Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam dengue/DF dan Demam berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan (syok)
(Suhendro et al., 2009).

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus , keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus
yang berbeda namun berhubungan dekat yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4
(Suhendro et al., 2009). Jika salah satu serotipe virus tersebut menginfeksi dan
kemudian sembuh dari virus tersebut, akan menghasilkan kekebalan tubuh bagi
penderita terhadap serotipe tersebut, tapi cross-reactive immunity terhadap serotipe
lain setelah penyembuhan hanya bersifat sementara(WHO, 2012). Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN 3 merupakan serotipe yang terbanyak
(Suhendro et al., 2009).

Sejak tahun 2000, wabah dengue semakin bertambah setiap tahun di area yang sudah
terjangkit dengue. Bangladesh, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Sri Lanka,
Thailand dan Timor-Leste dilaporkan sebagai negara yang memliki kasus dengue
terbanyak. Tahun 2005, Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN),
salah satu organisasi WHO, merespon terhadap kasus dengue di Timor Leste dengan
case fatality rate yang tinggi yaitu sebersar 3,55% (WHO, 2009).

Demam berdarah dengue menduduki peringkat kedua dalam 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit tahun 2010 di Indonesia dengan jumlah penderita 59.115 orang
(Kemkes RI, 2011).

Sumatera Utara merupakan daerah endemis DBD , tahun 2010 kasus DBD di Sumut
mencapai 8.889 penderita dengan korban meninggal sebanyak 87 jiwa (Dinkes

Provinsi SUMUT, 2012). Tahun 2011 provinsi Sumatera Utara menempati peringkat
nomor 3 di Indonesia untuk kasus DBD dengan jumlah kasus sebesar 2.066 dan
Incidence Rate (IR) yaitu persentase jumlah penderita baru dalam suatu populasi pada
periode waktu tertentu terhadap jumlah individu yang beresiko untuk mendapat
penyakit tersebut dalam periode waktu tertentu 15,88% (Kemkes RI, 2011). Tahun
2011 Kecamatan Helvetia Medan merupakan daerah yang tertinggi kasus DBD di
kota Medan (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2012).
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi

Demam dengue/DF dan Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue ( dengue shock
syndrome ) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan (syok)
(Suhendro et al., 2009).

2.2. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus dengan diameter 20nm terdiri dari asam ribonukleat

6
rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 . Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak (Suhendro et al,2009). Serotipe utama selama beberapa
tahun terakhir adalah DENV-2 dan DENV-3. Infeksi dari satu serotipe memberikan
imunitas imunitas seumur hidup terhadap serotipe tertentu tapi hanya beberapa bulan
imunitas terhadap serotipe lain (Kariyawasam et al.,2010).
Vektor dari virus dengue adalah nyamuk (WHO,2009) :

• Aedes aegypti

• Aedes albopictus

• Aedes polynesiensis

• Aedes scutellaris

Hostnya adalah manusia yang digigit oleh nyamuk betina dan masa inkubasinya
selama 4-10 hari (WHO, 2009).

2.3. Epidemiologi

Dengue adalah infeksi virus yang dimediasi nyamuk yang paling cepat menyebar di
dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insidensi meningkat 30 kali dengan peningkatan
ekspansi geografi ke negara-negara baru dan pada dekade sekarang, dari kota ke
pedesaan. Sebanyak 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya dan sekitar 2,5
milyar orang tinggal di negara endemic dengue, termasuk Indonesia. Terdapat laporan
sebanyak 2 dari 3 epidemik dengue setiap per tahunnya. Sekitar sepuluh tahun yang
lalu, demam berdarah terutama menyerang anak-anak, tetapi beberapa tahun terakhir
ini terdapat peningkatan kasus pada dewasa dengan tingkat morbiditas dan mortalitas
tinggi. Kira-kira 50% infeksi dengue dilaporkan pada pasien dewasa (15 tahun ke
atas) dan meningkat dalam 3-5 tahun (Wiwanitkit, 2006).

Infeksi dengue ini endemis pada banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat,
Amerika (WHO, 1997) dan hiperendemis di Thailand. Demam berdarah dengue
kebanyakan terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun (WHO, 2012).

Infeksi dengue dialami sekitar 100 juta orang di seluruh dunia per tahun. Faktor yang
memperngaruhi adalah urbanisasi, peningkatan populasi, perjalanan udara dan
keterbatasan pencegahan dengue. Dari 100 juta infeksi per tahun, sebanyak 250-500
ribu orang mengalami penyakit berat, dengan sisanya ringan, nonspesifik atau bahkan
asimptomatik (Adam et al.,2010).

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 kasus per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
mencapai 2% tahun 1999. Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi negara
tinggal di daerah perkotaan, terdapat 150.000 kasus pada tahun 2007 dimana 25.000
kasus di Jakarta dan Jawa Barat. Tingkat kematian sebesar 1%. Penularan infeksi
virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.aegypti dan
A.albopictus) (Suhendro et al.,2009).

