Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

bakteri Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Demam tifoid biasanya mengenai

saluran pencernaan dengan gejala yang umum yaitu gejala demam yang lebih dari 1

minggu. Penyakit demam tifoid bersifat endemik dan merupakan salah satu penyakit

menular yang tersebar hampir di sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia

dan menjadi masalah yang sangat penting (Menkes RI, 2006).

Demam tifoid sendiri akan sangat berbahaya jika tidak segera di tangani secara

baik dan benar, bahkan menyebabkan kematian. Menurut data WHO (World Health

Organization) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per

tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di

Asia. Di Indonesia sendiri, penyakit tifoid bersifat endemik. Menurut WHO angka

penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000 (Menkes RI, 2013).

Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada

kelompok usia 5-14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang memperhatikan

kebersihan diri serta kebiasaan jajan sembarangan yang dapat menyebabkan penularan

penyakit demam tifoid. Prevalensi menurut tempat tinggal paling banyak di pedesaan

dibandingkan perkotaan, dengan pendidikan rendah dan dengan jumlah pengeluaran

rumah tangga rendah (Menkes RI, 2008). Pada minggu pertama sakit, demam tifoid

sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan

diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi (IDAI, 2010).

1
Laporan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta pengetahuan calon

apoteker tentang penyakit demam tifoid beserta penatalaksanaannya. Adapun manfaat dari

laporan ini adalah untuk memahami dan mampu mengerjakan tanggung jawab apoteker

dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di bidang pelayanan farmasi klinis.

Peran apoteker dalam keberhasilan pengobatan demam tifoid adalah memotivasi

agar penderita patuh mengkonsumsi obat, memantau adanya efek samping, memantau

adanya interaksi dengan obat lain, dan berperan secara aktif mencegah terjadinya

resistensi, kekambuhan dan kematian.

2
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan gejala

demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat

menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia

yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalensi 91% kasus demam

tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada

minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam

lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman

untuk konfirmasi (IDAI, 2010).

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. typhi,

sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui makanan / minuman, setelah

melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding

usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran

limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bacteremia primer) mencapai jaringan RES

(hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah melewati bakterimia

sekunder, kuman mencapia sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra

intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari (IDAI, 2010).

4
2.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk

spora, motil, tidak berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar),

bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di

alam bebas seperti didalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 60˚C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.

Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak, masa inkubasi ini lebih bervariasi berkisar

5-40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak teratur (Menkes RI,

2006).

2.3 Patofisiologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar

dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan invasi

ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang

biak. Melalui saluran limfe mesenteric kuman masuk aliran darah sistemik (bakterimia I)

dan mencapai sel-sel retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa

inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik

(bacteremia II) malalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa,

usus halus dan kandung empedu (Menkes RI, 2006).

5
Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks

lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid.

Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman

Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan simulator yang kuat untuk

memproduksi sitokin oleh sel-sel magrofag dan sel leukosit di jaringan yang meradang.

Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia

(proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella bersifat intraseluler maka hampir semua

bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan yang terinvasi dapat

timbul fokal-fokal infeksi (Menkes RI, 2006).

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum bagian

distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi

hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3,

akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang

merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit

dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada

jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan

patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus,

paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses

radang dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis

septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi

basil Salmonella. Bila penyembuhan tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu

ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal (Menkes RI, 2006).

6
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga

menjadi karier (Urinary Carrier). Adapaun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,

memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (Menkes RI, 2006).

2.4 Gejala Demam Tifoid

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.

Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah (Menkes RI, 2006) :

a. Demam

Demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal sakit, kebanyakan penderita

hanya mengalami demam yang samar-samar, suhu tubuh akan naik turun.

Penderita akan mengalami demam intermitten, yaitu pagi suhu tubuhnya rendah

atau normal sedangkan sore dan malam suhu tubuhnya akan lebih tinggi. Intensitas

demam hari ke hari akan semakin tinggi disertai beberapa gejala tambahan seperti

sakit kepala, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada minggu

kedua demam berubah menjadi demam kontinyu, yaitu demam tinggi terjadi terus

menerus dan dapat kembali normal pada minggu ke-3.

b. Gangguan Saluran Pencernaan

Penderita demam tifoid umumnya mengalami bibir kering dan kadang pecah-

pecah. Lidah terlihat kotor dan tertutup selaput putih. Ujung dan tepi lidah

kemerahan dan tremor. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri di bagian

perut, terutama di bagian ulu hati, disertai mual dan muntah. Pada awal sakit

biasanya penderita mengalami konstipasi namun kadang timbul diare di minggu-

minggu berikutnya.

7
c. Gangguan Kesadaran

Umumnya penderita mengalami penurunan kesadaran ringan. Bila klinis berat, tak

jarang penderita sampai somnolen (kesadaran menurun) dan koma atau dengan

gejala psikosis.

d. Hepatosplenomegali

Terjadi pembesaran hati dan/atau limpa. Hati terasa kenyal dan nyeri saat ditekan.

e. Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan

yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak

diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa

setiap peningkatan suhu 1˚C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut

dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah

rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta

gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot

pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis.

2.5 Diagnosis Demam Tifoid

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium untuk membantu penegakkan diagnosis

untuk demam tifoid yaitu:

a. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada hasil pemeriksaan darah pada penderita demam tifoid umumnya ditemukan

anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau

8
perdarahan usus, jumlah leukosit normal (bisa menurun atau meningkat), mungkin

juga terdapat trombositopenia. Adanya leukopenia dan limfositosis relatif dapat

menjadi dugaan kuat untuk diagnosis demam tifoid (IDAI, 2010).

b. Uji Biakan Darah

Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit. Diagnosis pasti

demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam

biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang, dan cairan duodenum penderita.

Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan

dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium

berikutnya di dalam urin dan feses.

c. Uji Serologi

Uji serologi dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan cara mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen

Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis

yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji widal tubex test dan

pemeriksaan kuman secara molekuler.

 Uji Widal

Uji widal dimaksudkan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen

kuman Salmonella typhi dan antibodi penderita. Antigen yang digunakan

adalah suspensi biakan Salmonella typhi yang telah dimatikan dan diolah

di laboratorium. Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen, yaitu:

Antigen O (antigen somatik), antigen H (antigen flagela) dan antigen Vi

9
(antigen kapsul). Ketika ketiga macam antigen tersebut ada di dalam tubuh

penderita, maka secara alami tubuh penderita tersebut akan membentuk 3

macam antibodi yang biasa disebut aglutinin. Dari ketiga aglutinin tersebut

hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis, semakin

tinggi titernya maka semakin kuat penegakkan diagnosa tifoidnya.

 Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan tubex merupakan metode diagnosis demam tifoid dengan

tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan

pemeriksaan Widal. Pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana

dan akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis demam tifoid.

 Pemeriksaan Secara Molekuler

Pendeteksian DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi

dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA

dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen

Vi yang spesifik

untuk Salmonella typhi merupakan cara paling akurat untuk diagnosis

demam tifoid.

d. Pemeriksaan Radiologik

 Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia

 Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti

perforasi usus atau perdarahan saluran cerna

10
 Pada perforasi usus tampak : distribusi udara tak merata, airfluid level,

bayangan radiolusen di daerah hepar, udara bebas pada abdomen.

2.6 Penatalaksaan Demam Tifoid

2.6.1 Terapi Farmakologi

Penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk dirawat di rumah sakit

agar pengobatan lebih optimal, proses penyembuhan lebih cepat, observasi penyakit lebih

mudah, meminimalisasi komplikasi dan menghindari penularan. Antibiotik akan diberikan

segera setelah diagnosa klinik ditegakkan. Sebelum itu pemeriksaan spesimen darah atau

sumsum tulang harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan bakteri penyebab

infeksi, kecuali fasilitas biakan ini benar-benar tidak tersedia dan tidak dapat

dilaksanakan.

a. Antibiotik

 Kloramfenikol (Kloramfenikol drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau

IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari

 Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari

 Kotrimoksazol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari.

 Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuscular, sekali sehari,

selama 5 hari.

 Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

11
b. Kortikosteroid

diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran, Dexametason 1-3

mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik (IDAI, 2010).

2.6.2 Terapi Non-Farmakologi

a. Tirah Baring

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah

komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus

istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus

diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia

hipostatik dan decubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara

brrtahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air besar dan kecil

sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urin tetap, bila tidak

kindikasi betul.

b. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.

Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,

penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai

dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis cairan

disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrilit dan kalori

yang optimal.

12
c. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose

(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita

tifoid, biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet

padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan

bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai

dengan tingkat kesembuhan penderita (IDAI, 2010).

2.7 Definisi FUO (Fever of Unknown Origin)

Fever of Unknown Origin (FUO) atau demam tanpa penyebab yang jelas adalah

keadaan temperatur tubuh minimal 37,8˚C - 38 ˚C terus menerus untuk periode waktu

paling sedikit selama tiga minggu tanpa diketahui sebabnya setelah dilakukan

pemeriksaan medis lengkap. Lorin dan Feigin mendefinisikan sebagai timbulnya demam

8 hari atau lebih pada anak setelah dilakukan anamnesis dengan teliti dan cermat,

sedangkan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium awal tidak ditemukan

kelainan.

2.8 Penatalaksanaan FUO (Fever of Unknown Origin) (IDAI, 2010)

a. Medikamentosa

 Anak yang tidak tampak sakit tidak perlu pemeriksaan laboratorium

maupun dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik

13
 Apabila dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium menunjukkan

hasil risiko tinggi untuk terjadinya bacteremia tersembunyi, harus segera

diberikan antibiotik setelah pengambilan sediaan untuk biakan

 Catatan: terutama bila hitung leukosit > 15.000/µl atau hitung total

neutrofil absolut > 10.000/ µl

 Pemberian antibiotik secara empirik harus memperhitungkan kemungkinan

peningkatan resistensi bakteri.

b. Antibiotik

 Amoksisilin 60-100 mg/kgBB/hari atau

 Ceftriaxone 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 g/hari

14
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Data Umum
No. MR : 19.06.XX
Nama Pasien : A.U
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 14 tahun
Ruangan : Bangsal Anak
Diagnosa : Demam thypoid
Mulai Perawatan : 15 juli 2019
Dokter Yang Merawat : dr.F.Sp.A

3.2 Riwayat Penyakit

3.2.1 Keluhan Utama

Pasien masuk ke IGD dengan keluhan tidak mau makan lebih kurang 15 hari,

muntah tiap makan, mual (+, badan terasa lemah, gemetar, perut terasa panas, mencret,

pusing, kepala terasa panas.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Lebih dari 15 hari demam dirumah

 Perut sakit

 Mual

15
 Muntah setiap kali makan

 Mencret lebih dari 1 kali

3.2.2. Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien pernah dirawat dirumah sakit dengan keluhan demam selama 1 minggu.

3.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat penyakit.

3.3 Data Penunjang

3.3.1. Data Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran umum : Compos Mentis

 Tekanan Darah : 90/50 mmHg

 Nafas : 20 kali per menit

 Nadi : 100 kali per menit

 Suhu : 39,10C

3.3.2. Data Organ Vital

Data Klinik Tanggal

15/7 16/7 17/7 18/7 19/7 20/7 21/7

Suhu (0C) 38,4 36,3


36,6 36-
39,2 39,2 - 36-39 -
- 39 38,6
39,9 37,1
Nadi
96 94 92 90 92 92 90
(kali per menit)

Nafas 20 20 24 20 20 20 20

16
(kali per menit)

3.3.3 Data Laboratorium

Pemeriksaan Nilai Normal 15 juli 2019 16 juli 2019 19 juli 2019

Hematologi

Hemoglobin (g/dL) 13,0-18,0g/dl 13,3 g/dl 12.5 11,9

Eritrosit [104/μL] 4,5-5,5 4,62 4,34 4,16

Hematokrit 40,0-50,0% 37,4 35,3 34,4

Nilai-nilai MC

MCV (fL) 82 – 92 81,0 81,3 82,7

MCH (pg) 27 – 31 28,8 28,8 28,6

MCHC (g /dL) 32 - 37 35,6 35,4 34,6

RDW-CV (%) 11,5 – 14,5 13,8 13,7 14,0

Leukosit[103/μL] 4 – 11 3,7 1,8 3,2

Trombosit[103/μL] 150–400 83 71 17

Kimia Klinik

Gula Darah 60-100 102

Sewaktu(mg/dL)

Serologi

Widal

S.Typhi O (widal) 1/320 Negatif

Negatif

17
S.thypi H (widal) 1/320 Negatif

Negatif

Urinalisa

Makroskopik

Warna Kuning

Darah samar Negatif

Bilirubin Negatif

Urobilinogen 1

Keton Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Glukosa Negatif Negatif

pH 4,6-8,5 7.00

Berat Jenis 1.003-1.029 1.005

Sedimen Urine

Eritrosit 0-4 Negatif

Silinder Negatif Negatif

Lekosit 0-3 2-3

Kristal Negatif Negatif

Epitel 0-1 1-4

18
3.4 Diagnosis

3.4.1 Diagnosis Awal

 Demam thypoid

3.4.2 Diagnosis Akhir

 FUO

 Bisitopenia

19
3.5 FOLLOW UP

Tanggal S O A P
15/07/19  Pasien datang Suhu : 39,2oC  Demam thypoid Terapi yang diberikan :
(IGD) dengan keluhan TD :90/50 mmHg - RL 500 cc, kemudian
demam naik turun HR : 100 kali/menit dilanjutkan dengan KA EN
sejak lebih kurang RR: 20 kali/menit 1B 6 jam/kolf
15 hari SMRS - Inj ranitidine 3 x 50 mg
 Demam tinggi terus - Inj ceftriaxone 1 x 2 g
menerus sejak lebih - Parasetamol 4 x 1 tab
kurang 5 hari SMRS - Zink 1 x 20 mg
 BAB + cair > 5
kali/hari, air >
ampas
 Nafsu makan
berkurang
 Mual dan muntah
(+) setiap kali
makan

20
 Badan terasa lemas
dan gemetar
 Perut terasa panas
 Pusing

16/07/19  Demam (+)  Suhu : 39,2oC  Demam thypoid Terapi lanjut


 Mual dan muntah  Lidah kotor
(+) setiap kali  HR : 94 kali/menit
makan  RR: 20 kali/menit
 nyeri ulu hati (+)  BB : 37 kg
 mencret (+)
 lemas

17/07/19  Demam (+) Suhu : 38,4-39,9 oC (3 peak  Demam thypoid Terapi lanjut
 Muntah (+) demam)
HR :92 kali/menit
RR: 24 kali/menit
BB: 37 kg

21
18/07/19  Demam (+) Suhu : 36-39oC (1 peak  Demam thypoid Terapi yang diberikan :
 Nyeri ulu hati (+) demam) - Terapi lanjut
 Nyeri kepala (+) HR :90 kali/menit - Inj gentamisin 1 x 240 mg

 Mual RR: 20 kali/menit


BB: 37 kg
19/07/19  Demam naik turun Suhu : 36,6-39oC ( 2 peak  Demam thypoid - Inj Omeprazol 1 x 40 mg
 Nyeri perut (+) demam) - Gentamicin 1 x 240 mg
 Batuk (+) HR :92 kali/menit - Inj ranitidine (aff)

 Mual dan muntah RR: 20 kali/menit - Ambroxol 3 x 30 mg


BB : 36 kg - Ceftazidim 3 x 1 g
20/07/19  Demam turun Suhu : 36-38,6oC (2 peak  FUO - Ceftazidim 3 x 1 gram
 BAB (-) demam)  Bisitopenia - Gentamicin 1 x 240 mg
 Badan letih - Omeprazol 1 x 40 mg

 Nyeri perut (-) - Ambroxol 3 x 30 mg

21/07/19  Demam (+) Suhu : 36,3-37,1 oC  FUO - Terapi lanjut


 Badan letih

22
BAB IV

ANALISIS FARMAKOTERAPI-DRP

4.1. Lembar Pengobatan

No. RM:19.06.XX Keluhan Utama: Demam, nafsu makan berkurang, mual dan muntah
MRS/KRS:15 juli 2019 setiap makan, badan terasa lemas dan gemetar, perut
Inisial Pasien: An. A sakit dan kepala sakit.
Umur/BB/Tinggi: 14 tahun/37kg/- Diagnosa: Demam thypoid
Alamat: Sei Nanam-solok Riwayat Penyakit: Demam 1 minggu

