Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah

tropis dan sub-tropis. Asia menempati urutan pertama di dunia dengan jumlah

penderita DBD terbanyak setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 1968 hingga

tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia

sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi

nomor dua di dunia setelah Thailand (Dahlia, 2012).

Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah

utama kesehatan masyarakat di Indonesia, karena jumlah penderita dan luas

daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya

mobilitas dan kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan

oleh virus dengue yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia (Dahlia, 2012). Nyamuk di kenal sebagai vektor penyakit ini.

Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk antara lain

demam berdarah dengue (DBD), malaria, filariasis (kaki gajah) dan

chikungunya. Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dengan

angka kematian yang besar (Lestari dkk, 2011).

Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi di

seluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100

1
2

juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan

perawatan di rumah sakit dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang

berumur kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DBD

mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (Dahlia,

2012).

Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Selatan menetapkan status KLB

DBD sejak tanggal 1 Januari 2015. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD di

2 provinsi tersebut. Selama bulan Januari 2015 di Provinsi Jawa Timur KLB

DBD terjadi di 37 Kabupaten/Kota, dengan total jumlah kasus sebanyak

3.136 kasus DBD dan angka kematian sebanyak 52 kasus, sementara di

Provinsi Sumatera Selatan terjadi KLB DBD di 13 Kabupaten/Kota dengan

jumlah kasus sebanyak 335 kasus DBD (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan per Februari 2019, ada

18.106 kasus DBD melanda Indonesia. Tertinggi berada di Jawa Timur

dengan 3.024 kasus. Disusul Jawa Barat dengan 2.461 kasus.

Menurut Depkes RI (2006), mengingat sangat berbahayanya penyakit

DBD, maka perlu ada upaya pemberantasan yang komprehensif dari penyakit

tersebut. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberantasan sarang

nyamuk (PSN 3M-Plus) untuk menanggulangi penyakit DBD. Ini merupakan

cara utama yang dianggap efektif, efisien dan ekonomis untuk memberantas

vektor penular DBD mengingat obat dan vaksin pembunuh virus DBD belum

ditemukan.

Berdasarkan data dari Puskesmas Nogo, sepanjang bulan januari 2019

didapatkan sebanyak 28 kasus demam berdarah dengue yang tersebar di 11


3

desa. Dari 28 kasus tersebut kasus terbanyak ditemukan di Desa Nogo yaitu

sebanyak 7 kasus, kemudian di Desa Gempol Manis ada 4 kasus, Desa

Pamotan 3 kasus, Desa Candisari 2 kasus, Desa Garung 3 kasus, Desa

Kedungwangi 2 kasus, Dasa Jatipandak 1 kasus, Desa Kreteranggon 1 kasus ,

Desa Barurejo 1 kasus , Desa Pataan 1 kasus dan Desa Ardirejo 1 kasus

demam berdarah. Berdasarkan data sekunder tersebut, peneliti akan

melakukan penelitian di Desa Nogo karena jumlah penderita demam berdarah

dengue di desa tersebut adalah yang paling banyak.

Kejadian demam berdarah dengue dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor pejamu (host) meliputi umur, jenis kelamin, faktor internal manusia

seperti pendidikan, ekonomi, pengetahuan, perilaku 3M dan kepadatan

penghuni, sedangkan faktor agent meliputi virulensi virus, dan faktor

lingkungan meliputi sumber air yang digunakan, kualitas tempat

penampungan air (TPA) dan kebersihan lingkungan.

Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti hubungan antara karakter

prilaku pencegahan 3M dan pengetahuan penyakit demam berdarah dengue

dengan angka kejadian demam berdarah dengue di Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng, Kabupaten Lamongan , Januari 2019. Dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat diketahui adanya hubungan antara karakter prilaku

pencegahan 3M dan pengetahuan penyakit DBD dengan angka kejadian

demam berdarah dengue sehingga selanjutnya ditemukan cara yang efektif

yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kejadian DBD, khususnya di Desa

Nogo, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan.


4

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara karakter prilaku pencegahan 3M dan

pengetahuan penyakit demam berdarah dengue ,dengan angka kejadian

demam berdarah dengue di Desa Nogo, Kecamatan Sambeng, Kabupaten

Lamongan , Januari 2019 ?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara karakter prilaku pencegahan 3M

dan pengetahuan penyakit demam berdarah dengue dengan angka

kejadian demam berdarah dengue di Desa Nogo, Kecamatan Sambeng,

Kabupaten Lamongan , Januari 2019.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi pengetahuan responden di Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan , Januari 2019.

b. Mengidentifikasi karakteristik perilaku 3M responden di Desa Nogo,

Kecamatan Sambeng , Kabupaten Lamongan , Januari 2019.

c. Mengidentifikasi kejadian demam berdarah dengue di Desa Desa Nogo,

Kecamatan Sambeng , Kabupaten Lamongan , Januari 2019.

d. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan kejadian demam berdarah

dengue di Desa Desa Nogo, Kecamatan Sambeng , Kabupaten

Lamongan , Januari 2019.


5

e. Menganalisis hubungan perilaku 3M dengan kejadian demam berdarah

dengue di Desa Desa Nogo, Kecamatan Sambeng , Kabupaten

Lamongan , Januari 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Institusi

Adapun manfaat penelitian ini bagi institusi yakni sebagai terutama

yang membahas mengenai hubungan antara karakter prilaku pencegahan

dan pengetahuan penyakit demam berdarah dengue ,dengan angka

kejadian demam berdarah dengue dan dapat juga dijadikan sebagai

referensi di perpustakaan.

2. Manfaat bagi Masyarakat

Bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pencegahan (preventif),

penyuluhan dan perbaikan mutu kesehatan khususnya mengenai kasus

demam berdarah dengue di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.

3. Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya

Manfaat bagi peneliti selanjutnya adalah sebagai pembanding dan

tambahan referensi dan data yang sudah ada dapat dijadikan sebagai acuan

bagi penelitian selanjutnya khususnya penelitian tentang demam berdarah

dengue.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan manifestasi klinis yang

bervariasi antara yang paling ringan, DD, DBD dan demam dengue yang

disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) (WHO, 2009). Host

yang alami DBD adalah manusia, agennya adalah virus dengue yang

termasuk ke dalam vektor Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4

serotype yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Kurane, 2007) ditularkan

ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk

Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terdapat di seluruh pelosok

Indonesia (Lestari, 2007). Infeksi virus dengue telah berada di Indonesia

sejak abad ke 18, dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter kebangsaan

Belanda. Saat itu infeksi virus dengue dikenal sebagai penyakit demam

lima hari (viff daagse koorts) kadang kala disebut juga demam sendi

(knokkel koorts) (Djunaedi,2006).

