Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus 1

DEMAM TIFOID

Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H

Pendamping

(dr. H. Rohmat Pujo Santoso)

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


PROVINSI JAWA TIMUR
RSD BALUNG JEMBER
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid
merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi yang ditularkan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang
penting di dunia, terkait dengan angka morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit
ini terutama pada negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
jumlah kasus demam tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu
kematian tiap tahunnya.WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid.Di Indonesia, kasus demam tifoid ditemukan 350-810 kasus per 100.000
penduduk setiap tahun. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
demam tifoid sebesar 1,6% dan Profil KesehatanIndonesia tahun 2015 menyatakan demam
tifoid atau paratifoid menempati urutan ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di
rumah sakit tahun 2015 yaitu sebanyak 41.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak
maupun dewasa.Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala
yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi
demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.Bakteri ini berbentuk batang,
Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela.Bakteri ini
dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
o
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66 C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik.Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik.Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
serologis, dan bakteriologis.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
2
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Keputusan Kementerian Kesehatan RI No 364 tahun 2006 tentang pedoman
pengendaliandemam tifoid, menjelaskan bahwa beberapa keadaan kehidupan manusia yang
sangat berperan pada penularan demam tifoid antara lain adalah higiene perorangan yang
rendah, higiene makanan dan minuman yang rendah, kebersihan lingkungan yang kurang,
tidak memadainya penyediaan air bersih, jamban yang ada tidak memenuhi syarat, tidak
diobatinya pasien atau karier demam tifoid secara sempurna, serta program imunisasi untuk
demam tifoid masih belum membudaya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Demam tifoid atau tifus abdomnialis adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi. Namun
dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi B, dan Salmonella
paratyphi C.2
Gejala klinik dari Salmonella typhi demam > 37 celsius, gangguan pencernaan mual,
muntah, nyeri perut, serta atau tanpa gangguan kesadaran. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.6,7

II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di daerah padat
penduduk, sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi. Demam tifoid sering terjadi
di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi di negara-negara dengan tingkat
kebersihan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan. 4
Berdasarkan data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di
seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid
mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Berdasarkan WHO angka penderita
demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.3
Di Indonesia, kasus demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Penyakit ini
jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadik yang terpencar – pencar di
suatu daerah. Frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Insiden
demam tifoid di Indonesia bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Pada daerah pedesaan (Jawa Barat) insidennya sekitar 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah perkotaan ditemukan 760-810 kasus per 100.000
penduduk per tahun.10

III. ETIOLOGI
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi
B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). 9
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel

4
da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.9

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi9

IV. MANIFESTASI KLINIK


Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,8,9
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

 Demam satu minggu atau lebih.


 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran
hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan
sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada
bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-
tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak

5
lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif,
akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam
tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari. 1,8,9

V. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch
dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
6
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda
dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi
konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3
hari berturut- turut.8,9
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan
anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.8,9

7
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga
karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.6,8,9

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena

8
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
A. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi
maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan
nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan
penderita dan faktor teknis.
9
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
1. Pemeriksaan terlalu dini à antibodi. Belum terbentuk
2. Gizi buruk, imunodefisensi, keganasan
3. Infeksi dini à antibodi belum terbentuk
Positif Palsu
1. Salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )

B. Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

10
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

C. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik
akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit
demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat
yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan
kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 6

D. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai
untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan
pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

11
E. Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.8
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6

3.Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2)
perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
12
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi
atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama
pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.1,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit.
Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.6

VII. DIAGNOSIS DEMAM TIFOID


Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3)
gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri
dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-
dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan
sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah,
anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat
13
dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia
lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular)
ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80%
penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai
1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.1,8

VIII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medika Mentosa
- Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.1
- Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
- Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan
kebutuhan cairan rumatannya.
- Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu
tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan
14
teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.5

2. KOMPLIKASI
3. PROGNOSIS

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :8
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.

15
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi di luar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal
sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,

16
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas
yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan
bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

X.PENCEGAHAN
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:11

 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau
kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.

 Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
17
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak
ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

 Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

 Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan,
anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi
menyebarkan bakteri Salmonella.

 Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli
percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid.9,11

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik,
dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama
proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

18
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12
tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4
minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan
(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XI.PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.9

BAB III
LAPORAN KASUS DEMAM TIFOID

I. IDENTITAS PASIEN
19
Nama Pasien : An. M. Y.
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar Kelas 1 SMP
Alamat : Ambulu
Status : Belum Menikah
No. RM : 291105
Waktu datang di IGD : 16 Desember 2020
Waktu pemeriksaan : 16 Desember 2020

II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dikeluhkan anak sejak ± 1 minggu sebelum datang ke Rumah Sakit, demam
bersifat naik turun, meningkat sore hari menjelang malam dan turun pada pagi hari.
Demam turun dengan obat penurun panas namun kemudian demam kembali lagi.
Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak dijumpai.
Selain demam, pasien juga mengeluh mual tanpa disertai muntah. Mual dirasakan
pasien sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan ±1 kg dalam 1 minggu ini. Pasien mengeluh nyeri ulu
hati dirasakan sejak ±5 hari sebelumnya dan nyeri dirasakan ringan. Pasien juga
mengeluh tinja agak cair dirasakan ±3 hari yang lalu, dalam satu hari sebanyak 3-4
kali/hari. Volume mencret kurang lebih satu gelas aqua. Konsistensi air lebih banyak
dibandingkan ampas. Mencret tidak disertai dengan darah dan lender. Mencret tidak
dijumpai lagi sejak 2 hari setelah masuk rumah sakit. Buang air kecil (BAK) dalam batas
normal.
Keluhan sulit menelan tidak dijumpai. Bibir pecah-pecah dan lidah terasa kotor
dialami os sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
c. Riwayat Pengobatan :
Pasien berobat ke Klinik Asiyyah selama 2 hari, diinfus, diberi obat suntik dan
mendapatkan obat sirup (nama obat tidak diketahui) dari klinik tersebut. Pengobatan
tidak memperbaiki keluhan pasien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Menurut pengakuan orang tua, pasien pernah menderita demam tifoid sebelumnya
sewaktu berumur 7 tahun. Riwayat penyakit asma (-), bronkitis (-).

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Saat ini tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien.
f. Riawayat Alergi :
20
Menurut pengakuan orang tua, pasien alergi obat cefotaxim dan ceftriaxon.
g. Riwayat Psikososial :
Pasien mengaku sering mengonsumsi makanan yang dijual di warung atau kios
pinggir sekolah, pasien mengikuti pola makan teman-teman sekolahnya yang suka jajan
sembarangan. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi buah dan sayur. Pasien suka
berolahraga futsal bersama teman-temannya. Pasien makan teratur sehari 3 kali, berasal
dari keluarga yang berpenghasilan menengah dan tinggal di rumah yang berventilasi
standar, punya jamban sendiri dan air berasal dari sumur. Makanan di rumah biasanya
dimasak sendiri dan untuk minum menggunakan air sumur yang dimasak sampai matang.
Pasien dan keluarga pasien tidak mengetahui kriteria air yang layak minum. Riwayat
berpergian ke daerah endemis malaria tidak dijumpai.
h. Riwayat Kelahiran dan Imunisasi
Pasien lahir normal pervaginam dengan BBL 2700gram, minum ASI sejak lahir
sampai 6 bulan. Riwayat imunisasi lengkap.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 95/57 mmHg
Frekuensi nadi : 113 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 39,4 oC
Berat badan : 45 Kg
Tinggi badan : 135 cm
Status gizi : Overweight dengan IMT 24.69 kg/m2
Status generalis
Kepala-Leher
Kulit : Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)

Kepala : Bentuk normal, tidak teraba benjolan, rambut berwarna hitam


terdistribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata OD : Bentuk normal, konjungtiva slightly anemis, sklera tidak


ikterik, palpebral superior et inferior tidak edema, pupil bulat
dengan diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata
cekung (-)
OS : Bentuk normal, konjungtiva slightly anemis, sklera tidak
ikterik, palpebral superior et inferior tidak edema, pupil bulat
dengan diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata
cekung (-)
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada
serumen

21
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
Mulut : Bentuk normal, perioral tidak sianosis, bibir pecah-pecah, lidah
tampak kotor (coated tongue), arkus faring simetris, letak uvula di
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-

Thorax
Inspeksi :
 Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
 Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
 Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
 Tipe pernafasan : Torako-abdominal
Palpasi
 Trakea : Tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V
linea parasternal sinistra
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
 Gerakan dinding dada : Simetris kiri dan kanan
 Fremitus vocal : Simetris kiri dan kanan
Perkusi
 Sonor seluruh lapang paru
 Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI, Ekspirasi ICS VI
 Batas paru-jantung :
 Kanan : ICS II linea parasternalis dekstra
 Kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi
 Cor : S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
 Pulmo :
 Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
 Rhonki (-/-)
 Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi :
 Bentuk : Simetris
 Umbilicus : Masuk merata

22
 Permukaan Kulit : Tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-),spider navy (-).
 Distensi (-)
 Ascites (-)
Auskultasi
 Bising usus (+) normal, 20 kali per menit
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
Perkusi
 Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
 Nyeri ketok (-)
 Hepatosplenomegali (-)

Palpasi
 Nyeri tekan epigastrium (+), VAS 2
 Massa (-)
 Hepar / lien : tidak teraba
Ekstremitas

Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa

IV. Pemeriksaan Penunjang


Hb 11.9 g/dl WBC 4.09
Rbc 4.49 Eosinofil 0.0 %
Hct 34.7% Basofil 0.2 %
MCV 77.3 fl Neutrofil 63.1 %
MCH 26.5 pg Limfosit 26.7 %
MCHC 34.3 g/dL Monosit 10 %
Plt 218 GDS 83 mg/dl
Widal:

23
S. Typhi O = 1/160
S. Typhi H = 1/320
S. Parathyphi A = 1/160
S. Parathyphi B = 1/160

V. Diagnosis Kerja
Typhoid Fever tanpa komplikasi

VI. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


b. Promotif : Menjelaskan tentang penyakit tifoid
c. Preventif :
- Menghindari faktor risiko seperti jajan sembarangan, minum alkohol, makan-
makanan yang pedas dan asam
- Selalu mencuci tangan sebelum makan minum dengan air mengalir dan sabun
- Memastikan air yang digunakan dalam rumah tangga selalu bersih
d. Kuratif :
 Terapi Medikamentosa :
- Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg
 Terapi nonmedikamentosa :
- Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat. Anjurkan kepada pasien dan
keluarga pasien untuk selalu mengonsumsi makanan yang dimasak hingga
matang, makanan yang bergizi, juga hindari jajan sembarangan.

VII. Prognosis : Dubia at bonam


VIII. Konseling :
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular sehingga keluarga juga
harus memisahkan peralatan makan penderita
b. Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit tifoid dan risiko
penyulit yang mungkin terjadi
c. Menganjurkan pasien agar menghindari jajan sembarangan dan selalu
menggunakan air bersih
d. Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.

FOLLOW UP HARIAN DI RUANGAN


Tanggal 17/12/2020

24
S : Demam (+) hari ke 8. Demam naik turun terutama pada sore menjelang malam hari. Pada
siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal. Mencret (-), mual (+), muntah
(-).
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 110/78 mmhg
HR : 90 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 21 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 39.1°C
Keadaan umum : ringan.
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi cukup
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala :
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 3mm/3mm, konjungtiva pucat -/-
T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 90 x/ menit, regular
RR : 21 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba
Extremitas : Nadi 90 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <2”
A: Demam tifoid
P : - Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg

Tanggal 18/12/2020
S : Demam (+) hari ke 9. Demam naik turun, demam tinggi terutama pada sore menjelang malam
hari.Pada siang hari, demam turun tetapi tidak mencapai suhu normal. Muntah (-), mencret
(-), perut terasa kembung (+)
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 100/80 mmgh
HR : 86 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 20 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 38°C
Keadaan umum : ringan
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi baik
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
25
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva, anemis -/-

T/H/M : dbn/ dbn/ coated tongue


Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 86 x/ menit, regular
RR : 20 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba

Extremitas : Nadi 86 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <2”
A: Demam tifoid
P : - Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg

Tanggal 19/12/2020
S : Demam (-), mual (+), muntah (-)
O : Sensorium : Compos Mentis
TD: 110/80 mmhg
HR : 88 x/ menit, regular, murmur (-)
RR : 20 x/ menit, regular, t/v cukup, akral hangat, CRT <2”
Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6), suhu : 36,6°C
Keadaan umum : ringan
Keadaan penyakit : ringan
Keadaan gizi : gizi cukup
Dyspnoea (-), anemia (-), jaundice (-), sianosis (-), edema (-).
Kepala
Mata : RC +/+, pupil isokor Ø 2mm/2mm, konjungtiva anemis -/-
Leher : TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 88 x/ menit, regular
RR : 20 x/ menit, regular, ronki (-)
Abdomen : Peristaltik (+) N, hati / limpa : tidak teraba.
Extremitas : Nadi 88 x/menit, reguler, akral hangat, t/v cukup, CRT <3”
A : Demam tifoid
P : Infus Kaen3B 2000cc/24 jam
- Injeksi Chloramphenicol 4x500mg
- Infus Parasetamol 3 x 500mg
- Injeksi Ondansetron 3 x 4mg

BAB IV

26
PEMBAHASAN

I.Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang anak laki-laki berumur 12 tahun dengan
keluhan utama demam. Demam sejak 1 minggu, bersifat naik turun, meningkat sore hari
menjelang malam dan turun pada pagi hari. Pasien mengeluh mual-mual dan nyeri ulu hati
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tinja agak cair dirasakan 3 hari
yang lalu, dalam satu hari sebanyak 3-4 kali/hari. Bibir pecah-pecah dan lidah terasa kotor
dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien berobat ke Klinik Asiyyah
selama 2 hari, namun tidak ada perbaikan. Pasien pernah menderita demam tifoid
sebelumnya sewaktu berumur 7 tahun dan diketahui memiliki alergi obat cefotaxim dan
ceftriaxon. Pasien sering jajan sembarangan sepulang sekolah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 95/57 mmHg. Frekuensi nadi:
113 x/menit, laju pernapasan : 20 x/menit, suhu aksila : 39,4 oC, berat badan : 45 kg, tinggi
badan : 137 cm, status gizi : Overweight dengan IMT 24.69 kg/m2. Pada pemeriksaan fisik,
dijumpai slightly anemis, coated tongue dan nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan
penunjang, didapatkan hasil lab anemia hipokrom mikrositer dan pada widal didapatkan titer
S. Typhi O = 1/160, S. Typhi H = 1/320, S. Parathyphi A = 1/160 dan S. Parathyphi B =
1/160.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
bakteri gram negatif yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Widal merupakan salah satu teknik serologi untuk membantu dalam penegakan diagnosis
demam tifoid. Pemeriksaan ini didasarkan dengan adanya antibodi aglutinin dalam serum
pasien yang terinfeksi terhadap antigen H (flagel) dan O (somatik) bakteri, Salmonella typhi.
Hasil positif pemeriksaan Widal dapat meningkatkan indeks kecurigaan adanya demam tifoid
dengan titer aglutinin sebesar ≥ 1/320. Hasil Uji Widal S. typhi H pasien dengan titer 1/320
seperti ini kemungkinannya adalah pasien pernah menderita infeksi Salmonella typhi dalam 6
bulan, sehingga IgG terhadap Salmonella typhi masih dapat dideteksi.
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus Kaen3B 2000cc/24 jam,
injeksi Chloramphenicol 4x500mg, infus Parasetamol 3 x 500mg, dan injeksi Ondansetron 3
x 4mg.

II.Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
demam tifoid tanpa komplikasi. Pasien kurang memiliki pengetahuan tentang penyakitnya
sehingga melakukan pola hidup yang salah, yakni jajan sembarangan dan tidak mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan.

III. Kerangka Konsep Masalah Pasien

27
BIOLOGIS
Usia: 12 tahun. Pada usia 3-19 tahun orang-orang
cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga
kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka
cenderung lebih memilih makan di luar rumah, yang
sebagian besar kurang memperhatikan higienitas. Insidensi
demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia
sekolah.

Riwayat Demam Tifoid: Riwayat demam tifoid


merupakan faktor yang signifikan terhadap kejadian demam
tifoid pada anak.

PERILAKU
- Jajan sembarangan
LINGKUNGAN
- Tidak mengetahui - Ketersediaan sumber
kriteria air yang layak air bersih yang layak
minum DEMAM minum kurang
- Tidak cuci tangan
memakai sabun sebelum TIFOID
dan sesudah makan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Masalah Pasien

DAFTAR PUSTAKA
28
1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
2. Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in the
Indonesian Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1-14.
3. Depkes RI. 2013. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan.
4. OMS. 2013. Données épidémiologiques sur la typhoïde, rapport décembre, 89: 545-
560.
5. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01
_08_2012.pdf.10.
6. Prasetyo RV., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. FK
UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2011. Tersedia: URL:
http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf. Diakses: 20 januari 2021.
7. Prayoga DK., Fatmawati ND. Identifikasi Salmonella spp pada feses penjamah
makanan di rumah potong ayam RJ dengan metode kultur. Intisari Sains Medis. 2018.
9(3). DOI: 10.15562/ism.v9i3.287.
8. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
9. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45
10. World Health Organization. Diagnosisof typhoid fever. Background document:The
diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever. 2003. Tersedia: URL: http://
whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V%26B_03.07.pdf. Diakses: 28 januari 2021.
11. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketahui.h
tml. 10. 20 Januari 2021.

29

Anda mungkin juga menyukai