PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yanhg sehat. Apabila
lingkungan sehat maka bakteri dan virus akan lebih sedikit berkembang biak
disana. Begitupun dengan bakteri salmonella typhi penyebab demam tifod akan
lebih banyak terdapat pada lingkungan yang kotor dan tingkat perilaku hidup
bersih sehat sangat kurang sehingga kuman tersebut akan banyak terdapat disana.
Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan dan rendahnya kesadaran masyarakat
dalam berperilaku hidup bersih sehat akan menjadi bumerang bagi masyarakat itu
sendiri, khususnya lingkungan mereka akan lebih rentan terkena penyakit.
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di
negara yang sedang berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan
kekurangan air bersih yang dapat diminum.
penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih
dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah
(Simanjuntak, C.H, 2009).
Suatu penelitian epidemiologi di masyarakat Vietnam khususnya di delta
Sungai Mekong, diperoleh angka insidensi 198 per 100.000 penduduk dan di
Delhi India sebesar 980 per 100.000 penduduk. Pada beberapa dekade terakhir
demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi
masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara
Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu
diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian
itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
1 |DEMAM TYFOID
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008,
demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi
3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan
proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539
dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan penelitian Cyrus H. Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun
2009, insidens rate demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah
357,6 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap
daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah Jawa Barat,
terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban di temukan
760-810 per 100.000 penduduk.
Apabila demam tifoid tersebut tidak dideteksi dan diobati secara cepat dan
tepat dapat menyebabkan komplikasi yang berujuang pada kematian, seperti
perdarahan usus, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan bronkopnemonia
(peradangan paru), dan kelainan pada otak. Maka dari itu untuk mencegah
terjadinya demam tifoid dan menurunkan angka kejadian, harus memperhatikan
sanitasi lingkungan, pola makan yanjg sehat dan rajin mencuci tangan terutama
sebelum dan setelah makan.
1. 2 Rumusan Masalah
1.2.1 apa yang dimaksud dengan demam tyfoid ?
1.2.2 bagaimana epidemiologi dari demam tyfoid?
1.2.3 bagaimana etiologi dari demam tyfoid?
1.2.4 bagaimana patofisiologi dari demam tyfoid?
1.2.5 bagaimana manifestasi klinis dari demam tyfoid?
1.2.6 bagaimana diagnosis dari penyakit demam tyfoid?
1.2.7 Apa saja klasifikasi demam typhoid ?
1.2.8 bagaimana penatalaksanaan dari penyakit demam tyfoid?
1. 3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa/i mengetahui defenisi dari demam tyfoid
1.3.2 Mahasiswa/i mengetahui dan memahami epidemiologi dari demam
1.3.3
tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami etiologi dari demam tyfoid
2 |DEMAM TYFOID
1.3.4
1.3.5
1.3.6
1.3.7
demam tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami klasifikasi dari penyakit
1.3.8
demam tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari
penyakit demam tyfoid
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Defenisi
3 |DEMAM TYFOID
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu , gangguan
pencernaan dan gangguan kesadaran ( Ngastiyah, 2005).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan demam tifoid adalah penyakit
infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi dan salmonellla
paratyphi yang masuk kedalam tubuh manusia ( saluran pencernaan ) dengan
ditandai oleh demam insidious yang berlansung lama, sakit kepala, badan lemah,
anoreksis, bradikardi relative,serta splenomegalidan juga kelompok penyakit yang
mudah menular serta menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut oleh kuman gram negatif
salmonella typhi selama infeksi terjadi kuman tersebut bermultipikasi dalam sel
fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan di lepaskan ke aliran darah
( Darmowondono, 2006).
Penularan salmonella typhi sebagian besar melalui minuman /makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman
biasanya keluar bersama- sama dengan tinja.
2. 2 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit
ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
4 |DEMAM TYFOID
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.
Demam tifoid menyerang penduduk disemua negara. Seperti penyakit
menular lainnya, tifoid banyak ditemikan di Negara berkembang yang hygiene
pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi
tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat dan perilaku masyarakat.
Angka insidensi di Amerika serikat tahun 1990 adalah 300-500 kasus per tahun
dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk
setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar
900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur,
namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun.
Survailans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata
insidens tifoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja
dan dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden tifoid di
Indonesia masih sangat berkisar 350 810 per 100.000 penduduk. Demikian juga
dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan
angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan, di daerah Rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Case Fatality Rate (CFR) Demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh
5 |DEMAM TYFOID
2. 3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan
demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering
di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk (Brook,
2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan
terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002). Setelah masuk ke saluran cerna dan
mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus
halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer.
Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di
kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna,
Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyers
patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali
6 |DEMAM TYFOID
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian
menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman
salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian
lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia
pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan
penelitian ekperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid.
Endotoksin salmonella typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typi
berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena salmonella typi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit
pada jaringan yang meradang.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang
timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,
tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa
7 |DEMAM TYFOID
8 |DEMAM TYFOID
Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, bervariasi dari gejala seperti
flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak system
organ . Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan , gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. Gejala
gejala tersebut meliputi :
a. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan panas yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
b. Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, mual, muntah, dan kembung.
c. Gejala saraf sentral berupa apatis bahkan sampai koma (Darmowandowo,
2006).
