Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH KESEHATAN LINGKUNGAN

PENERAPAN KONSEP KESEHATAN LINGKUNGAN DALAM


PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA

I GEDE EKA WIDAYANA

NPM 2128021010

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021
Abstrak

Latar belakang: Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di

Indonesia dan sering menimbulkan suatu kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. WHO menyatakan untuk

mengendalikan populasi Ae. aegypti dan Ae. Albopictus sebagai vektor penularan demam berdarah dengue terutama dilakukan

dengan cara pengelolaan lingkungan (environtmental management) (WHO, 1982). Kebiasaan masyarakat yang merugikan

kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan lingkungan akan meningkatkan risiko terjadinya transmisi DBD.  Hasil:

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Terdapat beberapa faktor

penularan DBD baik dari segi pengetahuan, perilaku dan sikap manusia; lingkungan fisik dan lingkungan biologis. Pencegahan

penularan dapat dilakukan dengan pengendalian vektor yaitu nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan cara pemberantasan sarang

nyamuk dan 3M-Plus. Simpulan: Pencegahan untuk mengurangi angka kesakitan DBD memerlukan kerjasama lintas sector

untuk memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan sehingga tidak menjadi tempat yang baik (breeding place) untuk

berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Memberikan penyuluhan pada masyarakatyang berfokus pada sumber permasalahan,

dan masyarakat agar dapat mencegah terjadinya penularan DBD dengan memutuskan rantai penularan melalui kegiatan 3 M Plus.
I. LATAR BELAKANG

Demam berdarah merupakan salah satu penyakit tropis yang paling sering menyerang manusia

dan telah menjadi masalah kesehatan utama didunia internasional dalam beberapa dekade

terakhir (Wang, 2020). Demam berdarah di Indonesia sering menimbulkan suatu kejadian luar

biasa dengan kematian yang besar. Pada tahun 2009, WHO menetapkan Indonesia sebagai salah

satu negara hiperendemik dengan jumlah provinsi yang terkena DBD sebanyak 32 provinsi dari

33 provinsi di Indonesia dan 355 kabupaten/kota dari 444 kota terkena DBD. Setiap hari

dilaporkan, sebanyak 380 kasus DBD dan 1-2 orang meninggal setiap hari (Arsin, 2013).

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2019 dilaporkan jumlah penderita DBD yang

dilaporkan adalah sebanyak 138.127. jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018

sebesar 65.602 kasus. Kematian karena DBD tahun 2019 juga mengalami peningkatan

dibandingkan tahun 2018 yaitu dari 467 menjadi 919 kematian. Kesakitan dan kematian dapat

digambarkan dengan menggunakan indicator incidence rate (IR) per 100.000 penduduk dan case

fatality rate (CFR) dalam bentuk presentase. Incidence rate DBD pada tahun 2019 adalah sebesar

51,48 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dua

tahun sebelumnya yakitu tahun 2016 dan 2017 ketika incidence rate DBD sebesar 26,1 dan 24,75

per 100.000 penduduk (Pusdatin, 2019). WHO menyatakan untuk mengendalikan populasi Ae.

aegypti dan Ae. Albopictus sebagai vektor penularan demam berdarah dengue terutama dilakukan

dengan cara pengelolaan lingkungan (environtmental management) (WHO, 1982). 

Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan

lingkungan akan meningkatkan risiko terjadinya transmisi DBD. Kebiasaan ini akan menjadi

lebih buruk di mana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk

menyimpan air dalam bak penampungan air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan
dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Ae.

aegypti (Kurnia, 2012). 

Untuk menurunkan angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) maka penulis ingin mencari

tahu cara pencegahan penyakit DBD khususnya dari aspek kesehatan lingkungan. 
II. HASIL

1. Demam Berdarah Dengue

1. Definisi

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau

dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dengan manifestasi klinis demam,

nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau

penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock

syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

2. Epidemiologi 

Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue di dunia

antara tahun 2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke- 2

dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara wilayah endemis (Kemenkes RI, 2018).

Gambar 1 menunjukkan kasus demam berdarah dengue (DBD) yang tejadi di Indonesia

dengan jumlah kasus 68.407 tahun 2017 mengalami penurunan yang signifikan dari

tahun 2016 sebanyak 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3

(tiga) provinsi di Pulau Jawa, masing- masing Jawa Barat dengan total kasus sebanyak

10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah 7.400 kasus.

Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di Provinsi Maluku Utara dengan

jumlah kasus 37 kasus (Kemenkes RI, 2018)


Gambar 1. Kasus DBD di Provinsi seluruh Indonesia tahun 2017 (Kemenkes RI, 2018)

3. Etiologi

Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro,
2006). Virus ini termasuk genus flavivirus dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN- 3 merupakan jenis yang sering
dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat
mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor risiko
penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status
imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes 
aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes  albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri
nyamuk Aedes aegypti adalah :
 Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
 Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC,
tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, pot
tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.
 Jarak terbang ± 100 meter
 Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena sebelum
nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
 Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi

4. Faktor Penularan
Faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia adalah (Sains, 2005):
1. Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi penularan DBD, oleh
karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter.
2. Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke tempat lain.
3. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan
bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk
penularnya maka akan menularkan penyakit di orang yang tinggal di rumah
tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-
orang yang berkunjung kerumah itu.
4. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan
cara pemberantasan yang dilakukan.
5. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke puskesmas atau
Rumah Sakit.
6. Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan
7. Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam
masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.
8. Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM
9. Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih banyak golongan
umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar.
10. Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing, hal ini
juga mempengaruhi penularan DBD.
11. Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan tertentu
terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama dalam menghadapi suatu
penyakit, ada yang mudah kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit.

12. Keberadaan container


Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan
air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat
penampungan air bukan genangan air di tanah (Suyasa, 2008). 
13. Kebiasaan menggantung pakaian
Hasil penelitian Arman (2005) juga menunjukkan adanya hubungan antara
kebiasaan menggantung pakaian dengan endemisitas demam berdarah dengue.
Kegiatan PSN dengan cara 3M ditambah dengan cara menghindari kebiasaan
menggantung pakaian di dalam kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan
untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan penyakit
DBD dapat dicegah dan dikurangi (Suyasa, 2008).

Lingkungan fisik yang terkait adalah :


1. Macam tempat penampungan air, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti.
Macam tempat penampungan air ini dibedakan lagi berdasarkan lahan TPA (logam,
palstik, porselin, fiberglass, semen, tembikar, dll), warna TPA (putih, hijau, coklat
dll); volume TPA (kurang dari 50 lt, 101-200 lt dll); letak TPA ( didalam rumah atau
di luar rumah); penutup TPA (ada atau tidak ada ); pencahayaan pada TPA ( terang
atau gelap) dan sebagainya.
2. Ketinggian tempat di daerah pantai kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk,
di dataran tinggi suhu udara mempengaruhi pertumbuhan virus di tubuh nyamuk,
ditempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Aedes aegypti
3. Curah hujan, menambah genangan air sebagai tempat perindukan, menambah
kelembaban udara terutama daerah pantai, kelembaban udara menambah jarak
terbang nyamuk dan umur nyamuk didaerah pantai.
4. Hari hujan, banyaknya hari hujan akan mempengaruhi kelembaban udara didaerah
pantai dan mempengaruhi suhu di daerah pegunungan
5. Kecepatan angin, mempengaruhi juga suhu udara dan pelaksanaan fogging.
6. Suhu udara, mempengaruhi perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk.
7. Tata guna tanah, menentukan jarak dari rumah ke rumah. Rumah sempit,
pencahayaan kurang lebih di senangi nyamuk
8. Pestisida yang digunakan, mempengaruhi kerentanan nyamuk.
9. Kelembaban udara, mempengaruhi umur nyamuk.

Lingkungan Biologi yang mempengaruhi penularan penyakit DBD terutama adalah


banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban
dan pencahayaan di dalam rumah dan halamannya. Bila banyak tanaman hias dan
tanaman pekarangan, berarti akan menambah genangan air yang dijadikan sebagai
breeding place nyamuk Aedes aegypti. Upaya PSN dengan memperhatikan kebersihan
pot tanaman hias hendaknya terus dilakukan oleh masyarakat. Tindakan ini akan dapat
mengurangi kemungkinan pot tanaman hias menjadi sarang nyamuk. Dengan upaya
PSN yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan dapat mengurangi kasus dan
penularan penyakit DBD (Suyasa, 2008).

