Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya semakin meningkat dan
penyebarannya semakin luas, penyakit DBD merupakan penyakit menular
yang pada umumnya menyerang pada usia anak-anak umur kurang dari 15
tahun dan juga bisa menyerang pada orang dewasa (Widoyono, 2005).
Berdasarkan catatan World Health Organization (WHO), diperkirakan
500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan di rumah sakit dalam setiap
tahunnya dan sebagian besar penderitanya adalah anak-anak. Ironisnya, sekitar
2,5% diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal dunia (Mufidah,
2012).
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus Dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan
demam mendadak, sakit kepala, nyeri belakang bola mata, mual dan
manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet (rumple lead) positif, bintik-
bintik merah di kulit (petekie), mimisan, gusi berdarah dan lain sebagainya.
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih digolongkan sebagai masalah
kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya
kepadatan penduduk, jumlah penderita dan luas penyebaran semakin
bertambah. DBD pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, dimana 58
terinfeksi dan 24 orang meninggal. Sejak saat itu penyakit ini menyebar ke
seluruh Indonesia. Pada tahun 2015 tercatat jumlah penderita DBD di seluruh
Indonesia sebanyak 126.675 dengan 1.229 orang diantaranya meninggal.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan sebelumnya 100.347 dengan 907
orang meninggal pada 2014. (Kemenkes, 2016).
Dalam setahun terakhir, frekuensi timbulnya penyakit (incident rate) DBD
di Jawa Tengah cenderung menurun. Tahun 2017 ditemukan kejadian
sebanyak 21,6 per 100.000 penduduk, sedangkan Tahun 2018 turun menjadi

1
8,6 per 100.000 penduduk. Sepanjang tahun 2018, Kota Magelang menempati
urutan pertama dengan kejadian DBD sebesar 39,6 kasus per 100 ribu
penduduk, disusul oleh Kabupaten Grobogan sebesar 27,5 kasus per 100 ribu
penduduk, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Sragen.
Sedangkan untuk. Kota Semarang sendiri hanya ditemukan 5,4 kasus per 100
ribu penduduk, dan paling rendah adalah Kabupaten Brebes dengan 0,5 kasus
per 100 ribu penduduk (Dinkes Jawa Tengah, 2018). Sementara itu kasus
kejadian DBD di Kabupaten Sragen, berdasarkan data profil kesehatan tahun
2017 adalah sebanyak 15.87 per 100.000 penduduk (Dinkes Sragen, 2018).
Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus DBD antara lain
kepadatan vektor, kepadatan penduduk yang terus meningkat sejalan
dengan pembangunan kawasan pemukiman, urbanisasi yang tidak terkendali,
meningkatnya sarana transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat
yang kurang sadar terhadap kebersihan lingkungan, serta perubahan
iklim (climate change) (Kemenkes, 2016).
Mengingat obat dan untuk mencegah virus Dengue hingga saat ini belum
tersedia, maka cara utama yang dapat dilakukan sampai saat ini adalah dengan
pengendalian vektor penular (Aedes aegypti). Pengendalian vektor ini dapat
dilakukan dengan pelaksanaan kegiatan PSN 3M Plus. Upaya pemberdayaan
masyarakat dengan melaksanakan kegiatan PSN 3M Plus (menguras, menutup
tempat penampungan air dan mendaur-ulang / memanfaat kembali barang-
barang bekas) serta ditambah (plus) seperti: menaburkan larvasida pembasmi
jentik, memelihara ikan pemakan jentik, mengganti air dalam pot / vas bunga
dan lain-lain. Upaya ini melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait
melalui wadah Kelompok Kerja Operasional Demam Berdarah Dengue
(Pokjanal DBD) dan kegiatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Olehkarena itu
diperlukan adanya inovasi dan strategi dalam upaya melakukan pengawasan
dan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan keberhasilan
pengendalian DBD dan mencegah terjadinya peningkatan kasus atau KLB.

B. Rumusan Masalah

2
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten
Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandaian penyakit DBD yang dapat
dilakukan di Kabupaten Sragen?

C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit DBD yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.

D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Sragen.
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit DBD yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue,
yang ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam, nyerio otot,
dan / atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada demam berdarah (DBD) terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah yang ditandai oleh renjatan
/ shock (Suhendro et al., 2006; Arif et al., 2004).
Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan awal
abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur,
Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, pasifik selatan
dan tengah serta Karibia. Dengue Fever telah meningkat sepanjang 40 tahun,
dan pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang secara
potensial beresiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun, diperkirakan
terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan kira-kira 24 juta
kematian (WHO, 1999).
Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya
angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.
1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi
dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007) (Khie et al., 2009).

B. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue, yang termasuk dalam genus
Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari

4
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro et al.,
2006).
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus
lain seperti Yellow Fever, Japanese Encephalitis, dan West Nile virus
(Suhendro et al., 2006).

C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat,
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999 (Suhendro et
al., 2006).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu (Suhendro et al, 2006):
1. Vektor: perkembang biakan vektor, kebiasaan mengigit, kepadatan vector
di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu: terdapat penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia, jenis kelamin.
3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

D. Patogenesis
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologinya yang
berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena
kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue

5
hal ini tidak terjadi (WHO, 1999).
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul
gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera
bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag
menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag
ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yangakan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen
(WHO, 1999).
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi
aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi
trombositopenia ini bersifat ringan (WHO, 1999).
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi
sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1997, sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit
juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan
ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit,
penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Khie et al,

6
2009).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok (Khie et al., 2009).

Gambar 2.1. Secondary heterologous dengue infection

E. Patologi
Pada autopsi, semua pasien yang telah mati karena DBD menunjukkan
suatu tingkatan hemoragi, berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada
kulit dan jaringan subkutan, pada mukosa saluran gastrointestinal, dan pada
jantung serta hati. Hemoragi gastrointestinal mungkin hebat, tetapi hemoragi
subarachnoid atau serebral jarang terjadi. Efusi serosa dengan kandungan
protein tinggi (kebanyakan albumin) umumnya terdapat pada rongga pleural
dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga perikardial.
Pada kebanyakan kasus fatal, jaringan limfosit menunjukkan peningkatan

7
aktifitas system limfosit B, dengan proliferasi aktif sel-sel plasma dan sel-sel
limfablastoid, dan pusat germinal aktif. Pada hati, terdapat nekrosis fokal dari
sel-sel hepar, pembengkakan, adanya Councilman dan nekrosis hialin dari sel-
sel Kupfer. Pemeriksaan patologis terhadap sumsum tulang, ginjal, dan kulit
telah dilakukan pada pasien yang mengalami DBD non-fatal. Pada sumsum
tulang, tampak depresi semua sel-sel hematopoetik, yang secara cepat
membaik dengan penurunan demam. Studi pada ginjal telah menunjukkan tipe
glomerulus kompleks imun yang ringan, yang akan membaik setelah kira-kira
3 minggu dengan tidak ada perubahan residual. Biopsi terhadap ruam kulit
telah menunjukkan edema perivaskular dan mikrovaskular terminal papilla
dermal dan infiltrasi limfosit dan monosit. Fagosit mononuklear pembawa
antigen telah ditemukan pada sekitar edema ini. Deposisi komplemen serum,
immunoglobulin, dan fibrinogen pada dinding pembuluh darah juga telah
ditemukan (WHO, 1999).

F. Manifestasi Klinis
Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi mendadak selama
2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Pasien juga mengeluh sakit kepala
hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya napsu makan,
mual-mual dan ruam. Demam berdarah yang lebih parah ditandai dengan
demam tinggi yang bisa mencapai suhu 40-41◦C selama dua sampai tujuh hari,
wajah kemerahan, dan gelaja lainnya yang menyertai demam berdarah ringan.
Berikutnya dapat muncul kecenderungan pendarahan, seperti memar, hidung
dan gusi berdarah, dan juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang sangat
parah, mungkin berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan
kematian (Suhendro et al., 2006; Arif et al, 2004; WHO, 1999; Khie et al.,
2009; Kurt et al., 1998).

G. Diagnosa

8
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang
belakang, dan perasaan lelah (Suhendro et al., 2006).
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut (Suhendro et al., 2006; Arif et
al., 2004; Halim, 2001):
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro orbital
3. Mialgia / artralgia
4. Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bending positif)
5. Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan
pasien DD / DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang
sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997
diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi (Suhendro et
al., 2006; Arif et al., 2004; Halim, 2001):
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
a. Uji bending positif
b. Ptekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
d. Hematemesis atau melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit > 20 % setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
b. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan

9
DBD adalah pada DBD ditemukan kebocoran plasma. Terdapat 4 derajat
spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu (Arif et al., 2004; Khie et al., 2009;
Kurt et al., 1998; Halim, 2001; Arita, 2009):
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah,tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

H. Diagnosa Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bila terdapat kesamaan klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leprasitosis
(Suhendro et al., 2006).

I. Pemeriksaan Penunjang
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfasitosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15 % dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
meningkat.
2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
3. Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke 3 demam.
4. Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.

10
5. Protein / albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
6. SGOT / SGPT: dapat meningkat
7. Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
8. Elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
9. Golongan darah: bila akan dilakukan transfuse
10. Imunoserologi dilakukan untuk pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.

J. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah
cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung
/ duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan

11
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol
ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut (Suhendro et al., 2006; Arif et al.,
2004; WHO, 1999; Khie et al., 2009; Kurt et al., 1998; Halim, 2001; Arita,
2009):
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Penanganan tersangka DBD tanpa syok4

Gambar 2.2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (Khie et al., 2009)

12
Gambar 2.3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Khie
et al., 2009)

Gambar 2.4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20% (Khie

13
et al., 2009)

Gambar 2.5. Penatalaksanaan sindrom syok dengue pada dewasa

14
(Khie et al., 2009)
K. Prognosis
Kematian akibat demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD / DSS
mortalitas cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang
dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya
lebih ringan dari pada anak-anak (Arif et al., 2004).

15
BAB III
ANALISIS DATA

A. Profil Kesehatan Kabupaten Sragen


Sragen merupakan salah satu Kabupaten di Jawa tengah yang terletak di
perbatasan dengan Provinsi Jawa Timur. Dengan luas wilayah 941,55 km2,
Kabupaten Sragen terbagi dalam 20 kecamatan dan 208 desa/kelurahan.
Penduduk Kabupaten Sragen tahun 2016 sebanyak 902.956 jiwa dan
diproyeksikan pada tahun 2055 mencapai 1 juta jiwa dengan asumsi laju
pertumbuhan penduduk 0,53 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen, 2016).

Gambar 3.1 Peta Administrasi Kabupaten Sragen

Visi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen adalah Bangkit bersama


Mewujudkan Bumi Sukowati yang Sejahtera dan Bermartabat. Sedangkan
Misinya adalah mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
meningkatkan daya saing daerah dan meningkatkan pemberdayaan dan peran
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Sragen tahun 2016, jumlah
tenaga kesehatan di Kabupaten Sragen tahun 2016 tersebar di seluruh sarana

16
kesehatan dengan jumlah seluruhnya sebanyak 35.439. Termasuk didalamnya
adalah Dokter Spesialis, Dokter Umum, Dokter Gigi, Tenaga Bidan, Tenaga
Kesehatan Masyarakat, Tenaga Sanitasi, Tenaga Kefarmasian dan Tenaga
Medis Lainnya. Penempatan tenaga di Puskesmas sebanyak 565 orang
(45,08%), di rumah sakit sebanyak 640 orang (54,92%). Sarana Kesehatan
yang terdapat di Kabupaten Sragen sendiri antara lain :
1. Jaringan Puskesmas dan UKBM
Jumlah Puskesmas di Kabupaten Sragen dari tahun 2015 ke tahun
2016 tetap yaitu 25 buah yang pelayanan pada masyarakat baik di dalam
gedung maupun diluar gedung. Disamping itu ada juga puskesmas
pembantu yang melayani masyarakat yang ada di desa. Jumlah puskesmas
pembantu di Kabupaten Sragen tahun 2016 ada 64 buah. Yang diharapkan
dapat memperluas jangkauan pelayanan kepada seluruh penduduk, apalagi
dengan dicanangkannya PKD (Poloklinik Kesehatan Desa) oleh Bapak
Gubernur Jawa Tengah sejak akhir tahun 2015.
2. Poliklinik Kesehatan Desa (PKD)
Poliklinik Kesehatan Desa adalah pengembangan dari Pondok
Bersalin Desa (Polindes) yaitu upaya kesehatan yang bersumberdaya dari
masyarakat dimana merupakan program unggulan di Jawa Tengah.
Dengan adanya PKD di desa diharapkan dapat memberikan penyuluhan
kepada masyarakat, dapat melakukan pembinaan kader/pemberdayaan
masyarakat serta forum komunikasi pembangunan kesehatan di desa,
memberikan pelayanan kesehatan dasar termasuk kegawat daruratan.
Jumlah PKD di Kabupaten Sragen tahun 2016 ada 171 buah.
3. Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus
Jumlah rumah sakit umum di Kabupaten Sragen tahun 2016 sebanyak
5 buah dimana 2 buah milik pemerintah dan 3 buah milik swasta.Untuk
rumah sakit khusus jumlahnya sebanyak 4 buah pada tahun 2016 dan
semuanya milik swasta. Rumah sakit swasta tersebut semuanya rumah
sakit khusus ibu dan anak.

17
B. Data Kasus DBD di Kabupaten Sragen
Data jumlah Kasus DBD, Kasus meninggal karena DBD, Case Fatality
Rate (CFR) dan Incidence Rate (IR) di kabupaten Sragen pada tahun 5 tahun
terakhir dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Data Jumlah Kasus DBD 5 Tahun Terakhir


Jumlah CFR IR (/100.000
Tahun Meninggal
Kasus (%) penduduk)
2014 575 12 2,1 64
2015 527 7 1,32 58,3
2016 875 5 0,57 99,2
2017 140 0 0 15,9
2018 345 3 0,9 39
2019 110 9 8,18
(Agustus)

Dari data tersebut dapat dilihat jumlah kasus DBD yang fluktuatif.
Kejadian DBD di kabupaten Sragen menurun secara signifikan di tahun 2017.
Namun melonjak cukup tinggi pada tahun 2018 dan 2019. Angka Kematian
atau Case Fatality Rate (CFR) di Kabupaten Sragen pun mendekati target
nasional (< 1%) pada 3 tahun terakhir dan angka kejadian yang juga mencapai
target nasional (< 90/100.000 penduduk).
Data jumlah Kasus DBD per wilayah puskesmas di kabupaten Sragen pada
tahun 2017-2019 (Agustus) dapat dilihat pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Data Jumlah Kasus DBD Per-Puskesmas Kabupaten Sragen


Kasus DBD
No. Puskesmas 2019 Jumlah
2017 2018
(Agustus)
1 Kalijambe 11 19 7 37

18
2 Plupuh I 1 6 4 11
3 Plupuh II 3 8 1 12
4 Masaran I 12 4 3 19
5 Masaran II 6 6 3 15
6 Kedawung I 2 16 2 20
7 Kedawung II 4 6 1 11
8 Sambirejo 5 2 2 9
9 Gondang 5 12 1 18
10 Sambung Macan I 3 6 2 11
11 Sambung Macan II 4 5 2 11
12 Ngrampal 2 9 5 16
13 Karangmalang 11 17 6 34
14 Sragen 4 8 10 22
15 Sidoharjo 13 8 6 27
16 Tanon I 3 17 5 25
17 Tanon II 4 18 1 23
18 Gemolong 18 33 10 61
19 Miri 4 24 4 32
20 Sumberlawang 4 38 12 54
21 Mondokan 4 20 10 34
22 Sukodono 2 11 6 19
23 Gesi 2 16 1 19
24 Tangen 7 21 6 34
25 Jenar 6 13 0 19
JUMLAH 250

Menurut Data Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen di atas, dapat


disimpulkan bahwa pada tahun 2017-2019 jumlah kasus DBD terbanyak pada
kawasan Puskesmas Gemolong (61 kasus) dan Sumberlawang (54 kasus).
Sementara itu kasus paling sedikit terdapat pada daerah puskesmas Sambirejo
(9 kasus).

19
Data jumlah Kasus DBD berdasarkan bulan kejadian di kabupaten Sragen
pada tahun 2017-2018 dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Data Jumlah Kasus DBD berdasarkan Bulan tahun 2017-2018

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2017 30 21 16 16 13 9 5 8 4 2 8 8
2018 12 15 19 14 7 8 32 28 22 36 45 107

Berdasarkan data di atas, angka kejadian tertinggi terdapat di bulan


Desember 2018 dimana terjadi lonjakan angka kejadian hingga 2,3 kali lipat
dari bulan sebelumnya. Sementara itu angka terendah terjadi pada bulan
Oktober 2017 dengan hanya 2 kasus. Jika dilihat dari pola persebaran kejadian
kasus DBD setiap bulannya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kejadian
DBD tidak terlalu dipengaruhi oleh waktu (bulan terjadi).

20
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Permasalahan Kasus DBD di Kabupaten Sragen


Berdasarkan data DKK Sragen, jumlah kasus DBD pada tahun 2017-2018
adalah 140 kasus saja. Angka tersebut menurun secara signifikan dari jumlah
kasus pada tahun 2014-2016 yang secara berturut-turut berjumlah 575, 527,
dan 875 kasus. Penurunan ini juga terjadi pada angka Case Fatality Rate (CFR)
atau angka kematian karena Demam Berdarah dimana pada 2017 mencapai 0%
yang mana pada tahun 2014-2016 secara sudah menunjukan tren menurun
yaitu 2,1%, 1,32%, dan 0,57%. Namun pada tahun 2018, angka kejadian kasus
DBD tiba-tiba melonjak hingga lebih dari 2 kali nya menjadi 110 kasus dan
angka CFR yang mencapai 8,18 %.
Permasalahan yang paling mendasar yang mungkin menjadi salah satu
penyabab tingginya angka kasus DBD di Kabupaten Sragen adalah masih
banyaknya masyarakat Kabupaten Sragen yang belum memahami tentang
DBD beserta penanggulangannya. Hal ini terkait dengan masih rendahnya
angka pendidikan di Kabupaten Sragen dimana menurut data Profil Kesehatan
Sragen tahun 2017, 29,73% penduduk sragen tidak memiliki ijazah SD, 32%-
nya memiliki ijazah SD, 14% memiliki ijazah SMP, dan hanya sekitar 7% yang
memiliki ijazah SMA.
Munculnya kejadian DBD itu sendiri dikarenakan penyebab yang beragam
karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor
predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas
perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan
umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.

B. Permasalahan Pengendalian Penyakit DBD di Kabupaten Sragen

21
Penyakit DBD sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan
penyebarannya semakin luas. Kejadian DBD di Kabupaten Sragen juga
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Kejadian DBD dapat dihindari dengan baik bila Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu, dan
berkesinambungan. Metode pengendalian vektor dan mengurangi kontak
antara vektor-manusia merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah
timbulnya demam berdarah beserta implikasinya. Hingga sekarang, tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk demam berdarah sementara vaksin untuk
dengue juga belum tersedia.
Sejalan dengan hal ini, untuk mencegah dan mengendalikan kejadian
DBD, Pemerintah Kabupaten Sragen mengadakan kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) serentak di masing-masing desa yang dilaksanakan
setiap hari Jumat.
Upaya pemberantasan vektor demam berdarah akan berhasil bila tingkat
perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat dapat mendukung. Kegagalan
dalam mencapai atau mempertahankan upaya pemberantasan tidak hanya
dipengaruhi oleh tingginya derajat penularan, tetapi juga oleh perubahan
lingkungan yang terjadi selama kegiatan pemberantasan berlangsung.
Beberapa kendala yang didapatkan diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi,
lingkungan dan perubahan iklim.
1. Faktor Sosial
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai konsep sehat dan sakit
sehingga mempengaruhi persepsi / pandangan cara hidup dan upaya
seseorang untuk dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Masyarakat
kurang memahami akan kebutuhan untuk menyehatkan diri dan
lingkungan disekitarnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak berperan
aktif dalam kegiatan PSN. Selain itu juga kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai penyakit DBD dan bagaimana cara
menanggulanginya.

22
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor yang juga ikut menentukan
timbulnya DBD, sebagai contoh di daerah yang sulit akan air, dimana
kebutuhan hidup sehari-hari air harus dibeli, maka perkerjaan untuk
menguras bak mandi, tempayan dalam seminggu sekali sangat
memberatkan kehidupan mereka.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan sekitarnya yang kurang sehat, misalnya
kurangnya ventilasi dan pencahayaan dalam rumah, lantai yang masih
terbuat dari tanah, kandang hewan berada di dalam rumah, serta
penanganan sampah yang buruk berpotensi menciptakan tempat
berkembang biak vektor penyebab penyakit DBD. Sulitnya air juga
menyebabkan banyak penduduk menyimpan air sebagai persediaan, tanpa
menutup penampungan hal ini memberi peluang nyamuk dewasa untuk
meletakkan telur.
4. Faktor Perubahan Iklim
Perubahan iklim juga merupakan faktor-faktor yang signifikan
dimana dampaknya sangat erat mempengaruhi habitat vektor. Menurut
WHO, kelembaban udara dan curah hujan memberikan korelasi terbesar
terhadap kejadian penyakit yang dikarenakan oleh vektor seperti
contohnya DBD. Pada saat hujan, ditemukan banyak genangan air yang
memungkinkan dijadikan tempat untuk perkembangbiakan nyamuk
penyebab DBD.
Selain kegiatan PSN serentak, diadakan pula kegiatan abatisasi.
Namun pemberian abate hanya bisa diberikan pada penampungan air yang
sekiranya tidak bisa dikuras dan dibersihkan. Tempat air minum tidak
boleh diberi abate serta bak mandi sebaiknya dikuras dan dibersihkan.
Selain itu, Kabupaten Sragen juga mengadakan kegiatan fogging di
beberapa tempat dengan angka kejadian DBD yang tinggi. Fogging
dianggap efektif dalam memutus rantai penularan karena semua nyamuk

