Anda di halaman 1dari 22

A.

DEMAM TIFOID

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah

dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun

prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. World Health

Organization (WHO) mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid

terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka
1
kematian tersebut terdapat di negara- negara Asia.

Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei

berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan
6
peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.

WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di

Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih

dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
1,3
angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.

Gambar 2.1. Distribusi Global Daerah Endemik dari Salmonella Enteric serotipe

Typhi, 1990-2002.5
B. EPIDEMIOLOGI DEMAM TIFOID

1. Distribusi dan Frekuensi

a. Orang

Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang

nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid

dengan usia 12 –30 tahun 70 –80 %, usia 31 –40 tahun 10 –20 %, usia > 40 tahun

5–10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat

terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 –19 tahun dan tertinggi pada

umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate

pada umur 0 –3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.

b. Lokasi dan Waktu

Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam

tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per

100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun,

di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000

penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.

Terjadinyapenularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman

yangtercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya

keluarbersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental

dariseorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian

yangdilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,


mengatakanbahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit

demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak

jajan diluar dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum

makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan

dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.

b. FaktorAgent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman

yangdapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 –109 kuman yang

tertelanmelalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar

jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi

penyakit demam tifoid.

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah

tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan

standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat

terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,

sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih

rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000)

dengan desain case control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang,

mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik dan kualitas air minum

yang tercemar berat beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid

dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidakt ercemar berat.


C. ETIOLOGI DEMAM TIFOID

Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella, Salmonella adalah bakteri gram

negatif dan terdiri dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella merupakan bakteri patogen

enterik dan penyebab utama penyakit bawaan dari makanan.9

Klasifikasi spesies Salmonella telah diubah dan direstruksisasi beberapa kali. Secara

tradisi, spesies Slamonella diberi nama sesuai dengan sistem magnetik Kaufmann-White

yang didefinisikan oleh berbagai kombinasi somatik antigenO, permukaan antigen Vi, dan

flagella H antigen.. Menurut sistem CDC, genus Salmonella terdiri dari 2 spesies, masing-

masing berisi beberapa serotipe. Kedua- dua spesies adalah S. enterica dengan beberapa

spesiesnya ,dan S. bongori yang sebelumnya dikelompokkan sebagai subspecies V. S.

enterica dibagi menjadi enam subspecies yang dirujuk dengan angka romawi dan nama.

Setiap subspecies S. enterica dibedakan dengan sifat biokimia dan juga genom.9

Antigen Salmonella terdiri dari tiga yakni antigen terluar O, flagellar H dan kapsul

Vi(virulensi). Antigen O merupakan polisakarida luar dari semua dinding sel digunakan

untuk membagi Salmonella kepada kelompok A-I. Terdapat dua fasa yang terbentuk dari

antigen H yaitu fasa 1 dan fasa 2. Hanya satu dari dua fasa tersebut akan disintesis pada

satu waktu tergantung kepada urutan gennya untuk transkripsi mRNA. Untuk antigen Vi

(polisakarida kapsul) adalah antifagositik dan berperan dalam menetukan faktor virulensi

S.typhi,suatu agen demam tifoid. Selain itu, antigen Vi juga digunakan untuk serotipe

S.typhi di laboratorium.9

Terdapat lebih dari 2500 serotipe Salmonella yang dapat menginfeksi manusia. Namun

serotipe yang sering menjadi penyebab utama infeksi pada manusia adalah sebagai berikut

yaitu Salmonella paratyphi A (serogroup A), Salmonella paratyphi B (serogroup B),


Salmonella cholerasius (serogroup C1) dan Salmonella typhi (serogroup D).9

Telah dilaporkan bahwa S.typhi memiliki protein adhesi dari membrana protein luar

(OMP) dengan berat molekul 36kD dan diberi nama AdhO36. Namun pada penelitian

berikutnya,ternyata diketahui bahwa AdhO36 ini dapat meningkatkan respon imun

humoral baik di mucosal maupun pada sistemik sehingga diketahui pada protein AdhO36

ini bersifat imunogenik.

Salmonella pathogenecity islands (SPIs) 1 dan 2 adalah dua faktor penentu virulensi

utama S.enterica. SPIs ini mengekodekan sistem tipe sekresi 3(T3SS) yang bentuknya

mirip alat suntik (syringe) organel pada permukaan bakteri gram negatif dan

memungkinkan injeksi protein efektor lagsung ke dalam sel eukariotik. Efektor ini akan

memanipulasi fungsi seluler dari host yang terinfeksi dan memfasilitasi infeksi. SPI1

berperan dalam mempromosikan invasi non- fagositik sel epitel usus dan inisiasi respon

inflamasi di usus. Peran SPI2 pula adalah kemampuannya untuk mempromosikan

kelangsungan hidup Salmonella membagi di sel fagosit yang merupakan reservoir utama

untuk penyebaran bakteri ke organ-organ sistemik.9

Spesies Salmonella dapat dibagi kepada dua yakni spesies typhoidal dan non typhoidal.

Bagi kelompok typhoidal bisa menyebabkan demam tifoid dan untuk spesies non

thypoidal bisa menyebabkan diare atau disebut enterokolitis dan juga infeksi metastase

seperti oesteomielitis. Spesies typhoidal adalah bakteri S.typhi dan S.paratyphi dan bakteri

S.enteriditis adalah spesies non-typhoidal. Bakteri S.choleraesuis adalah spesies yang

tersering menyebabkan infeksi metastase. Organisme ini bisa kehilangan antigen H dan

menjadi tidak motil. Hilangnya antigen O dapat menimbulkan perubahan pada bentuk

koloni yang halus menjadi kasar. Antigen Vi juga dapat hilang sebagian atau seluruhnya.

Antigen ini dapat diperoleh atau hilang pada saat proses transduksi.9
D. MEKANISME PENULARAN DAN PATOGENESIS DEMAM TIFOID

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui

makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.13

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1. Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang

selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang

menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan

penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung

empedu dan ginjalnya.

2. Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses

atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa

disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 –3

bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini

disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier

kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi).

Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus

dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :

a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah

menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung

unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit

poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.

b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,

tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber

penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari

penyakit menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit

tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya

sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada difteri.

d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama

sepertipada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka

kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina

propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke

plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.12
Gambar 2.2. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi.13

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)

kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.

Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu,kuman bermultiplikasi di organ-

organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar

makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia

yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.12

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan

empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus

usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator

inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF- β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.12

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia

jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami

nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan

dapat mengakibatkan perforasi usus.12

E. MANIFESTASI KLINIS DEMAM TIFOID


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu

mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-

gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik

hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.12

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu

pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya

yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau

diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik demamnya adalah

demam yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu

makin tinggi dari hari ke

hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada

akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan

menunjukkan gejalarose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm

lebardanjumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan

karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11,12

Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam,

bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi

8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan

ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan

mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Beberapa penderita dapat

menjadi karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk

jangka waktu yang tidak terbatas.12

F. DIAGNOSIS DEMAM TIFOID


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat

oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai

penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode

terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis

dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara

molekuler.13

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa

menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya

normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.

Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit

serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang

cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,

akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam

tifoid.13

2. Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella

Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah

ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium

berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid

akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung

pada beberapa faktor, seperti :(1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum

dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit

(diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan

bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi

dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat

negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada

saat aglutinin semakin meningkat.11,13

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur

hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi

oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur

sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun

dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika

sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah

media empedu dari sapi.Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya

Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.13

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari

penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.

Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika

dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang

dipakai.13

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga

minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu

pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling

tinggi dengan hasil positif didapat pada 80- 95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama

bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur

darah negatif sebelumnya. Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam

praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu

yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.13

3. Uji Serologis

a. Uji Widal

Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella

Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi

terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella

Typhi,dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang

digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan

dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya

aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.12

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada

hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari

timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula

kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,

titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang

waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3

minggu memastikan diagnosis demam tifoid.13

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : Titer aglutinin O yang tinggi

( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160)
menunjukkan sudah pernah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi. Titer

aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

b. TestEnzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. Uji ini sering dipakai

untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG

terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.

Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%

pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,13

c. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella

Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,

tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%

bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan

kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar

94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.

d. Uji Tubex®

Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL

Biotech, Broma, Sweden.Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit,

sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9
LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat

normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.

Gambar 2.3. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif; bagian bawah, hasil

positif.

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara

membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex ® color scaleyang

tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai

10 (warna paling biru).

Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008:11

 Nilai< 2 menunjukannilai negatif(tidakada indikasi demam tifoid).

 Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.

 Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.

 Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala

klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang

sangat kuat.

e. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh

Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila

didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi

kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini

memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.

Gambar 2.4. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes; bagian bawah,

interpretasi hasil tes.

4. Identifikasi Kuman secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah

dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

G. TERAPI DEMAM TIFOID

1. Non-Medikamentosa

a. Tirah baring

Pasien harus tirah baring sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari

selama 14 hari. Maksud tirah baring untuk mencegah komplikasi perforasi usus.2,3,8,11

b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah

yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk

kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan

dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet

cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.

Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan

kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang

optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan

rumatannya.

d. Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh

yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal

ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap

panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai

berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh

pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh

hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini

menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat

(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh

Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di

hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha

menurunkannya begitu juga sebaliknya.


2. Medikamentosa

1) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila

mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran

cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk

diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.12,13

2) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :

a. Kloramfenikol

Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi demam tifoid terutama

di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50- 100mg/kg/hari dibagi

menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup50 mg/kg/hari.

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian

Intramuskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis esterini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai21 hari. Kelemahan

dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier.

b. Cotrimoxazole

Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika Trimetoprim dan

Sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/haridan


Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara

syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali

selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotic golongan ini adalah

terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,

Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika

golongan ini sudah dilaporkan resisten.

c. Ampicillin dan Amoxicillin

Memiliki kemampuan yang lebih rendahdibandingkan dengan kloramfenikol

dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anakgolongan obat ini cenderung lebih

aman dan cukup efektif. Dosis yangdiberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari

dibagi menjadi 4 dosis selama 2minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama

dibandingkan dengan terapikloramfenikol.

d. Sefalosporin Generasi Ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime)

Merupakanpilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella

typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 50-100 mg/kg/hariper IV

dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat

diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu

untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok

dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk

dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid

dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah.

Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan. laparotomi

disertai penambahan antibiotika metronidazol.


H. PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

1. Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar

tetapsehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat

dilakukandengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella

typhi yangdilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :

a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang

diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini

kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi

antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K

vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol

preserved). Dosisuntuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –12 tahun 0,25 ml dan anak 1 –5

tahun 0,1 ml yangdiberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping

adalah demam, nyerikepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.

Kontraindikasi demam,hamildan riwayat demam pada pemberian pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada

hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi

vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar

dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,

memberikanpendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat

dengan carabudaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan

higiene makanandan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih
dalam pengolahandan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan

sampai penyajian untukdimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

2. Pencegahan sekunder dapat berupa :

a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha

surveilans demam tifoid.

b. Perawatan umum dan nutrisi

Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah

sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat

harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan

dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,

maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita

harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan

kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang

optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya

rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid

biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)

Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.

Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.

Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering

menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita

hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta
janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada

wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

I. KOMPLIKASI DEMAM TIFOID

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,

terggantung dari faktor inang (terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi),

virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal (10-

20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.

Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan

nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan

membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik

spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan

pada 2 - 40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala

neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,

hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,

pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag

terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.5. Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi


J. PROGNOSIS DEMAM TIFOID

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik

yangadekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,

biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,

endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Beberapa bulan setelah infeksi umumnya menjadi

karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –anak rendah dan meningkat sesuai usia.

Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.12

Anda mungkin juga menyukai