DEMAM TIFOID
Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H
Pendamping
1
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid
merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi yang ditularkan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang
penting di dunia, terkait dengan angka morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit
ini terutama pada negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
jumlah kasus demam tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu
kematian tiap tahunnya.WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid.Di Indonesia, kasus demam tifoid ditemukan 350-810 kasus per 100.000
penduduk setiap tahun. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
demam tifoid sebesar 1,6% dan Profil KesehatanIndonesia tahun 2015 menyatakan demam
tifoid atau paratifoid menempati urutan ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di
rumah sakit tahun 2015 yaitu sebanyak 41.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak
maupun dewasa.Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala
yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi
demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.Bakteri ini berbentuk batang,
Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela.Bakteri ini
dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
o
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66 C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik.Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik.Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
serologis, dan bakteriologis.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
2
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Keputusan Kementerian Kesehatan RI No 364 tahun 2006 tentang pedoman
pengendaliandemam tifoid, menjelaskan bahwa beberapa keadaan kehidupan manusia yang
sangat berperan pada penularan demam tifoid antara lain adalah higiene perorangan yang
rendah, higiene makanan dan minuman yang rendah, kebersihan lingkungan yang kurang,
tidak memadainya penyediaan air bersih, jamban yang ada tidak memenuhi syarat, tidak
diobatinya pasien atau karier demam tifoid secara sempurna, serta program imunisasi untuk
demam tifoid masih belum membudaya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Demam tifoid atau tifus abdomnialis adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi. Namun
dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi B, dan Salmonella
paratyphi C.2
Gejala klinik dari Salmonella typhi demam > 37 celsius, gangguan pencernaan mual,
muntah, nyeri perut, serta atau tanpa gangguan kesadaran. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.6,7
II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di daerah padat
penduduk, sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi. Demam tifoid sering terjadi
di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi di negara-negara dengan tingkat
kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan. 4
Berdasarkan data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di
seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid
mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Berdasarkan WHO angka penderita
demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.3
Di Indonesia, kasus demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Penyakit ini
jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadik yang terpencar – pencar di
suatu daerah. Frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Insiden
demam tifoid di Indonesia bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Pada daerah pedesaan (Jawa Barat) insidennya sekitar 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah perkotaan ditemukan 760-810 kasus per 100.000
penduduk per tahun.10
III. ETIOLOGI
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi
B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). 9
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
4
da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.9
5
lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif,
akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam
tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari. 1,8,9
V. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch
dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
6
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda
dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi
konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3
hari berturut- turut.8,9
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan
anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.8,9
7
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
8
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
A. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi
maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan
nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan
penderita dan faktor teknis.
9
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
1. Pemeriksaan terlalu dini à antibodi. Belum terbentuk
2. Gizi buruk, imunodefisensi, keganasan
3. Infeksi dini à antibodi belum terbentuk
Positif Palsu
1. Salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )
B. Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
10
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
11
E. Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.8
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medika Mentosa
- Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.1
- Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
- Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan
kebutuhan cairan rumatannya.
- Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu
tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan
14
teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.5
2. KOMPLIKASI
3. PROGNOSIS
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :8
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.
15
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
16
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas
yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan
bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
X.PENCEGAHAN
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:11
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
18
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12
tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4
minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan
(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
XI.PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.9
BAB III
LAPORAN KASUS DEMAM TIFOID
I. IDENTITAS PASIEN
19
Nama Pasien : An. M. Y.
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar Kelas 1 SMP
Alamat : Ambulu
Status : Belum Menikah
No. RM : 291105
Waktu datang di IGD : 16 Desember 2020
Waktu pemeriksaan : 16 Desember 2020
II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dikeluhkan anak sejak ± 1 minggu sebelum datang ke Rumah Sakit, demam
bersifat naik turun, meningkat sore hari menjelang malam dan turun pada pagi hari.
Demam turun dengan obat penurun panas namun kemudian demam kembali lagi.
Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak dijumpai.
