Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL MINI PROJECT

PENENTUAN WILAYAH RAWAN DEMAM BERDARAH DENGUE


DI KABUPATEN KEPAHIANG
DAN ANALISIS PENGARUH IKLIM (SUHU DAN CURAH HUJAN)
TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KABUPATEN KEPAHIANG TAHUN 2013-2016

Disusun Oleh :
dr. Sidik Ismail
dr. Rinal Dhuhri
dr. Liyan Eko Kurnia
dr. Nursanti Oktarini Putri
dr. Dera Fakhrunnisa
dr. Mayandra Mahendrasti

Pembimbing:
dr. Ana Marlina
NIP. 19760925 200604 2014

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS PASAR KEPAHIANG, KABUPATEN KEPAHIANG
PROVINSI BENGKULU
PERIODE 25 NOVEMBER 2015 25 MARET 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum, iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu, curah hujan,
tekanan udara, dan angin dalam jangka waktu yang panjang. Pada intinya iklim
adalah pola cuaca yang terjadi selama bertahun-tahun. Sementara cuaca itu sendiri
adalah kondisi harian suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin. Jadi, yang
dimaksud perubahan iklim adalah perubahan pada pola variabel iklim yang telah
terjadi dalam jangka waktu lama, setidaknya puluhan tahun (Sriwiedayanti, 2007).
Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan, akan tetapi
karena ulah manusia sehingga sifat kejadiannya menjadi lebih cepat dan drastis.
Dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim diantaranya adalah meningkatnya
prevalensi penyakit yang terkait iklim. DBD merupakan penyakit yang sangat rentan
terhadap perubahan iklim dan penyebarannya sangat cepat.
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi tular vektor yang ditemukan
di daerah tropis-subtropis. Faktor iklim meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan
diduga berpengaruh terhadap angka kejadian Demam Berdarah Dengue. Indonesia
merupakan negara yang berada di wilayah tropis, sehingga merupakan daerah
penyebaran sekaligus daerah endemis yang menyebabkan tingginya angka kesakitan
di Indonesia.
Penyakit DBD mulai dikenal pada tahun 1779. Wabah pertama terjadi pada
tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika Utara. Demam
berdarah dengue pertama kali muncul di Asia tenggara pada tahun 1953 tepatnya di
Filiphina. Sejak saat itu, tedapat laporan serangan penyakit DBD yang disertai
tingkat kematian yang tinggi yang melanda beberapa negara di wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung
meningkat dan penyebarannya bertabah luas (Sriwiedayanti, 2007).
Pada tahun 2004, WHO menetapkan penyakit yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim salah satunya adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada tahun
2012, DBD merupakan penyakit virus yang ditularkan nyamuk dengan peringkat
tertinggi di dunia. Diperkirakan 50 juta infeksi DBD terjadi setiap tahun dan sekitar
2,5 miliar orang hidup di negara-negara endemik DBD. Sekitar 1,8 miliar atau 70 %
dari populasi yang berisiko untuk terjangkit DBD di seluruh dunia berada di Asia
Tenggara dan Pasifik (Sriwiedayanti, 2007).
1

Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat
setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka
fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang
baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (Depkes RI, 2008).
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30
tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus,
dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008).
Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan
200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008).
Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat hingga pertengahan bulan
Desember 2014 ini, angka kejadian kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
telah terjadi di 34 provinsi di Indonesia. Dari total 71.668 orang yang tertular
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dilaporkan 641 orang diantaranya
meninggal dunia. Dimana angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya (2013) dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan yang
meningggal dunia sebanyak 871 orang. Akan tetapi, beberapa provinsi mengalami
peningkatan jumlah kasus DBD di tahun 2014, di antaranya Sumatera Utara, Riau,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali dan
Kalimantan Utara (Sulistyowati, 2014).
Dinas kesehatan kabupaten Kepahiang mencatat kejadian DBD sejak tahun
20132016, yang terjadi di 8 kecamatan salah satunya di kecamatan Kepahiang. Dari
jumlah total orang yang tertular penyakit DBD sebanyak 314 orang, 22 orang pada
tahun 2013, 29 orang pada tahun 2014, 121 orang pada tahun 2015 dan meningkat
pada tahun 2016 hingga akhir februari tercatat 142 orang, dan dilaporkan 5 orang
meninggal dikarenakan komplikasi dari berbagai penyakit (Dinkes Kepahiang,
2016).
Untuk itu, dalam menurun angka kejadian Demam Berdarah Dengue maka
diperlukan kepedulian dan peran aktif masyarakat secara gotong royong melakukan
langkah-langkah

pencegahan

penularan

penyakit

DBD

melalui

kegiatan

pemberantasan nyamuk dan jentik secara berkala PSN 3M Plus (Sulistyowati, 2014).
Demam berdarah dengue sebagai penyakit berbasis vektor perlu diwaspadai
karena penularan penyakit ini memiliki kemungkinan meningkat dengan perubahan
iklim yang ditandai dengan perubahan pada faktor iklim. Karena semakin tingginya
jumlah kasus DBD di Kabupaten Kepahiang dari tahun ke tahun, yang dapat dilihat
2

dari laporan dinas kesehatan Kabupaten Kepahiang dari tahun 2013-2016. Membuat
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan,
hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan
angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang tahun 2013-2016.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh iklim (suhu dan
curah hujan) terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang
tahun 2013-2016?
C. Tujuan
Dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis pengaruh iklim (suhu dan curah hujan) terhadap kejadian demam
berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang tahun 2013-2016.
D. Manfaat
1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi data
bagi penentu kebijakan dalam penentuan kebijakan pelaksanaan program
kesehatan yang berkaitan dengan iklim, sehingga kejadian demam berdarah
dengue dapat diprediksi dan diantisipasi dengan tepat.
2. Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan menjadi tambahan ilmu
untuk mengantisipasi kejadian demam berdarah dengue, dengan demikian
masyarakat dapat mengembangkan dan melaksanakan program pencegahan dan
pemberantasan yang berkaitan dengan iklim.
3. Bagi Peneliti
a. Sebagai proses dan melatih kemampuan dalam melaksanakan penelitian di
masyarakat
b. Dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang hubungan kejadian
demam berdarah dengue dengan iklim.
c. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapat di perkuliahan, dan
dapat menambah wawasan tentang penyakit DBD.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue
Pengertian DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengeu (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Rezeki, 2004). Penyakit
DBD adalah suatu penyakit demam panas yang disertai adanya perdarahan yang ke
luar dari tubuh melalui lubang dubur, hidung atau adanya tanda-tanda perdarahan
yang dapat terlihat di bawah kulit, berupa bintik-bintik merah yang terjadi secara
sporadis dan epidemi. Penyakit ini dalam dunia kedokteran dikenal dengan nama
Dengue dan ada juga yang menyebutkan Breakbone fever (Rezeki, 2000).
4

Sedangkan menurut Djunaedi (2006) penyakit DBD adalah penyakit infeksi virus
dengue yang masih menjadi problem kesehatan masyarakat.
Menurut Prabu (1992) DBD memiliki dua bentuk penyakit dengue, yaitu
demam 5 hari dan DBD. Penyakit dengue disebabkan oleh virus yang disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti melalui gigitannya dari manusia ke manusia, sedangkan
manusia yang pertama kali terkena memperolehnya dari gigitan nyamuk Aedes
albopictus dan Aedes scutellaris yang hidup di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk
tersebut mengigit kera yang mengandung virus tersebut dan menularkannya ke
manusia. Pada tempat gigitan nyamuk Aedes terlihat bekas gigitan dengan warna
kemerahan yang bergaris tengah 1-4 cm. Masa inkubasi yaitu sejak virus masuk
tubuh sampai dengan gejala pertama timbul, berkisar antara waktu 3 dan 15 hari.
Penyakit DBD ditemukan pada bangsa-bangsa di Asia mula-mula di Filipina
pada tahun 1954, kemudian di Muang Thai pada tahun 1958, kemudian menyusul
Malaysia, Vietnam, Singapura, Laos, dan India. Sedangkan pertama kali di Indonesia
ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar
ke berbagai daerah hingga tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali TimorTimor telah terjangkit penyakit DBD.
Definisi Kasus DBD
Definisi kasus DBD menurut WHO adalah adanya riwayat demam;
trombositopeni, yakni perhitungan platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cumm
(Standar Internasional sama atau kurang dari 100 x 109/L); manifestasi perdarahan
seperti hasil uji tes torniquet positif, fenomena perdarahan yang jelas; dan
berkurangnya plasma karena meningkatnya permeabilitas vaskuler. Adanya kenaikan
hematokrit sebesar 20 % dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi
pleural atau efusi abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun
sinar-X.
Penyakit ini bersifat biphasic yaitu tiba-tiba dimulai dengan demam dan pada
anak-anak disertai dengan keluhan pada saluran pernapasan bagian atas, kadangkadang tidak ada nafsu makan, rasa panas di daerah muka, dan gangguan
gastrointestinal ringan. Bersamaan dengan menurunnya jumlah trombosit, keadaan
umum penderita tiba-tiba memburuk ditandai dengan rasa lemas, sangat gelisah,
muka pucat dan nafas cepat, rasa sakit yang sangat di daerah abdomen dan sianosis
sekitar mulut. Selain itu, hati mungkin membengkak setelah dua hari atau lebih suhu
badan turun, perdarahan sering terjadi termasuk perdarahan yang menyebar.
Kemudian, mudah memar dan gejala yang jarang terjadi adalah timbulnya mimisan,
5

perdarahan pada saat pengambilan darah vesed serta perdarahan gusi.


Pada kasus berat, gejala klinis ditambah dengan terjadinya akumulasi cairan
pada rongga tubuh. DBD dengan kerusakan hati berat, dengan atau tanpa
ensefalopati telah ditemukan pada waktu kejadian DBD di Indonesia dan Thailand.
Angka kematian dari penderita DBD dengan renjatan yang tidak diobati atau dengan
manajemen yang salah adalah sebesar 40 50 %; dengan terapi cairan fisiologis
yang cepat, angka ini menurun menjadi 1 2 % (Rezeki, 2000).
Tanda dan Gejala DBD
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai
sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam. Ruam
pada DBD mempunyai ciri-ciri merah terang, perdarahan, dan biasanya muncul
terlebih dahulu pada bagian bawah badan. Pada beberapa kasus, ruam tersebut
menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa
juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.
DBD umumnya memiliki jangka waktu sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak
demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis, jumlah
platelet akan sangat menurun. Sesudah masa tunas/inkubasi selama 3-15 hari, orang
yang tertular dapat mengalami/menderita penyakit dalam salah satu dari empat
bentuk berikut ini, yaitu:
1. Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
2. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari, nyeri- nyeri pada
tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah
kulit.
3. Dengue haemorrhagic fever (demam berdarah dengue/DBD) gejalanya sama dengan
dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung, mulut, dan dubur.
4. Dengue syok sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok/pre-syok,
pada bentuk ini sering terjadi kematian.
Akibat kejadian perdarahan dan syok yang sering dapat menyebabkan angka
kematian DBD cukup tinggi. Oleh karena itu setiap penderita yang diduga menderita
penyakit DBD dalam tingkat manapun harus segera dibawa ke dokter atau rumah
sakit,

mengingat

sewaktu-waktu

dapat

mengalami

syok/kematian.

DBD

menunjukkan demam yang lebih tinggi, trombositopenia dan hemokonsentrasi.


Sejumlah kecil kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai
tingkat kematian tinggi (Djunaedi, 2006).

