DENGUE FEVER
Pembimbing:
dr. Ferdinandus Sp.PD
Disusun oleh :
dr. Harris Mullyasari
2.1. Definisi
Demam berdarah atau DBD adalah penyakit febril akut yang ditemukan di
daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Setiap
serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang
disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. DBD disebarkan
kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti (Gama T. A. dan Betty R. F., 2010).
2.2. Epidemiologi
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41
tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi
Maluku, dari tahun 2002 - tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu
terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus
menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD
tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan
distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Siklus epidemik terjadi setiap 9-10 tahunan, hal ini terjadi kemungkinan karena
adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, di luar
faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael (2006),
perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah
udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh
terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti
nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi
masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan
mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).
2.3. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat (Depkes RI, 2011).
2.4. Patofisiologi
Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada
hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu,
dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni
kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa
lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah
dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti:
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.
Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan
Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai
kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma
yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites (World
Health Organization, 2009).
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Gejala klinis, yaitu (World Health Organization, 2009) :
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, purpura
o Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
o Hematemesis dan atau melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan
nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
Laboratorium (World Health Organization, 2009) :
Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
o Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
o Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD (World
Health Organization, 2009).
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat
sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) (World Health
Organization, 2009) :
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit (World Health Organization, 2009).
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri
otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi (World Health Organization,
2009).
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau
pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan
pada penderita dengan syok (World Health Organization, 2009).
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi
yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi
ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita
dapat mengalami syok (World Health Organization, 2009).
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba
memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan dengan hipotesis
meningkatnya reaksi imunologis. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda
kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di sekitar
mulut, nadi menjadi cepat dan lemah. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat
masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Fabie (1996) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali
mendahului pendarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab
yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya pendarahan gastrointestinal yang
hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis
buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil
sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus
segera diobati apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat (profound
shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana
syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik,
hipoksia, pendarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya
dengan pengobatan yang tepat segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.
Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera makan membaik merupakan
petunjuk prognosis baik (Hanim Diffah, 2013).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/µl ditemukan di antara hari sakit ke
3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma,
terjadi pula pada kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat dalam keadaan
syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,
hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat. Pada
beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara
leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang
bersifat sementara (Hanim Diffah, 2013).
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih)
menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung
memberikan hasil yang rendah (World Health Organization, 2009).
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu
isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus. Imunoglobulin
M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,
meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat
terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi
Ig M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,
Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke-14 dengan titer yang rendah
(<1:640) , sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi pada hari
ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur hidup (World
Health Organization, 2009).
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue (Ag
NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan pemeriksaan
serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam darah pada hari
pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah, praktis dan tidak
memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l yang spesifik
terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue sudah dapat
ditegakkan lebih dini.Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita
infeksi dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0
(onset demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian
ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan
spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan
RT-PCR dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue20. Penelitian lainnya di
Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa memberikan sensitivitas sampai
93,3 % (World Health Organization, 2009).
2.6. Diagnosis Banding
Pada awal fase demam, diagnosis banding meliputi spectrum yang luas dari
infeksi virus, bakteri serta protozoa yang menyerupai DD. Manifestasi perdarahan
yang muncul, misalnya uji tourniquet positif serta leucopenia (≤ 5000 sel/mm³)
dapat diduga suatu kasus dengue. Munculnya trombositopenia bersamaan dengan
hemokonsentrasi dapat membedakan DBD/SSD dari penyakit lainnya. Pada
pasien yang tidak mengalami kenaikan nilai hematokrit akibat adanya perdarahan
hebat dan/atau penatalaksanaan cairan intravena yang lebih cepat, adanya efusi
pleura/ascites menandakan adanya suatu kebocoran plasma. Hipoproteinemia atau
hipoalbuminemia dapat juga menjadi penanda adanya kebocoran plasma. Nilai
laju endap darah (LED) yang normal merupakan penanda untuk membedakan
infeksi dengue dari infeksi bacterial dan syok septik. Hal yang perlu dicatat
adalah, selama periode syok, LED bernilai < 10 mm/Jam (World Health
Organization, 2011).
2.7. Penatalaksanaan
1. Demam Dengue
Pasien DD dengan manifestasi ringan dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat.
Pada fase demam pasien dianjurkan (Kementerian Kesehatan RI, 2011) :
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat
menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah
sakit.. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari,
tidak perlu lagi diobservasi (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2. Demam Berdarah Dengue
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien bermanifestasi ringan dapat berobat
jalan sedangkan pasien dengan tanda bahaya dirawat. Tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif (Kementerian Kesehatan RI,
2011).
a. Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
rumatan perlu diberikan (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Berikan nasihat
agar diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan
lain-lain. Berikan obat antipiretik, parasetamol direkomendasikan untuk
mempertahankan suhu di bawah 39˚C (World Health Organization, 2011).
b. Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya
hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok
yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian
cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali.
Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin
dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Parameter-parameter harus dipantau (World Health Organization, 2011):
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala
lainnya.
Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi karena
hal tersebut merupakan pertanda awal syok dan mudah/cepat untuk
dilakukan.
Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok
dan 1-2 jam pada pasien syok.
Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam dalam kasus
yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau
dicurigai mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa hematokrit harus
dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
pemeriksaan hematokrit harus dilakukan setelah bolus cairan dan jangan
saat pemberiaan bolus cairan sedang berjalan.
Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8-12 jam pada kasus tidak
berat, per-jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan cairan.
Selama periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kgBB/jam.
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun
demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-
hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah
jumlah cairan rumatan ditambah 5-8% (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Indikasi Cairan intravena (World Health Organization, 2011):
Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah
Jika Hct terus meningkat 10-20% meskipun rehidrasi oral sudah
diberikan
Adanya ancaman munculnya syok
Prinsip umum terapi cairan (World Health Organization, 2011):
Larutan kristaloid isotonic harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi
usia <6 bulan lebih tepat menggunakan Nacl 0,45%. Sebagian besar
kasus SSD memberikan respon terhadap pemberian cairan 10 ml/kgBB
(pada anak-anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau
bila perlu dengan bolus.
Larutan koloid hiper-onkotik (osmolaritas >300 mOsm/l) seperti dekstran
40 atau larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma massif,
dan tidak ada respon dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang
optimal (seperti yang direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik
seperti plasma dan hemaccel kemungkinan tidak efektif.
Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan
untuk sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi
Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam
bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi
terapi cairan intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60-72 jam.
Hal ini karena pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran
plasma sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma
berlangsung dalam durasi yang lebih panjang hingga terapi intravena
dimulai.
Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung
volume cairan adalah berat badan ideal
Kecepatan cairan intravena disesuaikan dengan kondisi klinis. Kecepatan
infuse berbeda pasien dewasa dan anak-anak.
Tranfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan
trombositopenia (tidak boleh ada tranfusi trombosit profilaksis). Namun
pemberian tranfusi trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat hipertensi dengan trombositopenia yang sangat berat (10.000
sel/mm³) (World Health Organization, 2011).
c. Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan,
saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler.
Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema
palpebra, edema paru dan distres pernafasan (Kementerian Kesehatan RI,
2011).
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Dsn. Sromo, Banturejo, Ngantang
Agama : Islam
Tanggal masuk : 21 / 4 / 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 / 4 / 2019
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSBB dengan keluhan demam naik turun sejak tanggal
17/4/2019 pagi, mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati, hari ini terasa sembelit, 2 hari
yang lalu sempat BAB cair 3x, warna kuning, lendir (-), darah (-), BAK anyang -
anyangen (-). Nafsu makan dan minum menurun semenjak sakit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- HT disangkal
- DM disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga tidak ada yang menderita sakit yang sama.
5. Riwayat Penyakit Sosial
- Bak mandi dikuras setiap 2 minggu sekali
- Ada genangan air kotor dan sampah di sekitar rumah
III. PEMERIKSAAN FISIK
Thorak :
Paru
Jantung
Abdomen
Ekstremitas
Superior : tanda inflamasi -/-, oedem -/-, CRT < 2 detik, akral
hangat +/+
Inferior : tanda inflamasi -/-, oedem -/-, CRT < 2 detik, akral
hangat +/+
V. RESUME
Laki - laki, 36 tahun keluhan demam naik turun sejak tanggal 17/4/2019 pagi,
mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati, hari ini terasa sembelit, 2 hari yang lalu
sempat BAB cair 3x, warna kuning, lendir (-), darah (-),Nafsu makan dan minum
menurun semenjak sakit.