Selain demam, pasien juga mengeluh mual tanpa disertai muntah. Mual dirasakan
pasien sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan ±1 kg dalam 1 minggu ini. Pasien mengeluh nyeri ulu
hati dirasakan sejak ±5 hari sebelumnya dan nyeri dirasakan ringan. Pasien juga
mengeluh tinja agak cair dirasakan ±3 hari yang lalu, dalam satu hari sebanyak 3-4
kali/hari. Volume mencret kurang lebih satu gelas aqua. Konsistensi air lebih banyak
dibandingkan ampas. Mencret tidak disertai dengan darah dan lender. Mencret tidak
dijumpai lagi sejak 2 hari setelah masuk rumah sakit. Buang air kecil (BAK) dalam batas
normal.
Keluhan sulit menelan tidak dijumpai. Bibir pecah-pecah dan lidah terasa kotor
dialami os sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
c. Riwayat Pengobatan :
Pasien berobat ke Klinik Asiyyah selama 2 hari, diinfus, diberi obat suntik dan
mendapatkan obat sirup (nama obat tidak diketahui) dari klinik tersebut. Pengobatan
tidak memperbaiki keluhan pasien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Menurut pengakuan orang tua, pasien pernah menderita demam tifoid sebelumnya
sewaktu berumur 7 tahun. Riwayat penyakit asma (-), bronkitis (-).
21
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
Mulut : Bentuk normal, perioral tidak sianosis, bibir pecah-pecah, lidah
tampak kotor (coated tongue), arkus faring simetris, letak uvula di
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-
Thorax
Inspeksi :
Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
Tipe pernafasan : Torako-abdominal
Palpasi
Trakea : Tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V
linea parasternal sinistra
Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
Gerakan dinding dada : Simetris kiri dan kanan
Fremitus vocal : Simetris kiri dan kanan
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru
Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI, Ekspirasi ICS VI
Batas paru-jantung :
Kanan : ICS II linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi
Cor : S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo :
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi :
Bentuk : Simetris
Umbilicus : Masuk merata
22
Permukaan Kulit : Tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-),spider navy (-).
Distensi (-)
Ascites (-)
Auskultasi
Bising usus (+) normal, 20 kali per menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
Perkusi
Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
Nyeri ketok (-)
Hepatosplenomegali (-)
Palpasi
Nyeri tekan epigastrium (+), VAS 2
Massa (-)
Hepar / lien : tidak teraba
Ekstremitas
23
S. Typhi O = 1/160
S. Typhi H = 1/320
S. Parathyphi A = 1/160
S. Parathyphi B = 1/160
V. Diagnosis Kerja
Typhoid Fever tanpa komplikasi
24
S : Demam (+) hari ke 8. Demam naik turun terutama pada sore menjelang malam hari. Pada
siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal. Mencret (-), mual (+), muntah
(-).
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 110/78 mmhg
HR : 90 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 21 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 39.1°C
Keadaan umum : ringan.
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi cukup
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala :
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 3mm/3mm, konjungtiva pucat -/-
T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 90 x/ menit, regular
RR : 21 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba
Extremitas : Nadi 90 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <2”
A: Demam tifoid
P : - Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg
Tanggal 18/12/2020
S : Demam (+) hari ke 9. Demam naik turun, demam tinggi terutama pada sore menjelang malam
hari.Pada siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal. Muntah (-), mencret
(-), perut terasa kembung (+)
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 100/80 mmgh
HR : 86 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 20 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 38°C
Keadaan umum : ringan
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi baik
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
25
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva, anemis -/-
Extremitas : Nadi 86 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <2”
A: Demam tifoid
P : - Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg
Tanggal 19/12/2020
S : Demam (-), mual (+), muntah (-)
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 110/80 mmhg
HR : 88 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 20 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 36,6°C
Keadaan umum : ringan
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi cukup
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva anemis -/-
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 88 x/ menit, regular
RR : 20 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba.
Extremitas : Nadi 88 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3”
A : Demam tifoid
P : Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg
BAB IV
26
PEMBAHASAN
I.Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang anak laki-laki berumur 12 tahun dengan
keluhan utama demam. Demam sejak 1 minggu, bersifat naik turun, meningkat sore hari
menjelang malam dan turun pada pagi hari. Pasien mengeluh mual-mual dan nyeri ulu hati
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tinja agak cair dirasakan 3 hari
yang lalu, dalam satu hari sebanyak 3-4 kali/hari. Bibir pecah-pecah dan lidah terasa kotor
dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien berobat ke Klinik Asiyyah
selama 2 hari, namun tidak ada perbaikan. Pasien pernah menderita demam tifoid
sebelumnya sewaktu berumur 7 tahun dan diketahui memiliki alergi obat cefotaxim dan
ceftriaxon. Pasien sering jajan sembarangan sepulang sekolah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 95/57 mmHg. Frekuensi nadi:
113 x/menit, laju pernapasan : 20 x/menit, suhu aksila : 39,4 oC, berat badan : 45 kg, tinggi
badan : 137 cm, status gizi : Overweight dengan IMT 24.69 kg/m2. Pada pemeriksaan fisik,
dijumpai slightly anemis, coated tongue dan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan
penunjang, didapatkan hasil lab anemia hipokrom mikrositer dan pada widal didapatkan titer
S. Typhi O = 1/160, S. Typhi H = 1/320, S. Parathyphi A = 1/160 dan S. Parathyphi B =
1/160.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
bakteri gram negatif yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Widal merupakan salah satu teknik serologi untuk membantu dalam penegakan diagnosis
demam tifoid. Pemeriksaan ini didasarkan dengan adanya antibodi aglutinin dalam serum
pasien yang terinfeksi terhadap antigen H (flagel) dan O (somatik) bakteri, Salmonella typhi.
Hasil positif pemeriksaan Widal dapat meningkatkan indeks kecurigaan adanya demam tifoid
dengan titer aglutinin sebesar ≥ 1/320. Hasil Uji Widal S. typhi H pasien dengan titer 1/320
seperti ini kemungkinannya adalah pasien pernah menderita infeksi Salmonella typhi dalam 6
bulan, sehingga IgG terhadap Salmonella typhi masih dapat dideteksi.
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus Kaen3B 2000cc/24 jam,
injeksi Chloramphenicol 4x500mg, infus Parasetamol 3 x 500mg, dan injeksi Ondansetron 3
x 4mg.
II.Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
demam tifoid tanpa komplikasi. Pasien kurang memiliki pengetahuan tentang penyakitnya
sehingga melakukan pola hidup yang salah, yakni jajan sembarangan dan tidak mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan.
27
BIOLOGIS
Usia: 12 tahun. Pada usia 3-19 tahun orang-orang
cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga
kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka
cenderung lebih memilih makan di luar rumah, yang
sebagian besar kurang memperhatikan higienitas. Insidensi
demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia
sekolah.
PERILAKU
- Jajan sembarangan
LINGKUNGAN
- Tidak mengetahui - Ketersediaan sumber
kriteria air yang layak air bersih yang layak
minum DEMAM minum kurang
- Tidak cuci tangan
memakai sabun sebelum TIFOID
dan sesudah makan
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
2. Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in the
Indonesian Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1-14.
3. Depkes RI. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan.
4. OMS. 2013. Données épidémiologiques sur la typhoïde, rapport décembre, 89: 545-
560.
5. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01
_08_2012.pdf.10.
6. Prasetyo RV., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. FK
UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2011. Tersedia: URL:
http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf. Diakses: 20 januari 2021.
7. Prayoga DK., Fatmawati ND. Identifikasi Salmonella spp pada feses penjamah
makanan di rumah potong ayam RJ dengan metode kultur. Intisari Sains Medis. 2018.
9(3). DOI: 10.15562/ism.v9i3.287.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
9. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45
10. World Health Organization. Diagnosisof typhoid fever. Background document:The
diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever. 2003. Tersedia: URL: http://
whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V%26B_03.07.pdf. Diakses: 28 januari 2021.
11. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketahui.h
tml. 10. 20 Januari 2021.
29