Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Daniel Elmer seorang ahli patologi dari amerika menyebutkan genus “salmonella” dari
golongan bakteri gram negative sebagai penyebab utama terjadinya demam tifoid. Demam
tifoid umumnya dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah tipes. Di daerah endemic
penyakit ini sering terjadi ketika awal musim hujan ataupun musism kemarau. Penyakit ini
menyerang anak anak maupun orang dewasa melalui makanan, feses, urine, maupun air yang
telah terinfeksi. Selanjutnya, mengapa lebih banyak menyerang anak-anak ? sebab kekebalan
tubuh anak-anak belum sekuat orang dewasa ditambah jajanan pada lingkungan yang kurang
menjaga kebersihan ataupun tidak mencuci tangan sebelum makan (Farihatun, 2018). Demam
tifoid atau typhoid fever adalah suatu sindrom sistemik berat yang secara klasik disebabkan
oleh Salmonella Typhi. Salmonella Typhi termasuk dalam genus Salmonella (Garna,2012).

Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi dan hanya didapatkan pada manusia.
Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (T.H. Rampengan, 2007 :46). Demam tifoid masih merupakan masalah
kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Data World Health
Organization memperkirakan angka kejadian di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per
tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini dan 70% kematiannya terjadi di
Asia. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000 per tahun di Asia. Di Indonesia, penyakit Demam tifoid bersifat endemik.
Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan jumlah yang tidak berbeda jauh antar daerah.
Menurut data WHO, penderita Demam tifoid di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 800 per 100.000 penduduk (Depkes RI. 2013). Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2009 jumlah kejadian Demam tifoid dan Paratifoid di Rumah Sakit adalah
80.850 kasus pada penderita rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia. Sedangkan
pada tahun 2010 penderita demam tifoid dan para tifoid sejumlah 41.081 kasus pada penderita
rawat inap dan jumlah pasien meninggal dunia sebanyak 276 jiwa (Depkes RI, 2010:57).

Menurut Muh Zul Azhri Rustam, pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang
memperhatikan kebersihan atau hygiene perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena
ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular
penyakit demam tifoid. (Robert BSW dkk. 2005; Anggarani H. 2012; Nurvina WA. 2012;
Rustam MZ. 2010). Selama ini status gizi menjadi masalah besar di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Status gizi anak dapat dinilai dari antropometri yaitu BB/U, TB/U, dan
BB/TB. Menurut Nurvina 3 Wahyu A, status gizi yang kurang dapat menurunkan daya tahan
tubuh anak, sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status gizi buruk dapat
menyebabkan angka mortilitas demam tifoid semakin tinggi. (Anggarani H. 2012; Nurvina
WA. 2012; Sugondo S. 2006; Hartiyanti Y dkk. 2007).

Berdasarkan penjelasan diatas penulis tertarik untuk mengambil kasus dengan masalah
demam tifoid karena Kebiasaan personal hygiene dan vaksin tifoid. Manfaat dari penelitian
ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah tentang penyebab dan pencegahannya
dengan kejadian demam tifoid pada anak, serta dapat dipergunakan sebagai bahan informasi
bagi masyarakat untuk dapat melakukan upaya pencegahan terjadinya demam tifoid pada
anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Demam tifoid atau Thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang
menginfeksi usus halus dan terkadang terjadi pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella thypi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid/tifus abdominalis merupakan penyakit
infeksi paru yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari
(Ayu, 2010). Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari dan gangguan pada saluran cerna. Dalam
masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus (Akhsin Zulkoni, 2010: 42).
B. Penyebab demam tifoid
Penyebab demam tifoid yaitu Salmonella typhii (Ayu, 2010).
C. Patofisiologi
Pathogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Setelah kuman salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk kedalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di
usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barrier usus yang melibatkan
mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement dan interaksi dalam vakuola intraseluler.
Kemudian salmonella typhi menyebar kesistim limfoid mesenterika dan masuk kedalam
pembuluh darah melalui system limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap inidan
biasanya didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil negative.
Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar keseluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ system retikuloendotelial
yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali kedalam system
peredaran darah dan menyebabkan bacteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya
periode inkubasi. Bacteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit
kepala, dan nyeri abdomen (Rhh Nelwan, 2012)
D. Gejala klinis
Setelah 7-14 hari tanpa keluahan atau gejala, dapat muncul keluhan atay gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering
sampai dengan gejala yang berat dengan demam berangsur makin tinggi setiap harinya. Rasa
tidak nyaman diperut, serta beranekaragam keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis,
seperti anoreksia, myalgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor,
nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau
kedua-duanya.
Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi. Walaupun tidak konsisten bradikardi relative saat demam tinggi dapat dijadikan
indicator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam macular mulai terlihat pada hari ke
7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen
pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari (Rhh Nelwan 2012)
E. Diagnosis
Pemeriksaan baku emas (gold standard) demam tifoid adalah biakan/kultur darah dimedia
empedu, meskipun hanya 40-60% kasus saja yang hasil biakannya positif, terutama diminggu
pertama. Biakan juga dapat dikerjakan pada sediaan tinja dan urine setelah akhir minggu
pertama dengan sensitivitas lebih rendah. Biakan sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi yaitu mencapai 90% meskipun dikerjakan diminggu pertama, tetapi sulit dikerjakan
karena menyakitkan. Pemeriksaan widal mengukur kadar antibody terhadap antigen O dan H
salmonella typhi, di daerah endemis pemeriksaan widal mempunyai sensitivitas yang rendah.
Salah satu upaya membantu diagnosis adalah mengulang pemeriksaan widal 1-2 minggu
kemudian.
Pemeriksaan-pemeriksaan lainnya adalah PCR biakan darah, ELISA dan Iga air liur yang
masih jarang ditemukan diindonesia (Arifianto, 2012)
f. Faktor yang mempengaruhi kejadian demam Tifoid (Nadyah, 2014)
1. Host
Host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi
timbulnya suatu perjalanan penyakit, terdiri dari: Keturunan, Jenis Kelamin, Umur, Status
Perkawinan, daya Tahan Tubuh, Pekerjaan, Kebiasaan Hidup. Dalam penelitian ini faktor
host yang menjadi fokus penelitian adalah kebiasaan hidup dari responden meliputi
penggunaan jamban, kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah, kebiasaan Jurnal Kesehatan
Volume VII No. 1/2014 308 mencuci tangan menggunakan sabun, asal sumber makanan yang
dikonsumsi dan sumber air minum setelah makan.
2. Agent
Agent yang dimaksud disini adalah substansi tertentu yang karena kehadiran atau
ketidakhadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Agent
penyakit menular adalah suatu agent penyakit yang memiliki kemampuan untuk masuk,
bertahan dan berkembang biak di dalam pejamu serta dapat berpindah dari suatu pejamu ke
pejamu yang lain.Berkaitan dengan Demam Tifoid maka yang menjadi agent penyakit adalah
bakteri Salmonella typhi.
3. Environment
Environtment adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-pengaruh
luar yang dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia. Faktor lingkungan
disini adalah ada tidaknya vektor penyakit (lalat) pada tempat responden biasa memperoleh
makanan dan tempat dimana responden dominan untuk makan.
G. pencegahan demam tifoid (J.B.Suharjo,2010)
Pencegahan demam tifoid harus dimulai dari hygiene perorangan dan lingkungan, misalnya
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, sesudah buang air, tidak buang air besar
ataupun air kecil sembarangan, membuang sampah pada tempatnya, menutup hidangan
makanan sehingga terhindar dari lalat, mencuci lalapan atau buah-buahan segar secara bersih.
Saat ini vaksinasi demam tifoid tersedia 2 pilihan, yaitu vaksin hidup yang dilemahkan
(Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi.
1. vaksin tifoid oral
Vaksin Ty21A berupa kapsul yang diberikan kepada orang dewasa dan anak berumur lebih
dari 6 tahun. Cara pemebriannya adalah dengan 4 dosis, selang 1 hari (hari 1-3-5-7)
pemberian ulangan dilakukan tiap 5 tahun
2. vaksin tifoid polisakarida vi
Vaksin ini berasal dari polisakarida vi dari kapsul salmonella typhi. Cara pemberiannya
dosis 1 kali suntikan intramuscular, biasanya dilengan atas untuk orang dewasa atau dipaha
atas bagi anak anak.
BAB III
PEMBAHASAN

Demam Tifoid adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran pencernaan manusia dan
memiliki kaitan yang sangat erat dengan faktor sanitasi lingkungan. Menurut kriteria Joint
Monitoring Programme World Health Organization-The United Nations Children’s Fund
(JMP WHOUnicef) tahun 2006, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved
adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM), sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan
air hujan, dan air kemasan. Di Indonesia, proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap sumber air minum belum 100%, tidak melakukan cuci tangan dengan benar yaitu
dengan air mengalir dan sabun, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan,
Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia yang
menggunakan fasilitas Buang Air Besar (BAB) milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%),
dan fasilitas umum (4,2%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki
fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB, sehingga
melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9%. Walaupun pembuangan tinja rumah
tangga di Indonesia sebagian besar menggunakan tangki septik (66,0%), masih terdapat
rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (kolam/sawah, langsung
ke sungai/ danau/ laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/ kebun). Secara tidak
langsung, kemiskinan berhubungan dengan kejadian tifoid, antara lain karena keterbatasan
akses air bersih dan ketersedian fasilitas sanitasi yang baik. Menurut pendapat Addin A
(2009; 104), yang mengatakan bahwa penularan tifus dapat terjadi dimana saja dan kapan
saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makan diluar rumah atau tempat-tempat umum,
apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Hal ini dapat dilihat
banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum memenuhi syarat kesehatan di
Indonesia, seperti tingkat kebersihan yang buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah
kasus tifoid. \
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan penggunaan vaksin tifoid
dalam program pengendalian tifoid di daerah endemis sejak tahun 1998. Salah satu cara untuk
melakukan pencegahan tifoid adalah dengan melakukan vaksinasi, namun vaksinasi tifoid
belum merupakan program imunisasi nasional. Hingga saat ini pemakaian vaksin tifoid
terbatas pada sejumlah praktek dokter pribadi dan rumah sakit swasta. Mengingat endemisitas
dan morbiditas tifoid yang cukup tinggi di Indonesia, maka pada dasarnya pemberian
vaksinasi tifoid sangat strategis untuk kelompok masyarakat berisiko tinggi, seperti:
1) Anak sekolah;
2) Penjamah makanan di hotel-hotel, restoran, kantin, katering, dan warung-warung yang
tersebar luas di Indonesia termasuk para petugas di bagian (instalasi) gizi rumah sakit; dan
3) Pekerja atau petugas yang berkaitan atau kontak dengan makanan/minuman atau peralatan
makan/ minum yang disajikan kepada sekelompok orang, misalnya di kantor-kantor
pemerintah dan swasta.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kejadian demam tifoid di Indonesia
dipengaruhi oleh Personal hygiene (cuci tangan dengan sabun setelah bab dan setelah makan)
factor sanitasi lingkungan (penjual makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan indoneisa,
penggunaan air bersih, bab disembarangan tempat) dan program vaksin imunisasi tifus yang
belum menyeluruh.

B. Saran
Agar masyarakat diberikan penyeluhan/edukasi tentang personal hygiene dan penggunaan air
bersih, tempat pembuangan bab yang benar, dan menjual makanan yang sehat yg memenuhi
syarat kesehatan Indonesia. Dan adanya program pemerintah untuk pemberian vaksin untuk
masyarakat secara menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai