Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yanhg sehat. Apabila
lingkungan sehat maka bakteri dan virus akan lebih sedikit berkembang biak
disana. Begitupun dengan bakteri salmonella typhi penyebab demam tifod akan
lebih banyak terdapat pada lingkungan yang kotor dan tingkat perilaku hidup
bersih sehat sangat kurang sehingga kuman tersebut akan banyak terdapat disana.
Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan dan rendahnya kesadaran masyarakat
dalam berperilaku hidup bersih sehat akan menjadi bumerang bagi masyarakat itu
sendiri, khususnya lingkungan mereka akan lebih rentan terkena penyakit.
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di
negara yang sedang berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan
kekurangan air bersih yang dapat diminum.

Demam tifoid merupakan suatu

penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih
dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah
(Simanjuntak, C.H, 2009).
Suatu penelitian epidemiologi di masyarakat Vietnam khususnya di delta
Sungai Mekong, diperoleh angka insidensi 198 per 100.000 penduduk dan di
Delhi India sebesar 980 per 100.000 penduduk. Pada beberapa dekade terakhir
demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi
masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara
Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu
diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian
itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.

1 |DEMAM TYFOID

Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008,
demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi
3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan
proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539
dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan penelitian Cyrus H. Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun
2009, insidens rate demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah
357,6 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap
daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah Jawa Barat,
terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban di temukan
760-810 per 100.000 penduduk.
Apabila demam tifoid tersebut tidak dideteksi dan diobati secara cepat dan
tepat dapat menyebabkan komplikasi yang berujuang pada kematian, seperti
perdarahan usus, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan bronkopnemonia
(peradangan paru), dan kelainan pada otak. Maka dari itu untuk mencegah
terjadinya demam tifoid dan menurunkan angka kejadian, harus memperhatikan
sanitasi lingkungan, pola makan yanjg sehat dan rajin mencuci tangan terutama
sebelum dan setelah makan.
1. 2 Rumusan Masalah
1.2.1 apa yang dimaksud dengan demam tyfoid ?
1.2.2 bagaimana epidemiologi dari demam tyfoid?
1.2.3 bagaimana etiologi dari demam tyfoid?
1.2.4 bagaimana patofisiologi dari demam tyfoid?
1.2.5 bagaimana manifestasi klinis dari demam tyfoid?
1.2.6 bagaimana diagnosis dari penyakit demam tyfoid?
1.2.7 Apa saja klasifikasi demam typhoid ?
1.2.8 bagaimana penatalaksanaan dari penyakit demam tyfoid?

1. 3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa/i mengetahui defenisi dari demam tyfoid
1.3.2 Mahasiswa/i mengetahui dan memahami epidemiologi dari demam
1.3.3

tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami etiologi dari demam tyfoid

2 |DEMAM TYFOID

1.3.4
1.3.5
1.3.6

Mahasiswa/i mengetahui patofisiologi dari demam tyfoid


Mahasiswa/i mengetahui manifestasi klinis dari demam tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami diagnosis dari penyakit

1.3.7

demam tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami klasifikasi dari penyakit

1.3.8

demam tyfoid
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari
penyakit demam tyfoid

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Defenisi

3 |DEMAM TYFOID

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri


ditandai dengan demam insidious yang berlansung lama, sakit kepala, badan
lemah, anoreksis, bradikardi relative , serta splenomegaly ( James Chin,2006).
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi atau salmonelle paratyphi yang masuk kedalam tubuh manusia.
Dan merupakan kelompok penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga menimbulkan wabah. ( Djoko Widodo, 2006).
Deman tifoid adalah

penyakit infeksi akut

yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu , gangguan
pencernaan dan gangguan kesadaran ( Ngastiyah, 2005).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan demam tifoid adalah penyakit
infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi dan salmonellla
paratyphi yang masuk kedalam tubuh manusia ( saluran pencernaan ) dengan
ditandai oleh demam insidious yang berlansung lama, sakit kepala, badan lemah,
anoreksis, bradikardi relative,serta splenomegalidan juga kelompok penyakit yang
mudah menular serta menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut oleh kuman gram negatif
salmonella typhi selama infeksi terjadi kuman tersebut bermultipikasi dalam sel
fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan di lepaskan ke aliran darah
( Darmowondono, 2006).
Penularan salmonella typhi sebagian besar melalui minuman /makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman
biasanya keluar bersama- sama dengan tinja.
2. 2 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit
ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit

4 |DEMAM TYFOID

yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.
Demam tifoid menyerang penduduk disemua negara. Seperti penyakit
menular lainnya, tifoid banyak ditemikan di Negara berkembang yang hygiene
pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi
tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat dan perilaku masyarakat.
Angka insidensi di Amerika serikat tahun 1990 adalah 300-500 kasus per tahun
dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk
setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar
900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur,
namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun.
Survailans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata
insidens tifoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja
dan dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden tifoid di
Indonesia masih sangat berkisar 350 810 per 100.000 penduduk. Demikian juga
dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan
angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan, di daerah Rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Case Fatality Rate (CFR) Demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh

5 |DEMAM TYFOID

kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan


Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT DepKes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

2. 3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan
demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering
di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk (Brook,
2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan
terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002). Setelah masuk ke saluran cerna dan
mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus
halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer.
Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di
kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna,
Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyers
patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali

6 |DEMAM TYFOID

memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi


bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid
(Salyers dan Whitt, 2002).
2. 4 Patofisiologi
Bakteri

Salmonella typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian
menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman
salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian
lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia
pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan
penelitian ekperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid.
Endotoksin salmonella typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typi
berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena salmonella typi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit
pada jaringan yang meradang.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang
timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,
tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa

7 |DEMAM TYFOID

seorang ahli yang sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan


membuat diagnosis klinis demam tifoid.
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu food (makanan), fingers (jari tangan/kuku), fomitus
(muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid
dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut
dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan
yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke
tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk kedalam
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-selretikuloendotelial ini kemudian
melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman
selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan
oleh endotoksemia.Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karenamembantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi
antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa
inkubasi penderita tetap dalamkeadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002).
2. 5 Manifestasi klinis

8 |DEMAM TYFOID

Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, bervariasi dari gejala seperti
flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak system
organ . Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan , gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. Gejala
gejala tersebut meliputi :
a. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan panas yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
b. Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, mual, muntah, dan kembung.
c. Gejala saraf sentral berupa apatis bahkan sampai koma (Darmowandowo,
2006).
Manifestasi Klinis
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7 21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10
12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Anoreksia
Rasa malas
Sakit kepala bagian
Nyeri otot
Lidah kotor
Gangguan perut (perut kembung dan sakit)

Gambaran klasik demam tifoid (gejala khas)


Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bias langsung
ditegakkan. Yang termasuk gejala khas demam tifoid adalah sebagai berikut :
a. Minggu Pertama (Awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10 14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39 hingga 40 C, sakit kepala,

9 |DEMAM TYFOID

pusing, pegal pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80 100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan, semakin cepat dengan
gambaran bronchitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,
diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta bergetar atau tremor. Epitaksis dapat dialami oleh penderita
sedangkan tenggorokan terasa keringdan beradang. Jika penderita ke
dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala
gejala diatas yang bisa saja terjadi pada penyakit penyakit lain juga.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak bercak ros (roseola)
berlangsung 3 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Reseola terjadi
terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa macula merah
tua ukuran 2 4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut,
lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan.
b. Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada
pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relative nadi penderita. Yang
semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relative nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita
mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah
tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang
kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan
limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran,
mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain
lain.
c. Minggu ketiga

10 | D E M A M T Y F O I D

Suhu tubuh berangsur angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.
Hal itu terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan
membaik, gejala gejala akan berkurang dan temperature mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan memburuk, dimana toksemia memberat dengan
terjadinya tanda tanda khas berupa delirium atau stopor, otot otot
bergerak terus, inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi,
juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps,. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis local maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadi nya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenarasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga.
d. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

2. 6 Diagnosis
Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala
kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang
sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam
tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.

11 | D E M A M T Y F O I D

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman


Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling
spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya
positip dalam minggupertama. Hasil ini menurun drastis setelah
pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun
demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi
yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah
menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut
positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita
tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka
waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella
typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.Antigen
yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhiyang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan
H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita
demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selangwaktu paling sedikit 5 hari.

12 | D E M A M T Y F O I D

Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu


memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi (>160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami
sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau
keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.
e.

Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat

pembentukan antibodi.

13 | D E M A M T Y F O I D

f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun.
Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi
kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai
aglutinin pada orang-orang yang sehat.

2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies
Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih
baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

14 | D E M A M T Y F O I D

a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi


belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai
umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji
ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhiDeteksi antigen spesifik dari
Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis
dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella
typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
3. Pemeriksaan Tubex
dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai
pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella
serogroup D.
4. Pemeriksaan dengan Typhidot
yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM
menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG
dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat
untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa
penyembuhan.

2. 7 Klasifikasi Demam Tifoid


Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan
perbedaan gejala klinis :
1. Demam tifoid akut non komplikasi

15 | D E M A M T Y F O I D

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam


berkepanjangan abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa,
dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada
berkembang

demam

menjadi

tifoid

komplikasi

akut

parah.

keadaan

mungkin

Bergantung

pada

dapat
kualitas

pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10 % pasien dapat mengalami


komplikasi, mulai dari melena, perforasi, dan peningkatan ketidaknyamanan
abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung
umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi salmonella typhi
di feses. (WHO, 2003)
2. 8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi
penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam
tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.

Istirahat dan Perawatan


Bertujuan

untuk

mencegah

komplikasi

dan

mempercepat

penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di


tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien
diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan Terapi Penunjang

16 | D E M A M T Y F O I D

Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.


a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus.
Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan
keadaan

umum

dan

mempercepat

proses

penyembuhan.

b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan


diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan
kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

Pemberian Antimikroba

Obat obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan


tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara
oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis
protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif.
Efek

samping

penggunaan

klorampenikol

adalah

terjadi

agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah


angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14
hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.Tiamfenikol, dosis
dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4
x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

17 | D E M A M T Y F O I D

Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan


demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150
mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ)
dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160
mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan
baik, dan lebih efektif dibandingkan obat obatan lini pertama
sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus
jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada
dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level
obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain.
Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat,
seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan
kemungkinan

kejadian

karier

pasca

pengobatan.

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan


tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik.
Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester
pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.

18 | D E M A M T Y F O I D

Pencegahan demam tifoid dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan


perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang

19 | D E M A M T Y F O I D

sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activatedPhenolpreserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c.

Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin

diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada


hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar
dengan

penderita

karier

tifoid

dan

petugas

laboratorium/mikrobiologi

kesehatan.Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,


memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,
peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang
cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder

20 | D E M A M T Y F O I D

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit


secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi.Penderita demam tifoid, dengan gambaran
klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain
yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit
membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan
pemberian cairan dan diet.Penderita harus mendapat cairan yang cukup,
baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
makan.

Cairan

harus

mengandung

elektrolit

dan

kalori

yang

optimal.Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.


Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur
lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik).Anti mikroba (antibiotik) segera
diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan
pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier
dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil,
terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur,
serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman
diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

21 | D E M A M T Y F O I D

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi.
Gejala- gejala yang timbul bervariasi. Penyakit dapat ditimbulkan dari berbagai
factor, dan dapat membahayakan kesehatan bahkan berakibat kematian. Untuk itu
menjaga kebersihan dirasa perlu demi menjaga kesehatan diri dan lingkungan,
agar terhindar dari penyakit yang membahayakan kesehatan kita.
HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai penghambat
masuknyaSalmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk
bersama-samacairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya
hambat terhadapmikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat

22 | D E M A M T Y F O I D

HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lamung, sehingga
Salmonella spp dapat masuk ke dalamusus penderita dengan lebih senang.
Dalam makalah ini dapat disimpulkan, bahwa penyakit demam

thypoid

merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi dalam masyarakat dan sampai
saat ini masih belum bisa ditangani dan dihentikan. Menjaga diri dan lingkungan
masing masing merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit ini datang.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengerti
dan memahami mengenai Demam Tyfoid. Selaku penyusun, saya sadar banyak
kesalahan dan kekurangan saya dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
saya mengharapkan banyak kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca
sekalian. Semoga di hari kemudian dapat menjadikan sempurnanya makalah saya.

DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update.
Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia
Darmowondowo W,,M. Faried Kaspan,2008 .Demam Tifoid . Dalam : Pedoman
Diagnosis
dan Terapi , Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak ; FK Unair ,
RSUD Dr. Soetomo Surabaya , p 130-145
Djoko widodo, 2006 . Demam Tifoid .Dalam : Aru, W.S,, dkk ( Ed), Buku Ajar
Ilmu

23 | D E M A M T Y F O I D

Penyakit Dalam , Edisi 5 , Jakarta: Balai Penerbit FKUI. P 145-156


Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 1), Jakarta,
Salemba Medika.
James Chin , 2006 .Pemberantas Penyakit Menular . Jakarta. CV. Infomedika.
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit . edisi 2 , Jakarta : EGC
Nursalam dkk, (2005), Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta, Salemba
Medika.
Pearce C, (2004), Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta, PT.
Gramedia.
Rahayu, E. 2013. Sensitivitas Uji Widal dan Tubex untuk Diagnosis Demam
Tifoid
Berdasarkan kultur darah. Semarang : Universitas Muhammadiyah
Semarang
Saifuddin, (2006), Anatomi Fisilogi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3,
Jakarta : EGC.
Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Phatogenesis : A Molecular Approach 2nd
Edition.
ASM Press
Widodo, Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi
dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu
Kesehatan Anak
FKUI: 367-375

24 | D E M A M T Y F O I D

STUDI KASUS
Analisa kasus
Subjectif
Objektif
Pemeriksaan fisik:

Assasment
Plan
a. Prinsip Terapi
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

25 | D E M A M T Y F O I D

dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah
timbulnya kekebalan terhadap OAT
b. Tujuan Terapi
Untuk menyembuhkan penderita sampai sembuh, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan
c. Penatalaksanaan
1

Terapi Farmakologi

Terapi Non Farmakologi

Kebutuhan Nutrisi Pasien

Evaluasi Pengobatan

Efektivitas Obat

Efetivitas obat jika ditinjau dari 4T 1W yaitu:


a

Tepat Indikasi

Nama Obat

Indikasi

Mekanisme Aksi

Keterangan

Tepat
indikasi
Tepat
indikasi
Tepat

26 | D E M A M T Y F O I D

indikasi

b Tepat Obat
Nama Obat

Alasan sebagai drug of choice

Keterangan
Tepat obat
Tepat obat
Tepat obat
Tepat obat

Tepat Pasien
Nama Obat

Kontra Indikasi

Keterangan
Tepat pasien
Tepat pasien
Tepat pasien
Tepat pasien

27 | D E M A M T Y F O I D

d Tepat Dosis
Nama Obat

Dosis Standar

Dosis yang diberikan

Keterangan
Tepat dosis
Tepat dosis
Tepat dosis
Tepat dosis

Waspada Efek samping Obat

Jika terdapat efek samping pada penggunaan obat


Nama Obat

Efek samping

Saran

Rifampicin
Isoniazid

Pyrazinamid
Ethambutol

Komunikasi, informasi dan edukasi


Memberikan informasi tentang obat baik mengenai nama obat, dosis,
aturan pakai dan cara penggunaan obat.
Memberikan informasi, instruksi, dan peringatan kepada pasien dan
keluarganya tentang efek terapi dan efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan.

28 | D E M A M T Y F O I D

Memberikan edukasi kepada pasien untuk meminum obat sesuai jadwal


yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain
Memberikan edukasi kepada pasien untuk tidak mengkonsumsi alkohol
atau minuman keras lainnya dan lebih banyak mengkonsumsi makanan
yang sehat dan juga buah-buahan serta sayuran.
Memberikan edukasi kepada pasien untuk istirahatyang cukup
Monitoring dan tindak lanjut
a. Monitoring
b. Tindak lanjut
Pasien penderita TBC memerlukan penanganan atau tindak lanjut yang
bekerjasama dengan dokter yang berhubungan dekat dengan pasien.
Diperlukan evaluasi pada pengobatan yang telah ditentukan oleh dokter.

29 | D E M A M T Y F O I D

Anda mungkin juga menyukai