Penyakit DBD memiliki gejala pada fase I yaitu suhu tubuh meninggi sampai
39C dengan cepat secara mendadak dengan menggigil, nyeri kepala, nyeri di daerah
mata disertai takut melihat cahaya, nyeri pada punggung, nyeri otot dan sendi.
Penyakit pada fase ini jarang menimbulkan komplikasi dan persentase kematian
sangat rendah. Gejala lain adalah kadang-kadang timbul bintik-bintik merah pada
kulit dan cepat menghilang. Kemudian, suhu tubuh yang tinggi dalam beberapa hari
dapat menurun tetapi dalam waktu singkat dapat meninggi kembali sampai 40C.
Pada saat ini dimulai fase II pada penyakit DBD, yaitu ketika timbul lagi bintikbintik merah dan bila ditekan akan menghilang sebentar. Kadang-kadang terdapat
kelenjar limfa yang membesar, batuk, muntah, dan berak-berak. Pada DBD,
perdarahan di bawah kulit terjadi akibat dari kebocoran pembuluh darah atau darah
mudah menembus ke luar dinding pembuluh darah. Terdapat rasa nyeri di bawah
dada bagian tengah, dan timbul tanda-tanda perdarahan di bawah kulit, perdarahan
gusi, hidung, berak darah, kemudian penderita menjadi syok dengan gejala-gejala
kesadaran yang menurun atau hilang dan dapat pula terjadi kejang. Bila darah
diperiksa di laboratorium maka akan ditemukan kelainan atau perubahan dari normal
(John,1995).
WHO (1997) memberikan pedoman untuk membantu menegakkan diagnosis
DBD secara dini, di samping menentukan derajat berat penyakit:

Klinis
demam mendadak tinggi
perdarahan (termasuk uji bendung +) seperti perdarahan epistaksis,
hematemesis dan lain-lain
hepatomegali
syok: nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi <20, atau hipotensi disertai
gelisah dan akral dingin
Derajat penyakit
- derajat I: demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet.
- derajat II: derajat I ditambah perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan
lain.
- derajat III: didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi <20 mHg hipotensi, akral dingin, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin
dan lembab dan pada anak, tampak gelisah.
- derajat IV: syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.


Laboratorium
- trombositopenia (<100.000/l)
- hemokonsentrasi (kadar Ht lebih 20% dari normal).

Siklus DBD
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti/Aedes
albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari
penderita DBD lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia dan
sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang hari. Orang yang berisiko
terkena DBD adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dan sebagian besar
tinggal di lingkungan lembab serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering
terjadi di daerah tropis dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan
muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia (Rezeki, 2004).
Nyamuk mendapatkan virus ini pada saat melakukan gigitan pada manusia
(vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus dengue di dalam darahnya
(viraemia). Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi
(memecah diri/berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan
sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk
dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.
Virus memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit.
Setelah itu disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus
melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus sudah
cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia) dan pada saat tersebut
manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue
dalam tubuh manusia, maka tubuh akan memberi reaksi. Bentuk reaksi tubuh
terhadap virus ini antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda,
dimana perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala
klinis dan perjalanan penyakit (Depkes, 2007).
Faktor Penyebab DBD
Masalah penyakit menular, terutama DBD tidak bisa dilekatkan pada satu
penyebab. Penyakit menular bisa muncul akibat gabungan dari mekanisme hereditas,
pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memadai, perilaku manusia, dan
lingkungan

yang

tidak

mendukung.

Menurut

Depkes,

faktor-faktor

yang

mempengaruhi masalah DBD antara lain adalah:


1. Vektor
Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar
luas dan mencakup lebih dari dua pertiga luas dunia.
8

2. Manusia
Manusia adalah pembawa utama virus dengue, dengan kenaikan jumlah penduduk
yang pesat maka manusia pembawa virus akan semakin banyak. Perbaikan
transportasi,

perpindahan

penduduk,

pengungsian,

program

penempatan

penduduk, faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya di suatu tempat juga dapat
menyebabkan virus dan nyamuk tersebar luas. Faktor ekonomi, sosial dan budaya
mempengaruhi pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap suatu penyakit.
Kerentanan setiap individu terhadap penyakit juga mempengaruhi jumlah kasus.
3. Virus
Virus dengue tersebar di seluruh dunia dengan empat tipe serotipe yaitu Den-1, 2,
3 dan 4 yang semakin bercampur mengikuti mobilitas manusia. Temperatur tinggi
sekitar300C cenderung mempercepat replikasi virus.
4. Lingkungan
Daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi, keberadaan industri, dan
perdagangan, pemanasan global, kehidupan modern, dan perubahan penggunaan
tanah dari lingkungan alamiah menjadi perumahan atau fasilitas lainnya
mempengaruhi perkembangbiakan vektor. Kualitas pemukiman, jarak antar
rumah, dan konstruksi rumah mempengaruhi penularan. Ketinggian tempat
berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk dan virus dengue. Pada wilayah
dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan vektor
penular DBD.
Terdapat 3 faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu
manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue dapat ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti dapat menularkan
virus dengue kepada manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang
yang sedang mengalami viremia; maupun secara tidak langsung yaitu setelah melalui
masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, apabila
virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuhnya maka nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia,
penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 57 hari (Rezeki, 2000).
WHO (1999) menyatakan bahwa kejadian wabah DBD dihubungkan dengan
beberapa faktor, termasuk kepadatan vektor nyamuk, terutama Aedes aegypti. Selain
itu, penularan virus makin meningkat dengan makin bertambahnya populasi manusia.
Urbanisasi di negara tropis telah mengakibatkan baik proliferasi Aedes aegypti dan

peningkatan jumlah pejamu manusia yang rentan. Di kota, perpindahan orang yang
viraemik merupakan cara penyebaran virus dengue yang paling penting dibanding
perpindahan nyamuk Aedes aegypti. Tempat di mana orang berkumpul selama siang
hari mungkin menjadi bagian penting dari penularan virus dengue.
Perbedaan pola musim dalam wabah DBD terjadi pada banyak tempat. Di
wilayah tropis dimana pola musim hujan terjadi, angka hospitalisasi DBD meningkat
selama musim hujan dan menurun beberapa bulan setelah hujan berhenti. Penurunan
ini mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas gigitan nyamuk, penurunan
lama hidup nyamuk betina atau keduanya dan kemungkinan berkaitan dengan
penurunan populasi vektor. Selama musim tenang ini, penularan virus paling
mungkin terjadi di perkotaan endemik dimana kepadatan populasi manusia yang
tinggi menjamin suplai konstan individual rentan dan banyak vektor berkembangbiak
dan tinggal di sekitar tempat tinggal manusia mengisolasi populasi vektor karena
pengaruh musim hujan (WHO, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks yaitu pertumbuhan
penduduk, urbanisasi yang tidak terencana, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk
yang efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan
mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status
imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk, penularan virus dengue, faktor
keganasan virus, dan kondisi georafis setempat.
Pola berjangkit infeksi dengue dipengaruhi oleh keadaan iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi,
nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak selalu sama di setiap daerah,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda. Di Jawa, pada umumnya infeksi
dengue terjadi pada awal Januari, meningkat terus hingga kasus terbanyak dapat
terjadi pada bulan April-Mei setiap tahun.