Menurut Keishya (2011), penderita DBD pada anak (5-14 tahun) di RSUP HAM
tahun 2010, berdasarkan jenis kelamin, penderita yang paling banyak adalah
perempuan 49 pasien (55,7%) dan laki-laki 39 pasien (44,3%). Berdasarkan umur,
dengan jumlah

terbanyak 9 tahun sebanyak14 pasien (15,9%) dan yang paling sedikit dijumpai pada
umur 10 tahun sebanyak 5 penderita (5,7%).

Menurut Essy (2009), penderita DBD yang dirawat inap di RSU Pirngadi Medan
Tahun 2008, dengan sampel 218 orang, distribusi proporsi berdasarkan umur tertinggi
yaitu kelompok umur 10-14 tahun (26%), proporsi umur terendah terdapat pada
kelompok umur 30-34 tahun. Berdasarkan suku yang tertinggi yaitu suku Batak
(63,7%) dan terendah adalah Minang (1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, tertinggi
yaitu SD/SLTP (42,3%) dan terendah Akademi/PT (11,5%). Proporsi pekerjaan
tertinggi yaitu Pelajar/Mahasiswa (52,9%) dan terendah Karyawan/ pegawai swasta
(1%).

Beberapa faktor yang mempengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host, serotipe
virus atau genotipe, sekuens infeksi virus, perbedaan antibody cross-reactive dengue,
dan respon sel T. Usia lebih tua sebelumnya dilaporkan memiliki faktor resiko untuk
mortalitas pada pasien dengan demam dengue atau demam berdarah dengue sebagai
komorbiditas yang berhubungan dengan penuaan dan imunitas menurun sebagai
faktor resiko untuk fatalitas pada pasien tua dengan infeksi aktif. Walaupun syok dan
kebocoran plasma lebih sering terjadi pada usia muda, frekuensi perdarahan internal
seiring dengan pertambahan usia. Selain itu komplikasi infeksi dengue pada dewasa,
seperti demam dengue dengan perdarahan dan demam berdarah dengue mengalami
peningkatan.

2.4. Patogenesis

DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian
virus ini mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2 – 3 hari menyebar
ke sirkulasi dan jaringan-jaringan. Dalam sirkulasi virus dengue menginfeksi sel
fagosit yaitu makrofag, monosit , sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini
berlangsung untuk pertama kali dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau
bahkan simptomatik, bergantung pada jumlah dan virulensi virus serta daya tahan
host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali akan menghasilkan antibodi terhadap
virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila infeksi berikutnya terjadi oleh virus
dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan kebal. Tetapi mengapa pada
daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat pula kasus yang
berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non neutralisasi,
yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini mengakibatkan
semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat bahwa
infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD
(Ginting, 2004).

Bentuk klasik infeksi ini mempunyai periode inkubasi 5-8 hari (rentang 3-14 hari)
diikuti onset demam, sakit kepala berat, menggigil dan bintik-bintik kemerahan pada
kulit setelah 3-4 hari. Demam biasanya berlangsung 4-7 hari dan kebanyakan orang
mengalami perbaikan sempurna tanpa komplikasi (Wiwanitkit, 2006).

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologus infection


yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue
dengan tipe berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi (Suhendro et al., 2009).

Gambar 2.1.Hipotesis secondary heterologus infection (WHO, 1997)

Menurut hipotesis infeksi sekunder (gambar 1), sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan
kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa
(WHO, 1997).

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum


tulang, dan 2).destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum
tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematoppoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petaanda degranulasi trombosit. (Suhendro et al., 2009)

Infeksi sekuensial dengan serotipe dengue berbeda lebih rentan menjadi bentuk
penyakit lebih berat (demam berdarah dengue/sindrom syok dengue). Hal ini
dijelaskan dengan pembentukan kaskade cross-reactive antibodi heterolog
nonnetralisasi yang diperkuat, sitokin (seperti interferon gamma yang diproduksi olek
sel-sel T spesifik) dan aktivasi komplemen yang menyebabkan disfungsi endotel,
destruksi trombosit, dan koagulopati konsumtif (Kariyawasan, 2010).

2.5. Klasifikasi

Klasifikasi derajat penyakit dengue dapat dilihat pada tabel 2.1.

Grade Tanda dan Gejala Pemeriksaan Laboratorium


Demam Dengue Demam dengan minimal dua kriteria
berikut:

 Nyeri kepala
 Nyeri retroorbita  Leukopenia (<5000/mm3)
 Mialgia  Trombositopenia (<150.000/mm3)
 Artralgia/ nyeri pada tulang  Peningkatan hematokrit (5-10%)
 Ruam (rash)
 Manifestasi perdarahan
 Tidak ada bukti kebocoran
plasma

Demam berdarah Demam dan manifestasi perdarahan  Trombositopenia (<100.000/mm3)


dengue Grade I (uji tourniquet positif) dan adanya  Peningkatan hematokrit >20%

bukti kebocoran plasma.

Demam berdarah Sama seperti Grade I ditambah  Trombositopenia (<100.000/mm3)


dengue Grade II adanya perdarahan spontan.  Peningkatan hematokrit >20%

Demam berdarah Sama seperti Grade I dan II, ditambah  Trombositopenia (<100.000/mm3)
dengue Grade III adanya tanda kegagalan sirkulasi:  Peningkatan hematokrit >20%

nadi lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,


hipotensi, dan tampak lemas.

Demam berdarah Sama seperti Grade III ditambah bukti  Trombositopenia (<100.000/mm3)
dengue Grade IV nyata adanya syok dengan tekanan  Peningkatan hematokrit >20%

darah tidak terukur dan nadi tidak


teraba.

Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Infeksi Dengue (WHO,2011).

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi
virus dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria dengue yang
bisa dilihat pada gambar 2.2:
Gambar 2.2.Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO,2009)

1. Dengue ± warning signs


Dengue without warning signs disebut juga sebagai probable dengue, sesuai
dengan demam dengue dan demam berdarah dengue derajat i dan ii pada
klasifikasi WHO 1997. Pada kelompok dengue without warning signs, perlu
diketahui apakah pasien tinggal atau baru kembali dari daerah endemik
dengue. Diagnosis tersangka infeksi dengue ditegakkan apabila terdapat
demam ditambah minimal dua gejala berikut: mual disertai muntah, ruam
(skin rash), nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital, uji torniket positif,
leukopenia, dan gejala lain yang termasuk dalam warning signs. Pada
kelompok dengue without warning signs tersebut perlu pemantauan yang
cermat untuk mendeteksi keadaan kritis (Rezeki H, 2012).

2. Dengue with warning signs


Secara klinis terdapat gejala nyeri perut, muntah terus-menerus, perdarahan
mukosa, letargi/gelisah, pembesaran hati ≥ 2cm, disertai kelainan parameter
laboratorium, yaitu peningkatan kadar hematokrit yang terjadi bersamaan
dengan penurunan jumlah trombosit dan leukopenia. Apabila dijumpai
leukopenia, maka diagnosis lebih mengarah kepada infeksi dengue.
Pasien dengue tanpa warning signs dapat dipantau harian dalam rawat jalan.
Namun apabila warning signs ditemukan maka pemberian cairan intravena
harus dilakukan untuk mencegah terjadi syok hipovolemik (Rezeki H, 2012).
3. Warning signs
Berarti perjalanan penyakit yang sedang berlangsung mendukung ke arah
terjadinya penurunan volume intravaskular. Hal ini menjadi pegangan bagi
klinisi di tingkat kesehatan primer untuk mendeteksi pasien risiko tinggi dan
merujuk mereka ke tempat perawatan yang lebih lengkap fasilitasnya. Pasien
dengan warning signs harus diklasifikasi ulang apabila dijumpai salah satu
tanda severe dengue. Di samping warning signs, klinisi harus memperhatikan
kondisi klinis yang menyertai infeksi dengue seperti usia bayi, ibu hamil,
hemoglobinopati, diabetes mellitus, dan penyakit penyerta lain yang dapat
menyebabkan gejala klinis dan tata laksana penyakit menjadi lebih kompleks
(Rezeki H, 2012)
4. Severe dengue
Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat severe
plasma leakage (perembesan plasma hebat), severe bleeding (perdarahan
hebat), atau severe organ impairment (keterlibatan organ yang berat).
 Severe plasma leakage akan menyebabkan syok hipovolemik dengan atau
tanpa perdarahan (pada klasifikasi WHO 1997 dimasukkan dalam
sindrom syok dengue) dan atau penimbunan cairan disertai distres
respirasi.
 Severe bleeding didefinisikan bila terjadi perdarahan disertai kondisi
hemodinamik yang tidak stabil sehingga memerlukan pemberian cairan
pengganti dan atau transfusi darah. Yang dimaksud dengan perdarahan
adalah semua jenis perdarahan, seperti hematemesis, melena, atau
perdarahan lain yang dapat mengancam kehidupan.
 Severe organ involvement, termasuk gagal hati, inflamasi otot jantung
(miokarditis), keterlibatan neurologi (ensefalitis), dan lain sebagainya.

Pengelompokan severe dengue sangat diperlukan untuk kepentingan praktis


terutama dalam menentukan pasien mana yang memerlukan pemantauan ketat
dan mendapat pengobatan segera. Hal ini diperlukan terutama dalam KLB
(sistem triase sangat dianjurkan). Hal lain yang sangat penting adalah
mempertahankan sistem surveilans internasional yang konsisten terutama
untuk pemantauan apabila uji klinis vaksin dengue di komunitas telah
dilakukan. Kesimpulan pertemuan para pakar di Jenewa adalah disusunnya
klasifikasi kasus dengue dan tingkat derajat penyakit dengan berpedoman
terhadap hasil DENCO study.

