Anda di halaman 1dari 46

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan
family Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
terutama Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul sepanjang
tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI,
2016).
Menurut data WHO (2014) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali
dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya
menyebar keberbagai negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang
mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD.
Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin meningkat, seperti
dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 980 kasus di hampir
100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di hampir 60 negara tahun
2000-2009 (WHO, 2014). DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis
termasuk di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan
pertama kali di Surabaya pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi
dan
orang diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2015). Kemenkes RI (2016)
mencatat di tahun 2015 pada bulan Oktober ada 3.219 kasus DBD dengan
kematian mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus dengan 37
angka kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian. Dibandingkan
dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian,
November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus dengan
50 kematian.

2
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe
virus yang dikenal (DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4) yang ditularkan melalui
nyamuk terutama Aedes egypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah
tropis dan subtropis di antaranya kepulauan Indonesia hingga bagian utara
Australia (Vyas, 2013). Pada banyak daerah tropisdan subtropis, penyakit DBD
adala endemik yang muncul sepanjang tahun, terutama saat musim hujan ketika
kondisi optimal untuk nyamuk berkembang biak. Biasanya sejumlah besar tidak
akan terinfeksi dalam waktu yang singkat (wabah) (CDC, 2010).
Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap
serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua
akan memberikan dampak yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena
yang disebut antibody dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat
serotipe pertama memperberat infeksi serotipe kedua (Vyas, 2013).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok
(Suhendro et al, 2010).
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit arbovirus dari
keluarga flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4)
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. DBD menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan
sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak (Kaushik, 2010).
Diperkirakan lebih dari 50 juta kasus infeksi virus Dengue terjadi tiap tahunnya
dengan jumlah rawat inap sebesar 500.000 dan angka kematian lebih dari 20.000
jiwa di dunia. Tahun 2006 di Indonesia didapatkan laporan kasus Dengue sebesar
106.425 orang dengan tingkat kematian 1,06% (Rizal, 2011).
Demam berdarah dengue (DBD) telah terjadi di lebih dari 100 negara dan
mengancam kesehatan lebih dari 2,5 miliar orang di perkotaan, pinggiran
perkotaan dan daerah pedesaan serta di daerah tropis dan subtropis. Sejak tahun
1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada tahun
1968 di mana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal

4
dunia (Angka Kematian (AK): 41,3%). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar
luas ke seluruh Indonesia (Zumaroh, 2015).
Demam Berdarah Dengue sampai saat ini merupakan problem kesehatan
di negara tropis termasuk di Indonesia. DBD dapat terjadi melalui infeksi primer
dengue, lebih sering melalui infeksi sekunder. Peningkatan infeksi sekunder ini
disebabkan adanya antibody-dependent enhancement, yaitu antibodi serotipe
pertama meningkat dengan adanya infeksi serotipe kedua. Demam Berdarah
Dengue dapat mengancam jiwa terutama anak-anak di bawah 16 tahun di daerah
endemik dengue flavivirus (Lardo, 2013).
Insiden rata-rata kasus DBD berdasarkan daerah provinsi pada tahun 2015,
3 provisi tertinggi adalah provinsi Bali, yaitu 208,7 per 100.000 penduduk,
provinsi Kalimantan Timur yaitu 183,12 per 100.000, dan provinsi Kalimantan
Tenggara dengan IR sebesar 120,08 per 100.000. sedangkan 3 dengan insiden rate
terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 0,68 per 100.000
penduduk, provinsi Maluku sebesar 4,63 per 100.000 penduduk dan provinsi
Papua Barat IR sebesar 7,57 per 100.000 penduduk. Insiden rate DBD
berdasarkan provinsi selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 1 (Kemenkes
2016).
Gambar 1. Insiden Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk Indonesia Tahun 2015

Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh


perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan
5
distribusi penduduk. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih
kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang
sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan
penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas (Zumaroh, 2015).
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi dan derajat demam dengue berdasatkan WHO tahun 2011

Gambar 2. Derajat demam dengue


2.4 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN- l, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain

6
seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus (Suhendro et al,
2010).

Gambar 3. Struktur virus dengue (Gubler, 2009).


Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemilogi
pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda,
sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites (Gubler,
2009).
2.5 Patofisiologi
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia. Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan
renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak dengan
mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit
(Sukohar, 2014).
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam
berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar
menganut "the secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama
mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka

7
waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis
terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh
Suvatte dan dapat dilihat pada gambar 4 (Suhendro et al, 2010).

Gambar 4. Patofisiologi syok pada DBD (Sukohar, 2014)


Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi
anamnestik yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer
tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem
8
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-
48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian (Sitepu et al, 2012).
. Pada hati, akan terjadi replikasi dalam hepatosit dan sel Kuppfer. Terjadi
nekrosis dan atau apoptosis yang menurunkan fungsi hati, melepaskan produk
toksik ke dalam darah, meningkatkan fungsi koagulasi, meningkatkan konsumsi
trombosit, aktivasi sistem fibrinolitik, dan menyebabkan gangguan koagulasi.
Pada makrofag di jaringan, terjadi apoptosis sehingga mediator larut (soluble)
akan meningkatkan TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18,
TGF β, C3a, C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO, berakibat
ketidakseimbangan profi l terhadap sitokin dan mediator lain sehingga terjadi
gangguan endotel dan koagulasi. Pada sumsum tulang, terjadi replikasi dalam sel
stroma sehingga terjadi supresi hemopoietik yang berkembang ke arah gangguan
koagulasi (Martina et al, 2009).
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran
hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat
diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam
dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari
ke 10 sejak permulaan penyakit. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor
II, V, VII, IX, 0X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan
faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya
memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi (Rahayu, 2013).

9
Gambar 5. Mekanisme virus DEN menginvasi organ (Lardo, 2013)
2.6 Manifestasi Klinis
Di daerah endemik, infeksi kebanyakan terjadi di antara anak-anak yang
telah terinfeksi setidaknya sekali di awal dekade hidup. Sebagian besar gejala
infeksi primer tidak jelas walaupun beberapa berkembang menjadi demam tidak
khas disertai gejala lain seperti nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot, dan
kadang perdarahan. Pada sebagian kecil pasien berkembang menjadi Demam
Berdarah Dengue (DBD). Meski klasifikasi klinisnya berbeda, demam Dengue
dan DBD kemungkinan besar merupakan satu rangkaian proses penyakit yang
sama dengan hasil perubahan integritas vaskuler yang berbeda. Manifestasi klinis
infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang
tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
(SSD) (Rizal, 2011).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak

10
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan adekuat.

Gambar 6. Spektrum Klinis Infeksi Dengue (Suhendro et al, 2010)

Gambar 7. Pola demam dengue (WHO, 2009)


 Fase Febrile
Gejalanya meliputi demam, mialgia, sakit kepala, artralgia dan eksilema, dan
seringkali tidak dapat dibedakan dari penyakit demam akut lainnya.
Manifestasi perdarahan ringan bisa terjadi seperti perdarahan gusi dan
epistaksis. Pengenalan progres ke bentuk parah mungkin sulit selama fase ini.
Untuk menentukan apakah perkembangan penyakit lebih parah terjadi,

11
warning sign harus diobservasi Durasi fase ini umumnya 2-7 hari (Carlos
2011).
 Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan bukti klinis dan laboratorial tentang disfungsi sel
endotel yang disebabkan oleh infeksi virus, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular. Fase ini
ditandai dengan perubahan defervensi, peredaran darah dan perfusi yang
mendadak (hipotensi dan syok hipovolemik), efusi serosa (pleura dan asites)
dan disfungsi organ, seperti gagal hati, ensefalitis, miokarditis dan gangguan
pembekuan darah. Leukopenia progresif dan penurunan jumlah platelet
mendadak mendahului kebocoran plasma, dan peningkatan hematokrit
progresif mencerminkan besarnya volume yang hilang ke kompartemen
ekstravaskular. Namun, perlu dicatat bahwa disfungsi organ berat mungkin
ada, termasuk hepatitis, ensefalitis, miokarditis dan pendarahan klinis yang
signifikan, tanpa tanda klinis kebocoran plasma. Fase kritis, yang terbukti
pada 10-15% kasus demam berdarah, mengungkapkan perkembangan
penyakit berat. Durasi fase ini adalah 1-3 hari (Carlos, 2011).
 Fase Pemulihan
Fase ini ditandai dengan peningkatan fungsi endotel secara progresif dengan
resorpsi fluida bertahap dari ruang ekstravaskular, stabilisasi hematokrit dan
pemulihan platelet progresif. Ruam bisa terjadi bersamaan dengan pruritus
dan bradikardia. Selama fase ini, karena pemulihan fungsi endotel secara
progresif, pemberian cairan (dan akhirnya diuretik) harus diresepkan dengan
hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, gagal jantung kongestif dan
pelepasan gagal napas dan efusi serous. Durasi fase ini adalah 1-3 hari
(Carlos, 2011).
2.7 Diagnosis
Berdasarkan WHO (2011) terdapat gejala dan tanda dari masing masing jenis
demam dengue antara lain :
2.7.1 Dengue Fever
Penyakit demam akut dengan dua atau lebih dari yang berikut ini:
1. Sakit kepala

12
2. Nyeri retro-orbital,
3. Mialgia,
4. Arthralgia / nyeri tulang,
5. Ruam,
6. Manifestasi perdarahan,
7. Leukopenia (≤ 5000 sel / mm3),
8. Trombositopenia (jumlah trombosit <150.000),
9. Meningkatnya hematokrit (5 - 10%);
dan setidaknya satu dari berikut ini:
a. Serologi suportif pada sampel serum tunggal: titer ≥1280 dengan
penghambatan hemaglutinasi tes, titer IgG yang sebanding dengan uji
imunosorben enzim-linked, atau positif pada IgM uji antibodi, dan
b. Kejadian pada lokasi dan waktu yang sama seperti kasus demam berdarah
yang dikonfirmasi.
Diagnosis Terkonfirmasi :
Kemungkinan kasus dengan setidaknya salah satu dari berikut ini:
I. Isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.
II. Peningkatan IgG serum sebanyak empat kali atau lebih besar (dengan uji
inhibitor hemaglutinasi) atau peningkatan IgM antibodi spesifik untuk
virus dengue.
III. Deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau cairan
serebrospinal oleh imunohistokimia, immunofluorescence atau enzyme-
linked immunosorbent assay.
IV. Deteksi urutan genom virus dengue dengan rantai transkripsi-polimerase
terbalik reaksi.

2.1.2 Dengue Hemoragic Fever (DHF)


Jika keempat kriteria dibawah ini terpenuhi, maka sensitivitas dan
spesifisitas masing - masing 62% dan 92% :
1. Onset akut demam dua sampai tujuh hari lamanya.
2. Manifestasi perdarahan, ditunjukkan oleh salah satu dari berikut ini:

13
tes tourniquet positif, petechiae, ekimosis atau purpura, atau perdarahan
dari mukosa, saluran cerna, tempat suntikan, atau lainnya lokasi
3. Jumlah trombosit ≤100.000 sel / mm3
4. Bukti obyektif kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
vaskular yang ditunjukkan oleh salah satu
pengikut:
 Meningkatnya hematokrit / hemokonsentrasi ≥ 20% dari awal atau
penurunan pemulihan, atau bukti kebocoran plasma seperti efusi
pleura, asites atau hipoproteinemia / albuminaemia
Derajat penyakit DBD oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
2.1.3 tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Dengue Syok
Syndrome (DSS)
Kriteria demam berdarah dengue seperti di atas dengan tanda syok
termasuk:
1. Takikardia, ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, denyut
nadi lemah, kelesuan atau kegelisahan, yang mungkin merupakan tanda
berkurangnya perfusi otak.
2. Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat, mis.
100/80 mmHg.
3. Hipotensi menurut usia, didefinisikan sebagai tekanan sistolik <80 mmHg
untuk mereka yang berusia <5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg untuk anak-
anak dan orang dewasa yang lebih tua.

14
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
o Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
o Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
o Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
o Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
o Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
o Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
o Serologi

15
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
o NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
ketiga. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
2.8.2 Radiologi
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
(Soedarmo, 2012).
o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, ascites dan dinding buli-buli.
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan (WHO, 2011).
2.9.1 Terapi Home Care
1. Pasien membutuhkan istirahat yang adekuat
2. Kebutuhan cairan harus terpenuhi selain air putih bisa diberikan susu, jus
buah, larutan elektrolit isotonik, cairan beras. Pemantauan agar tidak
terjadi overhidrasi pada bayi maupun anak
3. Jaga suhu tubuh dibawah 39. Jika suhu melebihi diatas 39 berikan
parasetamol pasien Parasetamol tersedia dalam dosis 325 mg atau 500 mg

16
dalam tablet bentuk atau dalam konsentrasi 120 mg per 5 ml sirup. Dosis
yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan harus diberikan dalam
frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis maksimum untuk orang
dewasa adalah 4 gm / hari. Hindari penggunaan berlebihan pada
paracetamol, dan aspirin atau NSAID tidak disarankan.
4. Kontrol setiap hari kondisi penderita sampai melewati masa kritis
5. Jika ada tanda-tanda warning sign segera bawa ke RS.