Vektor Penular DBD


Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke
seluruh dunia melalui kapal laut atau udara. Nyamuk hidup dengan baik di belahan
dunia yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.

10

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai tubuh kecil, berwarna hitam dengan


bintik-bintik putih. Ia hidup di dalam dan di sekitar rumah. Nyamuk ini bersarang
dan bertelur di genangan air jernih, bukan di got atau selokan kotor. Bahkan, nyamuk
ini sangat menyukai bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung,
perangkap semut. Kebiasaan lain nyamuk ini adalah suka hinggap pada pakaian yang
bergantungan di kamar dan menggigit atau menghisap darah pada siang hari dengan
waktu puncak gigitan pada pukul 09.00-11.00 dan pada sore hari pukul 16.00-17.00.
Nyamuk betina berumur antara 2 minggu sampai 3 bulan, tergantung suhu dan
kelembaban udara di sekitarnya. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Secara
umum nyamuk Aedes aegypti dapat terbang sejauh 2 kilometer, walaupun rata-rata
jarak terbang 40 meter. Nyamuk betina yang biasanya mencapai umur satu bulan
mempunyai jarak terbang sekitar seratus meter. Nyamuk jantan tidak bisa menggigit
dan menghisap darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan (Djunaedi,
2006).
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang berada di pemukiman. Nyamuk ini
sangat erat hubungannya dengan keberadaan benda buatan manusia atau wadahwadah (artificial container). Siklus spesies Aedes aegypti sama dengan siklus Aedes
yang lain. Dimulai dari telur, larva, pupa hingga kemudian dewasa. Oleh karena itu,
spesies nyamuk yang lain yang masuk kelompok orthodiptera sering disebut
metaformosis sempurna. Telur Aedes aegypti setelah dikeluarkan dari induknya tidak
langsung menetas, namun telur bisa mengalami dormansi (pengawetan).
Bila kelembaban kurang, telur dapat menetas dalam waktu yang lama hingga
mencapai tiga bulan. Kalau lebih dari waktu tersebut, telur akan mengalami
penurunan fekunditas (tidak mampu menetas lagi). Meskipun hanya seminggu, jika
kelembaban cukup tinggi yaitu di atas 70%, telur dapat mengalami perkembangan
embrio di dalam cangkang telur sendiri. Pada musim kemarau, populasi densitas
(kepadatan) telur rendah karena tidak mendapatkan tempat untuk menetas. Sementara
saat musim penghujan, banyak terdapat genangan-genangan air sehingga nyamuk
mendapatkan kelembaban yang tinggi sampai akhirnya menetas.
Pada musim penghujan, populasi nyamuk akan meningkat dengan cepat. Pada
waktu musim kering, telur nyamuk diawetkan oleh alam karena situasi kering. Waktu
yang diperlukan sejak dari telur menetas sampai dewasa adalah antara 8-10 hari
tergantung temperatur. Apabila temperatur tinggi, waktu yang dibutuhkan nyamuk
dari telur menjadi dewasa hanya membutuhkan waktu 8 hari.
11

Sedangkan pada kondisi temperatur rendah, waktu yang dibutuhkan adalah 10


hari. Temperatur tinggi dalam perkembangan nyamuk mempengaruhi percepatan
metabolisme, sedangkan kelembaban akan mempengaruhi pernapasan nyamuk.
Nyamuk Aedes aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat
penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah seperti bak
mandi/wc, tampayan/gentong, tempat minum burung, air tandon, kaleng, ban bekas.
Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di seluruh pelosok tanah air, baik
di kota-kota maupun di desa-desa, kecuali di wilayah yang ketinggiannya lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut (Rezeki, 2000).
Morfologi dan Lingkungan Hidup
Morfologi
Morfologi Aedes aegypti pada setiap stadiumnya adalah sebagai berikut:
1. Telur
Aedes aegypti memiliki karakteristik dalam meletakkan telur yaitu
meletakkannya satu per satu pada objek yang gelap. Telur tersebut tidak saja
diletakkan di permukaan air, tetapi juga di sepanjang dinding dari container dan
sedikit di atas permukaan air. Air di dalam tempat tersebut adalah air jernih dan
terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air di dalam rumah lebih
disukai dari pada di luar rumah dan tempat air yang lebih dekat rumah lebih
disukai dari pada yang lebih jauh dari rumah.
Telur Aedes aegypti dapat bertahan sampai enam bulan di tempat kering.
Pada waktu diletakkan telur berwarna putih, 15 menit kemudian menjadi abu-abu,
dan setelah 40 menit berwarna hitam dengan ukuran 0,6 mm dan berat 0,0113
mg (Sungkar, 2005).

2. Larva
Larva Aedes aegypti secara visual dapat dideteksi pada saat berada di
dalam air karena memiliki ciri khas yaitu:
a. Gerakannya cepat dengan membengkok-bengkokkan tubuhnya sehingga
memberi gambaran seperti sudut siku-siku
b. Tubuhnya langsing dengan perbandingan yang seimbang
c. Bersifat photofobia
d. Sangat tahan lama berada jauh dari permukaan

12

e. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.
3. Pupa
Bentuk pupa Aedes aegypti sulit dibedakan dengan bentuk pupa spesies
lain. Stadium ini merupakan masa istirahat untuk menjadi bentuk dewasa.
4. Dewasa
Karakteristik nyamuk dewasa dapat dilihat dari:
a. Feeding time (waktu kontak antara vektor dengan pejamu)
Kontak antara vektor dengan pejamu terjadi akibat aktivitas vektor
dalam mencari mangsa. Besarnya kontak antara vektor dengan pejamu
bergantung pada kebiasaan vektor dalam mencari makan dan tersedianya
pejamu pada waktu dan tempat yang tepat dengan kegiatan vektor. Salah satu
aspek penting dari kebiasaan makan vektor adalah kesukaan terhadap pejamu
tertentu (host preference), yakni kecenderungan mencari mangsa pada
vertebrata tertentu walaupun terdapat pejamu alternatif. Dalam hal ini, Aedes
aegypti tergolong antropofilik atau suka padamanusia, umumnya endofagik
atau menggigit dalam rumah dan kadang-kadang eksofagik atau menggigit di
luar rumah terutama di tempat yang gelap. Aedes aegypti memiliki kebiasan
menggigit berulang-ulang (multiple biter) yaitu menggigit beberapa orang
secara bergantian dalam waktu yang relatif singkat. Aedes aegypti adalah
penggigit pada waktu pagi sampai sore hari tetapi masih ada kemungkinan
untuk menggigit pada waktu lain dengan syarat penerangan.
b. Resting place (tempat istirahat)
Aedes aegypti biasanya memilih tempat istirahat di semak-semak atau
tanaman rendah kebun, halaman atau pekarangan rumah (eksofilik). Selain itu,
Aedes aegypti juga banyak ditemukan di dalam rumah di tempat yang gelap
pada benda yang tergantung seperti pakaian dan kelambu (endofilik).
c.

