Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia di klasifikasikan sebagai salah satu negara endemis Demam
Berdarah Dengue (DBD) tinggi. Hal ini disebabkan adanya Kejadian Luar
Biasa (KLB) DBD yang terjadi secara periodic dalam kurun waktu 3-5 tahun
dan kematian akibat dengue banyak terjadi pada anak-anak. Tingginya kasus
DBD di Indonesia juga didukung oleh keempat serotype virus Dengue yang
bersikulasi di Indonesia dan iklim tropis merupakan faktor pendukung dimana
Aedes aegypti sebagai vektor utama dapat hidup dan berkembang biak serta
tersebar luas di kota dan desa (WHO, 2009).
Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi
kesehatan manusia, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD).
Dengue hemorraghic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)
adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah di dunia global.
Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedea albopictus
yang mengandung virus dengue (Vontas et al., 2010).
Penyakit ini terus menyebar luas di Negara tropis dan subtropics.
Menurut world health organization (WHO) dalam 5 tahun terakhir tercatat
insidensi penyakit DBD meningkat 30 kali lipat. Di seluruh dunia yang
beresiko menderita DBD terdapat sekitar 2,5 milyar dengan 50 juta jiwa
terinfeksi setiap tahunnya dan 500.000 kasus DBD baru serta sebanyak
22.000 kasus menyebabkan kematian, terutama terjadi pada anak. Dari
seluruh dunia Negara, Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya (WHO, 2011).
Di Indonesia penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Sejak pertama kali
ditemukan di Kota Surabaya tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
diantaranya meninggal dunia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatan penduduk. Demam berdarah di Indonesia hingga tahun 2009,
tercatat sebagai Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
(Depkes RI, 2010). Pada kematian 1.358 orang. Incidence rate (IR) sebesar
65,7 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,8% (Kementrian Kesehatan
RI, 2011).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Pada tahun 2016
terdapat jumlah kasus DBD sebanyak 204.171 kasus dengan jumlah kematian
sebanyak 1.598 orang. Jumlah kasus DBD tahun 2016 meningkat
dibandingkan jumlah kasus tahun 2015 (129.650 kasus) (Profil Kesehatan
Indonesia, 2016)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa faktor manusia
yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue adalah umur,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan. Faktor perilaku seperti kebiasaan
menggantung pakaian, kebiasaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
menggunakan repelen, bepergian ke daerah endemis, pola tidur. Faktor
lingkungan berupa kondisi lingkungan rumah yang tempat penampungan air
terbuka, jenis rumah kayu, ventilasi rumah yang tidak menggunakan kasa,
kebersihan halaman rumah yang tidak bersih merupakan faktor pendukung
terjadinya DBD (Benthem et al., 2004; Sujriyakul et al., 2005).
Perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes alpobictus sebagai
vektor DBD sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan
kependudukan, antara lain jumlah dan kepadatan penduduk serta kepadatan
permukiman. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan permukiman yang
terus meningkat dan pengelolaan lingkungan yang belum optimal serta
ditunjang oleh kondisi iklim, akan mempercepat persebaran penyakit DBD
secara meluas.
Sukowati (1970) dalam Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kemenkes RI (2010) menyebutkan bahwa, perubahan iklim
dapat memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui
vektor dan mengubah luas geografinya. Curah hujan merupakan salah satu
variabel iklim yang memengaruhi perkembangbiakan nyamuk. Walaupun
tidak berpengaruh langsung tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal.
Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air
menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk yang aman dan relative masih bersih (misalnya cekungan di pagar
bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah).
Kota Binjai merupakan daerah Endemis DBD, hal ini terlihat dari
data Bidang P2P Dinkes Kota Binjai. tahun 2011 terdapat 150 kasus DBD
yang tersebar di 5 kecamatan. Pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi
140 kasus dbd. Tahun 2013 jumlah kasus meningkat menjadi 215 kasus, dan
meningkat tinggi pada tahun 2014 menjadi 639 kasus.Pada tahun 2015 terjadi
penurunan jumlah kasus menjadi 231 kasus, namun pada tahun 2016, jumlah
kasus meningkat lagi menjadi 255 kasus DBD. (Dinkes Kota Binjai, 2017)
Jumlah kasus tertinggi DBD terjadi di Kecamatan Binjai Selatan yakni
di Puskesmas Binjai Estate 89 dengan CFR 0% dan Puskesmas Rambung 13
kasus dengan CFR 7,7%. Berturut-turut antara lain Kecamatan Binjai Utara
yakni di Puskesmas Kebun Lada sebanyak 41 kasus dengan CFR 0% dan
Puskesmas Jati Makmur sebanyak 36 kasus dengan CFR 0%. Kecamatan
Binjai Timur yakni di Puskesmas Tanah Tinggi 47 kasus dengan CFR 0%,
Kecamatan Binjai Barat yakni di Pusekesmas Bandar Sinembah sebanyak 2
kasus dengan CFR 0% dan Puskesmas H.A.H Hasan sebanyak 33kasus dengan
CFR 0%, Kecamatan Binjai Kota sebanyak 18 dengan CFR 0%. Sampai saat
ini analisis distribusi kasus DBD di Kota Binjai masih terbatas hanya dalam
bentuk analisis tabular dan grafik. Pada dasarnya upaya surveilans berbasis
wilayah guna mengidentifikasi rantai penularan DBD dan identifikasi lokasi
penderita sampai alamat lokasi individu sangat dimungkinkan untuk dilakukan,
sehingga memperoleh informasi mengenai sebaran kasus di tiap wilayah
menggunakan Geographic Information System (GIS).
Geographic Information System bisa memproses foto udara/citra satelit
untuk memperoleh informasi mengenai spasial korelasi antara faktor-faktor
risiko potensial dan terjadinya penyakit dalam suatu wilayah. GIS memainkan
peranan yang penting dalam memperkuat seluruh proses manajemen informasi
surveilans dan analisa epidemiologi. Analisis pola sebaran merupakan salah
satu cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan
bagian dari pengelolaan penyakit berbasis wilayah, yaitu suatu analisis dan
uraian tentang data penyakit secara geografis berkenaan dengan kependudukan
dan persebaran kasus serta faktor risiko.
Melihat berfluktuatifnya kasus DBD di Kota Binjai maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui pola sebaran dan risiko kejadian DBD di Kota
Binjai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan pemasalahan
penelitian adalah bagaimanakah pola sebaran dan risiko kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Binjai.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pola sebaran dan risiko yang mempengaruhi kejadian