2. Epidemiologi

Di Indonesia, selalu terjadi KLB di beberapa provinsi setiap

tahunnya, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah

penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih

6
7

(Kusriastuti, 2005). Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik

tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004.

Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan

kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus

tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau

CFR 0,89% (Kusriastuti, 2010). Tercantum data kasus DBD dari Dinkes

Propinsi Jawa Timur, Surabaya memiliki kasus sebanyak 4187 kasus pada

tahun 2006. Jumlah penderita penyakit DBD selama Februari–Maret 2011

berdasarkan data Dinkes Kota Surabaya tergolong cukup tinggi, yakni

mencapai 289 orang. Data penderita DBD tersebut terhimpun berdasarkan

pasien yang berobat di puskesmas hingga seluruh rumah sakit di Surabaya

(Dinkes Jatim, 2016).

3. Etiologi

Menurut Suhendro (2006), demam dengue dan demam berdarah

dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus

Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan

diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4x106 (Siregar, 2010).

Ada empat serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.

Serotype DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-

kasus parah. Infeksi oleh salah satu serotype akan menimbulkan kekebalan

terhadap serotype yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotype yang

lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya terdapat di Indonesia. Di


8

daerah endemik DBD, seseorang dapat terkena infeksi semua serotype

virus pada waktu yang bersamaan (Widoyono, 2011).

4. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Depkes RI (2008), Jenis tempat perkembang biakan

nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:

drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:

tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang

bekas (ban, kaleng, botol dan lain-lain).

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu,

pelepah daun, tempurung kelapa dan pelepah pisang (Wawansiswa, 2012).

5. Patogenesis

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap

infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang

rentan pada saat menggigit dan menghisap darah (WHO, 2009). Setelah

masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran

yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpatikus, sumsum

tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan sel monosit dan

makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, di mulai dengan menempel

dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan

membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah


9

komponen struktur di rakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini

menimbulkan reaksi imunitas protektif terhadap virus tersebut tetapi tidak

ada cross protective terhadap virus lainnya (Soegijanto, 2010).

Secara in-vitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent

cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan antibody dependent enhancement

(ADE) (Darwis, 1999). Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi

netralisasi (neutralizing antibody) yang memiliki spesifik yang dapat

mencegah infeksi virus dan antibody non netralising serotype yang

mempunyai peran reaksi silang dan dapat meningkatkan infeksi yang

berperan dalam patogenesis DBD dan DSS (Soegijanto, 2010).

Terdapat dua teori atau hipotesis imunopatogenesis DBD dan DSS

yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary infection) dan

ADE (Soegijanto, 2010). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder

disebutkan bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu virus

dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi virus dengue tersebut

untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan

infeksi sekunder oleh virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang

berat. Ini terjadi karena antibodi yang terbentuk pada infeksi primer, akan

membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru yang berbeda yang

tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang

infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi

dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan


10

platelet activating factor (PAF), akibatnya akan terjadi peningkatan

(enhancement) infeksi virus dengue (Soegijanto, 2010).

TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,

merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan

endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum

diketahui dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang

terbentuk akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan

pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan

kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan. Anak di bawah umur

2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi

dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing

antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi

infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses

enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi

dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Pada teori ADE

disebutkan jika terdapat spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat

mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya

apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan

menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik imunoglobulin spesifik virus

dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM,

IgG1 dan IgG3 (Soegijanto, 2010).

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang

patogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang

mendasarkan pada perbedaan virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3


11

dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi

berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-

antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi

penurunan aktivitas komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan

C5. Di samping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun

antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B

dan sel organ tubuh lainnya dan akan memengaruhi aktivitas komponen

imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa

makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator

seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama

endotoksin bertanggung jawab pada terjadinya syok septik, demam dan

peningkatan permeabilitas kapiler (Avirutnan, 1998). Pada infeksi virus

dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat

terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue

destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian

karena infeksi virus, kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan

metabolik (Soegijanto, 2010).

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik untuk demam berdarah dengue (DBD) menurut

WHO 2011 yaitu:

a. Anamnesis:

Demam tinggi 2-7 hari dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang

demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi,
12

nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga

kanan dan nyeri perut.

b. Pemeriksaan fisik

1) Manifestasi perdarahan

a) Uji positif (≥10 petekie/inch) merupakan manifestasi perdarahan

yang paling banyak pada fase demam awal

b) Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena

c) Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak

d) Epistaksis, perdarahan gusi

e) Perdarahan saluran cerna

f) Hematuria (jarang)

g) Menorrhagia

2) Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan

fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

7. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Darah Rutin

Menurut W. Sudoyo, Aru, et al (2006), parameter laboratorium pada

pemeriksaan darah rutin yang dapat diperiksa antara lain:

1) Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan

hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3

demam.
13

2) Trombosit

Dapat terjadi trombositopenia pada hari ke 3-8.

3) Leukosit dapat normal atau menurun

Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total

leukosit) dan akan meningkat pada fase syok (Sugondo, 2011).

b. Pemeriksaan Serologi

Parameter laboratoris pada pemeriksaan serologi yang dapat diperiksa

antara lain (Sugondo, 2011) :

1) Dengue IgG/IgM Rapid Test

Pemeriksaan ini berfungsi untuk mendeteksi adanya antibodi

(IgG/IgM) virus dengue di plasma penderita. Menurut WHO (2009),

respon imun primer dan sekunder, IgM diproduksi dimulai hari ke-3, dan

IgG respon imun sekunder, meningkat cepat dalam 3-5 hari.

Hasil dari test tersebut akan muncul dalam waktu 15-20 menit.

Berikut interpretasi hasil dari testtersebut:

a) IgM (+) : infeksi primer dengue

b) IgG (+) : infeksi sekunder dengue

c) IgG dan IgM (+) : infeksi primer yang berkelanjutan dan atau infeksi

sekunder

d) IgG dan IgM (-) : tidak terjadi infeksi dengue

e) Control/C (-) : invalid dan harus diulang pemeriksaannya (Sugondo,

2011).
14

2) NS1

Menurut V, Kumarasamy, et al, (2007), pemeriksaan dengue

NS1 Antigen adalah pemeriksaan terhadap antigen struktural-1 dengue

(NS1) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue pada hari pertama

mulai demam. Keuntungan pemeriksaan ini, yaitu untuk mengetahui

adanya infeksi dengue pada penderita tersebut dalam fase awal demam,

tanpa perlu menunggu terbentuknya antibodi (Sugondo, 2011).

8. Diagnosis

Menurut Suhendro (2006), belum ada panduan yang dapat diterima

untuk mengenal awal infeksi virus dengue (WHO, 2009). Perbedaan utama

antara demam dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya

kebocoran plasma (Siregar, 2010).

Pada penderita infeksi virus dengue, langkah-langkah diagnosis

penyakit seperti anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang

masih tetap dilakukan (Sudjana, 2010).

Berdasarkan kriteria WHO diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di

bawah ini terpenuhi, yaitu (Siregar, 2010):

a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

1) Uji bendung positif

2) Petekie, ekimosis atau purpura

3) Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi) atau

perdarahan di tempat lain


15

4) Hematemesis atau melena

c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/μl)

d. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda kebocoran plasma sebagai

berikut:

1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

2) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemia

Oleh karena infeksi virus dengue ini memiliki gejala yang sangat luas dan

banyak diantara gejala-gejala yang ditimbulkan merupakan gejala-gejala yang

tidak khas atau spesifik, diagnosis hanya berdasarkan gejala klinis saja

kemungkinan besar hasilnya tidak dapat diandalkan atau kurang dapat di percaya.

Dengan demikian pemeriksaan penunjang perlu dilakukan (WHO 2009 dan

Sudjana, 2010).

9. Pencegahan

a. Partisipasi Masyarakat

Upaya masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan

secara individu atau perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk

dalam rumah. Cara terbaik adalah pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara

lain yang dapat dilakukan ialah (1) menggunakan mosquito repellent (anti

nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray, (2) menuangkan air panas
16

pada saat bak mandi berisi air sedikit, (3) memberikan cahaya matahari

langsung lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005).

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana

individu, keluarga dan masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan

pelaksanaan pemberantasan di rumahnya. Peningkatan partisipasi masyarakat

menumbuhkan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh anggota

masyarakat secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes RI,

2005). Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota

masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat

tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan

seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka

sendiri (Sudjana, 2010).

Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan

perhatian dan kepedulian kepada masyarakat, memprakarsai dialog lintas

sektoral secara berkelanjutan, menciptakan rasa memiliki terhadap program

yang sedang berjalan, penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat

suatu mekanisme yang mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005).

Partisipasi masyarakat dalam tingkat individu dapat dilakukan dengan

mendorong atau menganjurkan dalam kegiatan PSN dan perlindungan diri

secara memadai. Pelaksanaan kampanye kebersihan yang intensif dengan

berbagai cara merupakan upaya di tingkat masyarakat. Memperkenalkan

program pemberantasan DBD pada anak sekolah dan orang tua, mengajak

swasta dalam program pemberantasan virus dengue, menggabungkan

kegiatan pemberantasan berbagai jenis penyakit yang disebabkan serangga


17

dengan program pemberantasan DBD agar memperoleh hasil yang maksimal.

Selain itu peran partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian

insentif seperti pemberian kelambu atau bubuk abate secara gratis bagi yang

berperan aktif (Soegijanto, 2006).

b. Kebijakan Pemerintah

Sejalan dengan teori kebijakan maka keberhasilan program

pemberantasan virus dengue sangat di dukung dengan pembuatan peraturan

perundang-undangan tentang penyakit menular dan wabah. Perundang-

undangan ini memberikan wewenang kepada petugas kesehatan untuk

mengambil tindakan yang diperlukan saat terjadi wabah atau KLB di

masyarakat. Diharapkan perilaku masyarakat akan berubah jika ada peraturan

dan kepastian (law enforcement) yang mengikat dan mewajibkan setiap

anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit

DBD di lingkungan keluarga dan masyarakat. Apabila di langgar akan

dikenakan sanksi atau hukuman yang sesuai dengan peraturan yang berlaku

(Koban, 2005).

c. Pemberantasan Vektor

Pemberantasan dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan

jentiknya. Menurut Soedamo (2005) jenis kegiatan pemberantasan nyamuk

penularan DBD meliputi:

1) Pemberantasan Nyamuk Dewasa (FOGGING).

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara

penyemprotan atau pengasapan (fogging) dengan insektisida. Hal ini

dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-benda


18

tergantung, karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah

seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang

dapat digunakan adalah golongan insektisida, misalnya malathion,

fenitrothion, dan pyretroid, sintetik misalnya lambda sihalotrin dan

permetin (Soedamo, 2005).

Sebelum pelaksanaan fogging pada masyarakat telah diumumkan

agar menutup makanannya dan tidak berada di dalam rumah ketika

dilakukan fogging termasuk orang yang sakit harus diajak ke luar rumah

dahulu, selain itu semua ternak juga harus berada di luar. Namun

demikian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka dalam

pelaksanaannya fogging dilakukan oleh 2 orang operator. Operator I

(pendamping) bertugas membuka pintu, masuk rumah dan memeriksa

semua ruangan yang ada untuk memastikan bahwa tidak ada orang dalam

rumah termasuk bayi, anak-anak maupun orang tua dan orang yang

sedang terbaring sakit, selain itu ternak-ternak sudah harus dikeluarkan

serta semua makanan harus sudah ditutup. Setelah siap operator

pendamping ke luar dan operator II (Operator swing Fog) memasuki

rumah dan melakukan fogging pada semua ruangan dengan cara berjalan

mundur. Setelah selesai operator pendamping baru menutup pintu.

Rumah yang telah difogging ini harus dibiarkan tertutup selama kurang

lebih satu jam dengan harapan nyamuk-nyamuk yang berada dalam

rumah dapat terbunuh semua, dengan cara ini nyamuk-nyamuk akan

terbunuh karena malathion bekerja secara “knoc donw”. Setelah itu

fogging dilanjutkan di luar rumah / pekarangan. Setelah satu rumah


19

beserta pekarangannya selesai difogging maka fogging dilanjutkan ke

rumah yang lain, sampai semua rumah dan pekarangan milik warga

difogging.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan fogging

dengan swing fog untuk mendapatkan hasil yang optimal adalah sebagai

berikut :

a) Konsentrasi larutan dan cara pembuatannya. Untuk malation,

konsentrasi larutan adalah 4 – 5 %,

b). Nozzle yang dipakai harus sesuai dengan bahan pelarut yang

digunakan dan debit keluaran yang diinginkan,

c). Jarak moncong mesin dengan target maksimal 100 meter, efektif 50

meter,

d). Kecepatan berjalan ketika memfogging, untuk swing fog kurang lebih

500 m2 atau 2 – 3 menit untuk satu rumah dan halamannya,

e). Waktu fogging disesuaikan dengan kepadatan/aktivitas puncak dari

nyamuk, yaitu jam 09.00 – 11.00.

2) Pemberantasan Larva (Jentik)

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal

dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan dengan

cara (Depkes RI, 2005):

a) Kimia, yaitu dengan cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan

menggunakan insektisida pembasmi jentik. Ini dikenal dengan istilah

larvasidasi. Larvasida yang biasa di gunakan adalah temephos

(ABATE).
20

Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules).

Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gr (1 sendok makan rata) untuk

setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek

residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth

regulator.

b) Biologi, yaitu dengan memelihara ikan pemakan larva yaitu ikan nila

merah (Oreochromosis niloticus gambumur sp.), ikan guppy

(Poecillia), dan ikan grass carp (Etenopharyngodonidla). Selain itu

dapat digunakan pula Bacillus Thuringiensis var Israeliensis (BTI)

atau golongan insect growth regulator.

c) Fisik, yaitu dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur).

Menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air

rumah tangga (tempayan, drum dll), mengubur atau memusnahkan

barang-barang bekas (kaleng, ban dll). Pengurasan tempat-tempat

penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya

seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat

itu.

Apabila PSN ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan

nyamuk Aedes aegypti dapat dikurangi sehingga tidak menyebabkan

penularan penyakit. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi

kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu lama, karena

keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat

(Depkes RI, 2005).


21

10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada

pemberian cairan (Harris et al, 2003). mendemonstrasikan bahwa meminum

cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter

merupakan faktor protektif melawan kemungkinan di rawat inap di rumah

sakit.

Setiap pasien tersangka DD atau DBD sebaiknya dirawat di tempat

terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas

nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada DD atau DBD tanpa penyulit

adalah (Soedamo, 2005):

a. Tirah baring

b. Pemberian cairan

Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2

liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah

dengan garam saja).

c. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.

Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau

inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau

dipiron. Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.

d. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

Terapi untuk DSS bertujuan utama untuk mengembalikan volume

cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai

dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl

0,9%, Ringer’s lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai
22

plasma atau ekspander plasma. Jumlah cairan disesuaikan dengan

perkembangan klinis. Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat

badan/ jam, dan bila syok telah diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi

10 ml/kg berat badan/ jam. Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan

di guyur, dan bila tak tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma

atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah

15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan

asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya

untuk menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan

intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-

48 jam setelah syok selesai (Siregar, 2010).

11. Prognosis

Menurut Halstead (2007), prognosis demam dengue dapat beragam,

dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi

sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan

syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan

<1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan

penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat

kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan

intrakranial (Siregar, 2010).


23

B. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah

Dengue (DBD)

1. Agent (Penyebab)

Menurut Dinkes Jateng (2006), penyebab penyakit DBD ada 4 tipe

(Tipe 1, 2, 3 dan 4), termasuk dalam group B Antropod Borne Virus

(Arbovirus). Dengue tipe 3 merupakan serotip virus yang dominan yang

menyebabkan kasus yang berat. Penularan penyakit demam berdarah

dengue umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty

meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus yang hidup

dikebun. Selain itu, spesies Aedes polynesiensis dan beberapa spesies dari

kompleks Aedes scutellaris juga dapat berperan sebagai yang

mentransmisikan virus dengue (Wawansiswa, 2012).

2. Host (Penjamu)

a. Umur

Menurut Djunaedi (2006), selama tahun 1986-1973 sebesar

kurang dari 95% kasus DBD adalah anak dibawah umur 15 tahun.

Selama tahun1993-1998 meskipun sebagian besar kasus DBD adalah

anak berumur 5-14 tahun, namun nampak adanya kecenderungan

peningkatan kasus berumur lebih dari 15 tahun. Dengan kata lain, DBD

banyak dijumpai pada anak berumur 2-15 tahun. DBD lebih banyak

menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya

kecenderungan kenaikan proporsi penderita penyakit DBD pada orang

dewasa (Wawansiswa, 2012).


24

b. Jenis Kelamin

Menurut Djunaedi (2006), sejauh ini tidak ditemukan perbedaan

kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis

kelamin (gender). Di Filipina dilaporkan bahwa rasio antara jenis

kelamin adalah 1:1. Demikian pula di Thailand dilaporkan tidak

ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD antara anak

laki-laki dan perempuan (Wawansiswa, 2012).

c. Faktor Internal Manusia

1) Pendidikan

Tingkat pendidikan terbukti berhubungan dengan tindakan

kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam

pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian Widyanti (2005) yang membuktikan pendidikan

mempunyai pengaruh terhadap tindakan masyarakat dalam upaya

pencegahan penyakit DBD dengan nilai odds ratio 7,633. Hal ini

dapat diinterpretasikan bahwa responden yang berpendidikan

rendah mempunyai kemungkinan 7,633 kali akan mempunyai

tindakan yang kurang dalam upaya pencegahan penyakit DBD.

Hasil ini sejalan pula dengan penelitian Cahyo (2006) yang

menunjukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan

praktik pencegahan penyakit DBD. Pendidikan yang rendah

melatarbelakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui konsep

terjadinya penyakit DBD serta cara penanggulangan atau

pemberantasan (Heraswati, 2008).


25

2) Status Ekonomi

Faktor pendapatan penduduk akan mempengaruhi tingkat

ekonomi wilayah tersebut, dengan adanya peningkatan

perekonomian penduduk maka pembangunan (perumahan) juga

akan meningkat. Hal ini akan mempengaruhi kepadatan perumahan

di lingkungan tersebut dan mungkin bisa mempengaruhi kejadian

demam berdarah dengue (Siregar, 2011).

