Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:

Nama :dr. Steffany Maria Lainama


Wahana :RST Wirasakti Kupang
Periode : Februari 2018 – Februari 2019

Dokter Pembimbing:
dr. Cyrilus Clive Steward Susilo
dr. Stephanie Hellen Hartoyo

RUMAH SAKIT TK. IV 09.07.01 WIRASAKTI


KUPANG
2018

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Tinjauan Umum Demam Tifoid


Definisi
Demam tifoid adalah demam akut dan sering mengancam jiwa yang
disebabkan oleh infeksi bakteri gram negative, Salmonella typhii atau Salmonella
paratyphi. Gejala klasiknya yaitu demam yang bertahap dan berkelanjutan, menggigil,
hepatosplenomegaly, dan nyeri abdomen. Pada beberapa kasus pasien dapat mengalami
rash, mual, anorexia, diare/konstipasi, nyeri kepala, bradikardi relatif, dan penurunan
kesadaran. Tanpa terapi yang efektif, case fatality rate demam tifoid sekitar 10-30%.
Jumlah ini menurun pada demam tifoid yang diberikan terapi yang tepat yaitu sekitar 1-
4%.(5)

Epidemiologi
Demam tifoid diperkirakan mengenai kira-kira 26,9 juta orang per tahun, dan
1% dapat mencapai kematian. Oleh karena itu, penyakit ini menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat terutama pada negara berkembang. Di Asia sendiri, diperkiran
dapat mencapai 93% morbiditas dan mortalitas, dengan perkiraan terjadi 394,2 kasus per
100.000 penduduk. Sebuah studi yang dilakukan pada 5 negara di Asia menunjukkan
Indonesia menjadi salah satu negara dengan insiden tinggi demam tifoid. (6)
Studi yang dilakukan Poulos et al mengenai beban biaya demam tifoid pada 5
negara di Asia menunjukkan beban biaya demam tifoid di Jakarta Utara sebesar 132 USD,
sedangkan apabila pasien demam tifoid dirawat, dapat mencapai 432 USD. Hal ini
menjadi salah satu beban ekonomi di Indonesia.(7)
Tabel 2.1. Cost of illness per episode demam tifoid

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi, termasuk famili
Enterobacteriaciae. Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 merupakan lipopolisakarida
(komponen dinding sel), antigen Hd pada flagel, dan antigen Vi pada kapsula
polisakarida. Sebuah flagel yang unik, tipe Hj, terdapat pada beberapa S. Typhi di
Indonesia. Styphi merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, berbentuk batang
anaerob yang berukuran 0,4-0,6 m. Styphi memproduksi asam pada fermentasi glukosa
dan menurunkan nitrat. Bakteri ini juga motil karena memiliki flagel. Selain
memproduksi asam Styphi juga memproduksi gas (H2S) pada fermentasi gula. Walaupun
serotyping pada semua surface antigen dapat digunakan untuk identifikasi, laboratorium
pada umumnya hanya melakukan beberapa reaksi alutinasi pada serogroup spesifik
antigen O, yaitu A,B,C1,C2,D dan E. Strain pada 6 serogroup ini menyebabkan 99% kasus
infeksi salmonela pada manusia. (8)

Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan kejadian demam tifoid yaitu, jenis kelamin
(wanita lebih sering dibanding pria), tinggal di lingkungan yang padat, tingkat ekonomi
yang rendah, tidak menggunakan sabun dalam mencuci tangan, banjir, kontak dengan
pasien demam tifoid (sharing makanan/minuman), tidak terdapat toilet di rumah, dan
kebiasaan makan di warung pinggir jalan. (5)

