Anda di halaman 1dari 7

RINGKASAN MATERI

FARMAKOTERAPI DEMAM TIFOID

FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN MALIGNANSI

Disusun Oleh :

AGNES NUR MILENIAWATI 24185565A

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2021
A. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistem pencernaan yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam tifoid merupakan penyakit
infeksi global, terutama di negara-negara berkembang. Demam tifoid ditularkan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi, selain itu
penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan feses, urin atau sekret
penderita demam tifoid. Dengan kata lain hygiene sanitasi adalah factor utama penularannya.
Manifestasi klinis demam tifoid yang timbul dapat bervariasi dari gejala ringan hingga berat.
Gejala klinis yang klasik dari demam tifoid diantaranya adalah demam, malaise, nyeri perut
dan konstipasi. Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid. Namun harganya yang mahal dan waktu pemeriksaan yang lama
membuat pemeriksaan kultur ini jarang dilakukan.
B. EPIDEMIOLOGI
Data global pada tahun 2010, diperkirakan 26,9 juta kasus demam tifoid diseluruh
dunia (4). Demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan pada daerah
tropis dengan angka kejadian sekitar 21 juta dan berakhir kematian sekitar 700 kasus. Hal ini
menyebabkan demam tifoid masih menjadi masalah serius. Berdasarkan studi epidemiologi
yang dilakukan di lima negara Asia, insidensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 81,7
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut masih dibawah Pakistan 451,7 kasus
per 100.000 penduduk per tahun dan India 493,5 kasus per 100.000 per tahun. Prevalensi
angka kejadian demam tifoid di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI
menyebutkan sekitar 350-810 per 100.000 penduduk. Itu artinya tiap tahun ada sebesar
600.000-1.500.000 kasus demam tifoid.
C. PATOFISIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negative ananerob fakultatif. Bakteri
Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui oral bersama dengan makanan atau minuman
yang terkontaminasi. Sebagian bakteri akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam
lambung. Sebagian bakteri Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya
di ileum dan jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem imun humoral mukosa (IgA) tidak
lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan menginvasi kedalam sel epitel usus halus
(terutama sel M) dan ke lamina propia. Di lamina propia bakteri akan difagositosis oleh
makrofag. Bakteri yang lolos dapat berkembang biak didalam makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah (bakterimia I). Bakterimia I dianggap sebagai masa inkubasi yang dapat
terjadi selama 7-14 hari Bakteri Salmonella juga dapat menginvasi bagian usus yang bernama
plak payer. Setelah menginvasi plak payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke dalam
folikel limfoid intestin dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati system
retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga melewati organ hati dan limpa.
Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag yang selanjutnya berkembang biak di
sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan masuk ke sirkulasi darah untuk kedua kalinya
(bakterimia II). Saat bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat makrofag
memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan mediator inflamasi salah satunya adalah
sitokin. Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan munculnya demam, malaise, myalgia, sakit
kepala, dan gejala toksemia. Plak payer dapat mengalami hyperplasia pada minggu pertama
dan dapat terus berlanjut hingga terjadi nekrosis di minggu kedua. Lama kelamaan dapat
timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk ulkus diminggu ketiga. Terbentuknya
ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi. Hal ini merupakan salah satu
komplikasi yang cukup berbahaya dari demam tifoid.
D. ETIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi.Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,
motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C, bersifat fakultatif
anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.Isolat kuman Salmonella
Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol
positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan
DNase.6,17 Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup.Antigen
flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik
spesies.Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi
seluruh permukaan sel.Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O
serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin.Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang
merupakan bagaian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan,
lipopolisakarida dan lipid A.Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin di
dalam tubuh.Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan
bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon
imun host.OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.
E. DIAGNOSIS
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1 tahun
lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi.Masa inkubasi demam
tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari.Selama masa inkubasi
mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat.Kemudian menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa
ditemukan.
1) Gejala
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.Demam
berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada awalnya
suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi
pada sore dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi.Dalam minggu kedua
penderita akan terus menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada
minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada minggu keempat. Pada penderita bayi
mempunyai pola demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai
menggigil.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi
dan diare.Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada
minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian
sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan
tidak nafsu makan.
2) Tanda
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain
hepatomegali dan splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data
teraba pembesaran pada hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta.14 Tetapi
adapula penelitian lain yang menyebutkan dari mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di
bawah arkus kosta.Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam, yaitu
apatis sampai somnolen.Selain tanda – tanda klinis yang biasa ditemukan
tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain.Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler kulit.Kadang-
kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5
tahun. Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak
ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan
demam tifoid
3) Uji Lab
Pemeriksaan hematologi
Hitung leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda
leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan
marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi intravascular diseminata.
Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang
ditemukan.

Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi
positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang
dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal
seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama
agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin
O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung
endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan. 1 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat
dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimendarah 20/22 (90%), dan
tinja 15/22 (68.1%).14
Pemeriksaan serologi dari spesimen urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D
Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 5%,
namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan
ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d
flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas
tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9
kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi
lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang
diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam.
Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S.
yphi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam
tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan
0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit
demam tifoid.
Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain:
liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence
[Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan
biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9
lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki
sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.9,2, 10Tabel 2 memperlihatkan
perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.
Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari.12 In-
flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.

6. TATA LAKSANA TERAPI


a. Tata Laksana Umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi
darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak
perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah
sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
b. Tata Laksana Antibiotik
Obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini
adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam
pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S.
Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970,
kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-
sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang
membutuhkan pengobatan parenteral, dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.

Anda mungkin juga menyukai