3) Perilaku 3M

Menurut Depkes RI (2006), mengingat sangat berbahayanya

penyakit DBD, maka perlu ada upaya pemberantasan yang

komprehensif dari penyakit tersebut. Pemerintah telah

mengeluarkan kebijakan PSN 3M-Plus untuk menanggulangi

penyakit DBD. Ini merupakan cara utama yang dianggap efektif,

efisien dan ekonomis untuk memberantas vektor penular DBD

mengingat obat dan vaksin pembunuh virus DBD belum ditemukan

(Wuryaningsih, 2008).

4) Pengetahuan Masyarakat

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2003).
26

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang yang disebut

overbehavior. Karena dari pengalaman dan penelitian yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada pelaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Atkinson (2007), pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda.

Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkatan, yaitu tahu (Know),

memahami (Comprehention), aplikasi (Application), analisis

(Analysis), sintesis (Synthesis), dan evaluasi (Evaluation).

Analisis dari Green yang dikutip Notoatmodjo (2007),

menyatakan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua pokok yaitu,

perilaku (causes) dan non perilaku (non causes). Sedangkan

perilaku itu sendiri, khusus perilaku kesehatan dipengaruhi atau

ditentukan oleh 3 (tiga) yaitu:

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) yaitu terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai

dan sebagainya dari seseorang.

b) Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud

dalam lingkungan fisik.

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-

petugas lainnya termasuk di dalamnya keluarga dan teman

sebaya.
27

5) Kepadatan penghuni

Menurut WHO (2000), kepadatan penghuni turut menunjang

atau sebagai salah satu faktor resiko penularan penyakit DBD,

semakin padat penguni maka semakin mudah nyamuk Aedes

menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya. Sebaliknya

dalam penelitian Fathi (2004) menunjukkan bahwa kepadatan

penghuni tidak berperan dalam kejadian luar biasa penyakit DBD

di Kota Mataram (Heraswati, 2008).

d. Environment (lingkungan)

Lingkungan merupakan tempat interaksi penular penyakit DBD

dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-

hal yang diperhatikan di lingkungan yang berkaitan dengan faktor

penularan DBD antara lain (Soegijanto, 2006):

1) Sumber air yang digunakan

Air yang digunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah

merupakan tempat perindukan yang potensial bagi factor DBD.

2) Kualitas Tempat Penampungan Air (TPA)

Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan

terjadinya DBD dibandingkan dengan tempat penampungan air yang

tidak berjentik.

3) Kebersihan lingkungan

Kebersihan lingkungan dari kaleng atau ban bekas, tempurung, dan

lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD.


28

Menurut Depkes RI dalam Noor (2008), lingkungan fisik yaitu keadaan

fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung,

maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan manusia. Faktor

lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap kejadian DBD antara lain suhu

udara. Nyamuk dapat bertahan pada suhu udara rendah, tetapi metabolismenya

menurun atau bahkan berhenti bila suhunya turun dibawah suhu krisis. Pada

suhu yang lebih tinggi 35°C juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambat

proses-proses fisiologis, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk

adalah 25°C-30°C. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu

kurang 10°C atau lebih dari 40°C (Wawansiswa, 2012).


29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observational cross-sectional

analytic untuk mengetahui hubungan antara karakter prilaku pencegahan dan

pengetahuan penyakit demam berdarah dengue ,dengan angka kejadian

demam berdarah dengue di Desa Nogo, Kecamatan Sambeng, Kabupaten

Lamongan , Januari 2019.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Nogo, wilayah kerja Puskesmas

Sambeng, Kecamatan Sambeng , Kabupaten Lamongan pada 30 Januari 2019

sampai dengan 2019.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh warga yang tinggal di Desa

Nogo, wilayah kerja Puskesmas Sambeng sejumlah 1913 penduduk.

Untuk menentukan ukuran besarnya sampel yang mewakili populasi

maka peneliti menggunakan perhitungan sampel mimimal sebagai berikut

(Lemeshow et al, 1997):


2
Z 1−a/2 P(1-P ) N
n= 2 2
d ( N −1)+ Z 1−a /2 P( 1−P )

29
30

Keterangan:

n : sampel
2
Z 1−a/2 : standar deviasi normal untuk 1,64 (Confidence Interval 90%)

N : besar populasi (1913)

P : target populasi (0,5)

d : derajat kesalahan yang diterima 10% (0,1)

(1,64 )2(0,5)(1-0,5)(1913 )
n=
(0,1)2 (1913−1 )+(1 ,64 )2 (0,5)(1−0,5))
(2 ,6896 )(0 , 25 )(1913 )
n=
(0 , 01)(1912)+(2 ,6896 )(0 , 25)
1286 ,3012
n=
19 ,7924
n=67

Jadi sampel minimal untuk penelitian ini adalah 67 yang diambil

menggunakan teknik sampling Convenience Sampling yaitu teknik

pengambilan sampel yang mengambil elemen-elemen termudah saja.

Pemilihan elemen ini, sepenuhnya bergantung pada penilaian peneliti atau

pewawancara sehingga peneliti bebas menentukan elemen yang paling mudah

(Dudi, 2005) yang sudah disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi

sebagai berikut:

1.Kriteria Inklusi

a. Bersedia menjadi responden penelitian

b. Responden umur > 11 tahun dan < 60 tahun

c. Responden tinggal di Desa Nogo minimal setidaknya 6 bulan terakhir


31

2.Kriteria Eksklusi

a. Tidak bersedia menjadi responden penelitian

b. Mengisi kuesioner tidak menjawab semua pertanyaan

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah konsep yang dapat diamati secara langsung dan

mempunyai variasi (nilai lebih dari satu kategori). Variabel yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan

variabel terikat.

1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini meliputi pengetahuan dan perilaku

3M.

2. Variabel Terikat

Kejadian demam berdarah dengue (DBD) merupakan variabel terikat

pada penelitian ini.

E. Prosedur Penelitian

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2008). Jenis data yang diperlukan adalah data

primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari dari kuesioner dan

wawancara langsung yang diberikan kepada responden, sedangkan data


32

sekunder yang digunakan adalah dari dokumen yang ada di Desa Nogo,

wilayah kerja Puskesmas Sambeng.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner dengan cara memberikan seperangkat pernyataan tertulis kepada

responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2010).

2. Pengolahan data

Dari hasil data yang diperoleh, maka dilakukan pengolahan data

deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi dalam bentuk persentase

dan narasi. Data yang terkumpul dari kuisioner yang telah diisi oleh

responden tersebut diolah dengan tahap sebagai berikut:

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, 2008). Hasil wawancara

atau angket yang diperoleh atau dikumpulkan melalui kuesioner perlu

disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau ternyata masih ada data atau

informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan

wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (droup out).

b. Coding

Setelah semua kuesioner di edit dan di sunting, selanjutnya

dilakukan coding atau pengkodean, yaitu mengubah data berbentuk

kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo,

2010).
33

Pemberian kode pada tiap jawaban responden akan memudahkan

dalam pengolahan data. Kode yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Pengetahuan DBD

Pengetahuan pejamu ada 10 pertanyaan. Satu jawaban benar

mendapat skor 10 dan bila salah skor 0. Jawaban dengan rentang

nilai 0-100. Total jawaban ≥56-100 (56-100%) di beri kode 1 dan

total jawaban <56 (<56%) di beri kode 0. Hasil kode 1 untuk

pengetahuan baik dan hasil kode 0 untuk pengetahuan kurang..

2) Perilaku 3M

Perilaku 3M pejamu ada 9 pertanyaan. Jika pejamu

melakukan semua perilaku 3M tersebut di beri kode 1 dan jika

ada salah satu atau lebih dari satu perilaku 3M yang tidak

dilakukan pejamu maka di beri kode 0. Kode 1 untuk perilaku 3M

baik dan kode 0 untuk perilaku 3M buruk.

3) Kejadian DBD

Untuk mengetahui kejadian DBD pada pejamu dilakukan

wawancara dan disesuaikan dengan data Puskesmas Sambeng.

Jika pejamu atau salah satu anggota keluarga pernah sakit DBD di

beri kode 1 dan jika pejamu tidak pernah sakit DBD di beri kode

0. Kode 1 untuk sakit dan kode 0 untuk tidak sakit.


34

c. Scoring

Scoring yang dilakukan meliputi menentukan nilai-nilai dari

data–data yang telah dikumpulkan apakah sudah sesuai dengan poin/

nilai batasan diinginkan baik tertinggi maupun terendah.

d. Tabulating

Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data dengan

memasukkan data kedalam tabel, yaitu hasil data yang telah di

rekapitulasi dimasukkan tabel distribusi frekuensi untuk mencari

perbedaan dari masing-masing variabel.

F. Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan komputer dan diinterpretasikan

lebih lanjut. Analisa data dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

1. Analisis Univariat

Setelah semua data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah

menganalisis data, sehingga data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan.

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui karakteristik responden

yang meliputi pengetahuan & perilaku 3M. Pada analisis ini, dari semua

hasil kuesioner yang mencakup karakteristik responden tersebut,

dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi manual dan di buat

diagram.
35

2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua

variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif. Untuk

mengetahui hubungan beberapa faktor pejamu dengan kejadian demam

berdarah dengue dilakukan analisa uji Chi Square, karena semua data

dalam penelitian ini adalah data nominal. Tetapi jika jumlah 1 cells >20%

maka analisa Chi Square tidak memenuhi syarat, sehingga hasil analisa

dilakukan dengan Fisher’s exact test. Analisa data menggunakan

perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi

16.00 dengan tingkat signifikan 0,05. Jika nilai p>α (0,05), artinya terdapat

hubungan antara pengetahuan prilaku 3m dengan angka kejadian demam

berdarah dengue. Sedangkan jika nila p<α (0,05), artinya tidak ada

hubungan antara hubungan antara pengetahuan prilaku 3m dengan angka

kejadian demam berdarah dengue.


36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Profil Umum

Puskesmas Sambeng terletak di kecamatan Sambeng yang merupakan

kecamatan yang paling luas di wilayah Lamongan dengan luas 144.57 km2 yang

terdiri dari 22 desa dan 90 dusun.

Gambar IV.1 Peta wilayah kecamatan sambeng

Batas wilayah kecamatan Sambeng sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Kecamatan Sugio

2. Sebelah Timur : Kecamatan Mantup

3. Sebelah Selatan : Kabupaten Mojokerto dan Kab Jombang

4. Sebelah Barat : Kecamatan Ngimbang dan kecamatan kedungpring

36
37

Untuk sarana kesehatan yang ada di kecamatan Sambeng ada 1 puskesmas, 5

puskesmas pembantu, 4 ponkeses, dan 13 polindes dengan jumlah penduduk

48.041 jiwa. Di wilayah Sambeng, jumlah penduduk pria relatih lebih sedikit

dibandingkan wanita yang dimana terdiri dari 23.680 pria dan 24.361 wanita.

1. Data Geografis

Kondisi geografis kecamatan Sambeng dapat ditinjau dari ketinggian wilayah

di atas permukaan laut dan kelerengan lahan , Kecamatan Sambeng terdiri

dari daratan rendah dan hutan jati dengan tingkat ketinggian 0 – 56 meter.

Kecamatan Sambeng merupakan daerah pegunungan kapur , bebatuan , hutan

jati milik Perhutani dan hutan rakyat yang tingkat kesuburan tanahnya katagori

sedang.

2. Data Demografis

Jumlah penduduk yang tercatat di Kecamatan Sambeng sebesar 48.041

Jiwa Rasio kepadatan penduduk per km2 yang tertinggi adalah di desa

Kreteranggon yaitu sebesar 857 sedangkan yang terendah di desa

Kedungbanjar yaitu sebesar 43. jumlah desa yang ada di Sambeng sendiri

berjumlah 22 desa.

3. Sumber Daya Kesehatan dan Sarana Pelayanan Kesehatan

Puskesmas Sambeng memiliki beberapa fasilitas kesehatan yaitu 1

puskesmas induk, 5 puskesmas pembantu, 4 ponkesdes, 13 polindes. dan 22

desa siaga. Puskesmas Induk di Puskesmas Sambeng sendiri memiliki 2 dokter


38

umum, 27 bidan, 16 perawat, 1 ahli gizi, 1 analis kesehatan, 1 apoteker, 6

administrasi, dan 1 petugas lab.

4. Sarana pelayanan kesehatan di Puskesmas Sambeng

Terdiri dari 1 ruang inap kelas III berkapasitas 9 bed, 1 ruang inap kelas II

berkapasitas 4 bed, dan 1 ruang inap kelas I berkapasitas 3 bed, 1 ruang poli

umum, 1 ruang poli lansia, 1 ruang poli KIA, 1 ruang lab, 1 ruang poli TB, 1

ruang poli gigi.

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil kuesioner pada 67 pejamu, didapatkan data

karakteristik sebagai berikut:

1. Pengetahuan

Tabel V.5 Tabel Distribusi Frekuensi Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan Jumlah Pejamu Presentase

Kurang 2 3.0%
Baik 65 97.0%

Total 67 100.0%

Sumber: Hasil Survei

Dari hasil survei didapatkan 3.0% pejamu memiliki tingkat

pengetahuan kurang dan 97.0% pejamu memiliki tingkat pengetahuan

baik.
39

3%

Kurang
Baik

97%

Gambar V.6 Diagram Distribusi Frekuensi Pengetahuan

2. Perilaku 3M

Tabel V.6 Tabel Distribusi Frekuensi Perilaku 3M

Perilaku 3M Jumlah Pejamu Presentase

Buruk 9 13.4 %
Baik 58 86.6 %

Total 67 100.0 %
Sumber: Hasil Survei

Dari hasil survei didapatkan 13.4 %pejamu memiliki perilaku 3M buruk

dan 86.6 %memiliki perilaku 3M baik.


40

13%

Buruk
Baik

87
%
Gambar V.7 Diagram Distribusi Frekuensi Perilaku 3M

3. Kejadian DB

Tabel V.7 Tabel Distribusi Frekuensi Kejadian DBD

Kejadian DBD Jumlah Pejamu Presentase

Sakit 7 10.4 %
Tidak 60 89.6 %

Total 67 100.0%
Sumber: Hasil Survei

Dari hasil survei didapatkan 10,4% pejamu sakit DBD dan 89,6%

tidak sakit DBD.

10%

Sakit
Tidak

90%

Gambar IV.8 Diagram Distribusi Frekuensi Kejadian DBD


41

4. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian DBD

Tabel V.12 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian DBD

Pengetahuan/DBD   DBD Total


    Sakit Tidak

Buruk 2 0 2

100.0% .0% 100.0%


Tingkat
Pengetahuan Baik 5 60 65 p-value
=0,009
7.7% 92.3% 100.0%

Total 7 60 67
10.4% 89.6% 100.0%

Berdasarkan tabel V.12 dapat diketahui bahwa pejamu sakit DBD

dengan pengetahuan buruk (100,0%) lebih besar daripada pejamu sakit

DBD dengan pengethuan baik (7,7%).

Dari hasil pengelolaan Fisher's Exact Test didapatkan nilai

p=0,009 dimana p<α (0,05) maka, ada hubungan tingkat pengetahuan

tentang DBD dengan kejadian DBD.


42

5. Hubungan Perilaku 3M dengan Kejadian DBD

Tabel V.13 Hubungan Perilaku 3M dengan Kejadian DBD

Perilaku/DBD   DBD Total


    Sakit Tidak

Buruk 4 5 9

44.4% 55.6% 100.0%


Perilaku
Baik 3 55 58 p-value
=0,005
5.2% 94.8% 100.0%
Total 7 60 67
10.4% 89.6% 100.0%

Berdasarkan tabel V.13 dapat diketahui bahwa pejamu tidak DBD

dengan perilaku 3M baik (94,8%) lebih besar daripada pejamu tidak DBD

dengan perilaku 3M buruk (55,6,8%).

Dari hasil pengelolaan Fisher's Exact Test didapatkan nilai p=0,005

dimana p<α (0,05) maka, ada hubungan perilaku 3M dengan kejadian

DBD.

BAB V
43

KESIMPULAN

A. Distribusi Pengetahuan Pejamu di Desa Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan

Distribusi pengetahuan Pejamu di Desa Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan berdasarkan tabel V.5 menunjukkan

bahwa sebagian besar (97.0%) pejamu memiliki pengetahuan baik

sebanyak 65 orang, dan hanya (3%) pejamu yang memiliki pengetahuan

kurang sebanyak 2 orang.

Pengetahuan tentang DBD yang baik akan membuat seseorang

memiliki kemampuan untuk merubah perilaku hidup sehat di

lingkungannya. Hal ini selaras dengan teori yang dikemukakan oleh

Rogers (2009) yang mengemukakan bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan, yang dihasilkan dari proses kesadaran, interest,

evaluation, trial dan adoption. Dalam bukunya Notoatmodjo juga

berpendapat bahwa pengetahuan memiliki 3 tingkatan, antara lain tahu,

memahami dan aplikasi (Notoatmodjo, 2007). Ketika pejamu mengetahui

dan memahami bahwa demam berdarah merupakan penyakit yang dapat

menimbulkan kematian yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes

aegypti dan bisa dicegah dengan melakukan 3M secara rutin.

Hal ini mungkin dikarenakan banyaknya kegiatan promotif yang

menambah pengetahuan yang diselenggarakan pihak desa, puskesmas

maupun petugas dinas kesehatan. Oleh karena itu, dalam waktu berkala

43
44

direncanakan untuk diadakannya kegiatan-kegiatan positif yang dapat

menambah pengetahuan masyarakat sehingga dapat menerapkan dalam

kehidupan sehari-harinya. Untuk pejamu yang pengetahuan kurang

diharapkan dapat lebih aktif untuk mengikuti kegiatan positif yang

menambah pengetahuan sedangkan pejamu yang sudah memiliki

pengetahuan tinggi juga dapat mengajarkan kepada masyarakat sekitarnya

dan juga meningkatkan kegiatan-kegiatan positif.

A. Distribusi Perilaku 3M Pejamu di Desa Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan

Distribusi pengetahuan Perilaku 3M di Desa Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan berdasarkan tabel V.6 menunjukkan

bahwa sebagian besar (86,6%) pejamu memiliki perilaku 3M yang baik

sebanyak 58 orang, dan hanya (13,4%) pejamu yang memiliki perilaku 3M

kurang sebanyak 9 orang.

Perilaku masyarakat mempunyai peranan cukup penting terhadap

penularan DBD. Namun perilaku tersebut harus didukung oleh pengetahuan,

sikap, dan tindakan yang benar sehingga dapat diterapkan dengan benar.

Sekarang ini masih ada anggapan berkembang di masyarakat yang

menunjukan perilaku tidak sesuai seperti anggapan bahwa DBD hanya

terjadi di daerah kumuh dan PSN tidak tampak jelas hasilnya dibanding

fogging. Anggapan seperti ini sering diabaikan, padahal sangat berpengaruh

terhadap perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan khususnya

terhadap penularan DBD (Wuryaningsih, 2008).


45

Hasil identifikasi di Desa Desa Nogo menunjukkan bahwa

mayoritas sudah menerapkan perilaku 3M sebesar (86,6%). Hasil tersebut

sudah baik, karena kemauan untuk melakukan pencegahan terhadap demam

berdarah dengue sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan. Namun

demikian masih banyak juga pejamu yang masih belum menerapkan

perilaku 3M dalam kesehariannya karena sebagian tidak mengerti

pentingnya pencegahan karena pengetahuan dan sikap yang kurang atau

masih disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari sehingga tidak mempunyai

waktu yang cukup. Dari fakta tersebut dapat diupayakan untuk melakukan

kegiatan gotong royong di Desa dan dilakukan pembinaan dengan tujuan

meningkatkan upaya pencegahan terhadap demam berdarah dengue.

B. Distribusi Kejadian DBD di Desa Desa Nogo, Kecamatan Sambeng ,

Kabupaten Lamongan

Distribusi Kejadian DBD pejamu di Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan berdasarkan tabel V.4 menunjukkan

bahwa (10,4%) pejamu sakit DBD sebanyak 7 orang dan (89,6%) tidak

sakit DBD sebanyak 60 orang.

Berdasarkan data dari Puskesmas Nogo, sepanjang bulan januari 2019

didapatkan sebanyak 28 kasus demam berdarah dengue yang tersebar di 11

desa. Dari 28 kasus tersebut kasus terbanyak ditemukan di Desa Nogo yaitu

sebanyak 7 kasus, kemudian di Desa Gempol Manis ada 4 kasus, Desa

Pamotan 3 kasus, Desa Candisari 2 kasus, Desa Garung 3 kasus, Desa

Kedungwangi 2 kasus, Dasa Jatipandak 1 kasus, Desa Kreteranggon 1 kasus


46

, Desa Barurejo 1 kasus , Desa Pataan 1 kasus dan Desa Ardirejo 1 kasus

demam berdarah.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh presentase menunjukkan

(10,4%) pejamu sakit DBD sebanyak 7 orang di Desa Nogo, Kecamatan

Sambeng , Kabupaten Lamongan Januari 2019. Untuk itu perlu upaya

masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara

individu atau perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam

rumah. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan

seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka

sendiri.

C. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian DBD

Analisis dengan menggunakan uji Fisher's Exact Test diperoleh hasil

bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian demam

berdarah dengue dengan nilai p=0,009 (p < α). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Duma (2007) di Kecamatan Baruga

Kota Kendari, menghasilkan kesimpulan berupa faktor pengetahuan

berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue. Hasil penelitian di

kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan tahun 2009 juga menunjukkan bahwa

faktor pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD (Wati,

2009).

Menurut asumsi peneliti, pengetahuan yang baik dan kurang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber informasi baik dari


47

lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, petugas kesehatan, maupun media

cetak dan elektronik. Pejamu yang memiliki tingkat pengetahuan baik

ternyata memang banyak yang melakukan praktik pencegahan demam

berdarah dengue bila dibandingkan dengan pejamu yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang. Rendahnya pengetahuan pejamu tentang demam

berdarah dengue menyebabkan kurangnya kesadaran akan tindakan

pencegahan sehingga angka kejadian demam berdarah dengue tidak dapat

menurun. Namun sebaliknya, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang

tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak

tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik.

Maka, tindakan preventif hasil dari pengetahuan sebagai upaya pencegahan

sejak dini untuk menanggulangi kasus demam berdarah dengue penting untuk

di lakukan sehingga angka kejadian kesakitan dapat menurun.

D. Hubungan Perilaku 3M dengan Kejadian DBD

Analisis dengan menggunakan uji Fisher's Exact Test diperoleh hasil

bahwa terdapat hubungan antara perilaku 3M dengan kejadian demam

berdarah dengue dengan nilai p=0,005 (p < α). Penelitian ini sejalan dengan

peneltian yang dilakukan oleh Mahardika (2009), dengan hasil terdapat

hubungan yang bermakna antara perilaku 3M yaitu membersihkan tempat

penampungan air, menutup, dan mengubur dengan kejadian demam berdarah

dengue di wilayah kerja puskesmas Cepiring kecamatan Cepiring kabupaten

Kendal tahun 2009.


48

Sesuai dengan teori bahwa pemberantasan sarang nyamuk dilakukan

secara serentak dan berkesinambungan untuk memberantas tempat-tempat

perindukan nyamuk Aedes aegypti agar tidak berkembang biak salah satunya

adalah membersihkan tempat penyimpanan air dengan menguras air serta

menyikat dindingnya seminggu sekali (DKK Kendal, 2006).

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Depkes RI (2002), bahwa

tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti berupa genangan-genangan air

yang tertampung di wadah. Tempat-tempat yang digunakan menampung air

untuk keperluan sehari-hari antara lain drum, tempayan, bak mandi, bak WC,

ember dan sebagainya. Salah satu cara untuk mencegah dan memberantas

nyamuk Aedes aegypti adalah mengubur atau menyingkirkan barang-barang

bekas dan sampah-sampah lain yang dapat menampung air hujan sehingga

tidak dijadikan tempat perkembang biakan nyamuk. Dalam hal ini lingkungan

Desa Nogo, Kecamatan Sambeng , Kabupaten Lamongan dikelilingi oleh

hutan. Faktor pengolahan /pembuangan sampah yang tidak benar karena tidak

tersedianya TPS dan tidak melakukan aksi mengubur sampah dimana saat

musim penghujan dapat menyebabkan genangan air .

Berdasarkan asumsi peneliti mengenai perilaku pejamu terhadap

resiko kejadian demam berdarah dengue adalah perilaku dalam menjaga

kebersihan yang meliputi faktor karakteristik dan pengetahuan juga

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dimana lingkungan yang kotor banyak

sampah dan barang-barang bekas sangat beresiko terhadap kejadian demam

berdarah dengue begitu juga sebaliknya lingkungan yang bersih adalah

lingkungan yang bisa menjaga kebersihan salah satunya dengan perilaku 3M


49

(mengubur, mengubur dan menutup). Oleh karena itu, pengaruh perilaku 3M

mempunyai peran penting dalam memengaruhi resiko kejadian demam

berdarah dengue. Dengan demikian diharapkan para pejamu dapat

menerapkan perilaku 3M dalam kehidupan sehari-harinya sehingga angka

kejadian demam berdarah dengue dapat menurun.

Anda mungkin juga menyukai