Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Demam Tifoid

Pembimbing :
dr. Sedyo Wahyudi, Sp. A

Oleh :
Nathania Dwianti Setiawan

112019153

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RS PANTI WILASA DR CIPTO SEMARANG

PERIODE 8 FEB – 17 APRIL 2021


PENDAHULUAN

Demam tifoid atau disebut juga demam enteric berasal dari bahasa Yunan yaitu typhos
artinya kabut karena penderita sering terdapat gangguan kesadaran dari ringan hingga berat.
Penyakit ini merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang banyak ditemukan pada masyarakat
di perkotaan maupun pedesaan. Biasanya sering terjadi di negara berkembang. Demam tifoid
termauk penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga bisa
menimbulkan wabah. Penyakit ini berkaitan dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. di Indonesia penyakit ini bersifat endemik. Banyaknya kasus di
Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata kesakitan 500/100.000
penduduk dan angka kematian 0.6-5%. Pemberian terapi antibiotik yang tepat sangat penting
dalam mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian.

Penulis menulis ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam mengenai bagaimana tatalaksana
dan karakteristik demam tifoid. Selain itu juga agar pembaca dapat menambah pengetahuan serta
dapat mencegah terkena demam tifoid dengan higenitas dan sanitasi lingkungan yang baik.
DEFINISI

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi A, B, dan C yang dapat disebut demam paratifoid.1

ETIOLOGI

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, bergerak dengan flagela, berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif yang
dikarakteristikan dengan adanya antigen O, H, dan Vi pada permukaannya. Antigen O
merupakan antigen somatik yang penting untuk menentukan virulensi kuman. Bagian ini
memiliki endotoksin dan struktur kimia lipopolisakarida pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Antibodi yang terbentuk adalah IgM. Antigen H merupakan antigen flagella yang terletak pada
flagella dan fimbria kuman. Flagel ini terdiri dari badan sel yang melekat pada sitoplasma
dinding sel kuman. Antibodi yang terbentuk adalah IgG. Antigen Vi terdapat pada
kapsul(envelope) dari kuman agar terlingung dari fagositosis. Antigen ini menunjukan bahwa
individu tersebut merupakan pembawa kuman (carrier). Ketiga antigen ini akan menimbulkan
pembentukan 3 jenis antibodi yang disebut agglutinin. Bakteri ini berkembang pada media
dengan pH 6-8 pada temperatur 15-41C dengan suhu optimumnya adalah 37C. Ia dapat hidup
hingga beberapa minggu di alam bebas seperti air, es, sampah, dan debu. Reservoir satu-satunya
adalah manusia yang sakit atau karier. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60 selama
15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinisasi. Masa inkubasinya 7-14 hari namun pada
anak lebih bervariasi sekitar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit yang kadang juga tidak
teratur.2
Gambar 1. Salmonella typhi pada pewarnaan gram

EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid adalah penyakit endemik di Indonesia yang bersifat sporadis, terpencar-pencar di
berbagai daerah, dan bisa ditemukan sepanjang tahun. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 16
juta kasus pertahun dan menyebabkan 600.000 kematian. Komplikasi serius pada demam tifoid
terjadi sekitar 10% pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dengan pengobatan
yang tidak adekuat. Penderita terbanyak demam tifoid berkisar dari usia 5-15 tahun.3

Penularannya melalui fecal-oral dari makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses penderita
demam tifoid atau karier yang asimtomatik kronik. Meningkatnya insidens demam tifoid ini
disebabkan karena sanitasi yang buruk dan kurang tersedianya akses terhadap air bersih. Selain
itu faktor risikonya terdapat pada higiene lingkungan dan pribadi yang buruk.

PATOFISIOLOGI

Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi menularkan ke manusia melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi dengan feses penderita demam tifoid. Setelah itu kuman tersebut
masuk melalui lambung hingga mencapai usus halus lalu menginvasi ke jaringan limfoid (plak
peyeri). Kemudian melalui saluran limfe mesenterika kuman masuk ke aliran darah sistemik
menjadi bakteremia I dan mencapai sel retikuloendotelial dari hati dan limpa. Fase ini
merupakan masa inkubasi yang dapat terjadi 7-14 hari. Kemudian kuman akan dilepas ke
sirkulasi sistemik yang menyebabkan bakteremia II melalui duktus torasikus dan mencapai
organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus, dan kandung empedu.4

Bakteri Salmonella menghasilkan endotoksin yang bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi
peradangan dimana bakteri Salmonella berkembang biak. Hal ini juga menstimulasi produksi
sitokin oleh sel-sel makrofrag dan leukosit di jaringan yang meradang sehingga juga memicu
timbulnya demam dan gejala toksemia. Kelainan patologis yang utama terdapat pada usus halus,
terutama pada ileum bagian distal yang terdapat kelenjer peyer. Pada minggu pertama terjadi
hyperplasia pada plek player, kemudian pada minggu kedua terjadi nekrosis, sedangkan pada
minggu ketiga mulai terjadi ulserasi, dan terakhir terbentuk ulkus. Ulkus inilah yang
menimbulkan terjadinya perdarahan dan perforasi. 4

Hati membesar karena infiltrasi dari sel-sel limfosit dan mononuklear lainnya serta nekrosis
fokal. Hal yang sama juga dapat terjadi pada limpa dan kelenjar mesentrika. Pada pemeriksaan
juga sering ditemukan peradangan dan abses pada berbagai organ salah satunya kandung empedu
yang menjadi tempat yang disenangi oleh bakteri Salmonella. Jika penyembuhannya tidak
sempurna ia akan bertahan di kandung empedu, mengalir ke dalam usus dan menjadi karier
intestinal. Bakteri ini juga dapat bertahan dalam waktu lama di dalam ginjal dan menjadi karier
(Urinary Carier).

MANIFESTASI KLINIS1,5-6

 Memiliki salah satu gangguan saluran pencernaan seperti diare atau konstipasi, mual,
muntah, nyeri perut. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut terutama regio
epigastrik disertai mual muntah. Pada awal sakit sering mengalami meteorismus (perut
kembung) dan konstipasi, namun pada minggu kedua terkadang timbul diare.
 Demam ≥ 7 hari, demam naik turun terutama pada sore dan malam hari dengan pola
intermitten dan kenaikan suhu secara bertahap setiap hari dan mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama (step ladder temperature chart). Minggu kedua demam terus
menerus tinggi. pada anak khususnya balita demam tinggi ini dapat menimbulkan kejang.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh perlahan-lahan turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
 Sakit kepala dirasakan pada area frontal
 Malaise
 Penurunan nafsu makan
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan
o Umumnya kesadaran menurun walaupun tidak dalam seperti apatis hingga
somnolen.
o Bradikardi relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti dengan peningkatan
frekuensi nadi) namun tidak sering ditemukan.
o Hepatosplenomegali
o Mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah. Lidah terlihat
kotor dan ditutupi selaput putih (coated tongue). Ujung dan tepi lidah kemerahan
dan tremor
o Abdomen kembung(meteorismus) disertai nyeri difus
o Rose spot (pada hari ke-7 hingga 10)

Gejala pada anak biasanya tidak khas dan kebanyakan berlangsung dalam waktu pendek dan
jarang menetap lebih dari 2 minggu. Namun semakin bertambah usia gejala akan semakin berat
menyerupai demam tifoid pada dewasa.

PEMERIKSAAN PENUNJANG5,6

 Darah tepi → anemia, leukopenia (jarang <3000), limfositosis relatif, dan


trombositopenia (pada demam tifoid berat)
 Serologi
o Tes widal → dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. interpretasi positif jika
terdapat kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7
hari.
o Enzyme Immunoassay test (typhidot) →mendeteksi IgM dan IgG Salmonella
typhi. Dilakukan pada 4-5 hari setelah demam.
o IgM antigen O9 Salmonella typhi (Tubex-TF) → untuk mendeteksi IgM
Salmonella typhi. Dilakukan 4-5 hari setelah demam.
 Kultur darah positif pada awal penyakit → diambil pada minggu pertama sakit saat
demam tinggi
 Kultur feses positif setelah periode bakteremia sekunder → diambil pada minggu kedua
 Kultur urin → diambil pada minggu kedua atau ketiga sakit
 Biakan empedu → gold standar untuk diagnosis demam tifoid walaupun hanya 40-60%
kasus yang positif terutama pada awal perjalanan penyakit.
 PCR, merupakan pemeriksaan yang cepat dan menjajikan, namun jarang dipakai karena
biaya yang mahal dan teknis relative rumit. PCR juga berisiko memberikan positif palsu
jika prosedurnya tidak dilakukan secara cermat karena adanya kontaminasi.

DIAGNOSIS BANDING5,6

 Demam dengue
Demam dengue memiliki gejala yang tidak spesifik seperti demam, sakit kepala, myalgia,
dan syok yang mirip dengan demam tifoid. Biasanya disebut “breakbone fever” karena
arthralgia yang berat.
 Malaria
Malaria juga memiliki gejala non-spesifik yaitu demam, sakit kepala, myalgia, diare,
mual-muntah, dan anemia. Namun tidak seperti demam tifoid, jaundice sering ditemukan
pada malaria.
 Amebiasis
Amebiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica pada air yang terkontaminasi atau
makanan mentah. Faktor risiko seperti tidak meminum air bersih dan sanitasi yang buruk
ini sama dengan demam tifoid, sehingga perlu dicurgai mengenai kemungkinan
amebiasis ini. manifestasi abdomen pada amebiasis yaitu disentri dan abses hati yang
sering ditemukan.
 Leptospirosis
Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang sering ditemukan. Gejalanya
berupa demam dan jaundice yang disertai myalgia, sakit kepala, dan sufusi konjungtiva.