Tanggal
Obat Dosis di R/ Rute Frekuensi Juli
15 16 17 18 19 20 21
RL 500 cc iv bolus √ √ √ √ √ √ √
Inj ceftriaxone dalam 2 gram iv drip 1x1 √ √ √ √ // //
Nacl 0,9% 100 ml
Inj ranitidine 50 mg Iv 3x1 √ √ √ √ //
Parasetamol 500 mg Po 4x1 √ √ √
Zink 20 mg Po 1x1 √ √ √ √ √ √ √
Omeprazol 40 mg Iv 1x1 √ √ √
Inj gentamicin 240 mg Iv 1x1 √ √ √ √
Ambroxol 30 mg Po 3x1 √ √ √
Inj ceftazidine 1 gram Iv 3x1 √ √ √

23
Ket: //: Terapi dihentikan

√: Pemberian terapi

4.2 Lembar Identifikasi Obat dan Perhitungan Dosis (Shann, 2017)

No. Jenis Obat Dosis Literatur Dosis yang diberikan Komentar

1. RL 1925 ml 8 tpm Dosis sesuai literatur

15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali


Paracetamol 4 x 500 mg Dosis sesuai literatur
2.
sehari

3. Ceftriaxon 80 mg/kgBB/hari (max 2 gram) 1 x 2 gram Dosis sesuai literatur

iv: 1 mg/kg (max 50 mg) 6-8 jam.

4. Ranitidin Oral: 2-5 mg/kg (max 150 mg) 8-12 3 x 50 mg Dosis sesuai literatur

jam

5-7 mg/kgBB/hari ( max 240-360 mg)


5. Gentamicin 1 x 240 mg Dosis sesuai literatur
24 jam

24
25-50 mg/kgBB/hari ( max 2 gram)

6. Ceftazidim tiap 8-12 jam 3 x 1 gram Dosis sesuai literatur

severe 50 mg/kgBB/hari tiap 6 jam

7 Zink >6 bulan : 20 mg 1 x 20 mg Dosis sesuai literatur

0,4-0,8 mg/kgBB ( max 20-40 mg) 12-


8 Omeprazol 40 mg Dosis sesuai literatur
24 jam

9 Ambroxol 0,5 mg/kgBB 3 x 30 mg Dosis sesuai literatur

4.3 Drug Related Problem (DRP)

No DRP Keterangan

1 Ada indikasi tetapi tidak diterapi -

2 Pemberian obat tanpa indikasi -

3 Pemilihan obat yang tidak tepat -

4 Dosis terlalu tinggi atau rendah -

25
5 ROTD (Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan) -

6 Interaksi Obat -

26
3.5 Tinjauan Farmakologi Obat (Basic Pharmacology & Drug Notes, 2017)

1. Ceftriaxone

Kelas Terapi Antibiotik

Indikasi Infeksi yang disebabkan oleh patogen yang

sensitif terhadap ceftriaxone dalam kondisi sepsis,

meningitis, infeksi abdomen peritonitis, infeksi

kandung empedu, dan saluran pencernaan, infeksi

tulang, persendian dan jaringan lunak,

pencegahan infeksi prabedah, infeksi ginjal dan

saluran kemih, infeksi saluran pernafasan,

terutama pneumonia, infeksi tht, infeksi kelamin

(termasuk goonorea)

Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap cephalosporin

Dosis Dosis umum dewasa dan anak > 12 tahun : 1-2

gram/ hari. Pada infeksi berat dosis dapat

ditingkatkan hingga 4 gram/ hari.

Infeksi gonorea tanpa komplikasi : 250 mg I.M

dosis tunggal.

Profilaksis bedah : 1 gram dosis tunggal

Dosis neonatus :20-50 mg/kgBB/hari. Pemberian

infus IV dalam 60menit.

Dosis bayi dan anak <12 tahun : 20-80

27
mg/kgBB/hari. Pemberian infus IV dalam 60

menit

Mekanisme kerja Obat antibiotik yang mampu mengikat lebih dari

satu penicillin binding proteins (PBP) sehingga

menghambat transpeptidasi tahap akhir dari

sintesis peptidoglikan pada dinding sel .

Farmakokinetik Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM

dengan kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam

setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM dengan

interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g

menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis

tunggal.. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan,

akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk yang tidak

diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan

sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah

pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam

setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung

empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg

dalam duktus sistikus, 78,2mg/ml dalam dinding kandung

empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma.Setelah pemberian

dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar

antara 5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L,

28
klirens plasma 0,50-1,45 L/jam danklirens ginjal 0,32-0,73

L/jam.Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan

besarnya adalah 85-95 %.Ceftriaxone menembus selaput

otak yang mengalami peradangan pada bayi dananak-anak

dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis

50 mg/kg dan 75mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml

dan 1,3-44 ug/mlDibanding pada orang dewasa sehat,

farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekaliterganggu

pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal/hati,karena itu tidak diperlukan penyesuaian

dosis.

Efek Samping Reaksi hematologi : gangguan saluran cerna

(mual, muntah, tinja lunak, stomatitis, glositis),

reaksi kulit (urtikaria, edema, dermatitis alergi,

eritema multiforme, pruritis, eksantema)

Efek samping lainnya (jarang) : sakit kepala,

pusing, demam, gejala pengendapan garam

kalsium ceftriaxone pada kandung empedu

meningkatkan enzim hati, oligouria, peningkatan

kreatinin serum, dapat menimbulkan reaksi

flebitis setelah pemberian i.v sehingga harus

disuntikan perlahan selama 2-4 menit.