demam berdarah dengue (DBD) di Kota Binjai.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan faktor host (umur) merupakan faktor risiko terhadap


kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Binjai.
b. Mengetahui hubungan faktor perilaku (berpergian ke daerah endemis,
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), penggunaan kawat kasa) merupakan
faktor risiko terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota
Binjai.
c. Mengetahui hubungan angka bebas jentik (ABJ) merupakan faktor risiko
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Binjai.
d. Mengetahui hubungan distance index (indeks jarak) merupakan faktor risiko
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Binjai.
e. Mengetahui pola sebaran kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota
Binjai

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan mampu memberikan
informasi, masukan kepada :
1. Bagi Masyarakat, Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Binjai.
a. Diharapkan hasil penelitian dapat meningkatkan tingkat pengetahuan
masyarakat, khususnya tentang faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
DBD dan upaya pencegahan penyakit menular DBD, serta diharapkan
adanya perubahan perilaku dalam mencegah penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD)
b. Sebagai sumber data untuk pemantauan kesehatan penduduk dalam
berpergian ke daerah endemis, pemberantasan sarang nyamuk dan
penggunaan kawat kasa yang dapat digunakan sebagai peringatan
deteksi dini terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue (DBD)
dan memberikan informasi untuk pedoman dalam menyusun
perencanaan program kesehatan lingkungan masyarakat.
c. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai refrensi dan bahan
pertimbangan pengambilan setiap kebijakan program dan strategi
pencegahan kejadian DBD di daerah Kota Binjai

