Anda di halaman 1dari 7

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella

typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan
struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam
paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih
ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu
bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S.Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S.Hirschfeldii)

Sejarah

Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti typhus. Baik
kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita
yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word
Gehard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari thypus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan
Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe mesenterial dan limpa. Pada
tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya
melalui air dan bukan udara.

Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit demam tifoid. Pada
tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam tifoid.
Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam
tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang dilemahkan dan
vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948 Woodwark dkk di Malaysia
menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan demam tifoid.

Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan masalah Kesehatan yang penting di berbagai negara sedang
berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita
yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka
yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan. Salmonella typhi dapat hidup di dalam
tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada di dalam es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temp 63C).

Terjadinya penularan Salmonella typhi Sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh
kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar Bersama-sama dengan tinja
(melalui rute fekal = jalur oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses
kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.

Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagella,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang
terdiri dari ologosakarida, flagellar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang
terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis
luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.

Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu: (1)
penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di
makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.

Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh

Bakteri Salmonella typhi Bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat
melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti
aklorhidiria, gastektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton
atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi
mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan
virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan
melalui ductus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan car aini organisme dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi
baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu
dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

Peran Endotoksin

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari
salmonella typhi menstimuli makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.

Respons Imunologik

Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal (gastrointestinal)
maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan
maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas
selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam
tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. Typhi pada
uji hambatan migrasi lekosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan
dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.

Manifestasi Klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala
klinis demam tifoid sangat bervariasi, dri gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus
sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella,
status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian
antibiotic belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah
khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terjadi focus infeksi seperti kolesistisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang
tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea,
myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat , pada saat
demam tinggi akan tampak toksik/ sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang
datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada Sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan
splenomegali.

Rose spot, suatu ruam maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering kali
dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3
hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.

Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus pada 1-10%
kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan
terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan
peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran
kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis
yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.

Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan
kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan
manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah thrombosis
serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, myelitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,
meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillan-Barre. Dari berbagai penyulit neurologic yang terjadi,
jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok
kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimptomatik dapat
dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak
mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistisis akut
juga dapat dijumpai, sedang kolesistisis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam
tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit
maupun setelah sembuh. Sistisis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonephritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit
sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun
seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah
tombositopenia, koagulasi intravascular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), otak, hati,
limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang
ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian antibiotik.
Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien tidak demam akan
tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan
dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.

Gambaran darah tepi

Anemia normokromi normositik terjadi akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang.
Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/ul 3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah
leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000 /ul3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-
kadang berlangsung beberapa minggu.

Diagnosis

Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan
mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat
membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari
darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih
besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan
keberhasilan lebih kecil. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai
sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif,
sehingga tidak dapat dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik
(O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka
titer O agglutinin >_1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
mebutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96%
kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa >_1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada
kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.

Akhir-akhir ini banyakk dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antipode S.typhi
dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urun bahkan DNA S.typhi dalam darah
dan faeces. Polymerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi
secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini
spesifik dan lebih sensitive dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan
menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai
sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.

Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinins dapat menjadi
diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis dan bronkopneumonia. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukimia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

Tatalaksana

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai,
pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotic. Sedangkan untuk kasus berat harus
dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama
karena pada dasarnya pathogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang
diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7
hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat
diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomilitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah
satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut
jarang diaporkan.

Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol.
Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil
yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim
sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik disbanding kloramfenikol. Dosis yang
dianjurkan adalah TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara
sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India resisteni ganda
terhadap kloramfenikol, Ampisilin, dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49-83%. Strain yang resisten
umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti
Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau
sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Efikasi kuinolon
baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari
dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ul atau dijumpai resistensi
terhadap S.typhi.

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock, pemberian
deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1
mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan angka
mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang
memerlukan transfuse darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada
peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis. Laparatomi
harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penambahan antibiotic metronidazole dapat
memperbaiki prognosis. Reseksi 10 cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka
harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup
berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam
pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.

Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenecid 30
mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan
80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistisis, pemberian
antibiotic saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200
mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan
amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari.

Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan
pertama.

Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan Kesehatan sebelumnya, dan
ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%.
Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,
perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.Typhi >-3 bulan setelah infeksi
umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga
dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air
akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan
kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya
pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal dengan tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman
yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonelle typhi. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun
digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya
kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin
yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada
anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding
terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella
typhi.diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

Anda mungkin juga menyukai