Sediaan Vial 1 gram

29
2. Paracetamol

Kelas Terapi Analgetik

Indikasi Nyeri ringan sampai sedang, demam.

Kontra Indikasi Hipersensitivitas, gangguan hati

Dosis Dosis umum:

Dewasa: 500 mg – 1000 mg per kali, diberikan

tiap 4 – 6 jam. Maksimum 4 g per hari.

Anak < 12 tahun: 10 mg/kgBB/kali (bila ikterik :

5 mg/kgBB/kali) diberikan tiap 4 – 6 jam.

Maksimum 4 dosis sehari.

Efek Samping Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau

urtikaria, kelainan darah, hipotensi, kerusakan

hati.

Mekanisme Kerja Bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus

untuk menurunkan suhu tubuh

Farmakokinetik Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran

pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai

dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.

Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam

bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %

dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam

sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam

30
satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi

N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan

berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada

dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril

dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada

dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari

protein hati.

Sediaan - Tablet / kaplet 500 mg

- Tablet 600 mg

- Tablet 1000 mg

- Syrup 120 mg / 5 ml

- Sediaan drops 60 mg / 0,6 ml

- Sediaan rectal tube 125 mg / 2,5 ml; 250 mg /

4 ml

- Sediaan infus 10 mg / ml

3. Ambroxol

Kelas Terapi Mukolitik

Indikasi Sebagai sekretolitik pada gangguan saluran nafas

akut dan kronis.

Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap ambroxol

Dosis  Dewasa dan anak > 12 tahun: 2-3 x 30

31
mg/hari.

 Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak:

1,2 – 1,6 mg/kgBB.

Efek Samping Reaksi intoleran setelah pemberian ambroxol

pernah dilaporkan tetapi jarang, efek samping

yang ringan pada saluran cerna; reaksi alergi

(jarang); reaksi alergi yang ditemukan; reaksi

pada kulit (seperti eritema multiforme, sindrom

steven 32 iterat, dan acute generalized

exanthematous pustulosis), pembengkakan

wajah, dyspnea, demam; tidak diketahui efeknya

terhadap kemampuan mengendarai atau

menjalankan mesin

Mekanisme kerja Obat yang dapat mengencerkan sekret saluran

napas dengan jalan memecah benang-benang

mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.

Farmakokinetik Absorpsi :Diabsorpsi dengan baik dan cepat


setelah pemberian oral (70-80%). Puncak
konsentrasi dalam plasma dicapai dalam waktu
0.5 sampai 3 jam.
Distribusi : Dalam dosis terapi, sekitar 90% dari
ambroxol yang berikatan dengan protein plasma
di dalam darah. Distribusi setelah per oral, IM
dan IV dari darah ke organ berlangsung cepat
dengan konsentrasi maksimal dalam paru-paru.

32
T1/2 = 3 jam.
Metabolisme :Sekitar 30% setelah pemberian
oral dieliminasi melalui first pass effect.
Penelitian pada mikrosom hati manusia
menunjukkan enzim CYP3A4 berperanan
penting terhadap metabolisme ambroxol di hati.
Ambroxol pertama kali dimetabolisme di hati
melalui proses glukuronidasi dan beberapa
sisanya (sekitar 10% dari dosis) dimetabolisme
menjadi metabolit kecil yakni asam
dibromanthranilik.
Ekskresi :Jumlah ekresi ginjal adalah sekitar 90%
Sediaan - Tablet/kaplet 30 mg

- Syrup 15 mg / 5 ml

- Tetes 15 mg / ml

4. Ceftazidime

Kelas Terapi Antibiotik

Indikasi Infeksi yang disebabkan oleh patogen yang

sensitif terhadap ceftazidime pada penyakit

infeksi saluran kemih dengan komplikasi

maupun tanpa komplikasi, septikemia bakterial,

infeksi tulang dan persendian, infeksi organ

genitalia (endometritis, salulitis pelvis, infeksi

saluran genital wanita), infeksi intraabdomenal

33
termasuk peritonitis dan infeksi mikroba yang

disebabkan oleh organisme aerob maupun

anaerob dan bacteroidess, infeksi saraf pusat

termasuk meningitis.

Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap cephalosporin.

Mekanisme kerja Antibiotik cephalosporin semisintetik yang

bersifat bakterisidal. Mekanisme kerja

ceftazidime sebagai antibakteri adalah dengan

menghambat enzym yang bertanggung jawab

terhadap pembentukan dinding sel bakteri.

Dosis Dosis umum dewasa : 1 gram diberikan secara

iv atai im tiap 8-12 jam.

Bayi <2bulan :25-50 mg/kgBB/hari dalam 2

dosis terbagi secara iv

Bayi >2bulan dan anak : 50-100 mg/kgBB/hari

alam 2-3 dosis terbagi secara iv

Efek Samping Efek samping lokal (flebitis atau tromboflebitis

pada pemberian iv, nyeri atau inflamasi setelah

injeksi im). Reaksi hipersensitif (ruam, urtikaria,

demam, gatal, angioedema, anafilaksis).

Gangguan saluran cerna (diare, mual, muntah,

nyeri abdomen). Gangguan saluran kemih dan

kelamin (kandidiasis, vaginitis). Sakit kepala,

34
pusing, parestesia.