23
yang aktif mati seketika bila kontak dengan partikel-partikel insektisida.
Namun kegiatan ini juga ditemukan beberapa kendala, diantaranya :
5. Faktor biaya
Kegiatan fogging membutuhkan biaya yang lebih besar daripada
kegiatan PSN.
6. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai mekanisme dan bahaya
dari fogging tersebut. Masyarakat kurang mengerti tentang apa saja yang
harus dipersiapkan sebelum kegiatan fogging, jadi adanya kegiatan
sosialisasi di masyarakat mengenai fogging sangat diperlukan.

Dampak fogging bagi kesehatan dan lingkungan:


Kegiatan fogging adalah pemberantasan nyamuk DBD
menggunakan insektisida dengan cara pengasapan. Insektisida yang
digunakan ialah malathion dengan campuran solar. Hal ini dapat
berdampak negatif bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar.
Malathion dapat menyebabkan beberapa gangguan diantaranya
mengakibatkan gagal ginjal, gangguan pada bayi baru lahir, kerusakan
kromosom dan gen, penurunan sistem kekebalan tubuh, gangguan
gerakan sperma, dan lain-lain. Sedangkan hasil pembakaran solar dapat
mengikat hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan oksigen.

C. Upaya Peningkatan Pengendalian dan Penanggulangan Kasus DBD yang


dapat dilakukan di Kabupaten Sragen
1. Saran Untuk Pemerintah
Pemerintah sebaiknya memberikan prioritas pada kelurahan-
kelurahan yang penduduknya padat, dengan proporsi penduduk dewasa
yang banyak, dan perumahan dengan kebersihan lingkungan yang kurang
dimana prevalensi kasus demam berdarah akan meningkat. Penyuluhan
kepada masyarakat tentang kebersihan lingkungan perlu dijaga dan
keluarga berencana perlu ditingkatkan guna mempertahankan kepadatan

24
penduduk dan menjaga dari kemungkinan peningkatan penyakit demam
berdarah dan penyakit infeksi lainnya.
Semua tingkat pemerintahan baik kabupaten, kecamatan, kelurahan
dan RW harus bergerak secara sinergi guna meningkatkan kepedulian dan
partisipasi masyarakat dalam menurunkan penyakit demam berdarah dan
penyakit infeksi lainnya.
Peningkatan kepedulian dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap
demam berdarah merupakan upaya yang berkesinambungan dan perlu
diinisiasi oleh pemerintah melalui pemerintah kecamatan sehingga dapat
dilakukan upaya yang terpadu. Upaya penurunan kasus demam berdarah
harus merupakan upaya yang terintergrasi dari upaya yang di bidang
lingkungan dan perilaku masyarakat yang melibatkan berbagai sektor
sehingga diperlukan koordinasi yang kuat dan berkesinambungan.
Perlu dilakukan pemantauan terhadap tingkat kepedulian dan
partisipasi masyarakat di tingkat kelurahan dengan melihat seluruh
kegiatan RW siaga dalam upaya memelihara kesehatan di lingkungannya.
Perlu ditingkatkan tingkat pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam melakukan upaya
pencegahan terhadap penyakit demam berdarah dan penyakit infeksi
lainnya dengan memberikan penyuluhan atau informasi yang cukup guna
meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat tersebut.
2. Saran Untuk Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan sebaiknya meningkatkan upaya program kesehatan
seperti pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik berkala dan
penyuluhan kesehatan sehingga kasus demam berdarah dapat menurun
terutama di daerah yang padat penduduk dan endemis demam berdarah.
Perlu memperhatikan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam
pemberantasan sarang nyamuk dan perlu dilakukan upaya-upaya lintas
sektor yang dapat meingkatkan tingkat kepedulian dan partispasi
masyarakat tersebut.
Perlu dilakukan fogging yang memperhatikan model yang telah

25
dikembangkan pada studi ini, yaitu memperhatikan arah angin dan titik-
titik dimana kasus berada sehingga fogging menjadi lebih efektif dan
efisien. Perlu ditingkatkan surveilans penyakit di seluruh kecamatan
(khususnya surveilans demam berdarah), sehingga peningkatan demam
berdarah dapat dilakukan intervensi sedini mungkin di seluruh kecamatan
di Kabupaten Sragen.
3. Saran Untuk Masyarakat
Perlu dilakukan pendekatan khusus terhadap kelompok masyarakat
sekolah dan dilakukan penyuluhan khusus di sekolah. Perlu dilakukan
penyuluhan khusus bagi masyarakat tentang pentingnya memeriksa
adanya jentik di pot dan kontainer di dalam dan diluar rumah. Perlu
pendekatan khusus pada masyarakat untuk meningkatan kepedulian dan
partisipasinya dalam pemberantasan demam berdarah di tiap Kecamatan.
Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam menurunkan
kejadian demam berdarah di wilayahnya dengan melakukan
pemberantasan sarang nyamuk dan menjaga kebersihan lingkungannya
dan menjaga dari gigitan nyamuk.

26
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
1. Jumlah kasus DBD yang fluktuatif. Kejadian DBD di kabupaten Sragen
menurun secara signifikan di tahun 2017. Namun melonjak cukup tinggi
pada tahun 2018 dan 2019. Angka kejadian tertinggi terdapat di bulan
Desember 2018 dimana terjadi lonjakan angka kejadian hingga 2,3 kali
lipat dari bulan sebelumnya. Kemudian sampai bulan Agustus 2019, CFR
kasus DBD mencapai 8,18 %.
2. Permasalahan yang paling mendasar yang mungkin menjadi salah satu
penyabab tingginya angka kasus DBD di kabupaten Sragen adalah masih
banyaknya masyarakat kabupaten Sragen yang belum memahami tentang
DBD beserta penanggulangannya. Alternatif penyelesaian yang terpilih
adalah pengetahuan kepada masyarakat, petugas kesehatan lain dan kader
di wilayah Sragen.
3. Setelah dilakukan analisis penyebab dan berbagai alternatif jalan keluar
maka didapatkan solusi membuat Plan of Action yang akan dilaksanakan
antara lain:
a. Penyuluhan, penyelidikan epidemiologi, dan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) di setiap desa mengenai DBD.
b. Pelatihan petugas kesehatan, bidan desa, dan kader di wilayah Sragen
mengenai pencatatan dan pelaporan kasus DBD.
c. Pelaksanaan kegiatan kunjungan rumah suspek penderita demam
dengue, DBD, dan DSS oleh petugas.

B. Saran
1. Diharapkan pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Puskesmas
meningkatkan upaya skrining kasus suspek DBD dan pelaksaanan
kegiatan penanggulangan kasus DBD dengan sebaik-baiknya.

27
2. Perlu adanya pemahaman yang mendalam di tatanan warga masayarakat,
kader dan lintas sektoral terkait pentingnya menurunkan prevalensi kasus
DBD di lingkup wilayah Sragen.
3. Dilakukan evaluasi serta monitoring berkesinambungan untuk semua
program yang telah dilaksanakan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Arif M et al (2004). Demam Dengue. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Jilid I.


Jakarta : Media Aesculapius FK UI. Pp 428-433.
Arita M (2009). Perawatan Pasien Dengue Hemorrhagic Fever (Demam
Berdarah). Dalam : Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Mitra
Cendikia Press. Pp 125-132.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen (2016). Statistik Daerah Kabupaten.
Sragen: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen.
Departemen Kesehatan RI (2016). Pencegahan dan Pemberantasan DBD di
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2017. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Halim MA (2001). Demam Berdarah Dengue. Dalam : Panduan Praktis Ilmu
Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC. Pp 5-8.
Khie C et al. (2009). Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : EGC.
Kurt IJ et al. (1998). Hemorrhagic Fever. Dalam : Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 14th edition. United State of America : McGraw-Hill. Pp 1141-
1143.
Suhendro et al. (2006). Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Pp 1709-1713.
WHO (1999). Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,
dan Pengendalian. Jakarta : EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai