linu-linu pada sendi. Linu pada sendi dirasakan pasien sejak ± 3 hari
yang lalu.
Pasien mengeluhkan demam naik lagi ± 3 hari ini setelah
sempat turun demam bersifat mendadak dan dirasakan terus menerus
dan jika turun tidak tentu waktunya.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang dialami sejak
3 hari yang lalu. Muntah sebanyak ± 3x/hari dengan volume kira-kira
1 gelas aqua, dan setiap muntah berisi apa yang pasien makan. Nyeri
pada perut di sangkal.
Pasien juga mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu, pusing
memberat pada saat berjalan dan mereda pada saat pasien duduk.

45
Pasien mengatakan terkadang pusing timbul pada saat demam
muncul.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak ± 2 hari terakhir ini.
Batuk disertai dahak, dahak berwarna putih dan sulit untuk di
keluarkan. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan, namun
tidak disertai penurunan berat badan. Pasien merasa apa yang pasien
makan terasa pahit. Pasien juga mengeluhkan sering lemas akhir-
akhir ini.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien mencret ± 7 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mencret berupa air lebih banyak
daripada ampas dan tidak disertai darah, namun sejak pasien masuk
rumah sakit pasien belum pernah buang air besar ± 5 hari terakhir ini.
Pasien juga mengatakan sebelum pasien sakit, pasien
berpergian ke berastagi.

Buang air kecil : 3-5x/hari, warna kuning pekat, nyeri saat BAK (-)
Buang air Besar :sudah tidak BAB sejak 5 hari terakhir
Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : pasien lupa obat

Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : terganggu
- Merasa Lemas : ya - Berat badan : normal
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : ya - Demam : ya
- Nafsu makan : menurun - Pening : ya

Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu d’effort : tidak - Cyanosis : tidak
- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak
46
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : tidak
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : tidak - Gangguan tropis : tidak
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak

3. Traktus respiratorius
- Batuk : ya - Stidor : tidak
- Berdahak : ya - sesak nafas : tidak
- Haemoptoe : tidak - cuping hidung : tidak
- Sakit dada saat bernafas : tidak - Suara parau : tidak

4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : tidak - Sendawa : tidak
- Rasa panas epigastrium : tidak - Anoreksia : ya
- Muntah :ya - Mual-mual : ya
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : tidak - Melena : tidak
- Borborygmi : tidak - Tenesmi : tidak
- Defekasi : tidak, sejak 5 hari - Flatulensi : ya
- Obstipasi : tidak - Haemorrhoid : tidak
- Diare : tidak
c. Hati dan Saluran empedu
- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak
- Kolik : tidak - Asites : tidak
- Icterus : tidak - Oedema : tidak
- Berak dempul : tidak
5. Ginjal dan saluran kencing
- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak

47
- Kolik : tidak - Oligouria : tidak
- Miksi : ya, 3-5x kuningpekat- Anuria : tidak
- Poliuria : tidak - Polakisuria : tidak

6. Sendi
- Sakit : ya - Sakit digerakan : tidak
- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak
7. Tulang
- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformasi : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : tidak - Atrofi : tidak
9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : ya
- Mata berkunang-kunang : tidak - Bengkak : tidak
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
11. Fungsi genital
- Menarche :- - Ereksi :-
- Siklus Haid :- - Libido sexual :-
- Menopause :- - Coitus :-
- G/P/A :-
12. Susunan syaraf
- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : ya
- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak
- Spasme : tidak –Paralisis : tidak

48
13. Panca indra
- Penglihatan : Normal
- Pengecapan : Normal
- Pendengaran : Normal
- Perasa : Normal
- Penciuman : Normal
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : tidak
- Gelisah : ya
15. Keadaan sosial
- Pekerjaan : Pelajar SMA
- Hygiene : Baik

Anamnesa Penyakit terdahulu


Tidak ada

Riwayat pemakaian Obat


Pasien lupa nama obat

Anamnesa penyakit Veneris


- Bengkak kelenjar regional : tidak Pyuria : tidak
- Luka-luka di kemaluan : tidak Bisul- bisul : tidak

Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada

Anamnesa Makanan
- Nasi : frek 2 x/ Hari - Sayur sayuran : ya
- Ikan : ya - Daging : ya

Anamnesa Family
- Penyakit-penyakit family : tidak ada
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak: -, Hidup: -, Mati: -
Status Present

Keadaan Umum
49
- Sensorium : compos mentis
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Temperatur : 40⁰ C
- Pernafasan : 20 x/ menit, reguler, abdominalthoracal
- Nadi : 88x/ menit, equal,sedang

Keadaan Penyakit
- Anemi : ya - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor :kembali cepat
- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya
- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa : ya
- Edem : tidak

Keadaan Gizi
BB : 49 Kg
TB : 167 cm
RBW : 167 49 x 100% = 73% ( Underweight )

IMT : 49/1,672=17,62 kg/m2 ( underweight )

Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : Hitam, merata, tebal, tidak mudah dicabut
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : tidak Parese : tidak
- Pucat : tidak gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak
- Reaksi pupil : RC +/+, isokor - Eksoftalmos : tidak
50
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak
- Bentuk : normal

e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : tidak
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : tidak
- Jumlah : tidak di hitung
- Pertumbuhan : normal
- Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : ya
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : ya - Membran : tidak
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak

2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis : tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak

Palpasi
- Posisi trachea : Medial
- TVJ : R-2 cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan : tidak

51
- Kosta servikalis : tidak

3. Torax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris : simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : tidak

Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba
- Fremitus suara : kanan = kiri a. Lokasi :-
- Fremissemen : tidak b. Kuat angkat :-

Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor di 2 lapang paru - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- A. Atas : ICS III linea parasternalis sinistra a. Relatif : ICS V dextra
- B. Kanan : ICS IV linea midsternalis dextra b. Absolut : ICS VI dextra
- C. Kiri : ICS V 2cm medial linea Midclavicularis sinistra

Auskultasi
- Paru –paru
o Suara pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
o Suara Tambahan : Tidak ada
- Cor :
o Heart Rate : 88 x/i
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas : tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak

52
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan = kiri
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor dikedua lapang paru
- Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru :
- A. Kanan : Proc. Spinosus Vertebra IX
- B. Kiri : Proc. Spinosus Vertebra X
Aukultasi
- Pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
- Suara tambahan : Tidak ada

5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak

53
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : tidak
- Lien : tidak teraba
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak

Auskultasi
- Peristaltik usus : normal (8 x/ menit)

6. Genitalia

-Luka : tidak dilakukan pemeriksaan

-Sikatrik :tidak dilakukan pemeriksaan

-Nanah :tidak dilakukan pemeriksaan

7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit : tdilakukan ( Negatif)
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost :+ +

b. Bawah
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak

54
- Eodema : tidak tidak
- Pucat : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Varises : tidak tidak
- Refleks
o KPR : ++ ++
o APR : ++ ++
o Struple :+ +

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 02/09/2017
Nama : Rahmat Kurniawan
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 13 g/dl 13-18
Hitung Eritrosit *4,3 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 4.700 /ul 4.000-11.000
hematokrit *37,8 % 40-54
Hitung trombosit *74.000 /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 87,5 Fl 80-96
MCH 27,7 Pg 27-31
MCHC *31,7 % 32-36
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 1 % 0-1
N. Stab *0 % 2-6
N. Seg 54 % 53-75
Limfosit 40 % 20-45
Monosit 5 % 4-8
LED *27 mm/jam 0-10
FAAL HATI

55
Bilirubin total 0,42 mg/dl 0,3-1
Bilirubin direct 0,24 mg/dl < 0,25
SGOT/ASAT *84 U/L <40
SGPT/ALAT *73 U/L <40
TEST WIDAL
S. typhi O 1/40
S.paratyphi A.O 1/160
S. paratyphi B.O 1/320
S. paratyphi C.O 1/40
S. typhi H 1/320
S. paratyphi A.H 1/40
S. paratyphi B.H 1/40
S. paratyphi C.H 1/40

RESUME
Anamnesis
Keluhan utama : Demam
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan demam,
demam sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
bersifat naik pada malam hari dan turun pada pagi hari. Demam di
sertai menggigil dan pusing. Pasien juga mengeluhkan linu-linu pada
sendi. Linu pada sendi dirasakan pasien sejak ± 3 hari yang lalu.
Pasien mengeluhkan demam naik lagi ± 3 hari ini setelah
sempat turun demam bersifat mendadak dan dirasakan terus menerus
dan jika turun tidak tentu waktunya.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang dialami sejak
3 hari yang lalu. Muntah sebanyak ± 3x/hari dengan volume kira-kira
1 gelas aqua, dan setiap muntah berisi apa yang pasien makan. Nyeri
pada perut di sangkal.
Pasien juga mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu, pusing
memberat pada saat berjalan dan mereda pada saat pasien duduk.
Pasien mengatakan terkadang pusing timbul pada saat demam
muncul.

56
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak ± 2 hari terakhir ini.
Batuk disertai dahak, dahak berwarna putih dan sulit untuk di
keluarkan. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan, namun
tidak disertai penurunan berat badan. Pasien merasa apa yang pasien
makan terasa pahit. Pasien juga mengeluhkan sering lemas akhir-
akhir ini.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien mencret ± 7 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mencret berupa air lebih banyak
daripada ampas dan tidak disertai darah, namun sejak pasien masuk
rumah sakit pasien belum pernah buang air besar ± 5 hari terakhir ini.
Pasien juga mengatakan sebelum pasien sakit, pasien
berpergian ke berastagi.

Buang air kecil : 3-5x/hari, warna kuning pekat, nyeri saat BAK (-)
Buang air Besar :sudah tidak BAB sejak 5 hari terakhir
Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : pasien lupa obat

Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sens : Compos Mentis Anemia : tidak TB : 167 cm
TD : 120/70 mmHg Ikterus : tidak BB : 49 kg
Nadi : 88 x/ menit Sianosis : tidak RBW = 49 x 100%
Nafas : 20 x/ menit Dyspnea : tidak 167 - 100
Suhu : 40,0 C Edema : tidak = 73%
Eritema : tidak Kesan: Underweight
Turgor : baik IMT = 49
Gerakan aktif : ya (167) 2
Sikap tidur paksa : tidak = 17,62 % kg/m2
Kesan: Underweight

57
Pemeriksaan Fisik
Kepala :Beslag (+), tonsil hiperemis,
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Extremitas : Dalam Batas Normal

Pemeriksaan laboratorium
Hitung Eritrosit :4,3 u/l
Hematokrit :37,8%
Hitung Trombosit :74.000 u/l
MCHC : 31,7%
N.stab : 0%
LED : 27 mm/jam
SGOT/ASAT :84 u/l
SGPT/ALAT :73 u/l
Test Widal
S. paratyphi B.O: 1/320
S. typhi H : 1/320

Diagnosa Banding
1) Demam berdarah dengue + demam typhoid
2) Chikungunya
3) Malaria
4) Leptospirosis

Diagnosis Sementara
Demam berdarah dengue+ demam typhoid

Terapi
58
1. Aktivitas tirah baring
2. Diet Diet M II
3. Medikamentosa
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Ranitidin 1 ampl 50mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Novalgin 1 amp (KP)
- Paracetamol 3x 500mg/hari
- Curcuma 3x1
Pemeriksaan Anjuran/ Usul
- Darah rutin
- Ig M anti dengue, Ig G anti dengue
- Tubex test
- USG abdomen
- Apusan darah tepi
- Feses rutin

DISKUSI KASUS DEMAM TIFOID


Teori Kasus
Anamnesa1 Anamnesa
1.Demam ≥7 hari naik pada sore dan 1. Demam sejak 7 hari yang lalu,naik
malam hari turun pada pagi hari pada sore dan malam hari berkurang pada
namun tidak mencapai suhu normal pagi hari

2.Gangguan Pencernaan 2. Gangguan Pencernaan


-Mual dan Muntah -Mual dan muntah sejak 3 hari yang lalu,
-diare -diare 7 hari yang lalu,
-konstipasi - konstipasi sejak 5 hari terakhir setelah
masuk rumah sakit.

59
Pemeriksaan Fisik3 Pemeriksaan Fisik
1.Suhu badan meningkat 1.Suhu badan meningkat 38,5oc
2.Lidah typhoid tongue (beslag) 2.Lidah typhoid tongue (beslag)
ditemukan pada pasien.
3.Bradikardi relatif 3.Bradikardi relatif tidak ditemukan pada
pasien
4.Konjungtiva anemis 4.Konjungtiva anemis ditemukan pada
pasien

Pemeriksaan penunjang1 TEST WIDAL


1.Uji serologi : Test widal 1.Hasil posiif kenaikan titer diemukan pada
Dikatakan positif jika kenaikan titer pasien
sebanyak 4X dari nilai normal yaitu
1/40
paratyphi A.O 1/320 paratyphi A.O 1/160
S. paratyphi B.O 1/320 S. paratyphi B.O 1/320
S. typhi H 1/320 S. typhi H 1/320

Diagnosa banding8 Diagnosa banding


1.Demam tifoid 1.Demam tifoid
2.Demam dengue 2.Demam dengue
3.Chikungunya 3.Chikungunya
4.Malaria 4.Malaria
5.Leptospirosis 5.Leptospirosis
Diagnosa Diagnosa
Demam tifoid Demam tifoid

Tatalaksana1,3 Tatalaksana
Pengobatan pada demam typhoid : Pengobatan pada demam typhoid

I.Non medikamentosa : I.Non medikamentosa


1.Tirah baring 1.Tirah baring
2.Nutrisi 2.Nutrisi
3.Cairan 3.Cairan

II.Medikamentosa : II.Medikamentosa

1.Cairan : IVFD RL 20gtt/i 1.IVFD RL 20gtt/i


2.Simtomatik 2. Simtomatik
-Antipiretik : -Antipiretik
paracetamol 500mg 3x1 Paracetamol 3 x 500mg
60
-Antibiotik -Antibiotik
- Chloramfenikol 50-100 Tablet -Ceftriaxone 1gr/12jam
mg/kg/hari, selama 10-14 hari
- Cefalosporin (ceftriaxone dosis
100mg/kgBB/hari, atau cefixime
dosis 150-200 mg/kgbb/hari)
selama 7-14 hari1,3
Komplikasi 1,3 Komplikasi
- Perforasi usus - Tidak ditemukan Perforasi usus
- peritonitis - Tidak ditemukan peritonitis
- bronkitis - Tidak ditemukan bronkitis
- kolestatis - Tidak ditemukan kolestatis
- hepatitis tifoid - Tidak ditemukan hepatitis tifoid
- meningitis - Tidak ditemukan meningitis
- perikarditis - Tidak ditemukan perikarditis
- ISK - Tidak ditemukan ISK
Pencegahan1 Pencegahan
-Cuci tangan. Cuci tangan.
-Hindari minum air yang tidak -Hindari minum air yang tidak dimasak.
dimasak. -Pilih makanan yang masih panas.
-Pilih makanan yang masih panas. -Hindari makanan yang telah disimpan
-Hindari makanan yang telah lama dan disajikan pada suhu ruang.
disimpan lama dan disajikan pada
suhu ruang. -Sering cuci tangan.
-Sering cuci tangan. -Bersihkan alat rumah tangga secara
-Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
teratur. -Hindari memegang makanan.
-Hindari memegang makanan. -Gunakan barang pribadi yang terpisah.
-Gunakan barang pribadi yang -pasien tidak menggunakan pencegahan
terpisah.3 vaksinasi
-Pencegahan dengan menggunakan -pasien tidak melakukan vaksinasi
vaksinasin:
1.Vaksin oral Ty 21a

61
2.Vaksin polisakarida1

Prognosis1 Prognosis
-Dubia adbonam (Baik) - Dubia adbonam (Baik)
Jika mendapat terapi antibiotik mendapatkan terapi antibiotik yang
yang adekuat. adekuat
-Dubia admalam (buruk)
Jikapasien tidak mendapat
terapi antibiotik yang adekuat
dan telah terjadi komplikasi
serta pertolongan medis yang
terlambat
Edukasi8 Edukasi
1.pengobatan berupa penggunaan 1. Demam tifoid bisa dihindari dengan
antibiotik yang harus di patuhi, menerapkan pola gaya hidup sehat dan
prilaku yang baik.
2.Pemilihan diet selama penderita 2. Penyandang tifoid perlu perhatian aktif
sakit dari diri sendiri pasien, keluarga
3.tanda dan gejala pada individu 3. Pasien diharapkan mengetahui dan
yang terkena demam tifoid menyadari diet yang harus diikuti
4.penjelasan komplikasi yang terhindar dari keadaan yang
mungkin diakibakan demam tifoid.8 memperburuk penyakit.
4. Pasien harus didampingi oleh tim
kesehatan dalam menuju perubahan
perilaku sehat agar tercapai
keberhasilan perubahan perilaku serta
mengedukasi pasien dalam upaya
meningkatkan motivasi serta
mengetahui komplikasi dari demam
tifoid..

62
DISKUSI KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE
Teori Kasus
Anamnesa2 Anamnesa

1.Demam 3 hari terakhir mendadak setelah


1.Demam 2-7 hari mendadak tinggi terus
sempat bebas demam
menerus bifasik
2.Tidak dijumpai gejala perdarahan pada
2.Manifestasi perdarahan
pasien

3.Nyeri kepala bagian retroorbital 3 hari yang


3.Nyeri kepala bagian retroorbital,
lalu, biasanya muncul bersamaan demam

4.Myalgia ditemukan pada pasien sejak 3 hari


4.Myalgia
yang lalu.

5.Riwayat kasus DBD di lingkungan tidak ada


5.Riwayat kasus DBD di lingkungan
Pemeriksaan Fisik4 Pemeriksaan Fisik
1.Suhu badan meningkat 1.Suhu badan meningkat 38,5oc

2.Peteki 2.Tidak dijumpai peteki pada uji tourniquet

3.Nyeri tekan regio epigastrium 3. Nyeri tekan regio epigastrium tidak


dijumpai pada pasien.

Pemeriksaan penunjang2,4 Pemeriksaan penunjang

1.Darah rutin 1.Darah Rutin


Hitung trombosit *74.000

2.Ig M anti dengue, dan Ig G anti dengue 2.Ig M anti dengue, dan Ig G anti dengue tidak
dilakukan

3.Rumpleed test atau uji tourniquet (+) jika 3. Rumpleed test atau uji tourniquet (-) pada
ditemui >10 peteki dalam ukuran diameter pasien
5 cm.

3.Ns 1 Anti-Gen 3.Ns 1 Anti-Gen tidak dilakukan pada pasien

63
Diagnosa banding6 Diagnosa banding
1. DBD 1. DBD
2. Chikungunya 2. Chikungunya
3. Demam Tifoid 3. Demam Tifoid
4. Malaria 4. Malaria

Diagnosa5 Diagnosa
Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue

Tatalaksana7 Tatalaksana
Pengobatan pada demam berdarah dengue: Pengobatan pada demam berdarah dengue:
1.Tirah baring 1.Tirah baring
2.IVFD RL 20gtt/i 2.IVFD RL 20gtt/i
3.IVFD Koloid 3.IVFD HES 10gtt/i
4.Paracetamol 3 x 500mg 4.Paracetamol 3 x 500mg
Komplikasi8 Komplikasi
1.Ensefalopati Dengue 1.Tidak dijumpaiEnsefalopati Dengue
2.Gagal ginjal akut 2.Tidak dijumpai Gagal ginjal akut
3.Odem Paru 3.Tidak dijumpai Odem Paru
.
Pencegahan8 Pencegahan
1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 3M
3M yaitu: menguras,mengubur,menutup yaitu: menguras,mengubur,menutup sarang
sarang perkembang biakan jentik nyamuk perkembang biakan jentik nyamuk

2.Penaburan Abate 2.Penaburan Abate (Tidak dilakukan ditempat


pasien)

3.foging 3.foging Abate (Tidak dilakukan ditempat


pasien)

4.perbaikan draines 4.perbaikan drainese (Tidak dilakukan


ditempat pasien)

64
Edukasi2,8 Edukasi
1.DBD bisa dihindari dengan 1.DBD bisa dihindari dengan menerapkan
menerapkan pola gaya hidup sehat dan pola gaya hidup sehat dan prilaku yang
prilaku yang baik. baik dengan lingkungan sekitar yang
dibersihkan.
2.Penderita DBD perlu perhatian aktif 2.Penderita DBD perlu perhatian aktif dari
dari diri sendiri pasien, keluarga dan diri sendiri pasien, keluarga dan masyarakat
masyarakat. apa bila dilingkungan sudah ditemui orang
dengan gejala yang mengarah ke dbd segera
melapor ke petugas kesehatan.
3.Pasien harus didampingi oleh tim 3.Pasien harus didampingi oleh tim
kesehatan dalam menuju perubahan kesehatan dalam menuju perubahan perilaku
perilaku sehat agar tercapai sehat agar tercapai keberhasilan perubahan
keberhasilan perubahan perilaku serta perilaku serta mengedukasi pasien dalam
mengedukasi pasien dalam upaya upaya meningkatkan motivasi.
meningkatkan motivasi..

4. Pasien diharapkan bisa mandiri, 4. Pasien diharapkan bisa mandiri, setelah


setelah diberikan pelatihan khusus. diberikan pelatihan khusus guna untuk
mengurangi insidens dbd.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.

Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demem Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo A,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiatiti S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

5. Jakarta: Interna Publishing; 2009 .p. 2773-9

3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,

Ed. Ilmu Penyakit dalam : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika, 2002:1-43.

4. Saleha Sungkar Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Dalam: Andi A (Editor). Demam

Berdarah Dengue. Edisi 5. Jakarta: Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia; 2002 .p. 31-43

5. Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan

Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.

6. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 1 september 2017

66

Anda mungkin juga menyukai