2.7. Manifestasi Klinis

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam

dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery

a. Fase Demam

Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit
memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala
nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjungtiva hiperemis. Anorexia, nausea dan
muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue
pada fase demam, uji torniquet positif mempertinggi kemungkinan penderita
mengalami infeksi virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda
bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa
(seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang
masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi
pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam
beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya
total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien
sudah terjangkit virus dengue

b. Fase Kritis

o
Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi 37,5-38 C dan
bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas
kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini
merupakan tanda awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan
menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan
ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari
terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk
mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Syok dapat terjadi didahului oleh timbulnya
tanda bahaya (warning sign).

Temperatur tubuh dapat subnormal saat syok terjadi. Syok yang memanjang, terjadi
hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat,
encephalitis, miokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi. Pasien
yang membaik dalam fase ini disebut sebagai non-severe dengue. Pasien yang
memburuk akan menunjukkan tanda bahaya. Pasien ini bisa membaik dengan
rehidrasi intravena atau memburuk kembali yang disebut severe dengue.

c. Fase Recovery
Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen
extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu
makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis.
Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali
normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali
meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009).

Gambar 2.3. Proses penyakit dengue (WHO, 2009)

Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal berikut ini
(WHO,2009) :

• Kebocoran plasma yang mengarah pada syok

• Perdarahan hebat

• Gangguan berat organ

Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam (berkisar antara hari ke 3-7),
ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk mempertahankan tekanan
sistolik menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral
dingin dan peningkatan capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan TD
menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan menyebabkan kegagalan
multiorgan (WHO,2009).

2.8. Diagnosis
Anamnesis (Antonius, 2009)
- Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
- Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah
- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
- Diare kadang-kadang dapat ditemukan
- Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan
Pemeriksaan fisik
- Gejala klinis diawali dengan demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,
nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok
pada DD dari pada DBD.
- Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada
DBD.
- Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,
hipovolemia dan syok.
- Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
- Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun, yang merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun
pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
- Perdarahan dapat berupa ptekie, epistaksis, melena, ataupun hematuria.
Tanda-tanda syok
- Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
- Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg
- Akral dingin, capillary refill menurun
- Diuresis menurun sampai anuria
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
- Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit & hitung jenis, hematokrit,
trombosit. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma biru,
peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD
- Uji serologi, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase
konvalesens
 Infeksi primer, serum akut < 1:20, serum konvalesens naik 4x atau
lebih namun tidak melebihi 1: 1280
 Infeksi sekunder, serum akut <1:20, serum konvalesens 1: 2560; atau
serum akut 1:20, konvalesens naik 4x atau lebih
 Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
secondary infection) : serum akut 1: 1280, serum konvalesens dapat
lebih besar atau sama
- Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
 Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi
1) Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa
terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%,
2) Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.

2.9. Pemeriksaan penunjang


Laboratorium (Karyanti, 2010)
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit,
dan trombosit. Antigen ns1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan
akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke 5-6. Deteksi antigen
virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi
dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
 Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada
akhir minggu keempat sakit.
 Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit
ke-14. Dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada
infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
 Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila rasio IgM:IgG  0,9 menunjukkan infeksi sekunder.
Pemeriksaan radiologis
 Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi, distres pernafasan/ sesak.
 Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabila pada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%.
 Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
 Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama
daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi dari pada kiri, dan efusi pleura.
 Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli.

2.10. Diagnosis Banding

Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa
seperti demam, tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis dan malaria. Adanya hemokonsentrasi membedakan DBD dari penyakit
lain (Suhendro et al., 2009).

Penyakit kelainan darah seperti idiopati trombositopenia purpura (ITP), leukemia,


atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi
lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu dipikirkan apabila anak
mengalami demam disertai syok.
2.11. Penatalaksanaan

Pendekatan terhadap manajemen klinis demam dengue dapat bervariasi,


tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Pasien yang memiliki demam sederhana
tanpa tanda bahaya atau komplikasi mungkin dapat ditangani dengan pendekatan
simptomatik. Pasien yang memiliki tanda dan gejala bahaya harus dipantau secara
ketat untuk perkembangan penyakitnya. Pasien DBD grade III dan IV, pendarahan
yang signifikan atau keterlibatan berbagai organ membutuhkan penanganan yang
cepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pasien mungkin mengalami
komplikasi selama tahap demam (defervescence) atau fase afebris, di mana dokter
harus berhati-hati untuk mencari tanda bahaya dan tanda kelebihan cairan (WHO,
2015)
1. Penanganan demam dengue
Penanganan demam dengue secara simptomatik dan suportif
 Istirahat total dianjurkan selama fase akut.
 kompres dingin / hangat untuk menjaga suhu di bawah 38,5C.
 Antipiretik dapat digunakan untuk menurunkan suhu tubuh. Aspirin/ NSAIDS
seperti Ibuprofen, dll harus dihindari karena dapat menyebabkan gastritis,
muntah, asidosis, disfungsi trombosit dan pendarahan hebat.
Dosis Parasetamol yang dianjurkan dalam dosis berikut ini:
- 1-2 tahun: 60 -120 mg / dosis
- 3-6 tahun: 120 mg / dosis
- 7-12 tahun: 240 mg / dosis
- Dewasa: 500 mg / dosis
Catatan: Pada anak-anak dosis parasetamol dihitung per 10 mg / Kg berat badan per
dosis. Dosis parasetamol dapat diulang pada interval 6 jam tergantung pada demam
dan nyeri tubuh.
 Cairan oral dan terapi elektrolit dianjurkan untuk penderita yang berkeringat
atau muntah berlebihan.
 Pasien harus dipantau selama 24 sampai 48 jam setelah bebas demam untuk
melihat perkembangan komplikasi.
2. Penanganan fase febris
Parasetamol dianjurkan untuk menjaga suhu di bawah 39C. Cairan yang cukup
harus diberikan secara oral sesuai dengan batas toleransi pasien. Larutan rehidrasi
oral (ORS), atau semacamnya seperti yang digunakan untuk pengobatan penyakit
diare dan / atau jus buah lebih diutamakan dari pada air putih. Cairan intravena harus
diberikan jika pasien muntah terus menerus atau tidak nafsu makan.
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk tanda-tanda awal syok. Periode kritisnya
adalah selama masa transisi dari febris ke tahap afebris dan biasanya terjadi setelah
hari ketiga sakit. Terkadang pemeriksaan kadar hematokrit sangat penting untuk
rencana pengobatan, karena hematokrit menggambarkan tingkat kebocoran plasma
dan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena. Hematokrit harus diperiksa setiap
hari khususnya dari hari ketiga sampai suhu tetap normal selama satu atau dua hari.11

3. Penanganan DHF grade I dan II


Setiap pasien yang menderita demam dengue dengan trombositopenia,
hemokonsentrasi tinggi dan disertai dengan nyeri perut, tinja berlemak hitam,
epistaksis, pendarahan dari gusi dll perlu dirawat di rumah sakit. Semua pasien ini
harus diobservasi untuk melihat tanda-tanda syok. Periode kritis untuk berkembang
menjadi syok adalah waktu transisi dari febris ke fase afebris, yang biasanya terjadi
setelah hari ketiga sakit. Kenaikan hemokonsentrasi mengindikasikan kebocoran
plasma dan kehilangan volume dimana penanganan cairan yang tepat berperan
penting. Walau dalam pengobatannya, jika pasien mengalami penurunan tekanan
darah, penurunan output urin atau dengan gejala syok lain, penanganan DBD / DSS
grade III / IV harus ditindak lanjuti.
Rehidrasi oral harus diberikan bersamaan dengan antipiretik seperti
Parasetamol, kompres, dan sebagaimana dijelaskan di atas. Algoritma untuk terapi
penggantian cairan dalam kasus DHF Grade I dan II diberikan dalam Gambar 2.4.
(WHO, 2015).
4. Penanganan syok (DHF grade III/IV)
Segera setelah dirawat inap, hematokrit, jumlah trombosit dan tanda vital harus
diperiksa untuk menilai kondisi pasien dan terapi cairan intravena harus dimulai.
Pasien butuh dipantau secara rutin dan terus menerus. Jika pasien telah mendapat
terapi cairan intravena sekitar 1000 ml, kemudian terapi cairan harus diubah menjadi
larutan koloid, seperti dextran 40% atau jika hematokrit selanjutnya menurun harus
diberikan transfusi darah segar keseluruhan WBC 10-20ml/kg/dosis.
Namun, jika terjadi syok terus menerus bahkan setelah diberikan penggantian
cairan awal dan resusitasi dengan plasma atau plasma expanders, hematokrit terus
menurun, maka pendarahan internal harus dicurigai. Mungkin sulit mengenali dan
memperkirakan tingkat kehilagan darah internal dengan adanya hemokonsentrasi.
Dengan demikian dianjurkan untuk memberikan tranfusi whole blood dalam volume
kecil 10ml/kg/jam untuk semua pasien syok sebagai tindakan pencegahan rutin.
Oksigen harus diberikan pada semua pasien syok. Algoritma pengobatan untuk
penderita DBD grade III dan IV diberikan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6 (WHO,
2015).
5. Penanganan perdarahan hebat
Jika terjadi pendarahan hebat, pasien harus dirawat di rumah sakit dan diperiksa
untuk mencari penyebab dan lokasi perdarahan kemudian berusaha segera
menghentikan perdarahannya. Pendarahan internal seperti perdarahan GI terkadang
berat dan sulit ditemukan. Pasien mungkin juga memiliki epistaksis dan hemoptisis
berat dan mungkin disertai dengan syok dalam. Transfusi darah segera merupakan
tindakan untuk menyelamatkan jiwa dalam kondisi ini. Namun, jika darah tidak
tersedia, syok dapat ditangani dengan pemberian cairan intravena atau plasma yang
tepat. Jika pasien memiliki trombositopenia dengan perdarahan aktif, harus ditangani
dengan transfusi darah dan kemudian jika diperlukan transfusi trombosit. Dalam
kasus perdarahan masif darah harus diuji menghindari koagulopati dengan
melakukan uji untuk waktu protrombin (PT) dan aPTT. Penderita perdarahan berat
mungkin memiliki disfungsi hati dan dalam kasus seperti itu, tes fungsi hati juga
harus dilakukan. Dalam kasus yang jarang, pendarahan intrakranial juga bisa terjadi
pada beberapa pasien yang memiliki trombositopenia berat dan abnormalitas dalam
koagulasi (WHO, 2015)

6. Penanganan demam dengue pada neonatal


Bayi baru lahir mungkin bisa mengalami syok yang mungkin membingungkan
antara syok septik atau trauma lahir. Dalam kasus ini, riwayat penyakit demam
selama kehamilan penting dilakukan membantu mendiagnosis Syok Dengue
Syndrome diantara neonatus dan bayi. Pengobatan simptomatik dan suportif
merupakan penanganan utama.

7. Penanganan demam dengue pada bayi


a. Penanganan demam dengue pada bayi tanpa tanda bahaya
Rehidrasi oral dianjurkan dengan larutan rehidrasi oral (ORS), jus buah dan
cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula, bersama dengan ASI atau susu
formula. Orang tua atau pengasuh harus diberitahu tentang penanganan demam
dengan antipiretik dan kompres hangat. Mereka harus disarankan untuk
membawa bayi kembali ke rumah sakit terdekat segera jika bayi memiliki tanda
bahaya.
b. Penanganan demam dengue pada bayi dengan tanda bahaya
Bila bayi mengalami demam dengue dengan tanda bahaya, terapi cairan
intravena diindikasikan. Dalam tahap awal, penggantian volume plasma dengan
terapi cairan intravena dapat dimodifikasi tergantung tingkat keparahan
penyakitnya. Awalnya larutan kristaloid isotonik seperti Ringer's laktat (RL),
Ringer's acetate (RA), atau larutan garam 0,9% harus digunakan. Kebocoran
kapiler terjadi secara spontan setelah 24-48 jam pada sebagian besar pasien.
c. Penanganan demam dengue berat: penanganan syok
Penggantian volume plasma pada bayi dengan syok dengue sangat menantang
dan harus dilakukan segera selama periode defervescence. Setiap kasus harus
dianalisis secara kritis dan terpisah.

2.12. Komplikasi
Menurut (Soedarto, 2012) komplikasi yang terjadi pada penderita dengue
terutama terjadi pada waktu dilakukan tindakan pengobatan terhadap Demam
Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome.
1. Komplikasi susunan saraf pusat
Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk, perubahan kesadaran
dan paresis. Kejang-kejang kadang terlihat pada fase demam pada bayi. Keadaan
ini mungkin akibat tinggi nya demam, karena pada pemeriksaan cairan
srebrospinal tidak terjadi kelainan.
2. Ensefalopati
Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik yang
berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan terhadap Demam Berdarah Dengue
penderits mengalami hiponatremia.
3. Infeksi
Pneumonia, sepsi atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-negatif pda alat-
alat yang digunakan pada waktu pengobatan, misalnya pada waktu transfusi atau
pemberian infus cairan.
2. Overdehidrasi
Pemberian cairan yang berlebihan dapay menyebabkan terjadinya gagal
pernafasan (respiratory failure) atau gagal jantung (hearit failure).
3. Gagal hati
Komplikasi yang terjadi padan DBD/DSS dilaporkan dari Indonesia dan
Thailand pada waktu terjadi epidemi oleh DEN-1. DEN-2 dan DEN-3. Biasanya
gagl hati dijumpai bersama terjadinya ensefalopati.
4. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut dan sindrom uremia hemolitik dapat terjadi pada penderita
yang sebelumnya telah menderita defisiensi glucose-6-phospate dehydrogenase
(G6PD) dan hemoglobinopati.

2.1 Indikasi Pemulangan Pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut :
dalam 24 jam tidak terdapat demam tanpa pemberian antipiretik, kondisi klinis
membaik, nafsu makan baik, nilai hematokrit stabil, tiga hari sesudah syok teratasi,
tidak ada sesak napas atau takipneu, dan jumlah trombosit >50.000/mm 3 (Rezeki,
2012).

2.2 Prognosis
Infeksi primer dengan demam dengue dan penyakit seperti dengue, biasanya
sembuh sendiri. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, kejang demam adalah
komplikasi yang paling sering pada bayi dan anak kecil. Prognosis mungkin
dipengaruhi oleh antibody yang didapat pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan
virus yang terkait (Nelson, 2007).

2.13. Pengendalian dan Pencegahan Vektor


Untuk mencegah dan mengurangi virus dengue tindakan yang sangat penting
adalah melakukan pemberantasan nyamuk Aedes aegypti untuk menghambat
terjadinya kontak antara nyamuk dewasa dan manusia (Soedarto,2012)
Pada prinsipnya pengendalian vektor dilakukan dengan :
- Memusnahkan waadah atau habitat yang paling potensial sebagai tempat
nyamuk berkembang biak
- Memberantas larva Aedes dengan larvasida
- Pengendalian biologik (biological control)
- Memberantas nyamuk dewasa dengan imagosida

Untuk memilih program pengendalian vektor yang sesuai harus


dipertimbangkan :
- Ekologi daerah setempat
- Sifat biologi nyamuk yang menjadi vektor dengue\
- Cara hidup dan kebiasaan penduduk dalam menyimpan cadangan air
- Waktu pelaksanaan pengendalian vektor
- Luasnya daerah yang di programkan
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

Kimiawi

Sebagaimana telah diketahui Aedes Aegypti merupakan vektor utama


penyakit DBD. Untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini masih belum ada cara
yang efektif, karena sampai saat ini masih belum ditemukan obat anti virus dengue
dan vaksin yang efektif .tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk
menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes Aegypti sampai serendah mungkin
sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang. Secara garis besar ada 4 cara
pengendalian vektor yaitu dengan cara 1) kimiawi, 2) biologis, 3) radiasi, 4)
pengelolahan lingungan. (Soegijanto, 2006).
Menurut (Soedarto, 2012), pemberantasan larva dengan memakai larvasida
meliputi :
1. Insektisida, untuk air minum larvasida yang dapat diberikan adalah temephos dan
methoprene. Didaerah urban nyamuk berkembang biak didalam wadah buatan
antara lain didalam gelas plastic, ban bekas, botol pecah, pot bunga dan lain
sebagainya. Dalam hal ini pengeringan wadah-wadah tersebut efektif untuk
mengurangi sarang-sarang nyamuk Aedes Aegypti. Penggunaan larvasida untuk
membunuh larva nyamuk merupakan cara lain untuk mengendalikan vektor
penular dengue.
2. Siklus tindakan, siklus penanganan pemberian insektisida tergantung pada spesies
nyamuk, musim penularan, pola hujan, lama kerja larvasida dan jenis habitat larva.
Didaerah dengan musim penularan yang pendek, cukup dilakukan 2-3 kali
penanganan larva pertahun.

Disamping itu, untuk memberantas nyamuk dewasa diberikan imagosida yang


ditujukan untuk menurunkan kepadatan nyamuk, memperpendek umur nyamuk dan
menurunkan parameter penularan lainnya. Dilakukan dengan cara :
1. Residual treatment, tindakan ini dilakukan dengan menggunakan penyemprot
tangan untuk sasaran terbatas atau menggunakan mesin penyemprotan untuk
sasaran yang luas.
2. Space spraying hanya digunakan untuk mengatasi keadaan darurat. Sesudah
intensitas penularan menurun, dilanjutkan dengan tindakan pengendalian jangka
panjang, misalnya melakukan pemberantasan larva dan pembersihan sarang
nyamuk oleh masyarakat.

Biologi

Menurut (Soedarto, 2012), untuk mengendalikan nyamuk secara biologi


digunakan organisme-organisme yang hidup parasitik pada nyamuk Aedes Aegypti
seperti udang-udangan rendah (Mesocyclops). Dengan menggunakan pengendalian
biologi ini tidak terjadi pencemaran lingkungan seperti akibat pada penggunaan
insektisida.

Gambar 2.4. Mesocyclops, udang berukuran mikroskopik


Sumber : Soedarto (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta
Beberapa jenis ikan dapat digunakan untuk memberantas larva nyamuk yang
ada di tandon berisi air, tangki air industry dan sumur air tawar yang terbuka.Di
Indonesia penggunaan ikan cupang (ctenops vittatus) berhasil baik memberantas
nyamuk Aedes dan nyamuk culex.

Gambar 2.5. Ikan cupang (Ctenops vittatus) pemberantas larva nyamuk


(URL: www.dom-bez-kluchey.ru/aquarium2)
Kendala dalam pengendalian biologi adalah terbatasnya luas daerah sasaran,
peyediaan organisme dalam jumlah besar karena mahal dan suliit mebiakkannya,
efektivitasnya dapat menurun karena pengaruh cuaca, PH air dan cemaran organik
yang ada pada air yang menjadi breeding place nyamuk.

Radiasi

Menurut (Soegijanto, 2006), nyamuk dewasa jantan di radiasi dengan bahan


radioaktif dengan dosis tertentu sehingga menjadi mandul.Kemudian nyamuk jantan
yang telah diradiasi ini dilepaskan kealam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi
dengan nyamuk betina tapi nyamuk tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil.

Pengelolaan Lingkungan.

Tujuan menangani lingkungan adalah untuk mengubah lingkungan menjadi


tidak sesuai bagi perkembangan nyamuk dan menghambat kontak antara manusia
dengan nyamuk dengan cara memusnahkan, membuang atau mendaur ulang wadah
yang dapat digunakan oleh nyamuk untuk ber kembang biak. (Soedarto, 2012).
Menurut (Soegijanto, 2006), digunakan beberapa cara antara lain dengan
mencegah nyamuk kontak dengan dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada
lubang ventilasi rumah, jendela, dan pintu. Dan yang sekarang di galakkan oleh
pemerintah yaitu gerakan 3M yaitu : 1) menguras tempat tempat penampungan air
dengan menyikat dinding bagian dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali. 2)
menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa. 3) menanam atau menimbun dalam tanah barang
barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan.
Mencegah nyamuk agar tidak berkembangbiak bisa dengan mengalirkan air
keluar dari penampungan AC, bak air, tong dan lain-lain. Buang semua benda bekas
yang bisa menampung air dari rumah sekitarnya. Jika tidak mungkin membuang air
atau tidak dapat menutupnya dengan sempurna, gunakan sejenis insektisida dengan
merek dagang Abate 1 ppm sesuai dengan petunjuk setempat untuk mencegah larva
berkembang menjadi nyamuk dewasa (Misnadiarly, 2009).
Pengendalian nyamuk secara terpadu dilakukan dalam bentuk kerjasama
badan badan di lingkungan kesehatan maupun dengan organisasi dan badan diluar
bidang kesehatan.Kerjasama antara departemen kesehatan dengan pengunaan
insektisida, depatemen perumahan dengan pembangunan pemukiman dan konstruksi
perumahan serta penyediaan air bersih.Selain itu kerjasama dengan LSM dan
komunitas local harus dibina untuk memberikan penyuluhan terkait dengan
pemberantasan nyamuk dan hubungannya dengan pencegahan penyakit dengue
(Soedarto, 2012).
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat megetahui beberapa gejala yang ditimbulkan
oleh demam dengue beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
- Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari.
- Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah.
- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut.
- Diare kadang-kadang dapat ditemukan.
- Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan
Jika menemukan gejala-gejala diatas segera anjurkan melakukan pemeriksaan
di rumah sakit sebelum timbul gejala syok (dengue shock syndrome).
Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma dan syok. Tanda-
tanda syok adalah sebagai berikut:
- Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba.
- Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmhg.
- Akral dingin, capillary refill menurun.
- Diuresis menurun sampai anuria.
Sebelum terjadinya syok lebih baik kita melakukan pencegahan dan
pengendalian demam dengue. Pencegahan penyakit DBD dan demam dengue sangat
bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian
nyamuk terdapat dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat,
yaitu:
a. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberatasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembang biakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain
rumah. Sebagai contoh: menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya
sekali seminggu, mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung
seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air, mengubur kaleng-
kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
b. Biologi
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
c. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna
untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
- Memberikn bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti: gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit ini adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.3
Vaksin dengue adalah vaksin untuk mencegah infeksi dengue atau mengurangi
resiko seorang anak terkena infeksi dengue yang berat. Seperti kita ketahui,
infeksi dengue sangat bervariasi dari yang ringan hingga berat. Manifestasi klinisnya
bisa ringan seperti demam dengue atau dengan manifestasi kebocoran plasma pada
demam berdarah dengue atau yang berat seperti syok sindrom dengue yang dapat
menyebabkan kematian pada beberapa kasus.
DAFTAR PUSTAKA

Adam L, Jumaa AM, Elbashir H, Kaesany M, 2010. Maternal and perinatal outcomes
of dengue in Port Sudan, Eastern Sudan. Virology Journal, p. 153.

Departemen Kesehatan Indonesia, 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2012.

Essy, 2009. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang Rawat
Inap Di RSU DR. Pirngadi Medan Tahun 2008.

Ginting Y, 2004. Patofisiologi, gejala dan tanda demam berdarah/sindroma syok


dengue. In: s.l.:Suplemen MK Nusantara, pp. 7-12.

Guerdan B, 2010. Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. American Journal of


Clinical Medicine.

Gultom, Sondang. Karakteristik penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) rawat


inap di RSU. dr. Pirngadi Medan Tahun 2004. Skripsi FK USU. Medan.

Hadi, H., 2004. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (D B D) Rawat


inap di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 1999 2003.

Kariyawasam, Senanayake, 2010. Dengue Infection during pregnancy: case series


from a tertiary care hospital in Sri Lanka. The Journal of Infection in Developing
Countries, pp. 767-775.
Kementrian Kesehatan Indonesia, 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun
2011.

Soedarmo, S.S.P, 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada anak. UI Press, Jakarta

Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T.Pohan, 2009. Demam


Berdarah Dengue. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. V ed. s.l.:internaPublishing,
pp. 2773-2779.

Sri Rezeki H, Mauzal Kadim, Yoga, dkk. New Dengue Classification. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. FKUI. Jakarta:
2012.

Tantawichien T, 2012. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever in


adolescents and adults. In: Paediatrics and International Child Health 2012.

Twintinain, Vivijulia. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD)


Rawat Inap di RSUD DR.R.M.Djoelham Kota Binjai Tahun 2004-2008. Skripsi FK
USU. Medan.

Wiwanitkit, 2006. Dengue Haemorrhagic fever in pregnancy: appraisal on Thai


cases. The Jorunal of Vector Borne Disease, pp. 203-205.

World Health Organization Regional Publication, SEARNO, 2011. Situation of


Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia.

World Health Organization, 1997. Dengue haemorrhagic fever : diagnosis, treatment,


prevention, control.

World Health Organization, 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, and
Control 2009.
World Health Organization, 2012. Dengue and Severe Dengue.

Anda mungkin juga menyukai