Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang


disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai
negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009. Demam
Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran
No. 83.)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid, Diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir
disemua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-
19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011. Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha
Medika)
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008,
demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi
3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan
proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539
dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta)

1
1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker) Di Rumah

Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo Adalah:

a. Mengetahui jenis penyakit dan pengobatan pasien pada kasus yang dipilih.
b. Mengawasi dan mengkaji pengobatan pada pasien.
c. Memberikan intervensi bila ditemukan masalah dalam pengobatan.
1.3 Pelaksanaan PKPA

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dilaksanakan atas kerja sama

antara Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus 1945 jakarta Utara

dengan Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo. Kegiatan ini

berlangsung dari tanggal 1 November sampai dengan 30 Desember 2016.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi dan Etiologi Demam Tyfoid

2.1.1 Definisi

Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus

dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh Bakteri

Salmonella typhosa atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain ini

dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam

masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi

dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus

abdominalis karena berhubungan dengan usus di dalam perut

(Widoyono, 2002)

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1

minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Sudoyo,

2009).

2.1.2 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa/


Eberthella typhosa/ Salmonella typhi yang merupakan kuman gram
negatif, bergerak dengan rambut getar dan tidak menghasilkan spora
(Lestari, 2011). Kuman ini dapat tumbuh pada semua media dan pada
media yang selektif, bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa,
tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa.Waktu inkubasi berkisar tiga
hari sampai satu bulan (Putra, 2012).

3
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri
dan karier yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S. typhidalam
tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan (Rasmilah, 2012).
Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun
yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70oC ataupun oleh
antiseptik (Rampengan, 2008).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah, dandebu.Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 60oC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan,
dan khlorinisasi (Harahap, 2011).S. typhi mempunyai beberapa
komponen antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae
atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis (Harahap, 2011).
Selain itu, S. typhijuga dapat menghambat proses aglutinasi antigen
O oleh anti O serum. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif
bakteri dan efektivitas vaksin (Putra, 2012). Ketiga macam antigen
tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
(Harahap, 2011).
4. Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel
terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.

4
OMP berfungsi sebagai barrier fisik yang mengendalikan masuknya
cairan ke dalam membran sitoplasma, selain itu juga berfungsi
sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian
besar terdiri dari protein urin, berperan pada patogenesis demam
tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme
responimun penjamu. Sedangkan protein non purin hingga kini
fungsinya belum diketahui pasti (Putra, 2012).
2.2 Manifestasi Klinik Demam Typoid
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3 sampai
60 hari dengan rata- rata antara 10 sampai 14 hari. Gejala klinis demam
tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala
klinis yang biasa ditemukan, yaitu (widodo, 2006) :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi.Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur -angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam.Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden) .Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian tengahnya
(coated tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya kemerahan, jarang disertai
tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus).Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.

5
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.
3. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai
somnolen.Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
4. Gejala Lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam
makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um
seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia.
Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak dan mungkin pula
ditemukan epistaksis.
2.3 Patofisiologi Penyakit

Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam

tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus,

dan selanjuntnya berkembang biak (Widodo, 2006). Di usus terjadi produksi

IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk

mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus.Sedangkan untuk imunitas

humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis

kuman oleh makrofag.Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh

kuman intraseluler (Astuti, 2013). Bila respons imunitas humoral mukosa

IgA usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama

sel M dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

6
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesentrika (Widodo, 2006).

Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel

fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia

yang kedua kalinya dan disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit

infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara

intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses

dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses

yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan

hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi

(Widodo, 2006).Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque

peyeryang hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan

ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan

jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu

panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi

(Rampengan, 2008).

7
2.4 Penatalaksanaan Penyakit

Terapi pada demam tifoid adalah untuk men-capai keadaan bebas

demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang

juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah

kekam-buhan dan keadaan carrier(Bhan MK, 2005). Pemilihan antibiotik

tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.

Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik

(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan.

Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik

kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-sulfamethoxazole

(kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolon. Nalidixic

acid resistant Salmonella typhi (NARST ) merupakan petanda berkurangnya

sensitivitas terhadap fluoroquinolone.

