PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) merupakan
salah satu program utama Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di
seluruh Indonesia. Salah satu fokus program P2P adalah untuk
menekan angka kesakitan dan kematian akibat demam berdarah
dengue (DBD).
Demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan utama
di berbagai daerah di dunia, terutama di negara-negara Asia. Data dari
WHO menunjukkan lebih dari 52% dari populasi berisiko DBD di
seluruh dunia tinggal di negara-negara Asia Tenggara. Data dari
Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2012 menyebutkan jumlah
penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah
kematian 816 orang (Index Rate 37,27 per 100.000 penduduk dan
Case Fatality Rate sebesar 0,90%). Jumlah kasus penyakit DBD
terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat (19.663 kasus), diikuti oleh
Jawa Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus), dan DKI
Jakarta (6.669 kasus). Angka kematian tertinggi akibat DBD pada
tahun 2012 terdapat di provinsi Jawa Barat (167 kematian), Jawa
Timur (114 kematian), dan Jawa Tengah (108 kematian).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh bagian Kesehatan
Lingkungan Puskesmas Cebongan pada tahun 2018 terdapat (jumlah
kasus) kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Cebongan, dengan
persentase tertinggi berada di daerah (nama daerah). Angka kesakitan
ini (meningkat/menurun) dari tahun 2017 di mana terdapat (jumlah
kasus) kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Cebongan. Angka
kematian akibat DBD di wilayah kerja Puskesmas Cebongan pada
tahun 2018 sebesar (jumlah kematian). Angka kematian ini
(meningkat/menurun) dari tahun 2017 di mana terdapat (jumlah
kematian) kematian akibat DBD.
1
Angka kesakitan dan kematian akibat DBD dapat diturunkan
melalui Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang diterapkan di
berbagai tatanan masyarakat, salah satunya di tatanan pendidikan.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di sekolah merupakan perilaku positif
yang dilakukan oleh setiap komponen sekolah untuk mencegah
penyakit serta meningkatkan kesehatan pribadi dan lingkungan secara
aktif. Pemahaman mengenai arti penting kesehatan harus dimulai sejak
dini agar hasil tersebut dapat dirasakan di kemudian hari.
Salah satu indikator PHBS di tatanan sekolah adalah
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara berkala. Pemberantasan
sarang nyamuk merupakan upaya pencegahan terjadinya kasus DBD.
Terdapat tiga bagian PSN, yaitu secara fisik menggunakan gerakan 3M
(menutup, menguras, mengubur), secara biologis dengan cara
memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, dan secara kimia dengan
menggunakan program abatisasi. Dengan dilakukannya PSN secara
berkala diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian
akibat DBD.
III. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak-anak di SD (nama
SD/daerah) mengenai DBD, PHBS, dan PSN.
2. Tujuan Khusus
2
Meningkatkan pengetahuan anak-anak di SD (nama SD/daerah)
mengenai DBD, PHBS, dan PSN melalui pertunjukan panggung
boneka.
IV. MANFAAT
1. Manfaat bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dari
pendidikan untuk menambah wawasan anak-anak di wilayah kerja
Puskesmas Cebongan terutama di daerah (nama daerah) mengenai
DBD, PHBS, dan PSN.
2. Manfaat bagi Instansi Kesehatan
Membuat gambaran tingkat pengetahuan anak-anak di wilayah
kerja Puskesmas Cebongan terutama di daerah (nama daerah)
mengenai DBD, PHBS, dan PSN sebagai masukan bagi Puskesmas
Cebongan untuk membuat strategi pemberantasan DBD.
3. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
anak-anak di wilayah kerja Puskesmas Cebongan terutama di
daerah (nama daerah) mengenai DBD, PHBS, dan PSN dengan
harapan dapat menurunkan angka kasus DBD di wilayah kerja
Puskesmas Cebongan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Faktor Resiko
Morbiditas dan mortalitas penyakit DBD menurut segitiga
epidemiologi dipengaruh oleh 3 faktor, yaitu:
i) Agent
Agent merupakan penyebab penyakit, dalam penyakit demam
berdarah dengue ( DBD ) adalah virus. Sedangkan nyamuk Aedes
merupakan vektor penyakit DBD. Virus Aedes mampu bermultiplikasi
pada kelenjar ludah dari nyamuk Aedes Aegepty. Pengontrolan
terhadap virus dengue dapat dilakukan dengan melakukan kontrol pada
vektornya yaitu nyamuk Aedes. Jumlah kepadatan vektor Aedes dalam
suatu daerah dapat menjadi patokan potensial penyebaran DBD
(Sidiek, 2012).
ii) Host
Penyakit DBD terjadi pada seseorang ditentukan oleh faktor-faktor
yang ada pada host itu sendiri. Kerentanan terhadap penyakit DBD
dipengaruhi oleh imunitas yang berhubungan dengan faktor usia. Sejak
tahun 1993 – 2009 untuk kasus DBD pada kelompok usia terjadi
pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok usia
terbesar kasus DBD terjadi pada kelompok umur <15 tahun, sedangkan
4
tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung
pada kelompok umur >=15 tahun.
Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih
kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta
faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas
penduduk yang sejalan dengan membaiknya sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus Dengue semakin mudah dan semakin
luas (Karyanti, 2009; Soedarmo, 2012; Sidiek, 2012).
Derajat demam berdarah dengue ( DBD ) berhubungan dengan
status gizi. Dimana status gizi anak yang menderita DBD dapat
bervariasi. Kejadian DBD lebih sering terjadi pada anak dengan
imunokompeten dan status gizi yang baik, berhubungan dengan respon
imun yang baik, yang dapat menyebabkan terjadinya DBD berat. Anak
yang menderita DBD sering mengalami mual, muntah, dan nafsu
makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai
dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat
mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi
kurang dan tingkat derajat keparahan DBD anak akan semakin parah
(Mayetti, 2010; Meisyaroh, 2013).
iii) Environment
Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan
hingga sepuluh tahunan. Hal ini terjadi karena perubahan iklim yang
berpengaruh terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya. Menurut Mc Michael, perubahan iklim
menyebabkan perubahan curah hujan, kelembaban suhu, arah udara
sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta
berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangan
vektor penyakit seperti nyamuk. Pengaruh musim terhadap penyakit
dengue di Indonesia tidak begitu jelas, secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September dan Februari dan puncaknya di bulan
Januari (Soedarmo, 2012; Kemenkes, 2010).
5
c. Patogenesis
Patogenesis demam berdarah dengue ( DBD ) dibedakan menjadi
dua teori yaitu teori rantai virulensi dari virus dengue (DEN-1, -2, -3, and
-4) dan teori yang berhubungan dengan respon imunitas host.16 Teori
rantai virulensi dari virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti,
yang merupakan vektor transmisi utama penyakit dengue. Aedes aegypti
berkembang biak di tempat penyimpanan air pada sanitasi yang buruk
seperti piring, jar, pot bunga, kaca container, saluran pipa dan lemari.
Musim hujan merupakan musim yang ideal untuk larva dan lingkungan
yang tepat untuk nyamuk bertelur (Kaushik, 2010).
Siklus hidup dimulai ketika nyamuk betina Aedes aegypti
menghisap darah dari manusia yang telah terinfeksi virus dengue. Di
dalam sistem pencernaan nyamuk Aedes aegypti, virus bereplikasi selama
8 sampai 12 hari. Proses ini merupakan periode inkubasi ekstrinsik. Ketika
nyamuk yang telah terinfeksi menghisap kembali, dia akan
mentransmisikan virus kepada manusia lain melalui injeksi cairan
ludahnya. Ketika virus telah masuk ke dalam tubuh manusia, virus akan
bereplikasi pada organ target dan akan beredar dalam darah. Proses ini
merupakan periode inkubasi intrinsik (Kaushik, 2010).