Warning Sign
1. Tidak ada perbaikan klinis atau perburukan situasi
sebelum atau selama masa transisi ke fase afebris atau saat
penyakit berkembang.
2. Muntah terus-menerus, kurang asupan air.
3. Nyeri perut hebat
4. Kelesuan dan / atau kegelisahan, perubahan perilaku
mendadak.
5. Pendarahan: Epistaksis, tinja berwarna hitam,
hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan
6. urin berwarna gelap (haemoglobinuria) atau hematuria.
7. Pusing/ nyeri kepala
8. Tangan dan kaki pucat, dingin dan lembap.
9. BAK kurang dari 4-6 jam.
10. Hepatomegali > 2cm
11. Laboratorium : peningkatan hematokrit disertai penurunan
trombosit yang cepat

Gambar 8. Warning sign dengue (WHO, 2011)


2.9.2 Terapi di Rumah Sakit
2.9.2.1 Indikasi pemberian terapi cairan pada pasien DHF saat fase kritis (WHO,
2011) :
1. Bila pasien tidak memiliki asupan cairan oral yang cukup atau muntah.
2. Ketika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun telah rehidrasi oral.
3. Kondisi syok
Prinsip pemberian cairan menurut WHO (2011) :
1. Larutan kristaloid isotonik harus digunakan sepanjang periode kritis
kecuali di bayi yang sangat muda <6 bulan di mana 0,45% natrium klorida
dapat digunakan.

17
Kebutuhan cairan formula Holliday Segar :

Gambar 9. Kebutuhan cairan maintenance Holliday Segar (Mella, 2013)


2. Larutan koloid hiper-onkotik (osmolaritas> 300 mOsm / l) seperti dekstran
40 dapat digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma masif, dan
mereka yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian kristaloid,
3. Volume maintenans + 5% dehidrasi harus diberikan untuk
mempertahankan volume dan sirkulasi intravaskular "cukup memadai".
4. Durasi terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 sampai 48 jam bagi
mereka yang mengalami syok. Namun, bagi pasien yang tidak mengalami
syok, durasi terapi cairan intravena mungkin harus lebih lama tapi tidak
lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena kelompok pasien yang terakhir
baru saja memasuki masa kebocoran plasma sementara pasien shock
mengalami durasi kebocoran plasma yang lebih lama sebelum terapi
intravena dimulai.
5. Pada pasien obesitas, berat badan ideal harus digunakan sebagai panduan
untuk menghitung volume cairan (Gambar 9).

Gambar 10. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal (SLCP, 2012)
Tingkat cairan intravena harus disesuaikan dengan situasi klinis. Tingkat cairan
IV berbeda pada orang dewasa dan anak-anak. Gambar 11 menunjukkan tingkat

18
perbandingan rata-rata pada anak-anak dan orang dewasa sehubungan dengan
pemberian maintenance.

Gambar 11. Tingkat cairan IV pada orang dewasa dan anak-anak (SLCP, 2012)
Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada
prophylaxis platelet transfusion). Ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa
dengan hipertensi yang mendasari dan trombositopenia yang sangat parah (kurang
dari 10.000 sel / mm3) (Ugrasena, 2013).
2.9.2.2 Terapi DHF grade I, II (Kasus Non-Syok)
Secara umum, cairan diberikan sejumlah kebutuhan rumatan (untuk satu
hari) + defisit 5% (cairan oral dan IV bersamaan), diberikan lebih dari 48 jam.
Misalnya, pada anak dengan berat 20 kg, defisit 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000
ml. Pemeliharaannya adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M +
5% adalah 2500 ml (Gambar 9). Volume ini akan diberikan lebih dari 48 jam pada
pasien non-syok (Suprapto, 2016).
2.9.2.3 Terapi syok : DHF grade III
DSS adalah syok hipovolemik yang disebabkan oleh kebocoran plasma
dan ditandai dengan meningkatnya ketahanan vaskular sistemik, yang ditunjukkan
oleh tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
tekanan diastolik yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg). Bila terjadi
hipotensi, seseorang harus menduga bahwa terjadi perdarahan hebat, dan
perdarahan gastrointestinal tersembunyi mungkin terjadi selain kebocoran plasma.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok lainnya seperti
syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak
atau 300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau bolus, jika perlu.
Namun, sebelum mengurangi laju penggantian IV, kondisi klinis, tanda vital,
keluaran urin dan tingkat hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan
klinis (WHO, 2011)

19
.
Gambar 12. Investigasi laboratorium (ABCS) untuk pasien yang hadir dengan
shock berat atau mengalami komplikasi, dan dalam kasus tanpa perbaikan klinis
meskipun ada penggantian volume yang memadai

Gambar 13. Diagram penggantian cairan Untuk pasien DSS (Suprapto, 2016)

20
2.9.2.4 Terapi syok : DHF grade IV
Resusitasi cairan awal pada DHF kelas IV lebih kuat untuk segera
mengembalikan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
sesegera mungkin untuk ABCS dan juga keterlibatan organ. Bahkan hipotensi
ringan pun harus diobati secara agresif. 10 ml / kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dalam 10 sampai 15 menit. Bila tekanan darah pulih,
cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan seperti pada Grade III. Jika syok
tidak reversibel setelah 10 ml / kg pertama, bolus berulang 10 ml / kg dan hasil
laboratorium harus dikejar dan dikoreksi sesegera mungkin. Transfusi darah yang
mendesak harus dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya (setelah meninjau
HCT presteusitasi) dan dilanjutkan dengan pemantauan lebih dekat, mis.
kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau arterial
line (Suprapto, 2016).
Perlu dicatat bahwa mengembalikan tekanan darah sangat penting untuk
bertahan hidup dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosisnya
sangat parah. Inotrop dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah, jika
penggantian volume telah dianggap memadai seperti pada tekanan vena sentral
tinggi (CVP), atau kardiomegali, atau kontraktilitas jantung buruk yang
terdokumentasi. Jika tekanan darah pulih setelah resusitasi cairan dengan atau
tanpa transfusi darah, dan gangguan organ ada, pasien harus ditangani dengan
tepat dengan perawatan suportif khusus. Contoh dukungan organ adalah dialisis
peritoneal, terapi penggantian ginjal kontinyu dan ventilasi mekanis. Jika akses
intravena tidak dapat diperoleh dengan segera, cobalah larutan elektrolit oral jika
pasien sadar atau melakukan intraosseus jika tidak. Akses intraosseous
menyelamatkan nyawa dan harus dicoba setelah 2-5 menit atau setelah dua kali
gagal pada akses vena perifer atau setelah rute oral gagal (WHO, 2011).
2.9.2.6 Perawatan di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
Anak yang menderita SSD perlu dirawat di PICU untuk memantau dan
mengantisipasi perubahan sirkulasi dan metabolik dan memberikan tindakan
suportif intensif. Umumnya kegawatan DBD cukup diatasi dengan tunjangan
ventilasi, pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Pada SSD berat obat yang
21
mungkin pula perlu diberikan saat resusitasi adalah bolus epinefrin, sodium
bikarbonat, atropin, glukosa dan kalsium klorida, dan pasca resusitasi untuk
stabilitas hemodinamik adalah infus epinefrin, dopamin dan dobutamin.15 Bolus
obat resusitasi dapat diberikan secara intravena (IV), intraoseal (IO) atau
endotrakeal. Penyuntikan obat resusitasi intrakardial tidak dilakukan lagi
mengingat risiko terjadinya laserasi arteri koroner, tamponade dan aritmia jantung
disamping pijatan jantung terpaksa harus dihentikan sementara.15 Infus obat
resusitasi disiapkan dengan dekstrosa 5%, garam fisiologik atau ringer laktat
menurut rule of six yaitu 6 mg obat x BB (kg) dilarutkan dalam 100 mL, diberikan
dengan kecepatan 1 mL/jam = 1.0 mg/kgbb/menit.
Berikut ini adalah obat-obat yang sering digunakan
a) Epinefrin
Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikadia dan hipotensi
yang non-responsif terhadap resusitasi jantung paru dan resusitasi cairan.
Dosis bolus epinefrin IV dan IO inisial adalah 0.01 mg/kgbb (0.1 ml/kgbb
epinefrin 1:10.000). Bila perlu dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0.1-0.2
mg/kgbb (0.1-0.2 ml epinefrin 1:1000), yang diulang tiap 3-5 menit.
Dosis epinefrin endotrakeal adalah 0.1 mg/kgbb (0.1mL/ kgbb epinefrin
1:1000).lah 0.01 mg/kg (0.1 mL/kgbb cairan 1:10.000) yang bila perlu
dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 mL/kgbb cairan 1:1000).
Infus epinefrin diberikan bila masih terdapat hipotensi, bradikardia dan
perfusi sistemik buruk. Dosis infus epinefrin adalah 0.1-1.0
mg/kgbb/menit
Epinefrin atau adrenalin adalah katekolamin endogen dengan efek a
dan b adrenergik yang bekerja langsung pada reseptor adrenergik tanpa
melalui pelepasan norepinefrin, karena itu dapat diberikan kepada bayi
dan anak walaupun cadangan norepinefrin miokard terbatas. Efek b-
adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis rendah (<0.3
mg/kgbb/menit) adalah peningkatan kontraktilitas miokard, laju denyut
jantung, tekanan sistolik dan nadi, relaksasi otot polos vascular bed otot
rangka dan bronkus. Efek a-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis
tinggi (>0.3 mg/ kgbb/menit) adalah vasokonstriksi splanknik, renal,

22
mukosa usus dan kulit yang mengalihkan aliran darah ke otak dan
jantung, meningkatkan resistensi vascular sistemik, tekanan darah sistolik
dan diastolik, meningkatkan perfusi koroner dan pelepasan oksigen di
jantung. Masa paruh epinefrin sekitar 2 menit, karena itu kecepatan infus
epinefrin disesuaikan setiap 5 menit dengan memperhatikan laju denyut
jantung, tekanan darah dan perfusi. Untuk mencegah ekstravasasi, infus
epinefrin diberikan melalui kateter vena atau kateter vena sentralis.
Asidosis yang menekan katekolamin perlu dikoreksi dengan pemberian
oksigen, hiperventilasi dan perbaikan perfusi sistemik. Epinefrin tidak
aktif pada cairan alkali karena itu tidak dicampurkan pada cairan
bikarbonat atau alkali lain Epinefrin tersedia dalam vial 1 mg/mL.
Larutan epinefrin 1:10.000 disiapkan untuk IV dan IO dosis rendah,
larutan epinefrin 1:1000 disiapkan untuk IV dan IO dosis tinggi dan
endotrakeal, masing-masing larutan perlu diberi label supaya tidak terjadi
kesalahan. Infus epinefrin disiapkan menurut rule of six. (0.6 mg
epinefrin x BB kg) dalam 100 mL bila diinfuskan dengan kecepatan
1mL/jam akan memberikan epinefrin 0.1 mg/kg/menit.
b) Sodium bikarbonat
Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti jantung lama dan
keadaan hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis berat dan
hiperkalemia. Bila dengan resusitasi jantung paru, pijat jantung dan
pemberian bolus epinefrin masih terdapat henti jantung, di berikan bolus
sodium bikarbonat 1 mEq/kgbb IV/ IO (tidak endotrakeal). Sesudah
sirkulasi spontan terjadi, dosis sodiumbikarbonat selanjutnya didasarkan
pada pemeriksaan pH dan PaCO2. Bila pemeriksaan analisis gas darah
tidak dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0.5 mEq/kgbb tiap 10
menit secara infus pelan selama 1-2 menit.
Pemberian bikarbonat akan menimbulkan reaksi sehingga pH plasma
meningkat. Larutan sodium bikarbonat 8.4% (1 mEq/L) sangat
hiperosmolar (2000 mOsm/L) dibandingkan plasma 280 mOsm/L, dapat
menyebabkan hiperosmolaritas, dan hipernatremia. Pipa IV dan IO harus
dibilas dulu dengan garam fisiologik sebelum dan sesudah dipakai untuk

23
memberikan sodium bikarbonat. Sodium bikarbonat menyebabkan
katekolamin tidak aktif dan pengendapan garam kalsium. Sodium
bikarbonat tidak diberikan melalui endotrakeal Ekstravasasi sodium
bikarbonat menyebabkan sklerosis vena dan nekrosis jaringan.
c) Atropin
Curah jantung pada anak adalah rate dependent, karena itu
bardikardia simptomatik (<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi
dan hipoksemia harus diobati dengan resusitasi jantung paru, pemberian
epinefrin atau atropin. Atropin adalah obat parasimpatolitik yang
mempercepat sinus atau pacemaker atrial dan konduksi atrioventrikular.
Atropin digunakan juga untuk mencegah bradikardia karena refleks vagal
pada tindakan intubasi endotrakeal. Dosis atropin harus cukup untuk
menimbulkan efek vagolitik dan mencegah bradikardi paradoks. Dosis
atropin 0.02 mg/kgbb dengan dosis minimal 0.1 mg, Dosis atropin tunggal
maksimal adalah 0.5 - 1 mg/kali yang dapat diulang tiap 5 menit dengan
dosis total maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk remaja. Atropin
dapat diberikan melalui IV/IO dan endotrakeal. Atropin tersedia dalam
kemasan 0.4 mg/mL.
d) Glukosa
Glukosa hanya diberikan bila terdapat hipoglikemia dan pasien tidak
memberikan respons terhadap
tindakan resusitasi standar. Cadangan glikogen bayi dan anak sakit gawat
terbatas dan cepat habis. Gejala hipoglikemia serupa dengan gejala
hipoksemia yaitu perfusi buruk, takikardia, hipotermia, letargi dan
hipotensi, karena hipoglikemia menekan fungsi miokard. Glukosa diberikan
dengan dosis 0.5-1.0 g/ kg secara IV atau IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb
atau D5W atau D5 NaCl 0.9% atau RL 10-20 mL/kgbb dapat diberikan
dalam 20 menit untuk mengobatihipoglikemia, walaupun cairan resusitasi
mengandung glukosa tidak rutin digunakan. Konsentrasi maksimum D25W
hanya diberikan secara IV.
e) Kalsium klorida

24
Kalsium diberikan untuk mengobati hipokalsemia, hiperkalemia dan
hipermagnesemia. Kandungan elemen kalsium pada kalsium glukonat 10%
adalah 9 mg/mL dan pada kalsium klorida 10% adalah 27.2 mg/mL. Dosis
kalsium klorida 10% adalah 0.2-0.5 mL/kgbb atau 5-7 mg/kgbb elemen
kalsium sama dengan 20-25 mg/kgbb garam kalsium yang diberikan secara
infus pelan (100 mg/menit) untuk mencegah bradikardia dan asistol. Dosis
ini dapat diulangi satu kali lagi sesudah 10 menit. Dosis selanjutnya hanya
diberikan biila dilakukan pengukuran kadar kalsium. Kalsium tidak
dicampur dengan sodium bikarbonat karena dapat terjadi pengendapan.
f) Dopamin
Dopamin diberikan untuk mengobati hipotensi atau perfusi perifer
buruk pada anak dengan volume intravaskular cukup dan irama jantung
stabil. Dopamin tersedia dalam kemasan 40 mg/mL. Cairan infus dopamin
disiapkan menururt rule of six, yaitu 6 x BB(kg) mg dopamin dalam cairan
100 ml. Apabila diinfuskan dengan kecepatan 1ml/jam akan memberikan
dopamin 1 mg/kgbb/menit. Masa paruh dopamin pendek karena itu
diberikan secara infus kontinu dengan bantuan pompa infus. Infus
dopamine harus diberikan melalui kateter vena yang besar atau kateter vena
sentraliis. Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis
jaringan lokal.
Dopamin dan katekolamin lain tidak diberikan bersamaan dengan
sodium bikarbonat karena di nonaktifkan. Infus dopamin dimulai dengan
10mL/ jam atau 10mg/kgbb/menit yang selanjutnya disesuaikan dengan
penilaian diuresis, perfusi sistemik, dan tekanan darah. Pada dosis rendah
(2–5mg/kgbb/ menit), efek langsung dopamin pada reseptor badrenergik
jantung sedikit, namun pada vascular bed dopamin merangsang reseptor
dopaminergik dengan efek vasodilatasi yang meningkatkan aliran darah
renal, splangnik, koroner dan serebral.
Pada dosis tinggi (>5mg/kgbb/menit) dopamin memberi efek
langsung dan tidak langsung melalui pelepasan norepinefrin saraf simpatis
jantung pada reseptor b-adrenergik jantung dan efek vasokonstriksi a-
adrenergik. Efek inotropic dopamin pada anak terbatas sesuai dengan

25
inervasi simpatis miokard ventrikel yang belum sempurna. Infus dopamin
5-10 mg/kgbb/menit meningkatkan kontraktilias jantung tanpa efek pada
tekanan darah dan denyut jantung. Infus dopamin 10-20 mgbb/kg/ menit
terjadi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah namun timbul
masalah takikardia. Infus dopamin >20mg/kgbb/menit menyebabkan
vasokonstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa tambahan efek inotropik.
Karena itu bila diperlukan efek inotropik, dopamin >20mg/kgbb/menit
diberikan secara infus untuk memperoleh efek a dan b adrenergik lebih
kuat.
g) Dobutamin
Dobutamin diberikan pada pengobatan hipoperfusi yang
berhubungan dengan peninggian resistensi vaskular sistemik. Dobutamin
adalah katekolamin sintetik dengan efek selektif langsung pada reseptor
badrenergik dan tidak tergantung pada cadangan norepinefrin. Dobutamin
tidak mempunyai efek dopaminergik dan tidak berpengaruh pada aliran
darah renal dan splangnik. Dobutamin paling efektif untuk mengobati
gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik terutama yang disebabkan
oleh kardiomiopati karena merendahkan resistensi vaskular paru dan
sistemik sehingga meningkatkan curah jantung. Dobutamin kurang efektif
dibandingkan epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena
memperburuk vasodilatasi sistemik yang sudah terjadi. Karena masa
paruhnya rendah dobutamin diberikan secara infus kontinu melalui kateter
vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin tersedia dalam vial 25 mg
dan 12.5 mg/mL. Infus dobutamin disiapkan menurut rule of six.
Ekstravasasi dobutamin dapat menyebabkan iskemia jaringan dan nekrosis
lokal.
Dobutamin non aktif dalam cairan alkali. Infus dopamin dimulai
Infus dopamin dimulai dengan dosis 5-10 mg/kgbb/menit (5-10 mL/jam).
Kecepatan infus dobutamin disesuaikan dengan tekanan darah dan perfusi
pasien. Biasanya tidak diperlukan dosis dobutamin yang lebih besar
daripada 20 mg/kgbb/menit.
h) Furosemide

26
Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau
bernapas cepat dan mengalami efusi luas, berikan obat minum atau
furosemide intravena 1 mg/kgBB/ dosis sekali atau dua kali sehari selama
24 jam.
2.9.2.6 Tanda-tanda penyembuhan (Aziz et al, 2013)
1. Nadi stabil baik tekanan darah dan laju pernapasan.
2. Suhu normal.
3. Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
4. Kembalilah nafsu makan.
5. Tidak muntah, tidak sakit perut.
6. Keluaran urin yang normal.
7. Hematokrit stabil pada tingkat awal.
8. Penyembuhan ruam peteki konfenen atau gatal, terutama pada ekstremitas.
2.9.2.7 Kriteria pasien pulang (WHO, 2011)
1. Tidak adanya demam minimal 24 jam tanpa menggunakan terapi anti
demam.
2. Nafsu makan yang membaik.
3. Perbaikan klinis yang nyata.
4. Keluaran urin yang banyak.
5. Minimal 2-3 hari setelah pemulihan dari kondisi syok.
6. Tidak ada gangguan pernafasan dari efusi pleura dan tidak ada asites.
7. Jumlah trombosit lebih dari 50.000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat
direkomendasikan untuk menghindari aktivitas traumatis selama paling
sedikit 1-2 minggu untuk jumlah trombosit menjadi normal. Pada
kebanyakan kasus yang tidak rumit, trombosit meningkat normal dalam 3-
5 hari.
2.10 Komplikasi
Terbagi menjadi 3 sesuai dengan pola demam dengue (Khetarpal, 2016):
 Periode febris : Dehidrasi, kejang
 Periode Afebris
 Syok hipovolemik

27
 Perdarahan masif, akibat penurunan trombosit dan perubahan
permeabilitas kapiler yang diakibatkan reaksi antigen-antibodi
 Myocarditis, karena asidosis metabolik dan hipokalsemia
 Ensephalitis
 Ensephalopati, disebabkan karena disfungsi hati, hipoperfusi atau
perdarahan intrakranial
 Gangguan ginjal akut
 Gangguan elektrolit
 Periode Konvalense
 Kelebihan cairan, Hipokalemia

28
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. M A P
Umur : 3 Tahun 3 Bulan
Berat Badan : 12Kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat :-
MRS : Via IGD, Sabtu 4 Desember 2021 pukul 23.06
RM :-

Summary Of Database:
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan Demam hari ke-4
(sejak selasa sore 30/11/2021 jam 16.00) Pola demam awal mendadak terus-
menerus, sempat dibawa ke Bidan desa malamnya, di Ukur suhunya 39’C
diberi sirup penurun panas. Hari Sabtu, dibawa ke PKM, dilakukan
pemeriksaan Darah lengkap, dan dilakukan pemasangan IV Line tetapi gagal,
akhirnya dilarikan ke IGD RSSG. Keluhan disertai Penurunan Nafsu makan,
Lemas, Nyeri persendian (+), Nyeri ulu hati (+), Nyeri otot (+) bintik-bintik
merah (-) mimisan (-) gusi berdarah (+) mual (+) muntah (+)1x pagi sebelum
MRS, badan terasa sakit semua (+) makan/ minum susah BAK terakhir jam
20.00. BAB berwarna kehitaman. Anak Lemas, cenderung diam
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

- Riwayat Kejang disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

29
Px memiliki adik yang mengalami keluhan yang sama sebelumnya dan dirawat di
RS

Riwayat Sosial :
- Pasien keseharianya sering bermain di lapangan
- Pemukiman rumah di desa

- Teman bermain ada yang sakit seperti ini

Riwayat Makanan
- ASI sejak usia 0 – 1.5 tahun

Riwayat Imunisasi

- Lengkap

Riwayat Pengobatan
- Paracetamol sirup

Status Gizi :

BB : 12 kg BMI = 13.3 kg/m2


TB : 95 cm Status gizi : Underweight

Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Lemas
- Tanda-tanda vital :
 TD: 66/34 mmHg
 Nadi :120 x/mnt cepat lemah
 RR : 24 x/mnt
 Suhu : 37,5 °C Axilla
- Kepala - Leher:
 A/I/C/D -/-/-/-
 lidah kotor (-), mata cowong (-), massa (-), pemb KGB (-)
 Faring hiperemis (-) Tonsil T1/T1
- Pulmo :
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris
30
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : ves/ves, Rh -/-, Wh -/-
- Cor :
 Inspeksi : iktus cordis (-)
 Palpasi : iktus teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
 Inspeksi : cembung
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : soefl, turgor kembali cepat, nyeri tekan, (-) epigastrium,
hepatomegaly (-), shifting dulness (-)
 Perkusi : timpani
- Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT < 2dtk ptekie (-)
- Oedema pada Esktremitas Superior S post Phlebotomy di PKM

Laboratorium
- Hb :8,1 gr/d
- Leukosit : 4200 /sel/ul
- EOS/BAS/STAB/SEG/Lim/Mono : 0/0/0/37/52/11
- HCT : 23,4%
- Trombosit : 14.000 /cmm
- Rapid Test : -
- Thorax PA : Kesan Dbn
Clue and Cue :
- Anak Laki-Laki 4Tahun dengan BB 12Kg
- Demam mendadak tinggi
- Mual + Muntah
- Atralgia + Myalgia + Epigastric pain
- Gusi berdarah + BAB hitam
- Nafsu makan menurun
- Leukopenia

31
- Trombositopenia

Problem list :
- Akut febrie illness
Initial diagnosis :
- DHF derajat III
Planing terapi :
Rehidrasi KAEN 3B 300cc/3jam
- Maintenance Inf RL D5 1500 cc/24jam
- Inj omeprazole 2x8mg
- Inj Paracetamol 150 mg prn
- KIE Makan dan Minum, Target 8x100cc
Planing monitoring :
- Keluhan Umum dan TTV
- Tanda-tanda perdarahan dan plasma leakage
- Keseimbangan cairan
- DL serial
- Komplikasi
Planing edukasi :
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien kita mengalami sakit demam
berdarah yaitu infeksi akibat virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk
aedes aegepty dengan gejala demam tinggi mendadak hingga risiko
terjadinya shock
- Menjelaskan rencana pemeriksaan penunjang yang akan kita lakukan
untuk menegakkan diagnosis yaitu lab DL rutin
- Rencana terapi, pasien akan diberikan cairan untuk mengganti kekurangan
cairan akibat plasma leakage, diberikan juga obat penurun panas dan terapi
suportif lain.
- Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi yaitu shock, sindroma overload
cairan, perdarahan, dll.
- Prognosis baik jika penanganan cepat dan optimal
32
Follow UP
Tgl 5/12/2021 6/12/2021 7/12/2021
S Demam hari ke 5 Demam (-) sesak (-), Demam (-) sesak (-)
(+),mual (+) nyeri nyeri persendian (-) Nyeri perut (-)
persendian (+), pilek Mual Muntah – Mual Muntah –
(-), bintik merah (-), Gusi berdarah – Gusi berdarah –
Makan minum sulit, BAB dbn BAB dbn
BAK terakhir jam Makan minum sulit Makan minum sulit
20.00
BAB masih hitam
Gusi berdarah -
O KU: lemah KU: lemah KU: lemah
TTV TTV: TTV:
TD: 95/64 mmHg TD: 100/ 60 TD 90/60
Nadi :110 x/mnt Nadi :140 x/mnt lemah N: 100
RR : 22 x/mnt RR : 28 x/mnt RR: 24
Suhu : 37,5 °C Suhu : 36,9 °C T : 36.8
K/L: A/I/C/D -/-/-/- K/L: A/I/C/D -/-/-/- K/L: A/I/C/D -/-/-/-
PKGB (-) PKGB (-) PKGB (-)
Tho: Tho: Tho:
Pulmo: simetis, Pulmo: simetis, Pulmo: simetis,
retraksi (-) ekspansi retraksi (-) ekspansi retraksi (-), eksp
dinding dada simetris, dinding dada simetris, dinding dada simetris,
sonor/sonor, ves/ves, sonor/sonor, ves/ves, sonor/sonor, ves/ves,
Rhonki -/-, Wheezing Rhonki -/-, Wheezing Rhonki -/-, Wheezing
-/- -/- -/-
Cor: S1S2 tunggal Cor: S1S2 tunggal Cor: S1S2 tunggal
Abd: cembung, BU Abd:cembung, BU (+) Abd:cembung, BU (+)
(+) normal, fatty, normal, fatty, normal, fatty,

33
hepatomgali (-),NT (-), hepatomgali (-), NT hepatomgali (+), NT
timpani (-)timpani (+)
Ekst: akral hangat, Ekst: akral dingin, Ekst: akral hangat,
edema (-), CRT<2det edema (-), CRT >2 det edema (-), CRT <2 det

Hb : 10,7 Hb : 10,8 Lab :


Leukosit : 5000 Hb :8,6
Leukosit : 6400
HCT : 30,9 % Leu: 7.100
HCT : 31,2 % Hct : 25,7
Trom : 15.000
Trom: 31.000
Trom : 20.000
Albumin: 3,47

HDT :

Eritrosit :
Normokromik
Normositer

Leukosit : Kesan
jumlah Normal

EOS 1/STAB 1/SEG


13/Lim 84/ Mono 1

Trombosit : Kesan
jumlah normal,Giant
Cell +

Kesan : Anemia
Normokromik
normositik +
Trombositopenia ec
Penyakit infeksi
Virus

34
A DHF H-5 DHF H-6 DF H-7
P -Inf RD5 500cc/24jam -Inf RD5 500cc/24jam -Inf RD5 500cc/24jam
-Diet 1300kkal -Diet 1300kkal -Diet 1300kkal
Inj Pamol 150mg prn Inj Pamol 150mg prn Inj Pamol 150mg prn
-inj omeprazole 2x8mg -inj omeprazole -inj omeprazole 2x8mg
Kompres hangat 2x8mg Kompres hangat
lengan kiri Kompres hangat lengan kiri
- Cek DL serial lengan kiri - Cek DL serial
KIE keluarga - Cek DL serial KIE keluarga
KIE keluarga
- Cek HDT besok

Tgl 9/12/2021 11/12/2021


S Demam (+), Demam (sumer),
Oedem pada tangan kiri Muncul Ruam
membaik kemerahan terutama
pada kedua kaki
Oedem pada tangan kiri
membaik
O KU: cukup KU: baik
TTV TTV:
TD : 97/64MmHg TD 95/68 mmHg
N : 90x/mnt Kuat angkat N: 92x/mnt kuat
RR : 24 x/mnt RR: 22 x/mnt
T : 37.4C T : 36.7 C
K/L: A/I/C/D -/-/-/- K/L: A/I/C/D -/-/-/-
PKGB (-) PKGB (-)
Tho: Tho:
Pulmo: simetis, retraksi Pulmo: simetis, retraksi
(-) ekspansi dinding dada (-) ekspansi dinding dada
simetris, sonor/sonor, simetris, sonor/sonor,

35
ves/ves, Rhonki -/-, ves/ves, Rhonki -/-,
Wheezing -/- Wheezing -/-
Cor: S1S2 tunggal Cor: S1S2 tunggal
Abd:cembung, BU (+) Abd: cembung BU (+)
normal, fatty, NT (-), normal, fatty, NT (-),
timpani timpani
Ekst: akral hangat, Ekst: akral hangat,
edema (-), CRT<2det edema (-), CRT <2 det
Macula eritem ekst
Lab inferior D S
Hb : 8,2
Leu : 7.300 Lab
Hct : 24,1 Hb : 9,5
Trom : 163.000 Leu : 11.800
Hct : 28,7
Trom : 304.000

A DHF H-9 DHF H-10


P Inf RLD5 500cc/24jam KRS

Diet 1300kkal
Inj Pamol 150mg prn
Omeprazole Stop
-

36
BAB 4

PEMBAHASAN

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti. Sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
bahwa negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara (Zumaroh, 2015). Berdasakan data Kemenkes tahun 2015, Jawa Timur
menduduki peringkat ke 12 dari total keseluruhan provinsi di Indonesia dalam
insiden kasus demam dengue. Demam Berdarah Dengue dapat mengancam jiwa
terutama anak-anak di bawah 16 tahun di daerah endemik dengue flavivirus
(Lardo, 2013).
Dalam kasus ini, Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan
Demam hari ke-4 (sejak selasa sore 30/11/2021 jam 16.00) Pola demam awal
mendadak terus-menerus, dan sempat turun dengan sirup penurn panas.
Di hari ke 4 Pasien dibawa ke PKM dgn Keluhan disertai Penurunan Nafsu
makan, Lemas, Nyeri persendian (+), Nyeri ulu hati (+), Nyeri otot (+) bintik-
bintik merah (-) mimisan (-) gusi berdarah (+) mual (+) muntah (+)1x pagi
sebelum MRS, badan terasa sakit semua (+) makan/ minum susah, BAB berwarna
kehitaman. Anak Lemas, cenderung diam setelah dilakukan pemeriksaan DL, px
dilarikan ke IGD RSSG.
Berdasarkan klasifikasi dan derajat demam dengue WHO tahun 2011 dimana jika
terdapat keluhan demam dan disertai tanda perdarahan spontan, perdarahan
gusi,serta BAB kehitaman. Artinya pada pasien ini memenuhi kriteria diagnosis
WHO 2011 sebagai DHF grade II yakni :
Derajat penyakit DHF oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.

37
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Dengue Syok
Syndrome (DSS)
Kriteria demam berdarah dengue seperti di atas dengan tanda syok
termasuk:
4. Takikardia, ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, denyut
nadi lemah, kelesuan atau kegelisahan, yang mungkin merupakan tanda
berkurangnya perfusi otak.
5. Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat, mis.
100/80 mmHg.
6. Hipotensi menurut usia, didefinisikan sebagai tekanan sistolik <80 mmHg
untuk mereka yang berusia <5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg untuk anak-
anak dan orang dewasa yang lebih tua.

Pada pemeriksaan vital sign hari ke 4 panas didapatkan suhu temperatur


38, 9 derajat. Hal ini sesuai dengan pola demam dengue yakni :
1. Fase Febrile
Gejalanya meliputi demam, mialgia, sakit kepala, artralgia dan eksilema, dan
seringkali tidak dapat dibedakan dari penyakit demam akut lainnya.
Manifestasi perdarahan ringan bisa terjadi seperti perdarahan gusi dan
epistaksis. Pengenalan progres ke bentuk parah mungkin sulit selama fase ini.
Untuk menentukan apakah perkembangan penyakit lebih parah terjadi,
warning sign harus diobservasi Durasi fase ini umumnya 2-7 hari (Carlos
2011).
2. Fase Kritis

38
Fase ini ditandai dengan bukti klinis dan laboratorial tentang disfungsi sel
endotel yang disebabkan oleh infeksi virus, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular. Fase ini
ditandai dengan perubahan defervensi, peredaran darah dan perfusi yang
mendadak (hipotensi dan syok hipovolemik), efusi serosa (pleura dan asites)
dan disfungsi organ, seperti gagal hati, ensefalitis, miokarditis dan gangguan
pembekuan darah. Leukopenia progresif dan penurunan jumlah platelet
mendadak mendahului kebocoran plasma, dan peningkatan hematokrit
progresif mencerminkan besarnya volume yang hilang ke kompartemen
ekstravaskular. Namun, perlu dicatat bahwa disfungsi organ berat mungkin
ada, termasuk hepatitis, ensefalitis, miokarditis dan pendarahan klinis yang
signifikan, tanpa tanda klinis kebocoran plasma. Fase kritis, yang terbukti
pada 10-15% kasus demam berdarah, mengungkapkan perkembangan
penyakit berat. Durasi fase ini adalah 1-3 hari (Carlos, 2011).
3. Fase Pemulihan
Fase ini ditandai dengan peningkatan fungsi endotel secara progresif dengan
resorpsi fluida bertahap dari ruang ekstravaskular, stabilisasi hematokrit dan
pemulihan platelet progresif. Ruam bisa terjadi bersamaan dengan pruritus
dan bradikardia. Selama fase ini, karena pemulihan fungsi endotel secara
progresif, pemberian cairan (dan akhirnya diuretik) harus diresepkan dengan
hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, gagal jantung kongestif dan
pelepasan gagal napas dan efusi serous. Durasi fase ini adalah 1-3 hari
(Carlos, 2011).
Pada pasien ini dimana saat memasuki fase akut atau febris hari 1-2 panas tinggi,
fase kritis pada hari ke 3-6, keluhan panas akan turun dan dapat muncul “warning
sign” yang perlu dilakukan pemantauan ketat, dan hari ke 6-8 biasanya suhu tubuh
kembali normal dan terjadi perbaikan klinis (WHO, 2009).
Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan Leukopenia dan
trombositopeni.
Implementasi hasil Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,

39
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
o Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
o Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
o Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hal ini bisa terjadi karena saat terjadi infeksi pada DHF terjadi reaksi
antigen-antibodi yang mensupresi pengeluaran mediator-mediator inflamasi
seperti TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF β, C3a,
C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO yang dapat mempengaruhi kerja
sumsum tulang dalam hematopoesis, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga
terjadi supresi hemopoietik seperti produksi leukosit dan trombosit yang
berkembang ke arah gangguan koagulasi (Martina et al, 2009).
Tatalaksana awal pada saat MRS adalah berdasarkan tatalaksana sesuai
Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak IDAI tahun 2014
dan Depker RI 2005 pemeberian cairan untuk sesuai terapi DHF grade II tanpa
syok yaitu 50 mg/kb/hari diberikan dalam 2 hari yaitu 1400cc/24 jam.
Pemberian cairan sesuai dengan keadaan klinis pasien dan derajat beratnya
penyakit:
 DBD derajat I dan II: infus cairan kristaloid dengan kebutuhan setara
dengan dehidrasi sedang, dihitung untuk tiap jam (WHO: 6-7 ml/kgBB/jam)

40
 DBD derajat III dan IV (DSS): resusitasi cairan kristaloid dan/atau koloid
sesuai tatalaksana syok
 Pemantauan ketat untuk tanda-tanda gangguan sirkulasi dan perdarahan,
juga komplikasi lainnya.
 Apakah ada tanda-tanda gangguan sirkulasi:  Laju nadi kecil dan lemah
sampai tidak teraba  Tekanan nadi 2 detik
 Pemberian cairan: Demam dengue atau tersangka DBD: banyak minum
dengan cairan rumah tangga, cairan oralit, jus buah, cairan mengandung
elektrolit lain (bila ada muntah-muntah dan anak malas minum, beri cairan
melalui infus)
 Suportif dan simtomatik: Diet cukup kalori dan protein, mudah dicerna dan
dapat diterima oleh pasien
 Antipiretik: parasetamol (hindari pemberian asetosal dan ibuprofen).
 Anti kejang bila diperlukan

Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan DL serial yang dilakukan dengan tujuan
Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan
kebocoran plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan
nilai hematokrit 20% atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak
sewaktu demam mulai turun atau mulainya pasien masuk ke dalam fase
kritis/syok mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan
mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh.

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,
tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.
Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) Pada
pasien ini saat memasuki fase penyembuhan, ditandai dengan, KU yang
membaik, anak tidak lagi lemas, perbaikan nafsu makan, dan ditemukan ruam
kemerahan pada kulit terutama pada ekstremitas Inferior

41
. Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini.
Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan
atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus
diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus
buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan
elektrolit.
Penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,
nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau
takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3, sedangkan pada pasien ini, pasien
dapat krs pada hari ke 10 setelah Demam pertama, dan ditandai dengan
perbaikan KU, TTV serta pemeriksaan DL yang memenuh syarat pasien dapat
KRS.

42
BAB 5
KESIMPULAN

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Diagnosis DBD/DHF ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium.
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat
sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda dan
kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau
penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Carlos, Juan. 2011. Guidelines for the management of patients with severe
forms of dengue. Journal of Rev Bras Ter Intensiva. 2011; 23(2):125-133.
Brazil : Associação de Medicina Intensiva Brasileira – AMIB – Brazil.
2. Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever..
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601. Diakses
pada: 2009, Desember 29.
3. Kaushik, Ashlesha. 2010. Diagnosis And Management Of Dengue Fever In
Children. Journal of Pediatric Revisi 2010 Apr;31(4):e28-35. USA :
Department of Pediatrics, St Joseph's Children's Hospital, Patterson, NJ, doi:
10.1542/pir.31-4-e28.
4. Kemenkes. 2016. Insiden Kasus Dengue Berbagai Daerah di Indinesia. Jurnal
Infodatin 22 April Hari Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
5. Khetarpal, Niyati. 2016. Dengue Fever: Causes, Complications, and Vaccine
Strategies. Hindawi Publishing Corporation Journal of Immunology Research
Volume 2016, Article ID 6803098, 14 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2016/6803098.
6. Lardo, Soroy. 2013. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan
Penyulit. Jurnal CDK-208/ vol. 40 no. 9. Jakarta : Departemen Infeksi Tropik,
Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto .
7. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus A. 2009. Dengue Virus Pathogenesis: An
Integrated View. Clinical Microbiology Reviews. 2009;22:564-81.
8. Mella, Zero. 2013. Dengue Treatment: Group B Patients. USA : Public
Health Resource.
9. Rahayu, Tri. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Program Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah di Wilayah Kerja Puskesmas
Ketapang 2. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.1, No. 2. Semarang: FKM
UNDIP.

44
10. Rizal. 2011. Kebocoran Plasma pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal CDK
183 / Vol.38 no.2 / Maret – April. Jawa Tengah : RS Dr. Oen Solo Baru,
Sukoharjo.
11. Sitepu, Frans.Y., Suprayogi, A., Pramono, D. 2012. Evaluasi dan
Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota
Singkawang, Kalimantan Barat. Artikel Vol. 8. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
12. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2012. Buku Ajar
Infeksi Dan Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;.
p. 155-66.
13. Sri Langka College Of Pedriaticians. 2012. Guidelines Of Management
Dengue Fever & Dengue Hemorragic Fever in Childreen and Adolescent. Sri
Langka : Ministry Of Health.
14. Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T. Pohan. 2010.
Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I.
Jakarta : Internal Publishing Pusat Penerbitan Penyakit Dalam.
15. Sukohar. 2014. Demam Berdarah Dengue (DBD). Jurnal Medula, Volume 2,
Nomor 2, Februari. Lampung : Departemen Farmakoloi Universitas
Lampung.
16. Suprapto, Novita. 2016. Demam Berdarah Dengue. Buku Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ke 4. Jakarta : Depertemen Ilmu Anak Universitas
Indonesia.
17. Ugrasena. 2013. Aspek Hematologi pada Infeksi Virus Dengue Transfusi
Draah atau Tidak Transfusi. Journal of Applied Management Of Dengue
Viral Infections In Children. Kediri : IDAI Cabang Jawa Timur.
18. World Health Organisation. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. India : Regional
Office for South-East Asia.
19. World Health Organitation. Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention
And Control. WHO Library Cataloguing in Publication Data; 2009. p. 4.
20. Zumaroh. 2015. Evaluation Of Surveillance Of Dengue Fever Cases In The
Public Health Centre Of Putat Jaya Based On Attribute Surveillance. Jurnal

45
Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 82–94. Surabaya :
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR

46

Anda mungkin juga menyukai