5. Vektor DBD di Indonesia 


Vektor DBD yang utama di Indonesia ialah Aedes aegypti yang keberadaannya hingga
dewasa ini masih tersebar di seluruh pelosok tanah air. Hasil survei jentik yang
dilakukan Depkes tahun 1992 di 7 kota di Pulau Jawa Sumatera dan Kalimantan,
menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah dan tempat umum yang ditemukan
jentik (Premis index) masih cukup tinggi. yaitu sebesar 28% (Wowor, 2017).
Nyamuk ini berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui
kapal laut dan udara. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia yang mempunyai
iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Nyamuk ini
terdapat dimana-mana, kecuali di wilayah ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Dewasa ini nyamuk A. aegypti ditemukan terutama di negara-negara
yang terletak diantara garis 45° Lintang Utara dan garis 35° Lintang Selatan.
Penyebaran nyamuk yang kosmopolit ini berkaitan erat dengan perkembangan system
transportasi (Wowor, 2017).
A. aegypti tersebar luas di semua provinsi seluruh Indonesia. Selain ditemukan di kota-
kota pelabuhan yang berpenduduk padat, spesies ini ditemukan juga di daerah perkotaan
dan pedesaan yang jauh dari pelabuhan. Penyebaran dari pelabuhan ke desa ini
dikarenakan larva A. aegypti terbawa transportasi yang mengangkut benda-benda berisi
genangan air yang mengandung larva spesies ini. Nyamuk A. aegypti merupakan vektor
penular utama virus dengue yang tersebar di rumah maupun tempat-tempat umum
(TTU). Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara
positif peran nyamuk A. aegypti dalam transmisi dengue (Wowor, 2017).

6. Tempat Potensial Bagi Penularan DBD (Wowor, 2017)


Spesies A. aegypti merupakan nyamuk yang habitatnya di pemukiman dan habitat
stadium pradewasanya pada bejana buatan yang berada di dalam ataupun di luar rumah
yang airnya relative jernih. Nyamuk A. aegypti hidup dan berkembang biak di tempat-
tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari yang tidak langsung
berhubungan dengan tanah, seperti: bak mandi/WC, minuman burung, air tandon, air
tempayan/gentong, drum, ember, pot tanaman air, tanah padat yang mengeras serta
barang-barang bekas di luar rumah seperti: kaleng, botol, ban bekas, potongan bambu,
aksila daun, plastik, dan lain sebagainya. Kadang-kadang jentik dijumpai dalam talang
air, lubang pohon, dan genangan air. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku A.
aegypti meletak-kan telurnya antara lain jenis dan warna penampungan air, kondisi
airnya sendiri, suhu kelembaban, dan kondisi lingkungan setempat. Tempat air yang
tertutup longgar lebih disukai sebagai tempat bertelur dibanding tempat yang terbuka.

7. Musim Penularan dan Penyebaran DBD (Wowor, 2017)


Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada buan September
s/d Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan
waktu musim hujan. Untuk kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret s/d Agustus dengan puncak terjadi
pada bulan Juni atau Juli.
Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang didapatkan selama
pengamatan 20 tahun, umumya di Indonesia menunjukkan letusan DBD pada musim
hujan. Populasi vektor meningkat karena sanitasi belum baik dan telur yang semula
terkumpul di dalam penampungan air yang kering menetas setelah tergenang air. Pada
musim hujan dimana jumlah nyamuk yang meningkat dan kelembaban udara yang
tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk untuk menggigit/menusuk. Kemungkinan
kontak antara nyamuk dengan manusia juga meningkat karena pada musim hujan orang-
orang umumnya lebih banyak tinggal di dalam rumah. Selama musim hujan, jangka
waktu hidup nyamuk diperkirakan lebih panjang, sehingga bila nyamuk tersebut
mengandung virus dengue maka risiko penularan virus menjadi lebih besar. Dengan
demikian dapat dipahami mengapa peningkatan jumlah kasus DD dan DBD ini
umumnya terjadi pada musim hujan.

2. Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap demam berdarah dengue


Epidemi dengue dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: faktor lingkungan, faktor biologi,
dan demografi. Insidens dengue berhubungan dengan cuaca yang hangat dan kelembaban
tinggi. Suhu yang tinggi dapat merangsang perkembangbiakan vektor dan perilaku
nyamuk menggigit. Pergeseran kelompok usia, penyebaran ke pedesaan, faktor penentu
sosial dan biologi dari ras dan jenis kelamin yang rentan berpengaruh terhadap pelayanan
kesehatan. Pola peningkatan kasus infeksi dengue den-3 secara epidemiologi
berhubungan dengan musim hujan karena penampungan air hujan akan menjadi tempat
perkembang-biakan nyamuk.
Kepadatan populasi nyamuk A. aegypti akan meningkat di musim hujan, dimana banyak
terdapat genangan air yang merupa-kan tempat perindukannya. Telur yang semula
terkumpul dalam penampungan air kering, menetas setelah tergenang air sehingga pada
musim hujan jumlah nyamuk meningkat. Iklim tropis seperti Indonesia merupakan faktor
suburnya perkembangan populasi nyamuk.
Sebuah penelitian di Thailand menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban udara serta
curah hujan memiliki pengaruh yang bermakna terhadap angka insiden DBD. Dalam
sebuah penelitian di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, dilaporkan jumlah hari hujan,
suhu, dan kelembaban udara berhubungan secara bermakna dengan angka insiden DBD.
Di Kecamatan Penjaringan ditemukan adanya hubungan bermakna antara kecepatan
angin dengan angka insiden DBD.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada
suhu yang panas (28°-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes spp. akan
tetap bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Pola siklus peningkatan penularan
terjadi pada musim hujan. Interaksi antara suhu dan turunnya hujan ialah determinan
penting dari penularan dengue, karena makin dinginnya suhu memengaruhi ketahanan
hidup nyamuk dewasa, yang selanjutnya memengaruhi laju penularan. Selain itu turunnya
hujan dan suhu juga dapat memengaruhi pola makan, reproduksi nyamuk, dan
meningkatkan kepadatan nyamuk vektor.16 
Selain faktor lingkungan alamiah di atas, faktor lainnya yang termasuk dalam lingkungan
ialah angka bebas jentik (ABJ) dan kepadatan penduduk. Angka bebas jentik merupakan
salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vektor penular DBD. Faktor
risiko penularan DBD ialah antara lain pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi, dan
terganggu atau melemahnya pengendalian populasi yang memungkinkan terjadinya KLB.
Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD yaitu dengan semakin
banyak manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk A. aegypti menggigit
sehingga penyebaran kasus DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu wilayah.
Faktor risiko lainnya ialah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mampu untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum, dan pembuangan sampah
yang benar. Di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur
terutama yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD ialah pendidikan dan pekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman
hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan
keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.

3. Pencegahan Demam Berdarah Dengue Dengan Penerapan Konsep Kesehatan


Lingkungan
Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka

menekan sumber habitat larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus, antara lain: (1) Perbaikan

penyediaan air bersih;(2) pengelolaan sampah padat;(3) Peralihan tempat

perkembangbiakan buatan manusia dan (4) Perbaikan desain rumah. Aktivitas semacam

itu dapat diterapkan pada tempat di mana penyakit dengue bersifat endemik (WHO,

2001).

Pemberantasan demam berdarah dengue dengan melakukan pembasmian nyamuk Aedes

aegypti yang berperan sebagai pembawa virus dengue (Kemenkes RI, 2018). Hal ini

dikarenakan angka bebas jentik di Indonesia yang masih fluktuatif dan cenderung tinggi

seperti di Gambar 2. Pengendalian nyamuk bisa dilakukan baik dengan pengendalian

lingkungan, pengendalian secara biologis dan kimiawi.

Gambar 2. Angka Bebas Jentik di Indonesia tahun 2010-2017 (Kemenkes RI, 2018)

1. Pengendalian secara lingkungan

Pengendalian secara lingkungan dilakukan dengan tujuan membatasi ruang nyamuk

untuk berkembang biak, sehingga harapannya nyamuk tersebut bisa musnah:

1. Program 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur)


 Menguras bak mandi atau tempat penampungan air seminggu sekali. Atas

pertimbangan perkembangan telur hingga menjadi nyamuk adalah 7-10 hari.

 Menutup rapat penampungan air agak tidak menjadi tempat berkembang biak

nyamuk

 Mengubur sampah agar tidak menjadi tempat penampungan air. 

2. Mengganti air yang ada di vas bunga atau tempat minum butung, setidaknya seminggu

sekali

2. Membersihkan saluram air yang tergenang, baik di atap rumah maupun di selokan jika

tersumbat oleh sampah atau dedauan, karena setiap genangan air bisa dimanfaatkan untuk

nyamuk berkembang biak. 

2. Pengendalian seacara biologis

Upaya pengendalian secara biologis adalah dengan menggunakan hewan atau

tumbuhan. Cara yang efeketif adalah dengan memelihara ikan cupang dikolam karena

ikan cupat dapat memakan jentik-jentik nyamuk atau dengan menambahkan bakteri

Bacillus thuringiensis (BtH-14).

3. Pengendalian secara kimiawi

Pengendalian secara kimiawi adalah dengan menaburkan bubuk abate ke tempat

penampungan air dan fogging atau pengasapan dengan menggunakan malathion dan

fenthion yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan Aedes aegypti.

PSN DBD dilakukan dengan cara 3M-PLUS

Plus yang dimaksud yaitu:

1. Memelihara ikan cupang, pemakan jentik nyamuk.


2. Menaburkan bubuk abate pada kolam atau bak penampungan air, setidaknya 2 bulan

sekali dengan takaran 1 gram abate/ 10 liter air. Selain abate dapat juga menambahkan

zat lainnya yaitu altosoid dengan takaran 2,5 gram/ 10 liter air.

3. Menggunakan obat nyamuk

4. Menggunakan krim pencegah gigitan nyamuk

5. Memasang kawat kasa di ventilasi 

6. Menghindai menggantung pakaian 

7. Memasang kelambu di tempat tidur

III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapat dari bahasan di BAB II yaitu:

1. Demam berdarah dengue (DBD) disebarkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti,

faktor lingkungan menjadi salah satu faktor penyebab tingginya vektor DBD.

2. Pencegahan untuk mengurangi angka kesakitan DBD memerlukan kerjasama lintas

sector untuk memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan sehingga tidak menjadi

tempat yang baik (breeding place) untuk berkembangbiaknya nyamuk Aedes

aegypti. 

3. Memberikan penyuluhan pada masyarakatyang berfokus pada sumber permasalahan,

dan masyarakat agar dapat mencegah terjadinya penularan DBD dengan memutuskan

rantai penularan melalui kegiatan 3 M Plus.

DAFTAR PUSTAKA

Arman, E.P. 2005. Faktor Lingkungan dan Perilaku Kesehatan yang Berhubungan dengan
Endemisitas Demam Berdarah Dengue. Surabaya.
Demam Berdarah Dengue: Pelatihan bagi pelatih, dokter spesialis anak, dan dokter spesialis
penyakit dalam, dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit FKUI; Jakarta, 1999.

Departemen Kesehatan RI (1982), Penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Dep. Kes RI.

Departemen Kesehatan RI, 1990. Survey Entomologi Demam Berdarah Dengue. Dep. Kes RI

Sains, M.P.F., Coto, I.Z. and Hardjanto, I., 2005. Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan
penyakit malaria dan demam berdarah dengue.

Sofia, S., Suhartono, S. and Wahyuningsih, N.E., 2014. Hubungan kondisi lingkungan rumah
dan perilaku keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Aceh
Besar. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 13(1), pp.30-38.

Suhendro,dkk. Dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI,Jakarta 2006 : 1709-1713

Suyasa, I.G., Putra, N.A. and Aryanta, I.R., 2008. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku
masyarakat dengan keberadaan vektor demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Diakses di http://litbang. poltekkesdenpasar. ac. idpada, 9.

Widiyanto, T., 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah


Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa-Tengah (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro).

WHO. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis, treatment and control. Geneva: WHO, 2009. 

Wowor, R., 2017. Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap perubahan epidemiologi demam
berdarah di Indonesia. e-CliniC, 5(2).

Yana, Y. and Rahayu, S.R., 2017. Analisis Spasial Faktor Lingkungan dan Distribusi Kasus
Demam Berdarah Dengue. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 1(3),
pp.106-116.

Anda mungkin juga menyukai