TATALAKSANA5-8

Tatalaksana umum (suportif)

 Tirah baring
 Pemberian rehidrasi oral atau parenteral
 Simptomatik seperti antipiretik / antiemetik
 Pemberian nutrisi adekuat
 Transfusi darah jika ada indikasi

Tatalaksana antibiotik

 Kloramfenikol 50-75 mg/kgBB → obat pilihan pertama untuk demam tifoid pada anak
diberikan dalam 14-21 hari. obat ini memiliki efikasi yang baik dimana demam biasa
akan turun setelah 4-5 hari pengobatan, mudah didapat, dan harga yang murah. Namun
kekurangannya, obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik akibat supresi sumsum
tulang, agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan gray baby syndrome.
Selain itu juga tingginya angka relaps dan tidak dapat digunakan untuk mengobati karies
Salmonella typhi.
 Amoksisilin & ampisilin 75-100mg/kgBB → biasanya digunakan pada penderita demam
tifoid dengan leukopeniayang tidak mungkin diberikan kloramfenikol atau resisten
terhadap kloramfenikol. Biasanya bebas demam setelah pemberian 5 hari pengobatan.
 Trimethoprim-Sulfametoksazol 8-40 mg/kgBB → dianggap sama efektifnya dengan
kloramfenikol dan bisa gunakan pada kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol
 Sifiksim 15-20 mg/kgBB → hanya digunakan pada demam tifoid yang resisten terhadap
antibiotik (Multi Drug Resistant) dan sebagai terapi lini kedua/alternative terhadap
sefalosporin generasi ketiga lainnya yaitu seftriakson.
 Azitromisin 10 mg/kgBB → diberikan selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam
tifoid tanpa komplikasi pada dewasa dan anak dengan penurunan waktu demam yang
mirip dengan kloramfenikol.
 Pada karier demam tifoid diberikan ampisilin atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dalam 3
dosis peroral yang dikombinasi probenesid 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral atau
trimetropim-sulfametoksazol selama 4-6 minggu.

PREVENTIF

 Edukasi tentang aspek pencegahan dan pengendalian demam tifoid dengan cara
perbaikan sanitasi lingkungan, peningkatan higiene makanan dan minuman, peningkatan
higiene perorangan, dan pencegahan dengan imunisasi.
 Vaksinasi
o vaksin tifoid polisakarida diberikan saat usia lebih dari 2 tahun dan diulang setiap
3 tahun. Diberikan dengan cara injeksi Intramuskular pada deltoid dengan dosis
0,5 mL setiap pemberian.

KOMPLIKASI9

Komplikasi terjadi pada 10-15% pasien yang sudah sakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang
dapat terjadi yaitu :

 Tifoid ensefalopati

Pasien akan mengalami demam tinggi dengan kekacauan mental hebat, kesadaran
menurun, dari delirium hingga koma.

 Syok septik
Pasien mengalami demam tinggi serta gejala toksemia berat. Terdapat gangguan
hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus & cepat, keringat dan akral dingin.
 Perdarahan dan perforasi intestinal
Ditandai dengan adanya hematoshezia, dapat juga dikeathui dari pemeriksaan feses.
komplikasinya ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Terdapat udara
bebas dalam rongga perut yang dibantu dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi.
 Hepatitis tifosa
Pasien mengalami ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati
 Pankreatitis tifosa
Adanya peningkatan enzim lipase dan amilase. Selain itu dapat dibantu dengan
pemeriksaan USG atau CT scan untuk mendiagnosis komplikasi ini.
 Pneumonia
Adanya tanda pneumonia yang didiagnosis dari foto polos toraks.

PROGNOSIS5

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

PENUTUP

Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan karena bakteri Salmonella typhi yang
menyebabkan demam sebagai gejala utama disertai dengan gangguan saluran pencernaan.
Pengobatan menggunakan antibiotik yang tepat akan mengurangi risiko terjadinya komplikasi.
Pencegahannya yaitu memiliki higenitas dan sanitasi lingkungan yang baik sehingga dapat
mengurangi risiko terjadinya demam tifoid pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Ed.6.
Singapore:Elsevier;2018.

2. Medical microbiology. Salmonella. Diunduh pada tanggal 1 Maret 2021 pada


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8435/

3. Guandalini S, Dhawan Anil, Branski D. Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology,


and nutrition: a comprehensive guide to practice. Ed-. New York:Springer International
Publishing Switzerland;2016.

4. Menteri kesehatan republik Indonesia. Pedoman pengendalian demam tifoid. Diunduh pada
tanggal 20 februari 2021
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/KEPMENKES_364_2006.pdf

5. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan praktik klinik bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer. 2014. Diunduh pada tanggal 1 Maret 2021 di
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Permenkes_5_2014.pdf

6. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, dkk. Update management of infectious disease and
gastrointestinal disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012.

7. Dahiya S, Malik R, Sharma P, dkk. Current antibiotic use in the treatment of enteric fever in
children. Indian Journal of Medical Research 2019;149:263-9

8. Rampengan NH. Antibiotik terapi demam tifoid komplikasi pada anak.Sari pediatri
2013;14(5):271-6.

9. Vagholkar K, Mirani J, Jain U, dkk. Abdominal complication of typhoid fever. The Journal of
Surgery 2015;10(4):228.

Anda mungkin juga menyukai