Patogenesis(8,9)
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar
(foodborne/waterborne) dengan dosis infeksi 103-106 colony-forming unit (CFU). Bakteri
yang masuk harus melewati pertahanan asam lambung dan mencapai ileum. Di ileum,
bakteri menempel pada sel mukosa. Apabila repon imunitas humoral mukosa (IgA)
kurang baik, bakteri kemudian menembus sel-sel epitel (terutama sel M (sel micorofold))
yang selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propia, kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
peyeri ileum distal dan kemudian bakteri masuk ke nodus limfe mesenterika dan sebagian
menuju sel retikuloendotelial hepar, limpa serta sumsum tulang. Selain itu, bakteri yang
berada dalam makrofag juga masuk ke dalam sirkulasi darah mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik.
Salmonella ini kemudian bereplikasi didalam sel fagositik mononuklear limfoid,
hepar dan lien. Saat tertentu yang ditentukan oleh jumlah bakteri, virulensi, dan respon
host, mengakibatkan bakteri dilepaskan kembali ke dalam pembuluh darah dan
mengakibatkan bakterimia kedua yang menimbulkan tanda dan gejala. Bakteri yang
berada di hepar kemudian menginfeksi kandung empedu, berkembang biak, dan
diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari bakteri
kemudian dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya kembali menginvasi usus.
Proses yang sama terjadi kembali, tetapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi.
Bakteri yang berada didalam makrofag yang sudah teraktivasi akan merangsang
makrofag melepaskan mediator-mediator inflamasi yang kemudian menimbulkan reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, nyeri perut dan lain-lain.
Didalam plak peyeri, S Typhi didalam makrofag merangsang reaksi hipersensitivias
tipe lambat yang dapat menimbulkan hiperplasia dan nekrosis organ. Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plak peyeri yang mengalami hiperplasia
dan nekrosis serta dapat menimbulkan perforasi. Endotoksin yang menempel di reseptor
sel endotel kapiler dapat menimbulkan komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan dan gangguan organ lainnya.

Skema 2.1. Patogenesis Demam Tifoid


Diagnosis Demam Tifoid
Setelah seseorang terinfeksi Styphi, periode asimptomatik biasanya berlangsung 7-14
hari. Onset bakterimia terjadi ketika demam dan malaise. Selain itu, diagnosis demam tifoid
dapat ditandai dengan nyeri kepala tumpul bagian frontal, myalgia, batuk kering, anorexia
dan mual. Demam dapat meningkat secara progresif secara bertahap (step ladder fever) dan
menjadi persisten serta demam tinggi (390- 400C) pada minggu kedua penyakit. Demam
tinggi continous dapat terjadi terus-menerus sampai 4 minggu apabila tidak diobati, kemudian
kembali ke suhu normal. Malaise dan letargi dapat terus sampai beberapa bulan kemudian.
Gangguan BAB dari konstipasi pada orang dewasa sampai diare pada anak, dapat terjadi pada
demam tifoid. Namun pada orang dewasa dengan infeksi HIV, lebih sering terjadi diare.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Coated tongue, tender abdomen,
hepatomegaly dan splenomegaly umumnya timbul. Walaupun tidak selalu ada, bradikardi
relatif dapat ditemukan pada puncak demam tinggi. Selain itu, dapat ditemukan lesi
makulopapular eritematous (rose spot) dengan diameter 2-4 mm yang terdapat pada
punggung, lengan dan kaki pada akhir minggu pertama demam, pada orang kulit putih dan
hilang setelah 2-5 hari. Adanya hepatomegaly umum ditemukan dengan peningkatan kadar
serum bilirubin dan alanin transferase.
Kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit umumnya normal atau menurun. Diagnosis
definitif pada demam tifoid membutuhkan isolasi Styphi dapat dilakukan dari darah, sumsum
tulang, rose spot, feses atau cairan intestinal. Kultur darah selalu menjadi diagnostik utama,
namun memiliki sensitivitas hanya 40-80%. Menggunakan standar kultur broth, salmonella
terisolasi pada 30-90% pasien dengan klinis tifoid. Sensitivitas ini dapat menurun dengan
penggunaan antibiotik. Volume darah yang diperlukan untuk kultur berkisar 10-15 ml.
Sedangkan pada anak hanya membutuhkan 2-4 ml darah, karena memiliki konsentrasi bakteri
yang lebih besar. Namun terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil kultur,
yaitu sulit mempertahankan suhu 15-400C selama pengiriman spesimen, metode laboratorium
yang tidak sesuai serta pemakaian antimicrobial. Kultur yang berasal dari sumsum tulang
positif pada 80-95% demam tifoid. (2,10)
Kultur feses ditemukan negatif pada 60-70% kasus selama minggu pertama sakit, dan
dapat menjadi positif pada minggu ketiga infeksi apabila pasien tidak diobati. Oleh karena
itu, kultur feses tidak cukup untuk mendiagnosis typhoid dan hanya digunakan untuk
mendukung kultur darah. Namun dapat mengkonfirmasi untuk deteksi karier. Kultur cairan
instestinal (didapatkan dengan noninvasive duodenal string test) dapat postif walaupun kultur
sumsum tulang negatif.
Tes serologi berdasarkan aglutinasi antigen Vi memiliki sensitivitas 70-80% dan
spsifisitas dapat mencapai 95% pada identifikasi Styphi. Tes widal dilakukan untuk
mengidentifikasi aglutinasi antibodi antigen O (somatik) dan H(flagellar) Styphi yang muncul
10 hari setelah onset. Namun tes widal memiliki false positif dan false negatif yang tinggi.(2)
Tes yang lain yaitu Rapid Test yang mendeteksi IgG (sensitivitas dan spesifisitas 88%)
dan IgM (sensitivitas 12,1% dan spesifisitas 97%) terhadap antigen flagel dari Styphi. Yang
pertama yaitu tes typhidot, yang merupakan DOT enzyme immunoassay yang mendeteksi
antibodi IgM/IgG terhadap antigen spesifik pada protein membran luar Styphi. Tes ini
didesain untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang cepat. Beberapa studi menunjukkan
typhidot memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding tes widal.(11)
Rapid test yang kedua yaitu dipstick. Keuntungan dari tes dipstick ini yaitu hasil dapat
didapatkan pada hari yang sama, hanya membutuhkan sedikit serum, tidak membutuhkan
peralatan laboratorium khusus dan reagen dapat disimpan pada suhu temperatur. Rapid test
lainnya yaitu tubex, yaitu tes yang menggunakan aglutinasi partikel polystyrene untuk
mendeteksi antibodi IgM pada antigen O9. (11)
Sebuah studi mengevaluasi 3 tes diagnostik, dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk
mengidentifikasi demam tifoid, yaitu 89% dan 53% pada multi test dip sticks, 79% dan 89%
pada typhidot, 78% dan 89% pada tes tubex dibanding tes widal yang hanya 64% dan 76%.(5)
Tabel 2.2. Tes diagnostik pada demam tifoid

Tes laboratorium lainnya yaitu tes deteksi antigen Vi Styphi, yaitu dengan mendeteksi
antigen Styphi pada urin pasien dengan co-aglutination dan ELISA. Tes antigen Vi pada urin
selama minggu pertama onset demam dengan ELISA dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Tes lainnya yaitu menggunakan PCR untuk mendeteksi DNA spesifik.
(11)

Metode diagnostik lainnya yaitu dengan menggunakan USG. USG menjadi salah satu
metode untuk konfirmasi diagnosis ketika manifestasi klinis mendukung, namun kultur darah
menunjukkan hasil negatif. Temuan USG pada umumnya yaitu hpatosplenomegali, penebalan
dinding terminal ileum, caecum dan kolon ascending, limfadenopati mesenterika dan
cholecystitis acalculous akut. Sebuah studi oleh Younis melakukan USG pada beberapa hari
pertama demam dan menunjukkan temuan positif untuk demam tifoid. (12)
Differential Diagnosis(8)
 Malaria
Ditandai dengan demam dan gejala penyakit virus seperti nyeri kepala, nyeri
abdomen, arthralgia, myalgia atau diare. Nyeri kepala pada malaria sangat berat
namun tidak terdapat kekakuan leher atau fotofobia. Gejala klasik malaria yaitu
demam sangat tinggi, menggigil, dan kaku. Pola demam iregular, dengan temperatur
dapat mencapai >400C. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatosplenomegaly.
Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia.
 Hepatitis A
Pada hepatitis A dapat timbul demam dengan suhu 38-390C (low-grade fever), nyeri
abdomen kuadran kanan atas, dan hepatosplenomegaly serta gejala konstitusional
lainnya. Selain itu, dapat ditemukan urin yang berwarna gelap dan feses berwarna
seperti dempul, 1-5 hari sebelum muncul jaundice. Pada pemeriksaan laboratorium
terdapat peningkatan pada SGOT dan SGPT, serta kadar bilirubin.
 Demam dengue
Ditandai dengan suhu 390-400C , dengan demam yang bifasik (pelana kuda), selama 5-
7 hari. Pada demam dengue juga dapat timbul diffuse flushing pada wajah, leher dan
dan dada selama 2-3 hari pertama dan ruam makulopapular pada hari ke-3 atau hari
ke-4. Pada akhir periode demam atau segera setelah defervescence rash menghilang
dan muncul ptechiae pada tungkai atas dan bawah. Tanda perdarahan pada kulit
seperti torniquet test yang positif dapat ditemukan pada demam dengue.
 Infeksi Riketsia
Pada infeksi riketsia, gejala yang timbul yaitu demam, nyeri kepala, myalgia, mual,
muntah dan anorexia pada 3 hari pertama. Rash dapat ditemukan pada 14% pasien
pada hari pertama dan 49% pada 3 hari pertama. Makula (1-5 mm) timbul pertama
pada pergelangan tangan dan kaki, kemudian pada ekstremitas dan batang tubuh.
Lebih lanjut lagi, kerusakan pada vaskular menyebabkan ptechiae yang tidak hilang
dengan kompresi.

 Leptospirosis
Demam pada leptospirosis terjadi 3-10 hari, selama periode demam ini
mikroorganisme dapat dikultur dari darah. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
conjunctival suffusion, eritema faringeal tanpa exudat, nyeri otot, jaundice,
meningismus dan hypo- atau areflexia terutama pada kaki.

Komplikasi(5)
Pada anak berusia kurang dari 5 tahun, demam tifoid mirip infeksi virus dan
komplikasi berat jarang terjadi. 10-15% pasien demam tifoid dapat berkembang menjadi
severe. Faktor yang mempengaruhi yaitu durasi penyakit sebelum terapi, pemilihan terapi
antimikrobial, strain virulence, paparaan sebelumnya, dan faktor hos lainnya seperti AIDS,
imunosupresan, dan konsumsi antasid. Komplikasi umum yang dapat terjadi yaitu perdarahan
gastrointestinal, perforasi intestinal dan ensefalopati tifoid. Komplikasi ini dapat muncul pada
minggu ketiga atau keempat demam.
Perdarahan saluran cerna terjadi pada 10-20% kasus dikarenakan erosi dari plak
peyeri kedalam pembuluh darah intestinal dan ditandai dengan occult blood pada feses atau
melena. Pada colonoscopi, dapat ditemukan multiple punched out ulserasi dengan sedikit
peninggian margin pada ileum terminal (daerah yang umum terlibat) diikuti katup ileocaecal,
serta kolon ascending dan kolon transversum.
Perforasi intestinal terjadi pada 1-3% kasus di rumah sakit, dengan tempat yang
umum terjadi pada ileum. Faktor predisposisi kejadi perforasi intestinal pada demam tifoid
yaitu, pria, leukopenia, terapi yang tidak adekuat, dan durasi gejala yang pendek. Intermittent
confusion, insomnia dan dizzines terjadi pada 3-10% kasus dan gejalan ini berhubungan
dengan tingginya case fatality. Typhoid meningitis, encephalomyelitis, Guillain-Barre
syndrome dan neuritis cranial/perifer dilaporkan terjadi pada daerah-daerah yang berbeda
dengan insiden 2-40%. Pemeriksaan CSF direkomendasi pada pasien dengan perubahan
perilaku atau manifestasi neurologis dan kultur darah negatif untuk rule out meningitis
tuberkulosis.
Komplikasi yang lebih berat seperti disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau perdarahan dapat menyebabkan kematian yang cepat. Komplikasi yang jarang terjadi
yaitu abses hepar dan lien, bone-marrow granuloma, efusi pleura, multiple organ dysfunction
syndrome, haematophagocytic syndrome, haemolytic uremic syndrome, endokarditis dan
pericarditis.

Terapi (13)
Terapi demam tifoid bertujuan untuk mencegah komplikasi berat dan kematian pada
demam tifoid. Dan tujuan utama untuk eradikasi organisme dan mencegah relaps serta karier
pada feses.
1. General Management
Terapi suportif merupakan terapi penting dalam demam tifoid, seperti
oral/intravenous hidrasi, pemberian antipiretik, dan nutrisi yang cukup (makanan
yang lunak dan mudah dicerna) serta transfusi darah bila ada indikasi. Lebih dari
90% pasien dapat diterapi di rumah dengan antibiotik oral serta di follow up
untuk komplikasi atau kegagalan respon terhadap terapi. Namun pasien dengan
vomitus persisten, diare berat, dan distensi abdomen membutuhkan rawat inap dan
terapi antibiotik parenteral.
2. Terapi Antimikrobial
Ke-efektifan, availability dan biaya merupakan kriteria untuk pemilihan lini
pertama antibiotik untuk demam tifoid.
 Fluoroquinolon
Fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, fleroxacin dan pefloxacin) merupakan
terapi demam tifoid lini pertama yang dipilih. Hal ini dikarenakan, antimikrobial ini
tidak mahal, toleransi baik, lebih efektif dibanding terapi lini pertama dahulu, seperti
chloramphenicol, ampicillin, amoxicillin dan trimethoprim-sulfamethoxazole.
Fluoroquinolon dapat membunuh Styphi pada stadium intrasel didalam
makrofag/monosit. Antimikrobial ini memiliki clinical cure rate kira-kira 98%, rata-
rata waktu bebas demam 4 hari, relaps dan karier pada feses dengan rata-rata kurang
dari 2%.
Namun, terdapat multidrug resistant (MDR) yang menghambat pemilihan terapi.
Terdapat 2 kategori MDR, yaitu resisten terhadap antibiotik chloramphenicol,
ampicillin dan trimethoprim-sulfamethoxazole (MDR strains) dan resisten terhadap
fluoroquinolon. Resisten terhadap asam nalidiksat (NARST: nalidixic-acid resistant
Styphi) menurunkan kerentanan terhadap fluoroquionolon dibanding sensitif terhadap
asam nalidiksat. Dan respon terapi pada NARST lebih buruk dibanding pada sensitif
asam nalidiksat. Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia, memiliki jumlah
signifikan pada kasus MDR. Sedangkan NARST banyak ditemukan didaerah Vietnam
dan sebagian Tajikistan.
Penggunaan fluoroquinolon rutin untuk terapi demam tifoid pada anak masih
menjadi kontraindikasi pada beberapa negara karena dapat menyebabkan kerusakan
artikular. Diketahui efek samping yang dapat timbul adalah ruptur tendon achiles pada
pasien yang juga sedang mengkonsumsi kortikosteroid.
Pada sensitif asam nalidiksat, pemberian regimen selama 7 hari terbukti
efektif. Pemberian selama 3-5 hari juga terbukti efektif pada sensitif asam nalidiksat.
Sedangkan pada NRST minimal terapi 7 hari pada dosis maksimum dan dapat
mencapai 10-14 hari. Pemberian <7 hari tidak tidak memberikan efek terhadap
demam tifoid. sebuah studi di Vietnam menunjukkan penggunaan ofloxacin dengan
dosis 20 mg/kgBB/hari, menunjukkan cure rate sebesar 64% pada pasien NARST.
Pada pasien dengan resisten tinggi terhadap asam nalidiksat, dapat menggunakan
gatifloxacin (generasi baru fluoroquinolon) untuk terapi NARST. Selain itu,
peggunaan flluoroquinolon tidak direkomendasikan pada ibu hamil dengan demam
tifoid. (14)
 Chloramphenicol
Kerugian penggunaan chloramphenicol, yaitu relaps yang relatif tinggi (5-7%),
durasi terapi yang lama (14 hari), dan sering timbul stadium karier pada dewasa.
Dosis rekomendasi yaitu 50-75 mg/kgBB/hari selama 14 hari dibagi menjadi 4 dosis
perharinya atau selama 5-7 hari setelah hari bebas demam. Dosis dewasa yang umum
diberikan 500 mg, diberikan 4x/hari. Pemberian oral memiliki bioavailabilitas sedikit
lebih tinggi dibanding intramuscular atau intravenous.
 Ampicillin dan Amoxicillin
Dosis yang digunakan 50-100 mg/kgBB/hari secara oral, intramuscular atau
intravenous, dibagi menjadi 3 atau 4 dosis. Tidak ada manfaat pada penambahan asam
klavulanat pada amoxicillin. Ampicillin aman digunakan pada ibu hamil dengan
demam tifoid.
 Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ)
Dapat digunakan secara oral atau intravenous dengan dosis 160 mg TMP + 800
mg SMZ 2x/hari pada orang dewasa dan 4 mg TMP/KgBB + 20 mg/KgBB selama 14
hari pada anak.
 Cephalosporin generasi ke-3
Cefixime oral dengan dosis 100-200 mg 2x/hari untuk orang dewasa, namun
memiliki kegagalan terapi tinggi pada uji coba cefixime pada tifoid MDR di Vietnam
dibanding ofloxacin. Cefixime memiliki clinical cure rate lebih dari 90%, rata-rata
waktu bebas demam 5-7 hari, relaps dan karier pada feses dengan rata-rata kurang dari
4 %. Dosis intravenous yang dapat diberikan yaitu ceftriaxone 50-75 mg/KgBB/hari
1-2x/hari, cefotaxime 40-80 mg/KgBB/hari 2-3x/hari, dan cefoperazone 50-100
mg/KgBB/hari 2x/hari.
 Azithromycin
Azzithromycin memiliki clinical cure rate lebih dari 90%, rata-rata waktu bebas
demam 5-7 hari, relaps dan karier pada feses dengan rata-rata kurang dari 4 %.
Pemberian azithromycin dengan dosis 500 mg (10 mg/KgBB) diberikan 1x/hari
selama 7 hari telah terbukti efektif untuk terapi tifoid pada dewasa dan anak.

Tabel 2.3. Terapi Demam Tifoid


3. Terapi Pada Komplikasi Demam Tifoid(13)
Pemberian fluoroquinolon pareneral merupakan antibiotik pilihan pada infeksi
yang tifoid yang berat, selama minimal 10 hari. Pada pasien demam tifoid dengan
perubahan staus mental, dengan karakteristik delirium, stupor segera dievaluasi
meningitis dengan pemeriksaan CSF. Jika hasilnya normal, namun dicurigai tifoid
meningitis, dewasa dan anak segera diberikan terapi dexamthasone dosis tinggi,
dengan dosis awal 3 mg/KgBB melalui slow i.v. infusion selama 30 menit, setelah 6
jam , diberikan 1 mg/KgBB dan diulang setiap 6 jam dengan 7 kali lebih pemberian.
Hydrocortisone pada dosis yang lebih rendah tidak efektif.
Pasien dengan perdarahan saluran cernah membutuhkan perawatan yang
intesif, monitoring dan transfusi darah. Konsultasi bedah diperlukan jika terdapat
indikasi perforasi intestinal. Jika perforasi terjadi, operasi tidak boleh menunggu lebih
dari 6 jam. Metronidazole dan gentamicin atau ceftriaxone diberikan sebelum dan
setelah operasi, rata-rata mortalitas pada kasus ini yaitu 10-32%.
Tabel 2.4. Terapi pada Komplikasi Demam Tifoid
4. Terapi Pada Karier(13)
Seseorang disebut karier kronis jika tidak memiliki gejala namun memiliki hasil
kultur feses positif untuk Styphi selama 1 tahun setelah sembuh dari penyakit akut.
Kira-kira 1-5% pasien demam tifoid menjadi karier kronis. Rata-rata karier lebih tingi
pada pasien wanita, pasien berusia lebih dari 50 tahun, pasien dengan cholelithiasis
atau schistosomiasis. Pemberian antibiotik amoxicllin atau ampicillin (100
mg/KgBB/hari) + probenecid (1g atau 23 mg/KgBB untuk anak) diberikasn selama 6
minggu. Antibiotik lain yang dapat digunakan, yaitu ciprofloxacin 750 mg 2x/hari
selama 28 hari, dan memiliki clearance rate mencapai 80% pada karier kronis.
Pencegahan lain yang dilakukan yaitu mencegah karier untuk melakukan aktivitas
seperti menyiapkan makanan. Para penyiap makanan yang karier tidak dapat
melanjutkan tugasnya hingga telah terbukti kultur feses negatif sebanyak 3 kali
dengan jarak waktu 1 bulan.

Pencegahan(13)
Faktor utama transmisi demam tifoid yaitu melalui air minum atau makanan yang
terkontaminasi dengan Styphi.
 Air yang aman
Air yang aman tidak hanya digunakan untuk minum, melainkan juga
digunakan untuk memasak dan mencuci. Air minum dapat dimasak terlebih dahulu
atau dengan penambahan senyawa klorin. Namun, klorin tidak efektif apabila air
disimpan pada wadah metal.
 Makanan yang aman
Kontaminasi makanan merupakan transmisi utama pada demam tifoid.
Penanganan proses dan penyajian makanan merupakan dasar untuk pencegahan
transmisi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti, mencuci tangan dengan sabun
sebelum menyiapkan atau memakan makanan, menghindari makanan mentah, es batu
dan shellfish serta memakan makanan yang telah dimasak dan masih hangat. Pada
karier demam tifoid, dihindarkan dari kegiatan persiapan dan penyajian makanan
hinggai memiliki kultur feses negatif sebanyak 3 kali.
 Sanitasi
Sanitasi yang baik berkontribusi menurunkan transmisi Styphi. Beberapa hal
yang diperhatikan yaitu, fasilitas toilet yang baik wajib ada di semua daerah,
pengumpulan dan pengolahan limbah terutama selama musim hujan, serta pada
daerah dimana sering terjadi kasus demam tifoid, penggunaan kotoran manusia
sebagai pupuk tidak dilakukan.
 Edukasi kesehatan
Edukasi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
mengenai pencegahan demam tifoid. dilakukan pada semua komunitas baik anak,
remaja maupun orang dewasa. Pada edukasi kesehatan, diajarkan bagaimana menjaga
kebersihan individu serta pencegahan-pencegahan lainnya.
 Vaksin(15)
Vaksin demam tifoid menjadi salah satu pilihan dalam pencegahan demam
tifoid. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu, Ty21a, berasal dari strain Styphi yang dilemahkan
dan diberikan secara oral dan Vi, berdasarkan kapsular antigen Styphi dan diberikan
secara intramuskular. Vaksin Ty21a diberikan dalam 3 dosis pada hari yang berbeda
dan dapat diberikan pada anak >5 tahun. Proteksi dimulai sejak 10-14 hari setelah
dosis ketiga. Traveller wajib revaksinasi setiap tahunnya. Vaksin ini terdapat pada 56
negara.
Sedangkan vaksin Vi polisakarda diberikan dalam 1 dosis secara
intramuskular. Proteksi dimulai 7 hari setelah penyuntikan. Proteksi maksimum
dicapai 28 hari setelah injeksi. Vaksinasi ini dapat diberikan pada anak berusia >2
tahun. Reaktivasi direkomendasi setiap 3 tahun. Vaksin ini terdapat pada > 92 negara.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. S
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Protestan
Alamat : Alak
Tanggal masuk RS : 14 September 2018
II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesis


 Keluhan Utama

Demam sejak 6 hari SMRS


 Keluhan Tambahan

Menggigil di pagi hari, muntah


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 6 hari SMRS, berawal dengan
meriang, pusing dan lemas. Setiap pagi demam disertai menggigil, kemudian saat
siang demam kembali turun, dan demam kembali muncul saat menjelang malam
hari. Demam dirasakan terus-menerus, tidak ada hari bebas demam. Sudah
berobat ke puskesmas namun tidak membaik. Pasien tidak mengingat nama obat.
Pasien juga mengeluh muntah sebanyak 3 kali pada hari ke-2, 3, dan 4, masing-
masing sehari sekali sebanyak ± ¼ gelas. Muntah berupa campuran makanan dan
air, berwarna kuning, tidak menyemprot dan tidak ada darah. BAB 2 kali dalam
seminggu, konsistensi sedikit cair dengan ampas, warna coklat kehitaman tanpa
lendir ataupun darah, jumlah 3 sendok. Pasien sering mengkonsumsi makanan di
warung/pinggir jalan. Pasien juga menyukai makanan pedas.
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Medis Lainnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat inap RS : disangkal
 Riwayat keluhan serupa : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat keluhan serupa di keluarga : disangkal
 Riwayat alergi pada keluarga : disangkal
 Riwayat hipertensi pada keluarga : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan tgl 14 September 2018)


 Keadaan umum : tampak sakit ringan
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda-tanda vital :
 TD : 110/70 mmHg
 HR : 92x/menit, kuat penuh reguler
 RR : 20x/menit
 Suhu : 39,9C
 Pemeriksaan antropometrik :
 BB : 50 kg
 TB : 160 cm
 BMI : 19,5 kg/m2
 Kesan : normoweight
 Kepala :
 Kalvarium : normosefali, deformitas (-)
 Wajah : simetris
 Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, pupil isokor 3mm/3mm
 Hidung : deviasi septum (-)
 Mulut : mukosa oral basah
 Telinga : sekret -/-, MAE hiperemis -/-
 Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), trakea di tengah
 Thoraks :
o Paru:
o I : gerakan napas tampak simetris, retraksi (-)
o P : gerakan napas teraba simetris, stem fremitus kanan=kiri
o P : sonor kanan=kiri
o A : bunyi napas vesikuler +/+, ronkhi basah kasar +/-, wheezing -/-
o Jantung
o I : Ictus cordis terlihat
o P : Ictus cordis teraba ICS IV sinistra
o A : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
 Inspeksi: tampak cembung,
 Auskultasi: bising usus (+), 6-7 kali/menit
 Palpasi: supel, nyeri tekan (+) seluruh kuadran terutama epigastric, defans (-)
organomegali (-)
 Perkusi: asites (-) timpani
 Ekstremitas: Akral hangat, edema -/-/-/-, CRT <2s
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 14 September 2018:


 Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Rujukan


Leukosit 13000/l 5000-10000
Eritrosit 4,51 juta/l 4 juta – 5,5 juta
Trombosit 201000/l 150000-400000
Hb 13,7 g/dl 12-17,4
Hematokrit 41% 36-52
Hitung jenis leukosit
Limfosit 32,8% 25-40
Mid 6,6% 3-7
Granulosit 60,5% 50-75
MCV 70,5 fl 76-96
MCH 21,5 Pg 27-32
MCHC 30,5 g/dl 30-35

 Widal

Pemeriksaan Hasil
S. typhii O 1/320
S. typhii H 1/320
S. paratyphii H 1/320
S. paratyphi O 1/160

V. RESUME

Pasien wanita, 18 tahun datang dengan keluhan demam sejak ± 6 hari SMRS. Demam
dirasakan naik-turun, turun pada pagi hari dan tinggi pada malam hari. Pasien juga
mengeluhkan cephalgia dan malaise. Pasien juga mengeluh muntah sejak ± 3 hari SMRS.
Muntah berupa campuran makanan dan air, berwarna kuning, tidak menyemprot, tidak ada
darah. Pasien juga mengeluhkan sulit BAB, BAB berwarna coklat kehitaman tanpa lendir
dan darah. Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar.

VI. DIAGNOSA KERJA

Observasi febris hari ke-6 suspek demam tifoid

VII. DIAGNOSA BANDING


 DHF

VIII. TATALAKSANA

 Diet lunak 1500 kkal


 Infus RL 1500cc/24jam
 Ciprofloxacin 2 x 500mg PO
 Ranitidine 2 x 50mg IV
 Paracetamol 3 x 500mg PO
 Metoclopramide 3 x 10mg IV
 Antasid 3 x 15cc PO

XII. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
 Quo ada functionam : bonam

Anda mungkin juga menyukai