Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi yang biasanya ditularkan melalui konsumsi makanan atau air
yang terkontaminasi.(9)

2.2. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, bakteri gram
negatif. Selain itu, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Salmonella paratyphi.
Umumnya, pada kebanyakan negara yang telah diteliti, rasio penyakit yang
disebabkan oleh S. typhi dan S. paratyphi adalah 10:1.(10)

2.3. Epidemiologi
Insiden demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens
>100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insidens demam tifoid yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di
wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia
Baru); serta termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di
bagian dunia lainnya.(4)
Prevalensi demam tifoid di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah sebesar 1,60%. Prevalensi demam tifoid
pada kelompok usia sekolah (5-14 tahun) yaitu sebesar 1,9% sedangkan terendah
pada bayi yaitu sebesar 0,8%. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga. Yaitu ada anggota keluarga dengan riwayat terkenan
demam tifoid. Tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring
yang sama dengan penderita untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buat air
besar dalam rumah.(4)

1
2.4. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel
M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke  plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut. (11)

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid (13)

2
Dalam Peyer patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. (11)
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
dan gangguan organ lainnya.(11)

2.5. Diagnosis
2.5.1 Gambaran klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gambaran
klinis demam tifoid bervariasi dari penyakit ringan dengan demam, malaise dan
batuk kering sampai gambaran klinis berat dengan ketidaknyamanan perut,
perubahan status mental dan banyak komplikasi hingga kematian.(10,11)
Diagnosis klinis sulit dilakukan. Dengan tidak adanya konfirmasi
laboratorium, setiap kasus demam minimal 38°C selama 3 hari atau lebih
dianggap sebagai dugaan jika konteks epidemiologis sugestif. Bergantung pada
klinis dan kualitas perawatan medis yang ada, sekitar 5-10% pasien tifoid dapat
mengalami komplikasi serius, perdarahan intestinal atau peritonitis paling sering
terjadi karena perforasi usus. Tingkat keparahan dan akibat infeksi dipengaruhi
oleh banyak faktor termasuk diantaranya lamanya penyakit sebelum memulai
pengobatan, pilihan pengobatan antimikroba, usia, riwayat paparan sebelumnya
atau vaksinasi, virulensi strain bakteri, jumlah inokulum yang tertelan, faktor host
(misalnya AIDS atau penyebab penekanan kekebalan lainnya) dan apakah
individu tersebut menggunakan obat lain seperti H2 blocker atau antasida untuk
mengurangi asam lambung. Pasien yang terinfeksi HIV berisiko tinggi mengalami
infeksi klinis dengan S. typhi dan S. paratyphi. (10)
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di

3
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi, dan
ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis.(11)

2.5.2 Pemeriksaan laboratorium


a. Pemeriksaan rutin
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi
dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan
limfositosis relatif. LED (Laju Endap Darah): Meningkat. Jumlah trombosit
normal atau menurun (trombositopenia).(11)
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adaalh uji widal dan kultur.
Sampai sekarang, kultur masih menjadi gold standar baku dalam penegakan
diagnostik.(11)
b. Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen kuman S a l m o n e l l a t y p h i i / p a r a t y p h i i
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia.
Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif
dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai
Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain ( Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah
sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan

4
oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang
buruk, dan adanya penyakit imunologi lain. (9)
Diagnosis Demam Tifoid/ Paratifoid dinyatakan bila titerO=1/160,  bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat  penyakit demam
tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat
hal-hal diatas maka permintaan tes widal ini pada  penderita yang baru menderita
demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan
besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.(9)
c. Kultur darah
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif,  belum tentu bukan
Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif  palsu dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari
2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam media Gall (darah dibiarkan
membeku dalam  spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya
tidak dapat segera diketahui karena  perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(biasanya positif antara 2-7 hari, bila  belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah
darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. (11)

2.6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,yaitu:
2.6.1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa  penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur,  pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien demam

5
tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien
harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran
menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk
menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang
air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air
kemih. (10,11)

2.6.2 Diet
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama.(11)

2.6.3. Pemberian antimikroba


Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam
tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau
intravena,sampai 7 hari  bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat
intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol, demam pada demam
tifoid dapat turun rata-rata 5 hari.(10)
Kloramfenikol merupakan obat pilihan sejak 1948. Namun, menurut saat ini
kloramfenikol telah banyak terjadi resistensi terhadap kuman ini dan terdapat efek
samping yang langka berupa aplasia sumsum tulang. Trimetoprin-sulfametoksazol
dan ampisilin digunakan pada tahun 1970-an, namun karena penggunaan yang
merajalela, kuman tersebut kebal terhadap antibotik ini. Pada tahun 1980-1n,
ceftriakson dan siprofloksasin terbukti efektif melawan MDR S. Typhii , oleh
karena itu, obat ini menjadi obat-obatan pilihan. Siprofloksasin dan ofofloksasin
lebih disukai daripada seftriakson karena lebih murah. Namun, kerentanan
siprofloksasin menurun mulai tahun 1990-an, sehingga azitromisin di uji coba dan

6
telah menunjukkan hasil yag bagus dan sebagai alternatif yang menjanjikan untuk
fluoroquinolon dan sefalosporin.(12)

Tabel 1. Terapi Antibiotik pada Demam Tifoid (9)


Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman
Salmonella. Pemberian steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis 3x5 mg.(11)

2.7. Komplikasi
2.7.1 Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan intestinal
Perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang
terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi  perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus
maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.

7
Sekitar 25%  penderitademam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan
bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam
batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%,
bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak
dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi,maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.(11)
2. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.(11)
2.7.2 Komplikasi ekstraintestinal
1. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,
peningkatan protombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi intravaskular
diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki
peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi ;baik KID

8
kompensata maupundekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat
diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi
bahkan heparin, meskipun adapula yang tidak sependapat tentang manfaat
pemberian heparin pada demam tifoid. (11)
2. Hepatitistifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau
amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila
perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak
relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis
oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi  pada pasien dengan malnutrisi
dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat  jarang, komplikasi hepato
ensefalopati dapat terjadi. (11)
3. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/
CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan
pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis  pada umumnya;
antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau
quinolon. (11)
4. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit
dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan
perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia
mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan
miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab
kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan. (11)
5. Manifestasi neuropsikiatrik/ tifoidtoksik

9
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang,
semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma otak
akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,
hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis  perifer, sindroma Guillen-
Bare, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis
berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.
Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik,
sedangkan  penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor
sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan,
iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut
mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam
tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg
ditambah ampisilin 4x1gr dan deksametason 3x5mg. (11)

10
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Background Document: The Diagnosis,


Treatment, and Prevention of Thyphoid Fever. Communicable Disease
Surveilance and Response Vaccines and Biological. 2003: 3 (7)
2. Herawati, M.H dan Raflizar. Hubungan Faktor Determinan dengan
Kejadian Tifoid di Pulau Jawa. Jurnal Etiologi Kesehatan. 2010: 9 (4) p
1357-1365.
3. Rohman. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Umur dan Gejala
(Studi Kasus di RSI Roemani). Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang. 2010.
4. Moehario, L.H. Molecular Epidemiology Salmonella Typhi Across
Indonesia Reveals Bacterial Migration. The Journal of Infection in
Developing Countries. 2009: 3 (8) p 579-584.
5. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. Jewetz, Melnick,& Adelberg
Medical Microbiology: 24th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG. 2007. p251-264
6. Maskalyk, J. Typhoid Fever. 2003.Canadian Medical Association Journal.
2003: 169 (2)
7. Parry C.M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid Fever. N
Eng J Med. 2002: 347 p 1770-1782.
8. Darmawati, S. Keanekaragaman Salmonella Typhi. Jurnal Kesehatan.
2009: 2 (1).
9. World Health Organization. Background Document: The diagnosis,
Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Communicable Disease
Surveillance and Response Vaccines and Biologicals. 2003; 2–48.
10. World Health Organization. Guidelines for the Management of Typhoid
Fever. World Health Organization; 2011. p 6-44.
11. Widodo Djoko. Demam Tifoid. dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid 2 Edisi
5.2009. p 2797-2806.

11
12. Upadhyay R, Nadkar MY, Muruganathan A, Tiwaskar M, Amarapurkar D,
Banka NH, et al. API Recommendations for the Management of Typhoid
Fever. Journal of The Association of Physicians of India. 2015;63:77–96.
13. http://hmpd.fk.ub.ac.id/demam-tifoid/

12

Anda mungkin juga menyukai