Tabel antibiotic yang diberikan pada demam thypoid tanpa komplikasi

menurut WHO 2013

Terapi alternatif
Obat lini pertama
Spesies S.
typhi Dosis Dosis
Antibiotic Hari Antibiotic Hari
mg/kg mg/kg
Fluoroquinolon Chloramphenicol 50-75 14-21
Sangat
(ofloxacin dan 15 5-7 Amoxicillin 75-100 14
sensitiv
ciprofloxacin) TMP-SMX 8-40 14
Resisten Fluoroquinolon
15 5-7 azithomycin 8-10 7
dengan atau cefixim
15-20 7-14 cefixime 15-20 7-14
banyak obat
azithomycin 7
Resisten 8-10
atau cefotaxim 10- Fluoroquinolon 20 7-14
quinolone 75
14

8
Tabel antibiotic yang diberikan pada demam thypoid berat menurut WHO
2013

Terapi alternatif
Obat parenteral lini pertama
Spesies S.
Typhi Dosis Dosis
Antibiotic Hari Antibiotic Hari
mg/kg mg/kg
Fluoroquinolon Chloramphenicol 100 14-21
Sangat
(ofloxacin) 15 10-14 Amoxicillin 100 14
sensitiv
TMP-SMX 8-40 14
Resisten Fluoroquinolon 60 10-14
Ceftriaxone atau
dengan 15 10-14 80
cefotaxim
banyak obat
Resisten Ceftriaxone 60 20 7-14
10-14 Fluoroquinolon
quinolone atau cefotaxim 80

9
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Pasien Ny. E


Tanggal Lahir 30 April 1992
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 24 Tahun
Berat Badan -
Tinggi Badan -
Penjamin BPJS
No. Rekam Medik 168xxx
Nama Dokter dr. E

3.2 Data Pemeriksaan Pasien

3.2.1 Subjective

Demam sejak 2 minggu sebelum masuk


Keluhan utama rumah sakit (SMRS)
Mengeluh demam sejak kurang lebih 2
Riwayat penyakit sekarang minggu SMRS, mual, muntah, pasien
sudah berobat di puskesmas belum ada
perubahan
Riwayat penyakit dulu
-
Riwayat penyakit keluarga
-
Riwayat Alergi
-
Diagnosa saat masuk
Demam Tyfoid
Tanggal masuk
07 Desember 2016
Tanggal keluar

10
11 Desember 2016

3.2.2 Objective

a. Hasil pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Nilai 7/12/16 8/12/16 9/12/16 10/12/16 11/12/16


Normal
Suhu 36-37˚C 38,8 38,1 36,2 36,1 36
Tekanan 128/90 90/60 100/70 100/70 100/70 100/80
darah mmHg
Nadi 60-80 76 82 88 84 80
x/menit

11
12
b. Hasil pemeriksaan laboratorium

Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hematologi 7/12/16 8/12/16 9/12/16 10/12/16 11/12/16

Leukosit 5.000 - 10.000 10^3/µL 2.000 2.600 3.000 3.900 5.000


Eritrosit 4.6 – 6.2 juta/ µL 4.31 4.33 4.30 4.34 436
Hemoglobin 14 -16 mg/ µL 10.8 10.8 10.4 10.5 10.9
Hematokrit 40 – 48 % 34 33 34 36 41
Trombosit 150.000 – 450.000 ribu/ µL 201.000 213.000 210.000 215.000 220.000

Widal

S. Typhi – H Negatif Positif 1/640


S. Paratyphi H-A Negatif Negatif
S. Paratyphi H-B Negatif Positif 1/160
S. Paratyphi H-C Negatif Positif 1/160
S. Typhi – O Negatif Positif 1/320
S. Paratyphi O-A Negatif Negatif
S. Paratyphi O-B Negatif Positif 1/80
S. Paratyphi O-C Negatif Negatif

13
3.3 Pemantauan Terapi Obat

Tanggal
Nama Obat Aturan Pakai Rute 7/12/16 8/12/16 9/12/16 10/12/16
P S M P S M P S M P S M
   
Ringer Laktat 20 Tpm IV

           
Paracetamol 3 x 1 tab Oral

  
Dexamethasone 1 x 1 tab Oral

           
Asam Mefenamat 3 x 1 tab Oral

       
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV

       
Ranitidin 2x1 IV

14
  
Ondansetron 8 mg amp IV

3.1.1 Obat Pulang

Nama Aturan Pakai Rute


Cefixime 100 mg 2 x 1 tab Oral
Ranitidine 2 x 1 tab Oral

15
3.1.2 Asessment dan Plan

a. Drug Related Problem

No Kategori DRP Asessment Planing


1. Indikasi yang tidak di tangani - -
2. Gagal Menerima Obat - -
3. Pilihan Obat yang kurang tepat Ceftriaxone terapi pada Sebaiknya
demam thypoid menggunakan
merupakan terapi lini antibiotic Gol
kedua untuk pasien yang Quinolon yang
sudah resisten terhadap lebih sensitif untuk
gol Quinolon (WHO, penatalaksanaan
2013) demam tifoid
4. Penggunaan Obat tanpa indikasi - -
5. Dosis terlalu kecil - -
6. Dosis terlalu besar - -
7. Reaksi Obat yang tidak
- -
dikehendaki
8. Interaksi Obat 1. Dexamethason dapat 1.Diberi jeda waktu
menurunkan efek dari pada pemberian
ondansentron dengan obat
mempengaruhi
metabolisme enzim
CYP3A4 di hati
2. Asam mefenamat dan 2. Beri jeda waktu

deksametason dapat pada pemberian

meningkatkan toksisitas obat

sinergisme
farmakodinamik di GI.

1
3.1.3 Uraian Obat
1. Ringer Laktat (RL)

Golongan Elekttrolit
Setiap liter mengandung 3,10 gram
natrium laktat, 6 gram NaCl, 0,30
Komposisi gram KCL, 0,20 gram CaCl 0,2
gram dan air untuk injeksi ad 1000
ml
Indikasi Mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada kondisi dehidrasi
Kontraindikasi Hypernatremia, kelaianan ginjal,
kerusakan sel hati, asidosis laktat
Infuse intravena sesuai dengan
Dosis
kondisi pasien
Panas, infeksi pada tempat
penyuntikan,
Efek Samping
thrombosisvena/phlebitis yang
meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi
Interaksi Larutan yang mengandung fosfat.

1. Parasetamol (MIMS; 2010-2011)

Komposisi Parasetamol
Indikasi Meringankan rasa sakit kepala, sakit
gigi serta menurukan demam
Kontraindikasi Gangguan fungsi hati berat
Dosis Dewasa 1 tablet 3-4 kali sehari,
Anak-anak 6-12 tahun ½ -1 tablet 3-
4 kali sehari.
Efek samping Kerusakan hati (dosis besar, terapi

2
jangka lama).
Mekanisme kerja Sebagai inhibitor prostaglandin

yang lemah. Jadi mekanisme

kerjanya dengan menghalangi

produksi prostaglandin, yang

merupakan bahan kimia yang

terlibat dalam transmisi pesan rasa

sakit ke otak.(PIO, 2007).

2. Asam mefenamat (MIMS; 2010-2011)

Komposisi Mefenamic acid


Indikasi Sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot
tulang, nyeri karna luka, nyeri
setelah operasi, nyeri setelah
melahirkan, nyeri reumatik, nyeri
tulang belakang.
Kontraindikasi Tukak peptik, Kerusakan ginjal,
asma yang sensitif terhadap AINS.
Dosis Dewasa 500 mg kemudian 250 mg
tiap 6 jam.
Efek samping Reaksi hematologi dan kulit,
gangguan GI.
Mekanisme kerja Dapat menghambat sintesa

prostaglandin degan menghambat

kerja cyclooxygenese ( COX-1 &

COX 2). (PIO, 2007).

3
3. Inj Ceftriaksone (MIMS; 2010-2011)

Komposisi Ceftriaksone disodium


Indikasi Infeksi saluran nafas, THT, saluran
kemih, sepsis, meningitis, tulang,
sendi dan jaringan lunak, intra
abdominal, dengan gangguan
mekanisme pertahanan tubuh,
profilaksis pra-operasi
Kontraindikasi Hipersensitif terhadap sefalosporin,
penisilin (reaksi silang).
Dosis Dewasa dan anak-anak >12 tahun,
BB > 50 kg 1-2 g 1x/hari,
maksimal; 4 g/hari. Bayi s/d 14 hari
20-50 mg/kgBB/hari. Maksimal 50
mg/kgBB. Bayi 15 hari-12 tahun
20-80 mg/kgBB/hari. Lama
pengobatan 2-3 hari bebas demam.
Meningitis bayi dan anak awal 100
mg/kgBB (maks; 4 g). Meningitidis
4 hari, influenza 6 hari. Strep
pneumonia 7 hari, pencegahan pra
operasi 1-2 gram dosis tunggal, 30-
90 menit sebelum opersai.
Gangguan ginjal dan hati, Bersihan
kreatinin < 10 ml/menit maksimal2
g/hari
Efek samping Gangguan GI, reaksi kulit,
hematologi, sakit kepala, pusing,
reaksi anafilaktif, nyeri ditempat
suntik (IM), flebitis (IV),

4
Reversibel.
Interaksi obat Dengan aminoglikosida memberi
efek adiktif, sinergis

4. Dexamethasone (IONI; 2008)

Komposisi Dexamethasone 0,5 mg dan 0,75 mg

Indikasi Obat anti inflamasi dan anti alergi


yang sangat kuat, Sebagai
perbandingan dexamethasone 0,75
mg setara obat sbb: 25 mg
Cortisone, 20 mg hydrocortisone, 5
mg prednisone, 5 mg prednisolone.
Kontraindikasi Tidak boleh diberikan pada
penderita herpes simplex pada mata,
tuberkulose aktif, peptio ulcer aktif
atau psikosis kecuali dapat
menguntungkan penderita. Jangan
diberikan pada wanita hamil karena
akan terjadi hypoadrenalism pada
bayi yang dikandungnya atau
diberikan dengan dosis yang
serendah-rendahnya.
Dosis Parenteral 5 mg – 40 mg per hari

Efek samping Pengobatan yang berkepanjangan

dapat mengakibatkan efek katabolik

steroid seperti kehabisan protein,

osteoporosis dan penghambatan

pertumbuhan anak. Penimbunan

5
garam, air dan kehilangan potasium

jarang terjadi bila dibandingkan

dengan beberapa glucocorticoid

lainnya. Penambahan nafsu makan

dan berat badan lebih sering terjadi.

Mekanisme kerja Kortikosteroid bekerja dengan

mempengaruhi kecepatan sintesis

protein. Molekulhormone memasuki

sel melewati membran plasma

secara difusi pasif. Hanya dijaringan

target hormon ini bereaksi dengan

reseptor protein yang spesifik dalam

sitoplasma sel dan membentuk

kompleks reseptor-steroid.

Kompleks ini mengalami perubahan

konformasi, lalu bergerak menuju

nucleus dan berikatan dengan

kromatin.

5. Inj Ranitidin (MIMS; 2010-2011)

Komposisi Ranitidin HCl


Indikasi Ulkus duadenum, ulkus gaster non
maligna. Kondisi hipersekresi
patologis.

6
Dosis Ulkus duodenum 150 mg 2 x/hari
atau 300 mg 1 x/hari pada malam
hari. Pencegahan kekambuhan ulkus
150 mg 3 x/hari.
Efek samping Sakit kepala, pusing, gangguan GI,
ruam kulit.
Interaksi obat Mengurangi bersihan dari warfarin,
prokainamid, N-asetilprokainamid,
Meningkatkan absorpsi
darimidazolam, menurunkan
absorbsi dari kobalamin.

6. Inj Ondansetron (IONI; 2008)

Komposisi Ondansetron HCl dihydrat 2,5 mg,


setara dengan ondansetron base 2
mg
Indikasi Mual dan muntah akibat kemoterapi
dan radioterapi, pencegahan mual
dan muntah pasca operasi.
Dosis Sebagai alternatif, infus intravena
lebih dari 15 menit, 16 mg sesaat
menjelang terapi, diikuti dengan 8
mg dengan interval 4 jam untuk 2
dosis berikutnya, kemudian diikuti 8
mg oral tiap 12 jam sampai 5 hari,
pencegahan mual dan muntah.
Kontra indikasi Hipersensitifitas, sindroma
perpanjangan interval QT bawaan.
Efek samping Sangat umum : sakit kepala, sensasi
hangat atau kemerahan, konstipasi,

7
reaksi lokasi injeksi
Mekanisme kerja Ondansetron adalah suatu antagonis
reseptor 5HT3 yang bekerja secara
selektif dan kompetitif dalam
mencegah maupun mengatasi mual
dan muntah akibat pengobatan
dengan sitostatika dan radioterapi.
Interaksi obat Fenitoin, karbamazepin dan
rifampisin: meningkatkan
metabolisme ondansetron, tramadol:
ondansetron menurunkan efek
tramadol, rifampisin: meningkatkan
metabolisme ondansetron.

8
BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus yang diambil untuk dikaji adalah kasus pasien Ny. E pada unit
perawatan Pulau Selayar di RS Dr. Mintohardjo. Pasien Ny. E masuk ke rumah
sakit pada tanggal 7 desember 2016 dengan keluhan demam kurang lebih 2
minggu. SMRS, mual, muntah, pasien sudah berobat ke puskesmas belum ada
perubahan dan pasien didiagnosa demam tyfoid.
Penaganan awal pasien masuk di UGD diberikan ondansentron, ranitidin,
asam mefenamat dan dexametason untuk mengatasi keluhan pasien pada awal
masuk dan juga diterapi dengan paracetamol untuk mengatasi demam dan nyeri
dan juga diterapi dengan ceftriaxone untuk mengatasi masalah infeksi pada
pasien.
Selama dirawat inap di Pulau selayar pasien mendapat terapi paracetamol
50 mg dengan dosis 3 x 1 dan ceftriaxone 1 x 1 gr dimana terapi antibiotik
ceftriaxone yang digunakan pasien untuk penatalaksanaan demam tifoid kurang
tepat karena terapi tersebut digunakan untuk pasien yang telah resisten terhadap
antibiotik gol fluoroquinolone yang lebih sensitive untuk terapi pada demam
thypoid (WHO, 2013). Dan juga terdapat beberapa penelitian menunjukkan
keunggulan ceftriakson sebagai antibiotik terpilih. Ditinjau dari faktor biaya,
ketersediaan obat, efikasi, kekambuhan merupakan masalah dalam terapi
antibiotik pada demam tifoid, terutama di negara berkembang.
Pasien mengeluh mual dan muntah dan diberikan obat ondansetron dan
ranitidin untuk penanganan masalah keluhan pasien.
Berdasarkan data objektif (tanda-tanda vital), demam pasien naik turun cenderung
naik di malam hari dan stabil pada tanggal 11. Pasien tidak ada keluhan seperti
sakit perut, sembelit dan BAB cair, BAB hitam, pada saat observasi terakhir. Obat
yang dibawah pulang adalah cefixime dan ranitidin .Pasien pulang dalam keadaan
stabil tanpa keluhan apapun dan pasien pulang dalam kondisi sembuh.
Adapun drug related problem yang ditemukan pada kasus ini yaitu :

9
1. Pemilihan Obat yang kurang tepat
dimana terapi antibiotik ceftriaxone yang digunakan pasien untuk
penatalaksanaan demam tifoid kurang tepat karena terapi tersebut digunakan
untuk pasien yang telah resisten terhadap antibiotik gol fluoroquinolone yang
lebih sensitive untuk terapi pada demam thypoid, sebaiknya menggunakan
antibiotic Gol Quinolon yang lebih sensitif untuk penatalaksanaan demam
tifoid
2. Interaksi obat
a. Interaksi obat – obat
Interaksi antara dexamethasone dengan Ondansetron, Dexamethason dapat
menurunkan efek dari ondansentron dengan mempengaruhi metabolisme
enzim CYP3A4 di hati sedangkan asam mefenamat dan deksametason
dapat meningkatkan toksisitas sinergisme farmakodinamik di GI.
Penggunaan ini memiliki interaksi yang berbahaya sehingga perlu di
monitoring penggunaannya.Penulis menyarankan untuk melakukan
pemberian jedah waktu terhadap obat-obat yang berinteraksi tersebut.

10
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan

1. Pasien Ny. E didiagnosa menderita demam tyfoid, dengan keluhan demam


kurang lebih 2 minggu SMRS, mual, muntah dan sudah berobat di
puskesmas belum ada perubahan
2. Terdapat beberapa penggunaan obat yang dapat menyebabkan interaksi,
diantaranya dexamethason dengan ondansetron, asam mefenamat dan
ondansetron.
V.2 Saran
1. Pemberian terapi harus sesuai dosis dan tepat waktu pemberian obat.
2. Perawat harus memastikan dengan baik bahwa pasien telah benar-benar
meminum obatnya.
3. Memberikan edukasi kepada keluarga untuk pemberian terapi pada saat
pasien pulang perawatan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidimiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V.Jakarta:
Interna Publishing.
Background document,2003, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid
fever, Geneva, WHO.
Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S, 2005, Typhoid fever and paratyphoid fever,
Lancet.
Chin J, 2000,Control Of Communicable Disease Manual. 17 ed. Berkeley, USA:
American Public Health Association.
Lestari.K, 2011, Demam tifoid, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
Nelwan RHH, 2012, tatalaksana terkini demam tifoid, jurnal vol 39, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM, Jakarta.
Ochiai RL., Acosta JC., Danovaro-Holliday MC., Baiqing D., Bhattacharya SK.,
Agtini M., et al. 2008, A study of typhoid fever in fi ve Asian countries:
disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ.
Putra. A., 2012, Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam
Tifoid Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar,
Rampengan, 2008, Demam tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Ed
2.: Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rasmilah, 2012, Tifoid, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Sidabutar S, Satari HI, 2010, pilihan terapi empiris demam tifoid pada
anak:kloramfenicol atau ceftriakson, jurnal vol 11, Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI/RSCM, Jakarta Harahap, N. 2011. Karakteristik
Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di RSUD Deli Serdang Lubuk
Pakam

12
WHO, Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva, 1999,
Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its
Complications.Report of a WHO ConsultationPart 1: Diagnosis
andClassification of Diabetes Mellitus .
Widodo, D. 2006, Demam tifoid. Dalam, Buku Ajar IlmuPenyakitDalam Jilid III
Ed 4,
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUnive
rsitas Indonesia, Jakarta.

13
14
15
16

Anda mungkin juga menyukai