Pemeriksaan Fisik :
Kooperasi : Kooperatif
Tanda-tanda vital
TD : 100/70mmHg
Nadi : 80 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Suhu : 37,5 °C
Saturasi : 95%
VII. TATALAKSANA
Planning IGD :
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Omperazol 40 mg
- Inj. Santagesik 1 gr
- Inj. Sotatic 10 mg
- Cek lab darah lengkap, IgM Thypoid
Tindak lanjut : konsul dokter spesialis : dr. Widya Sp.PD
Advice
- Cek darah lengkap serial
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Paracetamol 3 x 1 gr
- Inj. Omperazol 1 x 40 mg
- Inj. Ondancentron 3 x 4 mg
- PO. Sucralfat syr 3 x 1C
VIII. PROGNOSIS
Tanggal S O A P
23 / 4 /2019 Kepala terasa KU : cukup DHF IVFD RL / 8
nyeri Dyspepsia jam
Kesadara : CM PO. Starmuno
1 x 1 tab
TD : 120 / 70 PO. Sucralfat
mmHg syr 4 x C1
PO. Lancid 1
HR : 70x/menit x 1 tab
PO. Cetirizin
RR : 20x/menit
1 x 1 tab
PO. Flunarizin
S : 37,4 ℃
1 x 1 tab
PO.
Mecobalamin
tab 3 x 1 tab
PO. Betahistin
3 x 1 tab
PO.
Methyprednis
olon 3 x 8 mg
Tanggal S O A P
24 / 4 /2019 Keluhan (-) KU : cukup DHF PO. Flunarizin
1 X 1 tab
Kesadaran : PO.
CM Mecobalamin
3 x 1 tab
TD : 110 / 70 PO. Betahistin
mmHg 3 x 1 tab
PO.
HR : 66x/menit
Methylprednis
olon 3 x 8 mg
RR : 20x/menit
ACC KRS
Obat pulang :
S : 36 ℃
Lanzoprazol 1
x 1 tab
Antasida syr 3
x1C
Cetirizin 1 x 1
tab
Caladine
bedak
BAB IV
ANALISA KASUS
I. DEFINISI
Teori Kasus
Demam berdarah atau DBD adalah Pasien datang ke IGD RSBB dengan
penyakit febril akut yang ditemukan di keluhan demam naik turun sejak
daerah tropis, dengan penyebaran tanggal 17/4/2019 pagi, mual (+),
geografis yang mirip dengan malaria. muntah (-), nyeri ulu hati, hari ini terasa
Setiap serotipe cukup berbeda sehingga sembelit, 2 hari yang lalu sempat BAB
tidak ada proteksi-silang dan wabah cair 3x, warna kuning, lendir (-), darah
yang disebabkan beberapa serotipe (-), BAK anyang - anyangen (-)Nafsu
(hiperendemisitas) dapat terjadi. DBD makan dan minum menurun semenjak
disebarkan kepada manusia oleh sakit.
nyamuk Aedes aegypti
II. DIAGNOSIS
Teori Kasus
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 Pasien datang ke IGD RSBB dengan
hari, disertai muka kemerahan, eritema keluhan demam naik turun sejak
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, tanggal 17/4/2019 pagi, mual (+),
artralgia dan sakit kepala. Pada muntah (-), nyeri ulu hati, hari ini terasa
beberapa kasus ditemukan nyeri sembelit, 2 hari yang lalu sempat BAB
tenggorok, injeksi farings dan cair 3x, warna kuning, lendir (-), darah
konjungtiva, anoreksia, mual dan (-), BAK anyang - anyangen (-)Nafsu
muntah. makan dan minum menurun semenjak
sakit.
III. TATALAKSANA
Teori Kasus
Tirah baring, selama masih demam. IVFD RL / 8 jam
Obat antipiretik atau kompres hangat Inj. Ondancentron 3 x 4 mg
diberikan apabila diperlukan. Inj. Omeprazol 1 x 40 mg
Untuk menurunkan suhu menjadi Drip Paracetamol 3 x 1 gr
<39°C, dianjurkan pemberian PO. Starmuno 1 x 1 tab
parasetamol. Asetosal/salisilat tidak PO. Sucralfat syr 4 x C1
dianjurkan (kontraindikasi) oleh Drip cernevit 1 vial IV
karena dapat menyebabkan gastritis,
perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan
elektrolit per oral, jus buah, sirup,
susu, disamping air putih, dianjurkan
paling sedikit diberikan selama 2
hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan
hematokrit sampai fase konvalesen.
BAB V
KESIMPULAN
KESEHATAN ANAK
DI RUMAH SAKIT
PEDOMAN BAGI
RUMAH SAKIT RUJUKAN TINGKAT PERTAMA
DI KABUPATEN/KOTA