6
Gejala muncul pada 3 sampai 14 hari setelah inokulasi dan
mungkin bertahan sampai 7 hari atau lebih. Dengue tidak dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosa banding dari pasien yang mengalami
demam lebih dari 2 minggu setelah meninggalkan area endemik dengue
(Kaushik, 2010).
Teori lain menyebutkan demam berdarah dengue ( DBD )
dimediasi oleh respon imun host termasuk antibodi. Antibodi yang
terbentuk saat infeksi dengue adalah IgG yang berfungsi menghambat
peningkatan replikasi virus dalam monosit. Pada saat ini dikenal 2 jenis
tipe antibodi yaitu antibodi neutralizing yang tidak dapat memacu
replikasi virus dan antibodi non-neutralizing virus dengue yang
meningkatkan replikasi virus. Antibodi non-neutralizing kurang
menetralisir aktivitas yang diinduksi pada infeksi primer dan infeksi
sekunder oleh serotipe virus dengue yang berbeda dan membentuk
kompleks antibodi virus yang berikatan dengan reseptor pada sel target
yaitu sel fagosit seperti makrofag, monosit dan sel kupfer dan
mengakibatkan peningkatan infeksi virus dengue.
Peningkatan infeksi virus dengue oleh antibodi non-neutralizing
disebabkan antibodi non-neutralizing terbentuk pada infeksi primer dan
membentuk kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu
replikasi virus. Antibodi non-neutralizing yang bebas dalam sirkulasi
maupun melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatkan virus dengue pada permukaan sel fagosit. Mekanisme ini
merupakan mekanisme aferen. Selanjutnya sel monosit yang mengandung
kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Terdapat penurunan kadar serum komplemen dikarenakan adanya
aktivasi sistem komplemen dan bukan karena produksi yang menurun atau
ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan
C5a yang dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan
sebagai mediator kuat untuk peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan
volume plasma dan syok hipovolemik. Komplemen bereaksi dengan
7
epitop virus di sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T sehingga
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma,
syok dan perdarahan. Komplemen berinteraksi dengan monosit
mengeluarkan substansi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor
(TNF), interferon gamma dan interleukin (IL-2 dan IL-1) yang
meningkatkan permeabilitas kapiler. Mekanisme ini disebut mekanisme
efektor (Soedamo, 2012; ; Rajapakse, 2008; Sudaryono, 2011).
d. Penegakan Diagnosis
WHO membuat kriteria diagnose DBD ditegakkan jika memenuhi
2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria laboratorium dibawah ini:
8
Derajat Gejala Laboratorium
I Demam disertai 2 Trombositopenia,
atau lebih tanda bukti
sakit ada
kepala, nyeri retro kebocoran plasma
orbital, myalgia,
arthralgia ditambah
uji bendung positif.
II Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah bukti
perdarahan ada
spontan. kebocoran plasma
III Gejala diatas Trombositopenia,
ditambah bukti
kegagalan ada
sirkulasi (kulit kebocoran plasma
dingin dan lembab
serta
gelisah)
IV Syok berat disertai Trombositopenia,
dengan tekanan bukti
darah ada
dan nadi tidak kebocoran plasma
terukur.
DBD derajat III dan IV juga bias disebut Dengue Syok Syndrome
(DSS) (Lyn, 2010; Nasrodin, 2010).
9
melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembang biakan buatan manusia dan perbaikan desain
rumah (WHO, 1999).
Secara rinci Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian yaitu :
a. Fisik
Cara ini dilakukan dengan gerakan 3M (seperti telah tersebut di
atas), yaitu dengan menguras bak mandi, WC, menutup tempat
penampungan air seperti tempayan, drum, dll, serta mengubur atau
menyingkirkan barang bekas seperti kaleng bekas, ban bekas, dan
sebagainya. Pengurasan TPA perlu dilakukan secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali sebab daur hidup nyamuk Aedes aegypti
adalah 7 - 10 hari.
b. Biologi
Dengan cara memelihara ikan pemakan jentik nyamuk (ikan kepala
timah, ikan gupi, ikan nila merah, dll).
c. Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan
racun pembasmi jentik (larvasida) yang dikenal dengan abatisasi .
Larvasida yang biasa digunakan adalah temphos. Formulasi temphos
yung digunakan adalah berbentuk butiran pasir (sand granules). Dosis
yang digunakan I ppm atau 10 gram (kurang lebih 1 sendok makan)
untuk setiap 100 liter air. Abatisasi dengan temphos ini mempunyai efek
residu 3 bulan. Racun pembasmi jentik ini aman meskipun digunakan
ditempat penampungan air (TPA) yang aimya jernih untuk mencuci atau
air minum sehari-hari. Selain itu dapat digunakan pula racun pembasmi
jentik yang lain seperti : Bacillus thuringiensis var israeiensis (Bti) atau
Altosid golongan insect growth regulator.
d. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 bulan di rumah dan
tempat-tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala di rumah
dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sampel untuk setiap
10
desa/kelurahan. Hasil PJB ini diinformasikan pihak kesehatan kepada
kepala wilayah/daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakkan
masyarakat dalam PSN DBD. Diharapkan angka bebas jentik (ABJ)
setiap kelurahan / desa dapat mencapai > 95% akan dapat menekan
penyebaran penyakit DBD. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan jentik
pada semua rumah sakit dan puskesmas. Sedangkan untuk sekolah dan
tempat umum lainnya dilakukan secara sampling bila tidak dapat
diperiksa seluruhnya (Hadinegoro, 2001).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M
Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan
beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur
larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,
menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat
nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll (Suroso, 2003).
Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara rutin oleh semua
masyarakat maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah tertentu
dapat di cegah atau dibatasi.
11
bebas dari penyakit atau kelemahan saja. Pencapaian derajat kesehatan
yang baik dan setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang fundamental
bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin, politik
yang dianut dan tingkat sosial ekonominya.
Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau
keadaan lingkungan yang optimal sehingga berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup
kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencangkup: perumahan,
pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan
sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak
(kandang) dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan usaha
kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media
yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia
yang hidup di dalamnya (Notoatmodjo, 2007).
b. Tujuan PHBS
Tujuan PHBS adalah: meningkatkan rumah tangga sehat diseluruh
masyarakat Indonesia, meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan
kemauan masyarakat agar hidup sehat, meningkatkan peran aktif
masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya mewujudkan
derajat hidup yang optimal (Dinkes, 2006).
c. Manfaat PHBS
Bagi rumah tangga: semua anggota keluarga menjadi sehat dan
tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas dan pengeluaran biaya
rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan
dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.
Bagi masyarakat: masyarakat mampu mengupayakan lingkungan
yang sehat, masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-
masalah kesehatan dan masyarakat mampu mengembangkan Upaya
Kesehatan BersumberMasyarakat (UBKM) seperti Posyandu, tabungan
ibu bersalin, arisan jamban, ambulan desa dan lain-lain (Depkes RI,
2008).
12
d. Sasaran PHBS
Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang
akan dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah
(individu dalam keluarga yang bermasalah).
Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi
individu dalam keluarga yang bermasalah misalnya, kepala keluarga, ibu,
orang tua, tokoh keluarga, kader tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas
kesehatan, dan lintas sektor terkait, PKK3.
Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi
unsur pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan,
kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya pelaksanaan PHBS misalnya,
kepala desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat dan
lain-lain.
e. Tatanan PHBS
Tatanan PHBS melibatkan beberapa elemen yang merupakan
bagian dari tempat beraktivitas dalam kehidupan sehari – hari. Berikut
ini 5 tatanan PBHS yang dapat menjadi simpul – simpul untuk memulai
proses penyadartahuan tentang perilaku hidup bersih sehat :
i. PHBS di Rumah tangga
ii. PHBS di Sekolah
iii. PHBS di Tempat Kerja
iv. PHBS di Sarana Kesehatan
v. PHBS di Tempat Umum
f. PHBS di Sekolah
PHBS di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan
oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu
mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif
dalam mewujudkan lingkungan sehat.
Jumlah anak di indonesia rata-rata 30% dari total penduduk
Indonesia atau sekitar 237.556.363 orang dan usia sekolah merupakan
masa keemasan untuk menanamkan nilai-nilai perilaku hidup bersih dan
13
sehat (PHBS) sehingga berpotensi sebagai agen perubahaan untuk
mempromosikan PHBS, baik dilingkungan sekolah, keluarga dan
masyarakat.
PHBS di sekolah merupakan kegiatan memberdayakan siswa,guru
dan masyarakat lingkungan sekolah untuk mau melakukan pola hidup
sehat untuk menciptakan sekolah sehat. Manfaat PHBS di Sekolah mampu
menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, meningkatkan proses
belajarmengajar dan para siswa, guru hingga masyarakat lingkungan
sekolah menjadi sehat.
g. Indikator PHBS di Sekolah
Ada beberapa indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai
PHBS di sekolah yaitu :
i. Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun
ii. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah
iii. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat
iv. Olahraga yang teratur dan terukur
v. Memberantas jentik nyamuk
vi. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan
vii. Membuang sampah pada tempatnya
14
BAB III
METODOLOGI
A. KERANGKA ACUAN
INPUT
1. Man
1) Narasumber
Dokter Internsip PuskesmasCebongan
Tim Bina Wilayah Kelurahan Noborejo
Kepala Puskesmas Cebongan
2) Sasaran :
Siswa-Siswi Sekolah Dasar di wilayah Noborejo Kecamatan
Argomulyo Kota Salatiga
3) Pelaksana :
Dokter Internsip Puskesmas Cebongan Kota Salatiga Periode
November 2018–Maret 2019
2. Money : Dana Program Usaha Kesehatan Masyarakat Puskesmas
Cebongan Kota Salatiga, Swadana Dokter Internsip Puskesmas
Cebongan Kota Salatiga
3. Material
Surat tugas Kepala Puskesmas Cebongan untuk mengadakan kegiatan
penyuluhan pada anak-anak di wilayah Pamot, Kelurahan Noborejo,
Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga
Materi Penyuluhan tentang Demam Berdarah dan PHBS di Sekolah
Pre dan post test DBD, PSN, dan PHBS
Leaflet materi DBD, PSN, dan PHBS
Panggung Boneka dengan tema DBD, PSN, dan PHBS
4. Method
Memberikan pengantar materi DBD dan PHBS melalui media
power point, melakukan pre test, penilaian hasil pretest, memberikan
materi DBD, PSN, dan PHBS melalui media panggung boneka,
melakukan post test, penilaian hasil post test.
5. Machine : Alat tulis (pulpen, kertas)
15
Alat presentasi (laptop, LCD)
Setting panggung, alat peraga boneka tangan 5 macam
Alat dokumentasi (kamera digital / kamera handphone)
Alat tranportasi
PROSES
1. P1 (Perencanaan)
1) Membuat rencana pelaksanaan kegiatan
2) Menemui Koordinator Program Kesehatan Lingkungan Kelurahan
Noborejo untuk mendiskusikan metode pelaksanaan kegiatan penyuluhan
DBD, PSN, dan PHBS dengan menggunakan media panggung boneka
3) Mempersiapkan tempat dan sarana
4) Mencari referensi tentang materi DBD, PSN, dan PHBS
5) Mempersiapkan materi dan peralatan untuk pelaksanaan dan penyuluhan
DBD, PSN, dan PHBS
2. P2
Penggerakan
1) Mengajukan izin kepada Kepala Puskesmas Cebongan Kota Salatiga
sehubungan dengan kegiatan penyuluhan DBD, PSN, dan PHBS
2) Menemui kader kesehatan di wilayah Noborejo untuk menentukan tempat
dan waktu penyuluhan
3) Menemui Kepala Sekolah SD di wilayah Noborejo untuk menentukan
waktu, tempat dan kelompok kelas yang akan menjadi target penyuluhan
4) Berkoordinasi dengan tim bina wilayah Kelurahan Noborejo mengenai data
dan tinjauan tempat survey
Pelaksanaan
1) Menyiapkan perlengkapan pelaksanaan kegiatan.
Leaflet materi DBD, PSN, dan PHBS
Lembar pre dan post test DBD, PSN, dan PHBS
Alat tulis (pulpen, kertas)
16
Alat presentasi (laptop, LCD)
Materi presentasi
Alat dokumentasi (kamera digital/kamerahandphone)
Setting panggung boneka, alat peraga boneka tangan 5 macam
2) Melakukan pembagian leaflet materi DBD, PSN, dan PHBS
3) Melakukan pengisian pre test DBD, PSN, dan PHBS
4) Memberikan penyuluhan materi tentang DBD, PSN, dan PHBS
menggunakan media slide presentasi
5) Memberikan penyuluhan materi tentang DBD, PSN, dan PHBS
menggunakan media panggung boneka
6) Diskusi tentang materi yang telah disampaikan
7) Melakukan pengisian post test DBD, PSN, dan PHBS
8) Mendokumentasikan acara pelaksanaan
3. P3
Pengawasan
Mengawasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan DBD, PSN, dan PHBS
sesuai dengan rencana yang telah disusun, baik sasaran, waktu, maupun
hasil yang dicapai
Pengendalian
Mengendalikan pelaksanaan kegiatan apabila didapatkan hal-hal yang
tidak sesuai dengan perencanaan
Penilaian
Menilai pelaksanaan dan efektivitas kegiatan penyuluhan DBD, PSN,
dan PHBS melalui media panggung boneka kepada siswa SD di wilayah
Pamot Kelurahan Noborejo Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga
OUTPUT
1. Peningkatan hasil post test dibandingkan dengan pre test
2. Data jumlah peserta yang menghadiri kegiatan penyuluhan DBD, PSN dan
17
PHBS melalui media panggung boneka
3. Peningkatan pengetahuan siswa SD mengenai DBD, PSN, dan PHBS
DAFTAR PUSTAKA
18
CDC. 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. U.S. Department of Health
and Human Service Centers for Disease Control and Prevention. Diakses
pada tanggal 28 Desember 2018 dari URL
http://www.cdc.gov/Dengue/resources/Dengue&DHF%20Information
%20for%20Health%20Care%20Practitioners_2009.pdf
19
Pusat data dan surveilans epidemiologi kementrian kesehatan republik indonesia.
Demam berdarah dengue. Buletin jendela epidemiologi 2010.
Mayetti. 2010. Hubungan gambaran klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko
syok pada demam berdarah dengue. Sari Pediatri;11(5):367-73.
Meisyaroh M, Askar M, Simunati. 2013. Faktor yang berhubungan dengan derajat
keparahan dbd (demam beradarah dengue) pada anak di RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar [Online]. Diakses pada 28 Desember
2018. Available from: URL:http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/4/e-
library%20stikes%20nani%20hasanuddin--meriemmeis-156-1-artikel-
5.pdf
Rajapakse S. 2008. Intravenous immunoglobulins in the treatment of dengue
illness. Trans R Soc Trop Med Hyg;103:867-70.
Sudaryono. 2011. Perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium berdasarkan
jenis imunoglobulin pada penderita demam berdarah dengue. Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Thomas Suroso. 2003. Pencegahan Dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue Dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Diterbitkan atas
kerjasama Word Health Organization Dan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
World Health Organisation. 1999. Demam Berdarah Dengue,
Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Depkes. RI,
Jakarta.
20