Manifestasi Klinis
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7 21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10
12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Anoreksia
Rasa malas
Sakit kepala bagian
Nyeri otot
Lidah kotor
Gangguan perut (perut kembung dan sakit)
9 |DEMAM TYFOID
pusing, pegal pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80 100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan, semakin cepat dengan
gambaran bronchitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,
diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta bergetar atau tremor. Epitaksis dapat dialami oleh penderita
sedangkan tenggorokan terasa keringdan beradang. Jika penderita ke
dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala
gejala diatas yang bisa saja terjadi pada penyakit penyakit lain juga.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak bercak ros (roseola)
berlangsung 3 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Reseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa macula merah
tua ukuran 2 4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut,
lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan.
b. Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada
pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relative nadi penderita. Yang
semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relative nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita
mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah
tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang
kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan
limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran,
mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain
lain.
c. Minggu ketiga
10 | D E M A M T Y F O I D
Suhu tubuh berangsur angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.
Hal itu terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan
membaik, gejala gejala akan berkurang dan temperature mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan memburuk, dimana toksemia memberat dengan
terjadinya tanda tanda khas berupa delirium atau stopor, otot otot
bergerak terus, inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi,
juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps,. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis local maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadi nya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenarasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga.
d. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
2. 6 Diagnosis
Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala
kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang
sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam
tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
11 | D E M A M T Y F O I D
12 | D E M A M T Y F O I D
pembentukan antibodi.
13 | D E M A M T Y F O I D
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun.
Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi
kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai
aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies
Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih
baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
14 | D E M A M T Y F O I D
15 | D E M A M T Y F O I D
demam
menjadi
tifoid
komplikasi
akut
parah.
keadaan
mungkin
Bergantung
pada
dapat
kualitas
untuk
mencegah
komplikasi
dan
mempercepat
16 | D E M A M T Y F O I D
umum
dan
mempercepat
proses
penyembuhan.
Pemberian Antimikroba
samping
penggunaan
klorampenikol
adalah
terjadi
17 | D E M A M T Y F O I D
kejadian
karier
pasca
pengobatan.
18 | D E M A M T Y F O I D
19 | D E M A M T Y F O I D
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activatedPhenolpreserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c.
penderita
karier
tifoid
dan
petugas
laboratorium/mikrobiologi
20 | D E M A M T Y F O I D
Cairan
harus
mengandung
elektrolit
dan
kalori
yang
21 | D E M A M T Y F O I D
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi.
Gejala- gejala yang timbul bervariasi. Penyakit dapat ditimbulkan dari berbagai
factor, dan dapat membahayakan kesehatan bahkan berakibat kematian. Untuk itu
menjaga kebersihan dirasa perlu demi menjaga kesehatan diri dan lingkungan,
agar terhindar dari penyakit yang membahayakan kesehatan kita.
HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai penghambat
masuknyaSalmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk
bersama-samacairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya
hambat terhadapmikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat
22 | D E M A M T Y F O I D
HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lamung, sehingga
Salmonella spp dapat masuk ke dalamusus penderita dengan lebih senang.
Dalam makalah ini dapat disimpulkan, bahwa penyakit demam
thypoid
merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi dalam masyarakat dan sampai
saat ini masih belum bisa ditangani dan dihentikan. Menjaga diri dan lingkungan
masing masing merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit ini datang.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengerti
dan memahami mengenai Demam Tyfoid. Selaku penyusun, saya sadar banyak
kesalahan dan kekurangan saya dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
saya mengharapkan banyak kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca
sekalian. Semoga di hari kemudian dapat menjadikan sempurnanya makalah saya.
DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update.
Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia
Darmowondowo W,,M. Faried Kaspan,2008 .Demam Tifoid . Dalam : Pedoman
Diagnosis
dan Terapi , Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak ; FK Unair ,
RSUD Dr. Soetomo Surabaya , p 130-145
Djoko widodo, 2006 . Demam Tifoid .Dalam : Aru, W.S,, dkk ( Ed), Buku Ajar
Ilmu
23 | D E M A M T Y F O I D
24 | D E M A M T Y F O I D
STUDI KASUS
Analisa kasus
Subjectif
Objektif
Pemeriksaan fisik:
Assasment
Plan
a. Prinsip Terapi
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
25 | D E M A M T Y F O I D
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah
timbulnya kekebalan terhadap OAT
b. Tujuan Terapi
Untuk menyembuhkan penderita sampai sembuh, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan
c. Penatalaksanaan
1
Terapi Farmakologi
Evaluasi Pengobatan
Efektivitas Obat
Tepat Indikasi
Nama Obat
Indikasi
Mekanisme Aksi
Keterangan
Tepat
indikasi
Tepat
indikasi
Tepat
26 | D E M A M T Y F O I D
indikasi
b Tepat Obat
Nama Obat
Keterangan
Tepat obat
Tepat obat
Tepat obat
Tepat obat
Tepat Pasien
Nama Obat
Kontra Indikasi
Keterangan
Tepat pasien
Tepat pasien
Tepat pasien
Tepat pasien
27 | D E M A M T Y F O I D
d Tepat Dosis
Nama Obat
Dosis Standar
Keterangan
Tepat dosis
Tepat dosis
Tepat dosis
Tepat dosis
Efek samping
Saran
Rifampicin
Isoniazid
Pyrazinamid
Ethambutol
28 | D E M A M T Y F O I D
29 | D E M A M T Y F O I D