Flight range (jangkauan terbang)


Aedes aegypti umumnya tidak dapat terbang dalam jarak yang cukup
jauh sehingga dalam mencari makan jangkauan terbangnya hanya 100 kaki saja
dari tempat perindukannya (Depkes, 2008).
Lingkungan Hidup
Vektor DBD (Aedes aegypti) dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosa
sempurna yaitu dari bentuk telur, larva, pupa, sampai dewasa. Habitat vektor selama

13

hidupnya tersebut berada di dua alam yang berbeda. Bentuk telur, larva, dan pupa
berada di lingkungan air, sedangkan bentuk dewasanya berada di lingkungan
darat/udara. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap stadium sangat bergantung pada
keadaan lingkungan seperti suhu, kelembaban udara, persediaaan makanan, dan
kepadatan nyamuk sendiri. Perkembangbiakan telur sampai menjadi bentuk dewasa
berlangsung selama sembilan hari (antara 7-10 hari). Pada stadium dewasa, Aedes
aegypti betina dapat bertahan hidup rata-rata selama 62 hari bila menghisap darah
dan 82 hari bila tidak menghisap darah.
Habitat vektor DBD khusunya Aedes aegypti memiliki karakteristik spesifik.
Pada saat berada di lingkungan air nyamuk ini lebih suka menggunakan tempat
perindukan yang tidak alami (artificial breeding place) berupa kontainer seperti
tempayan, gentong, bak mandi, ban bekas, kaleng bekas dan lain-lain yang airnya
tidak langsung berhubungan dengan tanah. Jenis air yang disukai adalah air yang
jernih terutama yang berada di dalam atau sekitar rumah. (Depkes, 2008)
Virus Dengue
Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, yang berukuran kecil yaitu 35-45
nm. Virus ini dapat bertahan hidup (survive) di alam ini melalui dua mekanisme.
Mekanisme pertama adalah penularan vertikal dalam tubuh nyamuk, dimana virus
dapat ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya yang kemudian akan menjadi
nyamuk. Virus juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan pada nyamuk betina melalui
kontak seksual. Mekanisme kedua yaitu transmisi virus dari nyamuk ke dalam tubuh
makhluk vertebrata yaitu manusia dan kelompok kera tertentu.
Virus dengue terdapat di daerah tropik dan subtropik. Dikenal 4 tipe virus
dengue yang menyebabkan DBD yaitu tipe 2 atau DEN-2, sedangkan tipe 1, 3 dan 4
atau dikenal pula dengan DEN-1, DEN-3 dan DEN-4 hanya menyebabkan infeksi
ringan saja yaitu penyakit demam 5 hari. Setelah nyamuk Aedes aegypti menghisap
darah penderita dengue, maka darah berada di dalam tubuh nyamuk selama 8-14 hari,
kemudian nyamuk tersebut menjadi infektif sehingga mampu menularkan virus
penyakit tersebut pada makhluk lain. Selama nyamuk tersebut hidup, nyamuk
tersebut tetap mampu menularkan virus ke tubuh manusia lain yang digigit. Oleh
karena itu nyamuk perlu dibasmi (Prabu,1992). DBD disebabkan virus dengue yang
termasuk grup B Arthropod borne virus (Arboviruses). Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Keempat jenis
14

serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Rezeki,


2000).
Pencegahan DBD
Berikut ini adalah tindakan pencegahan yang dapat dilakukan pemerintah agar
masyarakat dapat terhindar dari DBD:
1. Memberi penyuluhan yang berisi informasi kepada masyarakat untuk
membersihkan tempat perindukan nyamuk dan melindungi diri dari gigitan
nyamuk dengan memasang kawat kasa, perlindungan dengan pakaian, dan
menggunakan obat gosok anti nyamuk.
2. Melakukan survei di masyarakat untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor
nyamuk dan tempat perindukan dan habitat larva Aedes aegypti. Tempat
penampungan air buatan atau alam yang dekat dengan pemukiman manusia
(misalnya ban bekas, vas bunga, dan tempat penyimpanan air) merupakan
habitat yang disenangi oleh Aedes aegypti. Selain itu juga membuat rencana
pemberantasan sarang nyamuk serta pelaksanaannya (Depkes, 2006).
Karena tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk virus penyebab
DBD, maka pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu:
1. Fisik
Cara ini untuk mengendalikan nyamuk antara lain dengan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan
desain rumah. Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M yaitu menguras dan
menyikat bak mandi/penampungan air (vas bunga dan tempat minum burung)
seminggu sekali dengan tujuan agar nyamuk tidak dapat berkembang biak pada
tempat tersebut. Menutup dengan rapat tempat penampungan air (tempayan,
drum, dan lain-lain). Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barangbarang bekas (kaleng, aki dan ban) di sekitar rumah. Bila kegiatan yang telah
disebutkan di atas dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya sehingga penularan
DBD tidak terjadi lagi.

15

2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang) dan bakteri Bacillus
thuringlensis.
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan/fogging, berguna
untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
Fogging hanyalah untuk mematikan nyamuk dewasa. Untuk memberantas larva
diberikan bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong
air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara pencegahan di atas yaitu memelihara ikan pemakan
jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat
nyamuk, dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat (Rezeki,
2004).
Selain itu, cara mencegah penyakit DBD yang dapat dilakukan pada
tempat penampungan air di rumah adalah dengan menabrkan bubuk abate ke
dalamnya. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menggunakan bubuk
abate:
a. Perkirakan berapa liter air isi tempat penampungan air yang akan dibubuhi
bubuk abate
b. Pada setiap 10 liter air, diperlukan 1 gram bubu abate (satu sendok makan
berisi 10 gram abate)
c. Masukkan bubuk abate ke dalam tempat penampungan air. Setelah dibubuhi
bubuk abate, jangan segera kuras tempat penampungan air agar bubuk abate
dapat lebih tahan lama. Bila tidak dikuras segera, bubuk abate dapat
membebaskan tempat penampungan air dari jentik sampai dengan tiga
bulan (Prabu, 1992).
Selain pemusnahan nyamuk, usaha lain yang perlu dilakukan dengan
pemberantasan sarang nyamuk yang berada di luar rumah seperti menutup semua
tempat yang terdapat air seperti kaleng kosong, bambu pagar dan penampung air.
Kebersihan dalam rumah tangga harus diperhatikan, pakaian yang bergantung
terutama yang lembab dan kotor karena nyamuk senang berada di tempat itu.
Mengontrol nyamuk dan mencegah gigitannya serta mengisolasi penderita agar

16

terhindar dari gigitan nyamuk (John, 1995).

B. Iklim
Iklim didefinisikan sebagai sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang
panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statisik
yang berbeda dngan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979)
dalam LAPAN (2009). Selain itu, iklim juga didefiniskan sebagai konsep abstrak
yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsure-unsur atmosfer di suatu daerah selama
kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980) dalam LAPAN 2009).
Sedangkan menurut Gibbs dalam LAPAN (2009) iklim adalah peluang statistik
berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin, dan kelembaban, yang
terjadi di suatu daerah selama kurun waktu yang panjang. Sementara dalam Glossary
of Meteorology iklim adalah keseluruhan dari cuaca yang meliputi jangka waktu
panjang di suatu wilayah.
Perubahan Iklim
Definisi perubahan iklim adalah perubahan kondisi fisik atmosfer bumi antara
lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai
sektor kehidupan manusia (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Perubahan fisik
ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002)
mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih
elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala
global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseleuruhan.
IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata
kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk
jangka waktu yang panjang (umumnya dekade atau lebih).
Perubahan iklim merupakan perubahan pada variabel iklim, khususnya suhu
udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu
yang panjang antara 50 sampai 100 tahun yang telah terukur sejak pertengahan abad
ke19 (Depkes, 2009). Pada dasarnya, iklim bumi senantiasa mengalami perubahan,
hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara aalamiah, namun kini
perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), terutama
yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih guna lahan. Kegiatan
manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan
17

konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon
dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut yang
selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca,
yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi
menahan radiasi gelombang panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi
makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
C. Pengaruh Iklim Terhadap Demam Berdarah Dengue
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim,
kkhusunya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin (Depkes, 2009).
Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan pejamu
perantara (host intermediate). Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne
disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai
karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim.
Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Salah satu dampak dari perubahan iklim
adalah meningkatnya kemungkinan kejadian yang terus menerus dari vector borne
disease (Munasinghe, 2003). Sejalan dengan penelitian Collwell (2003) yang
menyatakan bahwa perubahan iklim akan memberi efek ada penyakit infeksi terutama
yang ditularkan oleh arthropoda poikilothermic seerti nyamuk dan pinjal.
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya interval suhu di
mana vektor dan parasit penyakit dapat hidup, telah menyebabkan peningkatan jumlah
kasus malaria di Asia hingga 27%, sedangkan DBD hingga 47%. Di Indonesia,
daerah-daerah baru yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan
penyebaran vektor dan parasitnya. Salah satu dampak perubahan iklim adalah pada
kesehatan yaitu memperpanjang waktu transmisi berbagai penyakit yang disebabkan
oleh vektor (seperti DBD dan malaria) dan juga mengubah jangkauan geografisnya
sehingga berpotensi menjangkiti daerah yang masyarakatnya memiliki kekebalan
yang rendah terhadap penyakit-penyakit tersebut (Depkes, 2009).
Faktor Iklim yang Dapat Mempengaruhi DBD
1. Suhu

18

Suhu merupakan keadaan udara panas atau dingin suatu waktu yang
diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Dengan
suhu yang lebih tinggi, dapat mengubh musim penularan dari vector borne
disease. Suhu dapat mempengaruhi beberapa vektor dan patogen vector borne
disease

dalam

hal

kemampuan

bertahan

hidup

sehingga

dapat

meningkatkan/menurunkan kemampuan bertahan hidup, tergantung spesies.


Perubahan suhu yang menjadi lebih tinggi dapat menurunkan ukuran beberapa
vektor, tetapi dapat pula menurunkan aktivitas vektor lain. Selain itu, dapat pula
terjadi perubahan pada populasi pertambahan vektor dan perubahan musim pada
perkembangan populasi vektor. Pada titik tertentu, suhu mempengaruhi daya tahan
hidup telur dan nyamuk dewasa. Selain itu, suhu juga mempengaruhi penyebaran
virus pada tiap tahap siklus nyamuk. Aedes aegypti dewasa dan telur mampu
bertahan hidup pada interval suhu 50420C, sedangkan suhu di bawah 200C
mencegah telur untuk menetas. Suhu juga mempengaruhi waktu yang dibutuhkan
untuk perkembangan embrio, larva, dan pupa, serta sangat mempengaruhi
frekuensi gigitan nyamuk. Selain itu, suhu juga mempengaruhui periode inkubasi
ekstrinsik (PIE) yaitu periode yang dibutuhkan virus untuk masuk ke dalam tubuh
nyamuk dan menjadi infektif. Pada suhu yang rendah, PIE membutuhkan waktu
yang lama dan kecil kemungkinan nyamuk untuk bertahan hidup lama dan untuk
menularkan virus kepada manusia. Jika terjadi perubahan pada suhu, meskipun
sedikit, dapat mempengaruhi dinamika musim penularan penyakit berbasis vektor
(Burke, 2001). DBD merupakan pennyakit berbasis vektor yang terjadi musiman
dan biasanya berhubungan dengan cuaca lebih hangat (Michael, 2003).
2. Curah Hujan
Curah hujan mengandung pengertian rata-rata air hujan yang jatuh ke
pemukaan bumi setiap bulan. Variabilitas hujan dapat berkonsekuensi langsung
terhadap wabah penyakit infeksi. Dengan peningkatan curah hujan dapat
meningkatkan keberadaan vektor penykit dengan memperluas habitat larva yang
ada dan membuat tempat breeding (peribdukan) baru. Curah hujan lebat dapat
menyebabkan banjir dan mengurangi populasi vektor dengan mengurangi habitat
larva dan membuat lingkungan menjadi tidak nyaman. Pada tempat dengan iklim
tropis basah, musim kemarau dapat menyebabkan sungai melambat dan
menjadikannya kolam yang stagnan sehingga menjadi habitat ideal bagi vektor
penyakit DBD umumnya berada di daerah tropis dan subtropis yng didominasi
ccurah hujan yang cukup tinggi.
3. Hari Hujan
19

Hari hujan merupakan jumlah hari hujan yang terjadi dalam satu bulan dan
diperoleh berdasarkan hasil pengukuran harian. Faktor iklim ini tidak
memperhatikan berapa banyaknya hujan yang turun ke permukaan bumi, tetapi
jumlah hari di mana hujan turun ke permukaan bumi dalam satu bulan.
4. Lama Penyinaran Matahari
Rata-rata lama matahari bersinar dalam suatu waktu yang diperoleh dari
hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan dinyatakan dalam
persen merupakan pengertian dari lama penyinaran matahari. Sedangkan Glossary
of Meteorology dalam Neiburger (1995) mendefinisikan lama penyinaran matahari
sebagai waktu keseluruhan pancaran elektromagnet yang dipancarkan matahari
atau intensitas dan sebaran spektrum pancaran yang diterima bumi dari matahari.
5. Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah rata-rata kandungan air keseluruhan (uap, tetes
air dan kristal es) di udara pada suatu waktu yang diperoleh dari hasil pengukuran
harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Sedangkan berdasarkan Glossary of
Meteorology, kelembaban didefinisikan sebagai jumlah uap air di udara atau
tekanan uap yang teramati terhadap tekanan uap jenuh untuk suhu yang teramati
dan dinyatakn dalam persen (Neiburger, 1995). Kelembaban dapat mempengaruhi
penularan vector borne disease, terutama vektor serangga. Nyamuk mengalami
penurunan kemampuan bertahan hidup pada kondisi kering. Kelembaban rata-rata
telah ditemukan sebagai faktor iklim paling kritis pada penyakit (EHP, 2008).
6. Kecepatan angin
Kecepatan angin adalah rata-rata laju pergerakan angin yang merupakan
gerakan horisontal udara terhadap permukaan bumi, dalam suatu waktu yang
diperoleh dari asil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan memiliki
satuan Knot (Neiburger, 1995).
D. Kerangka Konsep
Iklim:

Kejadian DBD

Suhu
Keterangan:
Curah Hujan
= Mempengaruhi
E. Hipotesis

20

Terdapat pengaruh iklim (suhu dan cuaca) terhadap kejadian demam berdarah
dengue di Kabupaten Kepahiang tahun 2013-2016.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan
penelitian studi ekologi time series. Studi ekologi time series adalah pengamatan
kecenderungan jumlah kasus pada satu atau lebih kelompok dalam suatu jangka waktu
tertentu (Noor, 2008). Dengan rancangan penelitian ini diharapkan dapat diketahui
model prediksi dan pengaruh faktor iklim (suhu dan curah hujan) terhadap kejadian
demam berdarah di Kabupaten Kepahiang.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk Kabupaten Kepahiang yang
didiagnosis demam berdarah dengue pada bulan Januari 2013 hingga bulan Maret
2016.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penduduk Kabupaten Kepahiang

yang

didiagnosis demam berdarah dengue pada bulan Januari 2013 hingga bulan
Februari 2016 dan tercatat di Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang.
A. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data angka
kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang tahun 2013 hingga tahun
2016 diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang. Sedangkan data faktor
iklim berupa suhu dan curah hujan pada periode yang sama didapatkan dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Kepahiang. Data tambahan berupa
jumlah penduduk Kabupaten Kepahiang pada masing-masing kecamatan yang
digunakan untuk pemetaan daerah rawan demam berdarah dengue didapatkan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang.

21

22

B. Definisi Operasional Variabel


Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
No
.
1.

Variabel
Independen: Iklim:
a. Suhu

b. Curah hujan

2.

Dependen:

Definisi Operasional

Cara Ukur

Keadaan udara panas atau dingin suatu waktu yang Pencatatand


diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata- ata
rata setiap bulan selama bulan Januari 2013 hingga
bulan Februari 2016 yang tercatat di Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten
Kepahiang.
Pencatatan
Rata-rata air hujan yang jatuh ke permukaan bumi data
setiap bulan selama bulan Januari 2013 hingga bulan
Februari 2016 yang tercatat di Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Kepahiang.

Kejadian
Jumlah kasus demam berdarah dengue per bulan di Pencatatan
demam
Kabupaten Kepahiang selama bulan Januari 2013 data
berdarah dengue hingga bulan Februari 2016 yang tercatat di Dinas
Kesehatan Kabupaten Kepahiang

Hasil Ukur
C

mm

Skala
Data
Interval

Rasio

Jumlah
Rasio
kasus dalam
angka

26

C. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2016 di Kabupaten Kepahiang,
Provinsi Bengkulu.
D. Tata Urutan Kerja
1. Tahap pra penelitian
a. Pengurusan perizinan penelitian kepada Dinas kesehatan Kabupaten
Kepahiang dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten
Kepahiang.
b. Melakukan pengambilan data di Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang
berupa angka kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang
selama bulan Januari 2013 hingga bulan Februari 2016 dan pengambilan data
jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Kepahiang dari tahun 2013
hingga tahun 2015.
c. Melakukan pengambilan data di Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika berupa suhu rata-rata dan curah hujan rata-rata Kabupaten
Kepahiang pada bulan Januari 2013 hingga bulan Februari 2016.
2. Tahap penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
a. Penentuan dan penyusunan peta sebaran tingkat kerawanan demam berdarah
dengue di Kabupaten Kepahiang
b. Pengolahan data untuk mengalisis pengaruh iklim (suhu dan curah hujan)
terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Kepahiang pada
tahun 2013 hingga tahun 2016.
3. Penyusunan laporan penelitian
E. Metode Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue
Penentuan dan penyusunan peta sebaran tingkat kerawanan demam berdarah
dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu (Fitriyani, 2007; Hidayati, 2009):
1. Menentukan Incidence Rate (IR) rata-rata
a. Menentukan IR tiap kecamatan dengan rumus sebagai
IR=

berikut:

