Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

“GANGGUAN FUNGSI HATI PADA DEMAM TIFOID”

Pembimbing :
dr. Taufik Raffendi, Sp.A,D.FM

Disusun Oleh :
Ida Lailatul Hasanah

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RS BHAYANGKARA KEDIRI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi

masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya

angka pasti pada kasus demam tifoid di dunia masih sangat sulit untuk

ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum

klinis yang sangat luas1.

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di

masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan

dewasa. Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di

Athena sampai Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak

kalah menarik adalah tentang “Tifoid Marry” yang pada tahun 1907

menjadi seorang carier/ pembawa penyakit tifoid di Amerika, dimana setiap

restoran tempat dia bekerja selalu terjadi epidemi tifoid. 9

Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan

216.000–600.000 kematian.3 Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa

negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan

biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan

pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia

2
Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari

100 kasus per 100.000 penduduk.4

Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena

penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama

muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering

terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. 7

Pada demam tifoid berbagai komplikasi penyakitnya seperti di usus

( perdarahan dan perforasi, kandung epedu dan miokardium telah banyak

dilaporkan, tetapi jarang dilaporkan komplikasi pada hati.11

Komplikasi demam tifoid pada hati yang berkaitan dengan

peningkatan kadar SGPT dan SGOT. Dilaporkan pada juli 2013-juli 2014,

pada pasien demam tifoid di RSUP Sanglah terjadi peningkatan kadar SGPT

73,08%, dan SGOT 84,62% pada semua kasus demam tyifoid. Keadaan pasien

cenderung membaik setelah di berikan antibiotik dan hanya ada 1 pasien

dengan komplikasi yaitu hepatitis tifosa.11

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Hepatitis tifosa manifestasi langka demam tifoid, secara klinis

dicurigai pada pasien dengan hepatomegali demam persisten dan penyakit

kuning dan terutama dalam kasus di mana tes fungsi hati menunjukkan

hiperbilirubinemia terkonjugasi dominan, peningkatan moderat enzim hati

dan serologi negatif untuk hepatitis virus.22

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi/paratyphi.

Penularan Salmonella Thyp/paratyphi dapat ditularkan melalui berbagai

cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanaden), Fingers(jari

tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses. 13

2.2 Etiologi

Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative

bentuk bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan

flagella peritrik, memiliki anaerob, mati dalam suhu 56 oC dan pada keadaan

kering. Di dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam

media yang mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu

antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan

antigen Vi.Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4:

Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan

Serotipe group D. 7

4
Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab

infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral,

biasanya dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor

lain yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp.

adalah keasaman lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal. 9

2.3 Prevalensi

Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemik dan sporadik di Indonesia.

Demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insiden tertinggi pada

anak-anak. Sumber penularan berasal dari pasien dengan demam tifoid dan

dari tifoid karier. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau

urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pascademam tifoid tanpa gejala

klinis. Transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi pada daerah

endemic sedangkan pada daerah nonendemik makanan yang tercemar karier

merupakan sumber penularan utama.13

Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan

sebesar 81,7 per 100.000 penduduk dengan sebaran menurut kelompok umur

5
0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun),

180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini

menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15

tahun.4 Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan

adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun

dengan rata-rata angka kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian

diperkirakan sekitar 0,6–5%.9

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,

prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi

tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%), usia 15–

24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).6 Tifoid dapat menurunkan

produktivitas kerja, meningkatkan angka ketidakhadiran anak sekolah karena

masa penyembuhan dan pemulihannya yang cukup lama, dan dari aspek

ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. 9

Pada tifoid, demam merupakan keluhan utama pada seluruh pasien

yaitu (100%) dan tanda yang paling sering didapatkan pada pasien adalah

pembesaran hati. Dan komplikasi pada hati yaitu hepatitis tifosa. Berdasarkan

penelitian Profil Klinis Anak dengan Demam Tifoid di Rumah Sakit Umum

Pusat Dr Sardjito Yogyakarta, tanda yang paling sering didapatkan pada

pasien tifoid adalah pembesaran hati (29,7%).11 Pembengkakkan hati ringan

sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan

lebih banyak dijumpai pada S. thypi daripada S. parathypi. Untuk

membedakan apakah hepatitis ini karena thypoid, virus, malaria, atau amuba

maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu

6
histopatologik hati. Pada demam tiroid kenaikan enzin transaminase tidak

relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan

hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan

malnutrisi dan sistem imun yang kurang.20

Selain terjadi pembesaran hati terdapat juga peningkatan kadar

SGPT dan SGOT pada pemeriksaan laboratorium. Dilaporkan pada juli

2013-juli 2014, pada pasien demam tifoid di RSUP Sanglah terjadi

peningkatan kadar SGPT 73,08%, dan SGOT 84,62% pada semua kasus

demam tyifoid.13

2.4 Manifestasi

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal

penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature

chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara

bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama,

setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun

perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis,

abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat

sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam

sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat

seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.17

Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat

ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri

kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya

bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri

7
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran

hati dan limpa, serta gangguan status mental.17 Pada sebagian pasien lidah

tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan

juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan

gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare

hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit

lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah,

anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat.

Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi

dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.

Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat

timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada

akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80%

penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam

2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi

menetap sampai 1-2 bulan.15

Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan

tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua

setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya

keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat

infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil

dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh

zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi

basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. 6 Sepuluh

8
persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya

relaps.14

Menurut kriteria kosla (1990) suatu kondisi disebut sebagai hepatitis tifosa

apabila memenuhi 3 syarat berikut atau lebih :

1. Hepatomegali

2. Ikterik

3. Kelainan laboratorium ( Billirubun > 30.6 umol/l, peningkatan

SGOT/SGPT)

4. Uji widal (+)

Menurut penelitian Karoli Ritu et al, untuk bisa membedakan manifestasi

jaundice pada hepatitis virus maupun pada demam tifoid maka perlu dilakukan

observasi suhu tubuh, pada hepatitis virus jaundice muncul seiring dengan

menurunnya suhu tubuh namun pada demam tifoid jaundice justru muncul

bersamaan dengan peningkatan suhu tubuh atau pada puncak demam dan

febris yang konsisten setelah manifestasi jaundice muncul. 26

2.5 Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi

kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terinfeksi kuman.

Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung, tetapi sebagian lagi

akan lolos dan memasuki usus serta berkembang biak. Bila respon imunitas

humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-

sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria.2

9
Di lamina propria maka kuman akan dimakan oleh sel – sel makrofag.

Kuman yang termakan sel makrofag sebagian masih bertahan hidup dan

akan terbawa ke bagian Peyer Patch di ileum distal dan kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus maka kuman ini

akan dibawa masuk kedalam sirkulasi darah (menyebabkan bakterimia

asimptomatis) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh dan

mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan

gejala sistemik. 2

Didalam hati, kuman akan masuk dalam kandung empedu,

berkembang biak dan bersama dengan cairan empedu disekresikan secara

intermittent kedalam lumen usus. Proses yang sama selanjutnya akan

terulang kembali, berhubung makrofag sudah aktif dan teraktifasi serta

hipertrofi maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menyebabakan reaksi

infeksi sistemik perut seperti demam, malaise, mual, muntah, instabilitas

vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 2

Didalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasi jaringan (S. Thypi intramakrofag akan menimbulkan reski

hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasi organ, serta nekrosis organ). 3 Pada

dasarnya, tifus abdominalis merupakan penyakit sistem retikuloendotelial

yang bermanifestasi terutama pada jaringan limf usus, limpa, hati, dan

sumsum tulang.

10
Menurut Penelitian Pramoonsinsap et al, mekanisme patofisiologi pada

hepatitis tifosa masih dapat diketahui secara penuh namun hingga saat ini dua

mekanisme yang paling memungkinkan adalah invasi langsung bakteri ke

hepar atau kerusakan hepar melalui endotoxemia dengan mediasi sistem imun.

Mekanisme yang dianggap paling sering adalah endotoxemia, dimana endotoxin


yang berasal dari salmonella menginfiltrasi hepar yang menyebabkan
terganggunya keseimbangan membranesalmonella
Makanan terkontaminasi dari sel hepar (hepatosit) yang
menyebabkan terganggunya permeabilitas seluler, hepatosit merupakan regulator
billirubin dan enzim hepar sehingga saat terjadi gangguan pada hepatosit maka
Mulutenzim hepar dan billirubin hal ini yang
akan terjadi juga gangguan pada regulasi
menyebabkan terjadinya peningkatan enzim hepar dan peningkatan kadar
billirubin yang menyebabkan jaundice. Terjadinya infiltrasi endotoxin pada hepar
HCL (lambung)
akan meyebabkan mekanisme keluarnya enzim-enzim hepar dari kapsul
selularnya dan menyebabkan lisis pada jaringan disekitarnya, hal ini menyebakan
keradangan pada hepar (hepatitis).26Pathways thypoid

Hidup Tidak hidup

usus terutama plag peyer

kuman mengeluarkan endotoksin

Bakteiema primer

Difogosit Tak difogosit

mati bakteriema sekunder

Pembuluh darah kapiler Usus halus Hipotalamus Hepar

Procesia Tidak peradangan menekan hipotasplenom


pada kulit hiperemi termoreguler
Malababsorbsi nutrien
Hipertermi
Endotoksin
merusak hepar
11
Hiperperistaltik usus
cepat lelah
SGOT/SGPT
diare
intoleransi aktifitas

reinterkasi usus

Komplikasi

Intestinal Ekstraintestinal
- perdarahan usus - Pneumonia
- Revolusi - Meningitis
- Peritonitis - kolesistitis
- Neuropsikiatrik

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada

akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak

sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri

perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat

dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan

komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai

lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis,

meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.

Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

PEMERIKSAAN FISIK

12
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat

febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada

sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam

keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal

kembali pada akhir minggu III.

2. Gangguan saluran cerna

Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah

(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan

tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung

(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.

Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan

tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam

berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat

ditemukan gejala-gejala lain:

- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest

dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan

diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat

13
pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri

dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang

biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai

karakteristik notch (dicrotic notch).6

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis,

kimia klinik, imunologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini

ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi

penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan

hasil pengobatan serta timbulnya penyulit. 24

a. Hematologi

- Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit

perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah

(leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit:

sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) :

meningkat, Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 24

b. Urinalis

- Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit

dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 24

c. Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan

gambaran peradangan sampai hepatitis Akut. 24

d. Imunologi

14
Pemeriksaan serologi widal ditujukan untuk mendeteksi adanya

antibody (didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi /

paratyphi(reagen). Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera

diketahui.Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O =

1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi

mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O

meningkat setelah akhir minggu. 24

Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM

merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif

dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/

Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di

ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan:

1. Bila lgM positif menandakan infeksi akut

2. Jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/

reinfeksi/ daerah endemik.

e. Mikrobiologi

Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk

pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil

positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya

jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid.

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena

perlu waktu untuk pertumbuhan kuman, biasanya positif antara 2-7 hari. 24

f. Biologi molekular.

15
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak

dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang

kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji

ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit

(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen

yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta

jaringan biopsi. 24

g. Pencitraan

Pemeriksaan radiologi dan USG menunjukkan adanya udara bebas

di bawah diafragma, yang sering disertai gambaran ileus paralitik.

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar,

yaitu tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa

pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid

juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit

tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi,

pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi

traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.3

Tatalaksana umum Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat

penting dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa

pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral,

penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah

bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas

hidup seorang anak penderita demam tifoid.3

16
Tatalaksana antibiotik Pemilihan obat antibiotik lini pertama

pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada

faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut,

kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid

pada anak, terutama di negara berkembang.1 Hal ini berbeda dengan dewasa,

dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon,

seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan

pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap

beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam

tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang

resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970,

kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,

trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon.

WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk

demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa

komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk

demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan

pengobatan parenteral.3

17
Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di

negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan

pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae.

Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di tahun

1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang diproduksi dalam skala

besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat ini dapat

menyebabkan anemia aplastik yang serius dan berpotensi fatal, sehingga

pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan itulah, dengan

pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap

menjadi terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan

obat pilihan untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju.4 Kloramfenikol

sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam tifoid

pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat

alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah

fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam tifoid pada orang

dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam

tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah

18
pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan

dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih

cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid.3

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia

masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah

pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat

rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang

benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya di

Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada

pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.3

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau

amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi

probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau

trimetropimsulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka

kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier

demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam

tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,

siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya

digunakan pada penderita demam tifoid anak.3

2.8 Prognosis

19
Prognosis biasanya baik karena hepatitis salmonella merespon dengan

baik terhadap terapi antibiotik spesifik dan penyakit kuning sembuh dengan

perbaikan klinis.22

2.9 Pencegahan

Pencegahan dengan vaksinasi : 25


• Vaksin kuman hidup yang dilemahkan (attenuated) oral (sudah tidak
beredar di indonesia)
• Vaksin mati (inactivated)  suntikan
Siapa yang wajibdi Vaksin ?
• Wisatawan yang akan pergi ke daerah endemik (2mnggu sblm
brangkat)
• Kontak dekat dg carrier typhoid
• Laboran yg bekerja dg stp
Siapa saja yang tidak dapat di vaksin ?
• Tidak unt <2thn
• Pernah mendapat ES vaksin tdk perlu mendapat lagi
• Pernah reaksi alergi pada vaksin ini
• Sakit berat  sembuh

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Demam tifoid  masalah didunia terutama negara berkembang

2. Keterlibatan hati pada demam tifoid dapat bermanifestasi sebagai ikterus,

peningkatan enzim hati , hepatomegali atau perubahan histopatologi

3. Hepatitis tifosa manifestasi langka demam tifoid

4. Disebut sebagai hepatitis tifosa apabila memenuhi 3 syarat berikut atau

lebih : Hepatomegali, ikterik, kelaianan lab bilirubin↑, SGOT,SGPT ↑, Uji

widal (+)

5. Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu

tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa

pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal

6. Prognosis biasanya baik karena hepatitis salmonella merespon dengan baik

terhadap terapi antibiotik spesifik dan penyakit kuning sembuh dengan

perbaikan klinis

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam


Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
2. Andianzari. Peritonitis Komplikasi Demam Tifoid. Surabaya : FK UNAIR. h.
1-10. 2012
3. Bambang Supriyatno.2012. Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
hal 9-14.
4. Centers for Disease Control and Prevenion. Morbidity and Mortality Weekly
Report (MMWR) 2008;83(6): 49–60.
5. Cita, Yatnita Parama.2011. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2010-Maret 2011, Vol. 6, No.l
6. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta :
Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600.
7. Inawati. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. 2010
8. Jain H.2. 2016. Penilaian tes fungsi hati pada demam tifoid pada anak-anak .
Departemen Pediatri, MGM Medical College, Indore (MP)
9. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis
Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. Padang. 2016.
10. Kloramfenikol atau Seftriakson?. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr
Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
11. Komang, I. 2017. Karakteristik klinis pasien Demam Tifoid RSUD Sanglah
periode waktu juli 2013-juli 2014. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
12. Lestari, Rianti Puji.2017. Profil Klinis Anak dengan Demam Tifoid di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Yogyakarta.Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta

22
13. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2007. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI
14. NN. Demam typhoid. Available from :
http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html (updated 2008
November 13th, cited : 2009 July 28th).
15. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
16. Sidabutar,Sondang, 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
17. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak
infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia:
h.367-75.
18. Widyastuti, Rahma.2012. Hubungan Kadar Sgpt (Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase) dengan Titer Widal Antigen O Salmonella Typhiii Pada
Penderita Demam Typhoid. The Journal of Muhammadiyah Medical
Laboratory Technologist Back issue Vol. 2. No.1
19. Mohammad Usman dkk. 2015. Typhoid Fever With Jaundice; A Clinical
Study In Abbottabad.
20. K jagadish dkk. 1994.Hepatic Mnifestation in typhoid fever.
21. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009
August 5th).
22. Entesar H.Husai. Fulminant hepatitis in typhoid fever. Journal of Infection and
Public Health Volume 4, Issue 3, August 2011, Pages 154-15
23. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap
berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.
September 2006;8(2):118-121.
24. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak
antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
25. IDAI,2014.Vaksin typhoid, imformasi faksin typhoid, IDAI,2014
26. Karoli.2012. Salmonella Hepatitis: an uncommon Complication of a common
disease. Department of Medicine, Era’s Lucknow Medical College, Sarfarazganj,
Lucknow, Uttar Pradesh, India

23
27. Sjamsuhidajat. 2011. de jong. Tifus Abdominalis. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3.

24

Anda mungkin juga menyukai