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan


a. Memberi tambahan pengetahuan, pengalaman, latihan cara dan proses
berpikir secara ilmiah yang langsung peneliti dapatkan di lapangan
terutama dalam bidang kesehatan lingkungan masyarakat.
b. Sumber informasi untuk penelitian selanjutnya khususnya terkait studi
lapangan dalam bidang kesehatan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)


2.1.1 Definisi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau, DEN-4 yang
masuk ke peredaran darah melalui gigitan vektor nyamuk dari genus Aedes,
misalnya Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah
terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya (Ginanjar, 2008).
Penyakit DBD adalah penyakit yang dapat muncul sepanjang tahun dan dapat
menyerang seluruh kelompok usia. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi
lingkungan dan perilaku masyarakat (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

2.1.2 Vektor

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui nyamuk dengan cara
menghisap darah manusia. Terdapat dua jenis vektor yang dapat menularkan
virus dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, namun vektor
utama yaitu Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik yaitu
senang sekali menghisap darah manusia. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan
mengigit berulang (multiple biters) dan mengigit pada siang hari (day biting
mosquito). Nyamuk betina menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah
kawin dan mulai bertelur pada hari ke-enam.Semakin banyak darah yang
dihisap, maka telur yang diproduksi semakin bertambah pula (Sucipto, 2011).
a. Telur
Telur ber warna hitam, berbentuk lonjong, diletakkan satu persatu di
pinggiran material (terutama material yang kasar). Telur dapat bertahan
hingga enam bulan dalam kondisi kering, dan akan menetas setelah 1-2
hari terkena/ terendam air.
Gambar 2.1 Telur Aedes spp.

b. Jentik
Jentik nyamuk Aedes spp. terdiri dari kepala, torak dan abdomen.Di
ujung abdomen terdapat sifon.Panjang sifon ¼ panjang abdomen.Dalam
posisi istirahat jentik terlihat menggantung dari permukaan air dengan
sifon di bagian atas. Pertumbuhan jentik menjadi kepompong selama 6-8
hari, terdiri atas empat instar, yaitu instar 1, 2, 3 dan 4.

Gambar 2.2 Jentik Aedes spp.

c. Pupa
Pupa adalah periode tidak makan, bentuknya seperti huruf koma, bergerak
lincah.Periode Pupa membutuhkan waktu 1-2 hari.

Gambar 2.3 Pupa Aedes spp.

d. Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam kecoklatan bercorak putih
pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki. Yang membedakan jenis
Aedes aegypti dengan Aedes albopictus, pada bagian torak Aedes
aegypti terdapat warna putih bentuk bulan sabit sedangkan Aedes
Albopictus bentuk garis lurus. Nyamuk Aedes aegypti berkembang
biak di tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti
bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, dan barang bekas yang dapat
menampung air hujan. Sedangkan Aedes Albopictus biasanya lebih
banyak terdapat di luar rumah (Sucipto, 2011).
Umur Aedes aegypti di alam bebas biasanya sekitar 10 hari.
Umur 10 hari tersebut cukup untuk mengembangbiakkan virus dengue
di dalam tubuh nyamuk tersebut. Di dalam laboratorium dengan suhu
ruangan 280C, kelembaban 80% dan nyamuk diberi makan larutan
gula 10% serta darah mencit, umur nyamuk dapat mencapai 2 bulan
(Sungkar, 2005; Sucipto, D.C. 2011).

Gambar 2.4 Nyamuk Aedes spp.

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sama seperti jenis nyamuk


lainnya yaitu mengalami metamorphosis sempurna, yaitu: telur – larva
(jentik) - pupa - nyamuk. Fase telur, jentik dan pupa hidup di dalam
air.Jumlah telur yang dikeluarkan setiap sekali yaitu sekitar 100-400
butir. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam
waktu 2 hari setelah telur terendam air. Namun, bisa bertahan hingga
berbulan-bulan jika diletakkan pada tempat yang kering. Umur larva
biasanya berlangsung 7-9 hari, dan fase Pupa berlangsung antara 2
hari lalu menjadi nyamuk dewasa Pertumbuhan dari telur menjadi
nyamuk dewasa selama 8-15 hari. (Sucipto, 2011).
2.1.4 Cara Penularan
Nyamuk akan menjadi penular apabila darah yang diisapnya berasal
dari orang yang sudah terinfeksi virus dengue. Ketika terjadi proses
menghisap darah virus terbawa masuk ke dalam tubuh nyamuk, dan
mengalami perbanyakan dengan masa inkubasi (pengeraman) 8-10 hari.
Selama ini virus berkembang di dalam bagian perut nyamuk lalu menuju
kelenjar ludah nyamuk (Kemenkes RI, 2013).
Nyamuk infektif ini akan menggigit orang lain pada siklus gonotrofik
berikutnya sambil menularkan virus. Virus tersebut beredar di dalam darah
orang yang baru saja terinfeksi selama dua sampai tujuh hari. Mula-mula
virus ini berkembang pada tempat gigitan atau lymph-node, lalu keluar dari
jaringan ini dan menyebar melalui darah untuk menginfeksi sel-sel darah
putih, Setelah itu keluar dari sel darah putih dan bersirkulasi di dalam
darah. Jika sel yang terinfeksi sedikit, maka demam berlangsung selama
enam sampai tujuh hari. Pada saat itu nyamuk lain yang menggigit
penderita akan memindahkan virus tersebut ke orang lain. (Hadi, 2010).

2.1 Pengamatan Kepadatan Vektor

Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua


tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 rumah yang diperiksa di suatu
daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam
pelaksanaan survey ada dua metode yaitu:
1. Metode Single survei
Survey ini dilakukan dengan mengambil satu jentik dari setiap genangan
air yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut
jenis jentiknya.
2. Metode visual
Survei ini dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat
genangan air tanpa melakukan pengambilan jentik. Dalam program
pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah
cara visual dan ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik
yaitu: Angka bebas Jentik (ABJ)
Keberadaan jentik suatu wilayah dapat diketahui dengan indikator angka
bebas jentik atau larva free index.Angka bebas jentik adalah presentase
pemeriksaan jentik yang dilakukan di semua desa/kelurahan setiap 3
bulan oleh petugas puskesmas pada rumah-rumah penduduk yang
diperiksa secara acak.
2.3 Risiko Terjadinya Demam Berdarah Dengue
1. Kemiskinan
Menurut BPS, konsep kemiskinan adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan kata lain,
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran (BPS Jawa Timur, 2014). Kemiskinan berakibat
pada lingkungan yang kurang baik dan mendukung perkembangbiakan
nyamuk, sehingga penduduk miskin terpapar atau berisiko untuk terkena
DBD (Ang et al., 2010).
2. Curah hujan

Curah hujan sangat penting untuk kelangsungan hidup nyamuk


Ae.Aegypti. Hujan mempengaruhi naiknya kelembaban udara dan
menambah jumlah tempat perkembangan nyamuk Aedes sp di luar rumah
(Sucipto, 2011). Pengaruh curah hujan terhadap kejadian DBD
merupakan penelitian yang cukup penting kareng sebagai kebutuhan yang
menjadi alat untuk memperkiraan variasi insiden dan risiko yang terkait
dengan dampak perubahan iklim
3. Mobilitas Penduduk

Studi tentang mobilitasi penduduk merupakan fakor yang relevant


untuk memahami penyebaran penyakit. Perpindahan kasus DBD dari
daerah-transmisi tinggi ke non endemis daerah adalah faktor yang
berkontribusi muncul kembalinya penyakit di daerah non-endemik.
Misalnya, 5% -10% dari kasus DBD yang didiagnosis di Singapura
ternyata berasal dari Indonesia, Malaysia, atau Thailand di mana di
Negara-negara tersebut tindakan pengendalian kurang efektif dan upaya
pengendalian penyakit ini terhambat (Chaparro et al. 2014).

Penelitian lainnya di Denpasar Selatan menunjukkan adanya


hubungan antara mobilitas penduduk dengan keberadaan vektor DBD
dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0,235. Mobilitas penduduk
memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya
penyakit menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian
mengikuti lalu lintas penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar
pula kemungkinan penyebaran (Sunaryo, 1988 dalam Suyasa, 2008).
4. Kepadatan penduduk
Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara
kepadatan penduduk dengan kejadian demam berdarah dengue.Penelitian
di Denpasar Selatan menunjukkan adanya hubungan kepadatan penduduk
dengan keberadaan vektor DBD. Daerah yang terjangkit demam berdarah
dengue pada umumnya adalah kota atau wilayah yang padat penduduk.
Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit
ini mengingat ngamuk Aedes aegypti batas maksimal jarak terbang
(Koban, 2005).Jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter (Stang,
2013). Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya
infeksi virus dengue, karena daerah berpenduduk padat akan
meningkatkan jumlah kejadian DBD.
2.4. Faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD adalah :
2.4.1. Faktor Lingkungan
Berbagai penelitian di Indonesia telah menunjukkan bahwa
lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan keberadaan
vektor. Adapun faktor lingkungan yang dapat memicu kejadian
demam berdarah dengue (DBD) adalah :
1. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah,
jenis container, ketinggian tempat, dan iklim. Jarak antar rumah
dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antar rumah
semakin mudah nyamuk menyebar kerumah sebelah/terdekat.
Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi rumah, warna dinding
dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah
tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.
2. Lingkungan biologi
Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD yaitu
adanya tumbuh-tumbuhan atau tanaman hias dan tanaman
perkarangan sebagai tempat meletakkan telur, tempat berlindung,
tempat mencari makan, dan berlindung bagi larva, tempat istirahat
nyamuk dewasa selama menunggu siklus gonotropik.
5. Lingkungan sosial-budaya
Menurut Blum (1983), lingkungan social budaya dapat
mempengaruhi status dan perilaku kesehatan. Beberapa aspek social
yang mempengaruhi status kesehatan adalah umur, jenis kelamin,
pekerjaan, social ekonomi. Aspek budaya menurut Foster adalah:
tradisi, sikap, dan unsure budaya (Notoatmodjo, 2003)
Kebiasaan masyarakat yang dapat membersihkan TPA,
kebiasaan memicu kejadian DBD seperti : kebiasaan menggantung
baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan halaman rumah,
dan partisipasi masyarakat untuk membersihkan sarang nyamuk yang
dapat menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit
DBD di masyarakat.
Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersiha
lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang
menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku
masyarakt terhadap PSN (menguras, mengubur, menutup
penampungan air, dan menghindari gigitan nyamuk), urbanisasi yang
cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas manusia antar daerah,
kurangnya kesadaran dalam rangka pembersihan sarang nyamuk dan
pemasangan kawat kasa, maka anakn menimbulkan risiko transmisi
penularan penyakit DBD di dalam masyarakat.

2.5 Geographical Information System (GIS)

Geographical Information System (GIS) atau sistem informasi Geografis


(SIG) dalam kesehatan masyarakat secara luas dapat membantu pemetaan
penyakit dengan perbedaaan patologis, menganalisis penyebaran penyakit
berdasarkan waktu dan tempat, mengidentifikasi faktor risiko dan pemetaan
wilayah yang beresiko terpapar penyakit. GIS dapat memenuhi epidemiologis
untuk melakukan pemetaan lingkungan yang berhubungan dengan faktor risiko
seperti vektor penyakit, konstruksi tempat, orang-orang yang tidak mempunyai
tempat tinggal/terlantar, khususnya berkaitan membantu mengidentifikasi wilayah
dimana penyebaran yang terjadi berulang-ulang, dan menganstisipasi intensitas
atau mengontrol wilayah berdasarkan habitat larva (WHO, 2009).

System Informasi Geografis (SIG) dapat mendukung berbagai analisis


terhadap informasi geografis. SIG adalah system yang dapat mendukung proses
pengambilan keputusan terkait aspek spasial. Analisis spasial adalah teknik-teknik
yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan
untuk mengembangkan, menguji model-model, dan menyajikan kembali datanya
sehingga dapat meningkatkan pemahaman (Prahasta, 2009). Analisis spasial
merupakan teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi
matemats yang dilakukan untuk mencari/menemukan hubungan atau pola-pola
yang terdapat di antara unsur-unsur geografis.

Penggunaan SIG bidang kesehatan akan dapat memetakan, menganalisa


penyakit yang dihubungkan dengan faktor-faktor yang diteliti. Pemetaan
dilakukan secara teliti dengan skala, symbol, dan proyeksi sesuai dengan
ketentuan standar nasional, (Kemenkes, 2011). Analisis spasial sebagai salah satu
teknik dalam SIG digunakan untuk mengolah, menganalisa, menghubungkan data
spasial, dan adata atribut dari peta rupa bumi, citra satelit, serta koordinat titik
lokasi kasus DBD sehingga dapat membentuk tingkat kerawanan setiap wilayah
dalam skala rumah tangga. Analisis spasial spece time juga dilakukan untuk
mengetahui pola penyebaran apakah kasus DBD membentuk cluster atau tidak
membentuk cluster.
2.6 Kerangka Teori

Lingkungan

 Lingkungan Fisik
- Iklim dan temperatur
- Ketinggian tempat
- Jenis rumah
- Sanitasi Pemukiman
- Pencahayaan dalam rumah,
ventilasi Agent Vektor

 Lingkungan social budaya


Agent : virus dengue
- Mobilitas penduduk Vektor : nyamuk aedes
- Kebiasaan melakukan PSN Aegpty
- Kebiasaan menggantung
pakaian
- Kebiasaan penggunaan
kelambu
- Kebiasaan penggunaan Kejadian DBD
obat anti nyamuk
- Kebiasaan tidur pagi dan
sore hari Host/Manusia
- Kepadatan penduduk

 Lingkungan Biologi
Umur, sex, pendidikan,
- Vegetasi
pengetahuan, perilku,
- Predator
imunitas tubuh
- Keberadaan TPA
- Kepadatan Vektor
- Angka Bebas Jentik (ABJ)

2.7 Kerangka Konsep


1. Pola sebaran Kejadian DBD

Titik koordinat tempat


tinggal kasus

Overlay

Buffer
2. Asosiasi karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan dengan
kejadian DBD

Variabel Indenpenden

Faktor host (umur)

Faktor perilaku
(berpergian ke daerah Variabel Dependen
endemis,pemberantasan
sarang nyamuk (PSN), Kejadian Demam
penggunaan kawat kasa Berdarah Dengue (DBD)

Angka Bebas Jentik


(ABJ)
Indeks Jarak

2.8 Hipotesis
Hipotesis penelitian yang diajukan sebaga berikut :
1. Faktor host berupa umur merupakan faktor risiko terhadap kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Merek Kabupaten Karo.
2. Faktor perilaku berupa berpergian ke daeran endemis, pemberantasan
sarang nyamuk (PSN), penggunaan kawat merupakan faktor risiko
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Merek
Kabupaten Karo.
3. Angka Bebas Jentik (ABJ) merupakan faktor risiko terhadap kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Merek Kabupaten Karo.
4. Distance Index (Indeks Jarak) berpengaruh terhadap kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Merek Kabupaten Karo.
5. Terdapat pola pengelompokan kasus yang mengelompok (cluster) di
Kecamatan Merek Kabupaten Karo
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional di
lapangan, dengan desain case control, dimana peneliti melakukan
pengukuran pada variabel dependen terlebih dahulu efek (DBD), sedangkan
variabel independen secara retrospektif untuk menentukan ada tidaknya
risiko kejadian BD

3.2. Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Kota Binjai pada bulan Maret-Mei 2020

3.3. Populasi dan Sampel


Kasus adalah Penderita DBD yang tertera dalam rekam medis dari
Puskesmas Kota Binjai Tahun 2016-2017
Kontrol adalah tetangga yang tidak pernah menderita demam berdarah
dengue (DBD).
Rumus sampel sebagai berikut :
𝑍2 𝑃𝑄
n = 1−𝛼𝑑/22 (Suyatno, 2010)
Keterangan :
n = besar sampel
Z21-/2 = 1,96 pada  = 0,05
P = proporsi / prevalensi kejadian (0,2)
Q =1-P
d = presisi ditetapkan (0,1)
𝑍 2 1−𝛼 / 2 𝑃𝑄
n= 𝑑2
1,962 𝑋 0,2 (1−0,2)
n= (0,1)2
0.614656
n= 0,01
n = 61.4656 ~ 62

Berdasarkan sampel yang diambil dalam penelitian ini, jumlah responden


untuk kelompok kasus sebanding dengan kelompok control yaitu 1:1 (62 :
62) yang mana jumlah kelompok kasus adalah penderita Demam Berdarah
Dengue dari tahun 2016-2017, sedangkan kelompok control adalah
tetangga sekitar kasus yang tidak mengalami DBD Dan pengambilan
sampel ini dilakukan dengan simple random sampling atau secara acak
sederhana

3.4. Definisi Operasional

1. Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah pasien yang didiagnosis


oleh dokter menderita DBD dan tercatat dalam laporan di Puskesmas Kota
Binjai terhitung dari bulan Januari – Desember tahun 2016-2017.
2. Overlay/tumpang susun adalah analisis spasial esensial yang
mengombinasikan dua layer/tematik yang menjadi masukan. Overlay akan
menghasilkan data dalam format raster dan vektor (Prahasta, 2009).
3. Buffer adalah analisis spasial yang menghasilkan unsur-unsur spasial (dalam
layer lain) yang bertipe poligon, merupakan area atau buffer yang berjarak
sesuai dengan yang ditentukan (Prahasta, 2009). Buffer jarak dalam penelitian
ini dibagi menjadi dua area berdasarkan jarak tempat tinggal dengan fasilitas
kesehatan yaitu ≤ 1 km dan > 1 km.
4. Titik Koordinat adalah lokasi tempat tinggal subyek penelitian dan tempat
potensial berkembang biaknya nyamuk aedes aegypti yang diambil dengan
menggunakan alat GPS
5. Umur adalah selisih antara tahun lahir dengan tahun saat pengumpulan data
yang dinyatakan dengan tahun.
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Rasio
8. Berpergian ke daerah endemis adalah ada tidaknya riwayat responden pergi
ke daerah endemis DBD lainnya selama kurang lebih dua minggu sebelum
sakit DBD
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Nominal
9. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah Kegiatan yang dilakukan dalam
mengendalikan telur dan jentik aedes aegypti pada tempat penampungan air
di rumah subyek dalam kurun waktu minima sekali seminggu yang meliputi
kegiatan 3 M (menguras, menutup, dan mengubur barang-barang bekas yang
dapat menampung air.
Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Nominal
10. Penggunaan Kawat Kasa adalah Kondisi ventilasi/jendela rumah penderita
yang dipasang atau ditutupi dengan kawat kasa nyamuk
Alat ukur : lembar observasi
Hasil Ukur : 1. Ada 2. Tidak ada
Skala : nominal
11. Angka Bebas Jentik adalah persentase rumah yang tidak ditemukan jentik
terhadap semua rumah yang diperiksa di kota binjai di peroleh dari laporan
surveillance Dinas Kesehatan Kota Binjai
Alat ukur : kuesioner
Hasil Ukur : 1. <95% 2. >=95%
Skala : ordinal
12. Distance Indeks (Indeks Jarak) adalah jarak rata-rata lokasi tempat tinggal
subjek penelitian kasus DBD yang ada di Kota Binjai dengan menggunakan
alat GPS
Alat ukur : GPS Esensial
Hasil Ukur : 1. Sangat dekat (0-50 m), 2. Dekat (50-100 m) 3. Sedang (100-
200 m) 4. Jauh (200-300 m) 5. Sangat jauh (> 300 m)
Skala : ordinal

3.5. Pengumpulan data :


Data primer diperoleh dengan cara :
1. Pengambilan titik koordinat subyek penelitian menggunakan GPS
2. Wawancara untuk memperoleh informasi mengenai resiko kejadian DBD
menggunakan kuesioner.
3.6. Analisa data
1. Analisis average nearest neighbour, digunakan melihat pola sebaran
Kejadian DBD di Kota Binjai.
2. Overlay dan buffer digunakan untuk melihat sebaran kejadian DBD
dihubungkan dengan jarak tempat tinggal penderita dengan fasilitas kesehatan
di Kota Binjai.
3. Analisis bivariabel
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan masing-masing variabel
bebas dengan variabel terikat. Analisis dilakukan menggunakan tabel silang
2x2 untuk menghitung nilai rasio prevalen dan nilai confidence interval (CI).
Uji statistik yang digunakan untuk analisis adalah chi square pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 5%).
4. Analisis multivariabel
Analisis multivariabel dilakukan untuk menganalisis faktor risiko secara
simultan. Variabel yang disertakan dalam analisis multivariabel ini adalah
variabel bebas yang bermakna secara statistik terhadap kejadian DBD dalam
analisis bivariabel. Statistik uji yang digunakan adalah conditional regression
logistic (Kleinbaum, 1992) dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 5%).

BAB IV
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
4.1. Biaya Penelitian
URAIAN
JUMLAH
URAIAN (RP) HARI
1. Honor (30%)
Honor Pembantu Peneliti
Pembantu lapangan 1 80,000 25 hari Rp 2,000,000
Pembantu Lapangan 2 80,000 22 hari Rp 1,760,000
Pembantu Lapangan 3 80,000 22 hari Rp 1,760,000
Pembantu Lapangan 4 80,000 22 hari Rp 1,760,000
Pengolah data 1,540,000 Rp 1,540,000
Rp 8,820,000
2. Bahan Habis Pakai (40%)
Material Justifikasi Kuantitas Harga Harga Peralatan
Pemakaian Satuan (Rp) Penunjang
Penyewaan GPS Pengukuran titik koordinat 2 buah 4000000 Rp 8,000,000
baterai GPS Pengukuran titik koordinat 2 buah 250,000 Rp 500,000
Souvenir (senter melihat
jentik + abate) sebanyak sampel 124 orang 75.000 Rp 9.300.000

Rp 17.800,000
3. Perjalanan (15%)
Transport Peneliti 1. Transportasi ke lokasi penelitian 12 kali x Rp. 150.000 x 2 orang Rp 3,600,000

2. Transportasi mengantar laporan hasil penelitian ke direktorat


Medan sebanyak 1 orang 200.000 Rp 200,000
3. Transportasi seminar hasil ke direktrorat sebanyak 2 org Rp 400,000
4. Pengurusan administrasi pertanggung jawaban keuangan
peneltian ke direktorat sebanyak 1 orang X 2 kali x 200.000 Rp 400,000
Rp 4,600,000
4. Lain-Lain (10-15%)
Jilid Biasa Pembuatan proposal dan laporan 5 12600 Rp 63,000
Jilid Senyawa proposal Pembuatan proposal 6 23000 Rp 138,000
Jilid revisi proposal Pembuatan proposal 7 25000 Rp 175,000
Jilid senyawa laporan Laporan 8 25000 Rp 200,000
Jilid senyawa revisi Laporan 10 25000 Rp 250,000
Tinta Print Pembuatan proposal dan laporan 4 kotak 35000 Rp 140,000
Catridge Pembuatan proposal dan laporan 2 buah 300000 Rp 600,000
Kertas Pembuatan proposal dan laporan 6 rim 50000 Rp 300,000
110 X 10
Fotocopy kuesioner Kuesioner lbr 200 Rp 220,000
Rp 2.086.000
TOTAL Rp 33.306.000

4.2. Jadwal Penelitian


Semester Pertama Semester Kedua
No Kegiatan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
1 Seleksi Administrasi
2 Pengumuman/ SK
Peneliti
3 Izin Penelitian &
Pengambilan Sampel
4 Pengambilan data
respomden
5 PengolahanData
6 Pembuatan
Laporan Penelitian
7 Seminar Hasil
8 Feedback
Hasil Penelitian

Anda mungkin juga menyukai