Kenaikan kadar urea dalam darah yang bersifat

sementara, kenaikan kadar kreatinin serum dalam

darah, perpanjangan waktu protombin, eritemia

multiforme, nefropatik toksik, gangguan fungsi

hati.

Farmakokinetik Konsentrasi dalam plasma IM, 1 jam


Didistribusikan secara luas ke jaringan tubuh dan
cairan, termasuk aqueous humor, cairan asites
dan prostat, dan tulang, menembus CSF ketika
meninge meradang. Tidak dimetabolisme. Waktu
paruh: 1-2 jam
Ekskresi: urin (80-90% sebagai obat tidak
berubah)
Sediaan Vial 500 mg dan 1 gram

5. Zinc sulfate

Indikasi Terapi penunjang/ suplemen untuk diare akut non

sesifik pada anak.

Dosis Anak dan bayi > 6 bulan : 20 mg sekali sehari

Bayi < 6 bulan : 10 mg sekali sehari

Zinc diberikan selama 10 hari (meskipun diare

sudah berhenti).

Efek Samping Penggunaan dosis tinggi (dosis >150 mg/hari)

35
pada jangka waktu lama dapat menyebabkan

penurunan absorbasi tembaga. Mual muntah, rasa

pahit pada lidah.

Farmakokinetik waktu paruh: 11 hari setelah penghentian terapi


(penghambatan penyerapan tembaga)
absorbsi : ketergantungan ph (pada ph <3);
terganggu oleh makanan
ekskresi: feses (terutama)
Sediaan - Sediaan bubuk 10mg

- Sediaan tablet 20 mg

- Sediaan syrup 20mg/5ml, 10mg/5ml

6. Omeprazol

Indikasi Tukak lampung, tukak duodenum, gerd,

hipersekresi patologis.

Kontra Indikasi Penderita yang hipersensitif terhadap omeprazol

Dosis Tukak lambung dan duodenum : dosis awal 1 x

20 mg/hari selama 4-8 minggu dapat ditingkatkan

menjadi 40 mg/hari pada kasus berat atau kambuh.

Dosis pemeliharaan 1 x 20 mg/hari.

Kambuh : dosis pemeliharaan 1 x 20 mg/hari

Efek Samping Urtikaria, mual dan muntah, kostipasi, kembung,

36
nyeri abdomen, lesu, paraestesia, nyeri otot dan

sendi, pandangan kabur, edema perifer, perubahan

hematologik, perubahan enzim hati, depresi, dan

mulut kering.

Farmakokinetik Aabsorption :bioavailabilitas : 30-40%. Waktu


plasma puncak : 0,5 – 3,5 jam

Distribution : protein bound 95-96%, vd : 0,39


L/kg
Metabolism : dimetabolisme secara luas oleh
CYP2C19 hati, metabolisme lambat lambat dalam
sistem enzim CYP2C19, konsentrasi plasma dapat
meningkat 5 kali lipat atau lebih tinggi
dibandingkan dengan yang ditemukan pada orang
dengan enzim
Eliminasi: paruh: 0,5-1 jam, meningkat menjadi 3
jam dengan gangguan hati, ekskresi: urin (77%),
tinja (16-19% terutama dalam empedu)
Mekanisme kerja PPI menghambat asam lambung dengan

menghambat kerja enzim (k+H+ATPase) yang

akan memecah k+H+ATP menghasilkan energi

yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL

dari kanalikuli sel pariental ke dalam lumen

lambung

Sediaan Kapsul 20 mg

Sediaan injeksi (vial) 40 mg

37
7. Gentamicin

Kelas Terapi Antibiotik

Indikasi Infeksi oleh kuman yang sensitif pada penyakit

bakteremia, meningitis, osteomielitis, pneumonia,

infeksi luka bakar, infeksi saluran kencing,

infeksi telinga hidung dan tenggorokan.

Kontra Indikasi Hipersensitif, kehamilan, miastenia gravis

Dosis Dosis dewasa : injeksi i.m i.v lambat atau infus :

2-5 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 8 jam.

Sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal dan

ukur kadar dalam plasma.

Anak < 2 minggu : 3 mg/kgBB/hari tiap 12 jam

Anak 2 minggu – 12 tahun : 2 mg/kgBB/hari tiap

8 jam

Efek Samping Gangguan vestibular dan pendengaran ,

neufrotoksisitas, hipomagnesemia pada

pemberian jangka panjang, kolitis karena

antibiotik.

Mekanisme kerja Golongan aminoglikosida bekerja dengan cara

berikatan dengan ribosom 30 S dan menghambat

sintesis protein. Terikatnya aminoglikosida pada

ribosom ini mempercepat transport

aminoglikosida ke dalam sel diikuti dengan

38
kerusakan membrane sitoplasma dan disusul oleh

kematian sel.

Farmakokinetik Absorpsi gentamisin melalui pencernaan kurang

baik, dan lebih baik jika diberikan melalui

intravena, intraperitoneal, intramuskular dan kulit.

Waktu paruh gentamisin adalah 2-3 jam dengan

ikatan protein plasma kurang dari 30%.

Gentamisin tersebar di dalam cairan ekstraseluler

dan hanya sebagian kecil yang masuk cairan

serebrospinal. Gentamisin juga dapat melintasi

plasenta dan masuk ke dalam ASI dan

diekskresikan melalui urine

Sediaan Ampul 80 mg/2 ml

8. Ranitidine

Kelas Terapi Antagonis Reseptor H2

Indikasi Tukang lambung,tukak duodenum, refluks

esofagitis, hipersekresi patologis.

Kontra Indikasi Penderita yang hipersensitif terhadap ranitidine

atau H2 reseptor antagonis lainnya.

Dosis  Oral

39
Ulkus peptikum dan ulkus duodenum : 150

mg 2 kali sehari (pagi atau malam) atau 300

mg sekali sehari sesudah makan malam atau

sebelum tidur, selama 4-8 minggu

 Terapi pemeliharaan pada penyembuhan ulkus

peptikum dan ulkus duodenum : 150 mg,

malam hari sebelum tidur.

 Refluks gastroesofagitis : 150 mg, 2 kali

sehari

 Injeksi

Injeksi intramuskular : 50 mg (2ml) tiap 6-8

jam

Injeksi intravena lambat : 50 mg diencerkan

sampai 20 ml dan diberikan selama tidak

kurang dari 2 menit dapat diulang setiap 6-8

jam

Mekanisme Kerja Dalam mengurangi faktor agresif dengan cara

menghambat histamine pada reseptor H2 sel

parietal sehingga sel parietal tidak terangsang

mengeluarkan asam lambung

Efek Samping Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual , muntah,

nteri perut.reaksi hipersensitivitas.

40
Farmakokinetik Diabsorbsi secara oral dengan biavailibilitas
ranitidine sekitar 50% sama dengan pada
pemberian intravena, akan meningkat pada pasien
dengan penyakit hati. Namun pada sumber lain
juga dikatakan bahwa ranitidine memiliki
bioavailibiltas 88%. Ranitidine didistribusi secara
luas di dalam tubuh termasuk ASI dan plasenta.
Dengan kadar puncak dalam plasma yang dicapai
dalam 1-3 jam penggunaan 150mg ranitidine oral.
15% dari ranitidine akan terikat oleh protein
plasma Metabolisme lintas pertama terjadi di hati
dalam jumlah yang cukup besar setelah
pemberian oral. Tujuh puluh persen ranitidine
diekskresi dalam bentuk asalnya di ginjal
terutama melalui urine dengan t1/2 yang pendek
yaitu sekitar 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orang tua dan pasien gagal
ginjal. Pada pasien dengan penyakit hati, t1/2 dari
ranitidine juga akan memanjang namun tidak
sesignifikan perpanjangan waktu paruh pada
pasien gagal ginjal.

Sediaan - Tablet/kaplet 150 mg, 300 mg

- Injeksi ampul 25 mg/ml

41
BAB V
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki An.A.U yang berumur 14 tahun dengan berat badan

38 kg masuk ke Rumah Sakit M. Natsir Solok pada tanggal 15 Juli 2019. Pasien

masuk ke IGD dengan rujukan dr.I. Pasien mengeluhkan demam ±15 hari SMRS,

muntah tiap makan, mual, badan terasa lemas, gemetar, perut terasa panas,

mencret, pusing dan kepala terasa panas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, pernafasan 20 kali/menit,

nadi 100 kali/menit, suhu 39,1˚C. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan kimia klinik oleh dr.F. Sp.A, pasien

di diagnosa Thypoid Fever.

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi

bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi. Namun

dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi B, dan

Salmonella paratyphi C dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini

termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan

masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara

sedang berkembang. Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada individu yang

tidak diobati sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus

ataupun infeksi fecal seperti visceral abses. Salmonella typhi adalah bakteri gram

negatif yang menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk

42
gastroenteritis, demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal

seperti osteomielitis atau abses (Naveed and Ahmed, 2016). Manifestasi klinis

demam tifoid dimulai dari yang ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah,

sakit kepala) hingga berat (perut tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa

(Pratama dan Lestari, 2015).

Selama pengobatan pasien mendapatkan terapi infus RL, inj. ceftriaxone

1x2 g iv, inj. ranitidine 3x50 mg iv, inj. gentamisin 240 mg iv, inj. ceftazidime

3x1 g iv, inj. omeprazole 1x40 mg iv, paracetamol 4x500 mg tab, zink 1x20 mg

tab, ambroxol 3x30 mg tab.

Pasien mendapatkan terapi antibiotik ceftriaxone, ceftriakson dianggap

sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan demam tifoid jangka

pendek. Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah secara selektif dapat

merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel tubuh manusia,

mempunyai spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman

masih terbatas. Sementara pengobatan dengan golongan sefalosporin khususnya

ceftriaxon hanya membutuhkan 10 hari rawat inap di rumah sakit dibandingkan

dengan kloramfenikol selama 21 hari, sehingga obat antibiotik sefalosporin ini

lebih banyak digunakan (Tandi dan Joni, 2017). Pemberian ceftriaxon untuk anak

adalah dengan dosis 80 mg/kgBB/hari sekali sehari, selama 5 hari (IDAI, 2010).

Setelah dilakukan pemberian ceftriaxone selama 4 hari, tetapi tidak

memberikan tanda-tanda perbaikan pada pasien dimana suhu tubuh pasien yaitu

36 sampai 39˚C, Sehingga dokter memberikan inj. gentamisin. Pada hari ke 5,

43
pasien tidak juga memberikan tanda-tanda perbaikan yang dilihat dari hasil

laboratorium yaitu nilai leukosit 3,2x103/µL dan suhu tubuh pasien 36,6-39 ˚C,

sehingga dokter mengganti pemberian ceftriaxone dengan ceftazidim.

Penggantian ceftriaxone dengan ceftazidim dikarenakan ceftazidim

mempunyai efek yang lebih baik dalam mengobati infeksi mikroba seperti H.

Influenza, E. Coli, Klebsiella P, Mirabilis dan Pseudomonas. Sedangkan

kombinasi ceftazidim dan gentamicin dikarenakan gentamicin merupakan

antibiotik golongan aminoglikosida yang bekerja dengan cara berikatan dengan

ribosom 30 S dan menghambat sintesis protein. Terikatnya aminoglikosida pada

ribosom ini mempercepat transport aminoglikosida ke dalam sel diikuti dengan

kerusakan membran sitoplasma dan disusul oleh kematian sel. Gentamisin

bersifat bakterisidal dan terutama aktif terhadap bakteri gram negatif yang aerob,

tetapi aktivitasnya terhadap bakteri gram positif sangatlah terbatas. Sehingga

apabila dikombinasi dapat meningkatkan efek antibakteri kedua obat tersebut

(Team Medical Mini Notes, 2017).

Pasien diberi inj. ranitidin untuk mengatasi muntah dan juga sebagai

pencegah untuk stres ulcer. Ranitidin berperan dalam mengurangi faktor agresif

dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel

parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung (Team Medical Mini

Notes, 2017). Pada tanggal 19 juli inj. ranitidin di ganti dengan inj. omeprazole,

karena setelah diberikan selama 4 hari pasien masih mengeluhkan mual dan nyeri

perut. Omeprazol merupakan golongan PPI yang memiliki mekanisme kerja

44
menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim (k+H+ATPase)

yang akan memecah k+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk

mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel pariental ke dalam lumen lambung.

PPI merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat dibanding

dengan antagonis reseptor H2. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel

kanalikuli, sehingga menyebabkan pengurangan rasa sakit pada pasien tukak,

mengurangi aktivitas factor agresif pepsin dengan pH > 4 serta meningkatkan efek

eradikasi H. pylori oleh regimen triple drugs (Team Medical Mini Notes, 2017).

Paracetamol di indikasikan sebagai analgetik dan antipiretik. Paracetamol

bekerja pada pusat pengatur suhu (antipiretik). Bekerja menghambat sintesis

prostaglandin sehingga dapat mengurangi rasa nyeri ringan – sedang. Pada

tanggal 19 juli pasien mengeluhkan batuk berdahak, sehingga dokter berikan

terapi ambroxol. Ambroxol merupakan obat golongan mukolitik yang berfungsi

untuk mengencerkan secret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang

mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum sehingga memudahkan

pengeluaran dahak (Team Medical Mini Notes, 2017).

Pasien mendapatkan terapi zink untuk pengobatan diare, dimana

penggunaan zink dalam pengobatan diare yaitu selama 10 hari. Zink merupakan

salah satu zat gizi mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak.

Selama diare, tubuh akan kehilangan zink. Untuk menggantikan zink yang hilang

selama diare, anak dapat diberikan zink yang akan membantu penyembuhan diare

serta menjaga agar anak tetap sehat. Pemakaian zink sebagai obat pada diare

45
didasarkan pada alasan ilmiah bahwa zink mempunyai efek pada fungsi kekebalan

saluran cerna sehingga dapat mencegah resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan

setelah anak sembuh dari diare serta mempercepat proses penyembuhan epiel

selama diare (WHO, 2004).

Pasien diberikan terapi IVFD RL 8 tpm, yang berfungsi sebagai terapi

pengganti cairan pada pasien karena keadaan demam dapat menyebabkan

dehidrasi pada pasien. Kebutuhan total cairan per hari pada pasien dapat dihitung

dengan formula sebagai berikut : 100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama + 50

ml/kgBB untuk 10 kg berikutnya + 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kgBB nya

(WHO, 2008).

Tabel 1. Kebutuhan Cairan Rumatan (WHO, 2008)

46
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Semua pengobatan yang diberikan pada An. A.U sudah sesuai dengan

indikasi dan dosis obat yang sesuai dengan literatur

2. Edukasi pasien tentang penggunaan obat.

6.2 Saran

1. Menjelaskan pada keluarga pasien aturan dan cara pemberian obat serta

mengkonsumsi obat secara teratur.

2. Menganjurkan kepada pasien untuk istirahat yang cukup, memperhatikan

kebutuhan cairan tubuh, serta mengkonsumsi makanan rendah serat.

3. Disarankan kepada dokter agar menggunakan curcuma sebagai terapi

tambahan untuk meningkatkan nafsu makan pasien.

47
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2013. Laporan Tahunan Promkes tahun 2006. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Pengurus IDAI.

Kepmenkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Lorin. MI, Feigin. RD. 1992. Fever of Unknown Origin Textbook of Pediatric
Infectious Disease Third Edition. Philadelphia: Saunders.

Naveed, A. and Ahmed, Z. 2016. Treatment of Typhoid Fever in Children:


Comparison of Efficacy of Ciprofloxacin with Ceftriaxone. European
Scientific Journal, 12(6). ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431.

Pratama, I. dan Lestari, A. 2015. Efektivitas Tubex sebagai Metode Diagnosis


Cepat Demam Tifoid. ISM, 2(1): 70-73.

Shann, F. 2017. Drug Doses Seventeenth Edition. Australia: Victoria 3052.

Tandi, Joni. 2017. Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam
Tifoid di Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah Pharmacon,
6(4). ISSN 2302 – 2493.

Team Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2017.
Makasar: MMN.

World Health Organization (WHO). 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah


Sakit. Jakarta: WHO Indonesia.

World Health Organization (WHO). 2004. International Statistical Classification


of Disease and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 second
edition. Geneva: WHO

48

Anda mungkin juga menyukai