Jumlah Penderita
x 100.000 Penduduk
Jumlah Penduduk

b. Mengklasifikasikan nilai IR menurut Sasaran Indonesia Sehat 2010 yaitu


sebagai berikut:
Ringan: IR < 5

27

Sedang: 5 IR < 20
Berat : IR 20
c. Menentukan IR rata-rata dengan persamaan sebagai berikut:
IRR = (a x IRr) + (b x IRs) + (c x IRb)
Keterangan:
IRR = IR rata-rata
IRr = Jumlah IR ringan
IRs = Jumlah IR sedang
IRb = Jumlah IR berat
a, b, c, adalah nilai pembobotan yang didapatkan dari sebaran data.
Pembobotan dilakukan dengan metode ranking dengan persamaan sebagai
berikut:
wj = (n rj + 1) / (n rp + 1)
wj adalah bobot normal untuk parameter ke j (j = 1, 2, 3, .. n)
n adalah banyaknya parameter yang sedang dikaji
p adalah parameter (p = 1, 2, 3, .. n)
rj adalah posisi ranking suatu parameter
2. Menentukan Frekuensi Tahun Kejadian (FK) rata- rata
FK ditentukan berdasarkan data nilai IR setiap tahun untuk setiap kabupaten
dengan kategori sebagai berikut:
FK = 0 jika IR < 1
FK = 1 jika IR 1
3. Menentukan Deret Tahun Kejadian (DKDB) rata-rata
DKDB ditentukan berdasarkan nilai IR tiap tahun yang telah diklasifikasikan
menjadi ringan, sedang, dan berat. Selanjutnya ditentukan FK berdasarkan
klasifikasi IR dengan persamaan sebagai berikut:
FKr = 0 jika IR > 5
FKr = 1 jika IR < 5
FKs = 0 jika IR bukan 5 IR < 20
FKs = 1 jika 5 IR < 20
FKb = 0 jika IR < 20
FKb = 1 jika IR 20
Kemudian dilakukan penentuan DKDB berdasarkan persamaan sebagai berikut:
DKDBr = Max (FKr)
DKDBs = Max (FKs)
DKDBb = Max (FKb)
Selanjutnya dilakukan penentuan nilai DKDB rata-rata dengan persamaan sebagai
berikut:
DKDBR = (a x DKDBr) + (b x DKDBs) + (c x DKDBb)
a, b, c, adalah nilai pembobotan yang didapatkan dari sebaran data.
4. Menentukan Indeks Kerawanan (IK) tiap kecamatan

28

Menentukan IK tiap kecamatan dilakukan analisis dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:
IK = (0,3 x IRR) + (0,3 x FKR) + 0,4 x DKDBR
5. Menentukan pembagian kelas tingkat kerawanan
Pembagian kelas tingkat kerawanan dilakukan berdasarkan sebaran nilai analisis
indeks kerawanan (IK) demam berdarah dengue tiap kecamatan yang diperoleh.
Kisaran nilai indeks dan tingkat kerawanan dilakukan seperti pada Tabel 1.
Tingkat Kerawanan
Aman
Agak Aman
Agak Rawan
Rawan
Sangat Rawan

Selang Nilai Kerawanan


Q0
Q0 < IK Q1
Q1 < IK Q2
Q2 < IK Q3
IK > Q3

6. Pemetaan Indeks Kerawanan (IK) tiap kecamatan


Pemetaan IK dilakukan dengan bantuan software Mapinfo menggunakan sistem
pewarnaan.

F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan :
1. Analisis univariat
Analisis univariat digunakan untuk memberi gambaran distribusi faktor iklim
yaitu suhu dan curah hujan serta distribusi angka kejadian demam berdarah
dengue di Kabupaten Kepahiang tahun 2013-2016.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan pada masing-masing
menggunakan metode analisis time series.

factor

iklim

dengan

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Arum Siwiendrayanti, Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Sektor
Kesehatan, Volume 3 No 1 , 2007
2. Rahayu, Dian., Wiwiek Setya W., Adatul M.. Jurnal Sains Dan Seni ITS Vol. 1, (Sept, 2012) ISSN:
2301-928X

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008a. Perkembangan Kejadian DBD


Indonesia, 2004-2007.
http://www.penyakitmenular.info/detil.asp?m=5&s=5&i=217
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008b. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue.
http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf
5. Lily S. Sulistyowati, Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kemkes (Kementrian
Kesehatan).

2014.

Akibat

DBD,

641

Orang

Meninggal

Selama

2014.http://m.bersatu.com/kesehatan/236614-akibat-dbd-641-orang-meninggalselama-2014.html
6. Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang. 2013-2016. Data Pasien Potensi KLB
Penyakit Menular 2013-2016

30

7. Ade Yuniarti, , Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu


Udara) dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun - , Skripsi: Universitas Indonesia.
8. Amah Majidah V, , Hubungan Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Serang Tahun - , Skripsi: Universitas Indonesia.
9. Arum Siwiendrayanti, , Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Sektor
Kesehatan, Volume , No , Juli . Hlm - .
10. Budioro B, , Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Cut Meurah Regariana, , Atmosfer (Cuaca dan Iklim),
Solo: Tiga Serangkai. Dantje T. Sembel, , Entomologi Kedokteran, Yogyakarta:
CV Andi Offset. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, , Penemuan dan
Tatalaksana Penderita Demam Berdarah Dengu, Jakarta: Dirjen P L.
11. Feri Prihantoro dkk, , Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi Masyarakat
Lokal, Semarang: Yayasan Bitari. Inge Sutanto dkk, , Parasitologi Kedokteran,
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12. Junghans Sitorus, , Hubungan Iklim dengan Kasus Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kotamadya Jakarta Timur Tahun - , Skripsi:
Universitas Indonesia.
13. Rini Hidayati, , Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengembangan Model
Peringatan Dini Dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Indonesia, Thesis: Institut Pertanian Bogor.
14. Thomas Suroso, dkk, ed. , Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Terjemahan, WHO dan Depkes
RI, Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai